Laman

Kamis, 31 Januari 2013

Ketika Buya Hamka Mengimami Sholat Shubuh Di Kediaman KH Abdullah Syafi’ie

buya hamka-abdullah syafi'i_islampos

ULAMA-ulama besar yang sudah menorehkan begitu banyak amal sholeh tak akan pernah mati—walaupun jasadnya sudah dikubur oleh tanah. Itulah yang selalu kita dapatkan dari sosok Buya Hamka dan KH Abdullah syafi’ie.

Siapa yang tidak kenal Buya Hamka, dengan perguruan Al-Azhar dan tafsirnya yang fenomenal? Dan siapa tidak kenal KH Abdullah Syafi’ie, pendiri dan pemimpin Perguruan Asy-Syafiiyah, yang umumnya kiyai Betawi pada hari ini adalah murid-murid beliau?


Meski Buya Hamka adalah tokoh Muhammadiyah, namun ia berkawan baik dengan tokoh NU seperti KH. Abdullah Syafi’ie, ulama kawakan yang juga dijuluki ‘Macan Betawi’ kharismatik.

Di antaranya kisah sederhana Buya Hamka dan KH. Abdullah Syafi’ie ialah toleransi dan lebih mengedepankan ukhuwah Islamiyah.


Kisah ini, sebagaimana yang diceritakan oleh putera beliau, Rusydi Hamka, adalah tentang persoalan khilafiyah seperti qunut, jumlah rakaat tarawih, maupun jumlah adzan shalat jum’at. Meski Buya Hamka boleh dibilang tokoh Muhammadiyah yang tidak mempraktikkan qunut pada shalat subuh, namun beliau menghormati sahabatnya, KH. Abdullah Syafi’ie, ulama yang menyatakan bahwa qunut shalat shubuh itu hukumnya sunnah muakkadah.


Buya Hamka jika hendak mengimami jamaah shalat subuh, suka bertanya kepada jamaah, apakah akan menggunakan qunut atau tidak. Dan ketika jamaah minta qunut, tokoh dan penasihat Muhammadiyah inipun mengimami shalat subuh dengan qunut.


Dalam kesempatan lain tentang masalah adzan dua kali. Suatu ketika di hari Jumat, KH. Abdullah Syafi’ie mengunjungi Buya di masjid Al-Azhar, Kebayoran Jakarta Selatan. Hari itu menurut jadwal seharusnya giliran Buya Hamka yang jadi khatib. Karena sahabatnya datang, maka Buya minta agar KH. Abdullah Syafi’ie saja yang naik menjadi khatib Jumat.


Yang menarik, tiba-tiba adzan Jumat dikumandangkan dua kali, padahal biasanya di masjid itu hanya satu kali adzan. Rupanya, Buya menghormati ulama betawi ini dan tahu bahwa adzan dua kali pada shalat Jumat itu adalah pendapat sahabatnya. Jadi bukan hanya mimbar Jumat yang diserahkan, bahkan adzan pun ditambahkan jadi dua kali, semata-mata karena ulama ini menghormati ulama lainnya.


Begitu pula tentang jumlah rakaat tarawih. Buya Hamka ketika mau mengimami shalat tarawih, menawarkan kepada jamaah, mau 23 rakaat atau mau 11 rakaat. Jamaah di masjid Al-Azhar pada saat itu memilih 23 rakaat, maka beliau pun mengimami shalat tarawih dengan 23 rakaat. Esoknya, jamaah minta 11 rakaat, maka beliau pun mengimami shalat dengan 11 rakaat. [hobat-habbatushauda]

By on January 29, 2013  


source
islampos/29januari2013

Minggu, 20 Januari 2013

Komnas HAM Nyatakan Densus 88 Melanggar HAM, Polri pun Berkilah

JAKARTA - Ada pernyataan yang cukup mencengangkan dari Karopenmas, Brigjen Pol. Boy Rafli Amar saat merespon hasil evaluasi Komnas HAM. Ketika itu Komnas HAM mendesak pemerintah mengevaluasi kinerja Densus dalam operasi di Poso akhir-akhir ini. 

Komnas menilai Densus melakukan tindakan pelanggaran HAM dengan menggunakan kekerasan dan tidak menghargai HAM, baik terhadap masyarakat atau terduga teroris itu sendiri.

"Dalam penanganan tindak pidana terorisme, terdapat dugaan kuat penembakan mati secara tidak prosedural terhadap tersangka teroris serta kekerasan terhadap sejumlah korban salah tangkap," kata Ketua Tim Penanganan Tindak Terorisme Poso, Siane Indriani, dalam siaran pers seperti dikutip detik, Selasa (15/1/2013).

Polri pun berkilah dan balik menuding teroris pun melanggar HAM. "Kita menghormati hasil evaluasi tersebut, tapi teroris yang membunuh orang juga melanggar HAM," kata Karopenmas Polri Brigjen Pol Boy Rafli Amar, Selasa (15/1/2013).

Menanggapi hal tersebut, aktivis kemanusiaan, Dr. Joserizal Jurnalis, SpOT mengungkapkan bahwa pernyataan Boy Rafli Amar itu amat tidak tepat.
“Posisi Polri dengan teroris sangat jauh berbeda. Polri adalah alat negara yang bekerja dengan aturan negara. Fungsinya adalah penegak hukum bukan untuk berperang. Kalau menegakkan hukum tidak boleh melanggar hukum, bahkan dalam berperang pun ada aturannya seperti tidak boleh menyiksa tawanan, membunuh masyarakat sipil yang tidak bersenjata atau ikut perang. Jadi pendapat pak Boy Rafli Amar sangat tidak tepat,” kata Joserizal kepada voa-islam.com, Selasa (15/1/2013).

Ia pun mempertanyakan kinerja polisi dalam hal ini Densus 88 yang telah menembak mati seseorang namun tak tahu identitasnya.
“Persoalan berikutnya adalah apakah orang yang ditembak sampai terbunuh, benar-benar teroris atau tidak? Kenapa sampai timbul pertanyaan demikian? Karena polisi kadang tidak tahu identitas orang yang ditembak lalu dicari identitasnya dengan tracing DNA,” ujar pendiri MER-C (Medical Emergency Rescue Committee) ini.

Sebab menurut Joserizal, identitas orang yang ditembak boleh tidak diketahui jika di medan perang, namun hal ini berbeda dengan proses penegakkan hukum.
“Identitas orang yang ditembak boleh tidak diketahui kalau hal ini terjadi di medan perang dan berada dalam posisi musuh. Kalau dalam proses penegakkan hukum tidak boleh kecuali kalau nyawa petugas terancam. Posisi terancam inilah yang harus jelas dan jangan direkayasa,” jelasnya.
 
Joserizal pun meminta agar pemerintah segera mengevaluasi Densus 88, jangan sampai pemerintah Indonesia mendapat predikat sebagai penjahat kemanusiaan.
 
source
voaislam/rabu,16jan2013 

Wawancara Eksklusif CIIA Mengungkap Kejanggalan Operasi Densus 88

JAKARTA - Direktur The Community Of Islamic Ideology Analyst (CIIA) dan pemerhati kontra terorisme Harits Abu Ulya, membeberkan sejumlah bukti dan analisa kritis terkait penindakan kasus terorisme oleh aparat kepolisian baik itu Brimob maupun Densus 88.

Dari mulai kasus salah tangkap terhadap 14 orang di Poso dan penembakan di teras masjid Nur Al Afiah, Makassar serta di Dompu dan Bima, menjadi fokus pembicaraan wawancara eksklusif voa-islam.com bersama Harits Abu Ulya, Kamis (10/1/2013). Berikut ini kutipan lengkap wawancara tersebut.

Apakah salah tangkap 14 orang di Poso itu murni salah tangkap atau pura-pura salah tangkap? Alasannya?
Saya bicara dari fakta empiriknya; 14 orang itu salah tangkap. Setelah 7x24 jam mereka diinterograsi dengan dilakban (tutup mata/kepala) disertai dengan tindak kekerasan yang sangat tidak manusiawi kemudian mereka dilepas.
Dan pihak kepolisian bisa jadi punya argumentasi yang berbeda. Tapi menurut saya bukti kekerasan dan salah tangkap ini sangat mencolok mata. Sekarang oknum masih diproses di Polda setempat, cuma hasilnya belum disampaikan secara transparan ke publik. Justru yang terlihat pihak aparat kepolisian terkesan ingin menutupi kasus ini, dengan dalih yang tidak logis.

Misalkan mereka masih butuh saksi lengkap sejumlah 14 orang yang mengaku ditangkap dan disiksa. Apakah tidak cukup dengan 9 atau sepuluh orang yang babak belur menjadi bukti adanya tindak pidana yang sangat serius oleh aparat (oknum)?

Dan lebih anehnya lagi, ketika mereka di introgasi dengan mata tertutup  dan menerima kekerasan fisik yang tidak manusiawi tersebut dianggap tidak bisa menunjukkan orang-perorang yang melakukan penganiayaan.
Ya jelas saja, tapi naïf kalau alasan ini dibuat kemudian pihak Polda tidak mampu memproses, kecuali memang aparat itu bukanlah penegak hukum melainkan gerombolan penjahat yang terorganisir.
Artinya proses operasi aparat dengan alasan memburu “teroris” kan semua ada kontrol dan komandan, provost bisa teliti dan saya rasa tidak sulit untuk menemukan siapa saja yang terlibat tindakan tidak manusiawi ini. Jadi ini bukan kasus pura-pura salah tangkap, ini kasus serius yang kesekian kalinya dalam drama kontra terorisme.

Ekstra Judicial Killing yang dilakukan di Makassar, Dompu dan Bima serta kasus sebelumnya di Poso itu karena korban menyerang atau Densus 88 paranoid?
Hampir semua cerita itu dari satu sumber, yakni pihak kepolisian (Densus 88). Setiap paska operasi kemudian tim Densus 88 membuat laporan dan laporan ini yang dijadikan acuan pihak Mabes melalui humasnya untuk menyampaikan kronologi dan sebagainya. Tidak ada informasi pembanding atau sangat minim munculnya informasi penyeimbang yang bisa menjelaskan kebenaran obyektif apa yang terjadi dilapangan.

Kasus di Poso, Kholid dieksekusi tanpa perlawanan sepulang solat subuh. Dan semua saksi melihat kejadiannya seperti itu. Kasus di Makassar juga sama, dua guru tahfizh Qur’an masjid Ar Ridla Sudiang Makassar di eksekusi paska shalat dhuha di teras masjid Nur Al Afiah RS Wahidin Makassar.
Saksi mata banyak menuturkan tidak ada baku tembak. Yang ada adalah 2 orang ditembak oleh aparat Densus 88 tanpa perlawanan. Dan yang penting, masalah BB (barang bukti) adanya pistol dan sebuah granat nanas kebenaranya tidak bisa lagi secara obyektif dibuktikan. Karenanya pemiliknya juga sudah meninggal.
Bukan tidak mungkin bahwa BB tersebut adalah direkayasa (diadakan oleh Densus 88). Seperti halnya sejauh mana kebenaran tuduhan bahwa mereka “teroris” dan terlibat aksi di Pos? Semua jadi kabur karena orang yang dituduh sudah meninggal.

Bahkan jikapun benar mereka terlibat, maka sejauh mana level keterlibatan mereka tidak bisa juga diverifikasi. Namun faktanya tetap saja mereka tewas dibawah undang-undang “Terduga Teroris”.
Yang Dompu juga demikian, sekarang musim berkebun di bukit atau gunung. Mereka yang dieksekusi bukan turun gunung setelah latihan, tapi mereka berkebun. Yang lebih dahsyat adalah dari 5 orang yang tewas, 2 orang belum jelas identitasnya.

Jadi logika sehatnya; bagaimana bisa Densus 88 bunuh orang dengan alasan terduga teroris, sementara kenal saja tidak. Sampai mereka tewas pun juga belum jelas identitasnya siapa merek?
Sangat naïf sekali dan ini kedzaliman yang luar biasa.Orang bisa di bunuh kapan saja, baik kenal atau tidak asal ada alasan terduga teroris. Ini menunjukkan kegagalan operasi intelijen Densus 88 dilapangan.

Densus 88/Brimob sering sekali salah tangkap dan melakukan ekstra Judicial killing tetapi tidak pernah dihukum. Mengapa?
Mereka jumawa karena merasa mendapatkan mandat UU dan dukungan luas baik masyarakat maupun negara Barat (Amerika CS). Mereka merasa diatas angin, ada dalam sebuah arus besar yang tidak ada yang bisa membendung atau menghentikan.

Dan yang paling penting ini karena persoalan politik, bukan murni bicara tentang sebuah tindakan kejahatan (crime). Terorisme adalah sebuah “crime” dengan definisi dan kepentingan politik dari negara yang mengusungnya.
 
Dan orang-orang yang terzalimi tidak punya daya, terpuruk dalam ketidak adilan hukum yang secara politik dan sosial tidak berempati kepada dirinya. Saya tetap optimis, kejahatan Densus 88 tetap saja akan menemukan garis demarkasinya. Dan tidak ada kejahatan kecuali ada balasan dan catatannya. Wallahu a’alam
 
source
vpaislam/sabtu,12jan2013 

Operasi Intelijen Gagal, Densus 88 Salah Sasaran

JAKARTA - Pemerhati kontra-terorisme, Harits Abu Ulya menyatakan jika Densus 88 telah salah sasaran dalam penindakan kasus terorisme di sejumlah tempat, seperti Makassar, Dompu dan Bima.
Menurutnya, operasi Densus 88 yang berujung pada penembakan 7 orang di beberapa daerah tersebut adalah bentuk kegagalan operasi Intelijen.

“Densus 88 sangat mungkin salah tembak orang, ini salah satu bentuk kegagalan operasi intelijen aparat plus kecerobohan tindakan aparat dilapangan. Seorang Bahtiar Abdullah hanyalah seorang penjual ayam dan krupuk dan dalam 6 tahun terakhir tidak pernah keluar pulau apalagi Poso,” kata Direktur The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), kepada voa-islam.com, Senin (14/1/2013).
...Densus 88 sangat mungkin salah tembak orang, ini salah satu bentuk kegagalan operasi intelijen aparat plus kecerobohan tindakan aparat dilapangan
Ia pun sepakat dengan temuan investigasi lapangan Tim Pencari Fakta dan Rehabilitasi (TPFR) Bima yang mengungkapkan bahwa Bahtiar Abdullah yang ditembak mati Densus 88 pada Sabtu (5/1/2013) tidak pernah pergi ke Poso.

Lebih lanjut, Harit melihat aparat Densus 88 telah bertindak konyol dan over acting dengan menembak mati orang yang katanya terduga teroris tapi justru tak diketahui identitasnya.
“Kegagalan indentifikasi aparat atas obyek atau target sasaran oleh aparat Densus bukan kali ini saja terjadi, dua orang lain yang tewas di Bima, aparat juga belum tahu identitas mereka siapa. Artinya, aparat sendiri tidak tahu siapa yang ditembak. Apakah benar mereka ‘teroris’ atau tidak? jadi ini sangat konyol. Bagaimana bisa seorang dieksekusi dengan alasan mereka terduga teroris padahal tidak tahu persis siapa mereka, dan ini bukti Densus kurang profesional dan over acting,” paparnya.
...aparat juga belum tahu identitas mereka siapa. Artinya, aparat sendiri tidak tahu siapa yang ditembak. Apakah benar mereka ‘teroris’ atau tidak? jadi ini sangat konyol
Kemudian, mengenai barang bukti berupa sejumlah bahan peledak yang dirilis aparat, kata Harits semua itu diduga sebagai rekayasa aparat sendiri.
“Masalah barang bukti yang dirilis aparat dan dipublish media massa dan elektronik tampak adanya inkonsistensi data. Itu merupakan indikasi bahwa barang bukti tersebut dugaan saya adalah rekayasa. Mereka yang diduga terlibat aksi kekerasan di Poso kemudian mereka turun gunung keluar meninggalkan Poso via Makassar dengan jalur laut atau kapal dengan membawa bahan peledak atau bom itu sangat naif dan bodoh sekali jika itu benar,” jelasnya.
...Itu merupakan indikasi bahwa barang bukti tersebut dugaan saya adalah rekayasa
Ia menegaskan bahwa sejumlah barang bukti yang diduga rekayasa aparat tersebut hanya untuk melegitimasi perburuan orang-orang yang dicap teroris di Bima dan sekitarnya.
Di sisi lain, Harits mensinyalir jika orang-orang yang lari ke Bima dari Poso tidaklah banyak dan aparat juga sedikit banyak sudah tahu karena telah memantau pergerakan mereka.
 
source
voaislam/senin,14jan2013

Selasa, 08 Januari 2013

PUSHAMI: Densus 88, Pembunuh dan Pembantai Aktivis Islam Paling Keji

JAKARTA – Menyikapi tindakan brutal Densus 88 yang melakukan penangkapan dan pembunuhan terhadap aktivis Islam yang diduga teroris, Pusat Hak Asasi Muslim Indonesia (PUSHAMI) dalam pernyataan persnya (7/1/2013) menyebut Densus 88 pembunuh dan pembantai aktivis Islam.

Direktur Kontra Terorisme dan Kontra Separatisme PUSHAMI, M. Yusuf Sembiring, mengatakan, sepak terjang Densus 88 kini mulai mencuat lagi pasca menebar teror dengan menembak mati 7 “terduga” teroris dan menangkap 4 lainnya dalam waktu 2x24 jam. Dalam salah satu penangkapan, Densus 88 layaknya dead squad tanpa ampun membunuh 2 orang aktivis Islam di halaman Masjid Al Nur Afiah, Makasar.

Berdasarkan monitoring PUSHAMI, Densus 88 telah berulang kali melakukan abusing powers, baik dalam penggunaan anggaran yang tidak independen. Selama ini tidak jelas operasi besar–besaran Densus 88 yang didanai oleh negara maupun asing tidak pernah jelas penggunaannya. Misalnya Detasemen 88, menerima pelatihan, perlengkapan dan dukungan operasional yang luas dari Polisi Federal Australia (AFP). Antara 2010 dan 2012 ini nilainya mencapai $ 314.500 kemana semua dana tersebut.
 

Densus 88 juga sering kali terlibat dalam penyiksaan dan extra-judicial killings, membunuh menggunakan senjata tanpa Standard Operational Procedure (SOP) kepada “terduga” teroris yang tanpa senjata dan tanpa perlawanan. Densus 88 bersama Amerika dan Australia tidak hanya melancarkan kampanye tuduhan teroris terhadap aktivis Islam tetapi juga melakukan pembantaian khususnya terhadap aktivis Islam.
 

Densus 88 dengan segala fasilitasnya telah menjadi pelaku inpunitas (pelaku penghilangan nyawa yang lolos dari investigasi tanpa proses hukum) dan pelanggar HAM berat. Kasus pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh Densus 88 sampai saat ini masih berlajut dan belum ada yang bisa menghentikannya. Sampai detik ini, masih banyak praktik impunitas dalam bentuk penyiksaan yang dilakukan oleh Densus 88 di dalam tahanan maupun diluar tahanan terhadap para “terduga” teroris. Lalu apa gunanya pemerintah Indonesia yang telah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan (Convention Against Torture) dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Penyiksaan pada 28 September 1998. 
Sehubungan terhadap hal - hal di atas, dengan ini kami Pusat Hak Asasi Muslim Indonesia (PUSHAMI) menyatakan sebagai berikut :

1. Mendesak DPR khususnya Komisi III memanggil KaDensus 88, Bareskrim Mabes Polri & BNPT untuk mempertanggungjawabkan tindakan kewenangannya terhadap korban terbunuh maupun korban salah tangkap.

2. Mendesak DPR khususnya Komisi III untuk segera melakukan proses hukum kepada KaDensus 88, Bareskrim Mabes Polri dan BNPT, karena jelas dan tegas telah melakukan Pelanggaran Hak Asasi Manusia sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan terhadap personil Densus sebagai aparat kepolisian penegak hukum NKRI yang telah melakukan penembakan harus ditindak tegas sebagaimana pula diatur dalam Undang-undang No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

3. Mendesak DPR khususnya Komisi III untuk mengaudit atas Kewenangan dalam menggunakan senjata api oleh Densus 88. Karena Densus 88 telah melanggar Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002  tentang Polri dan Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian

4. Mendesak DPR bersama PPATK untuk mengaudit anggaran Densus 88 dan BNPT baik yang berasal dari anggaran pemerintah maupun hibah dari pihak asing.

5. Mendesak DPR khususnya KOMISI III untuk segera seketika merekomendasikan pembubaran Densus 88 dan BNPT yang telah tidak menjunjung tinggi norma hukum di NKRI yang berasaskan Negara Hukum dan aparat penegak hukum di NKRI.

source
voaislam/selasa,08jan2013

Sabtu, 05 Januari 2013

HKBP Buat Sensasi, Tarik Perhatian Gerakan Kristenisasi Internasional

JAKARTA - Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Bekasi, ustadz Salimin Dani menegaskan jika sejumlah insiden yang dilakukan HKBP selama ini, seperti penganiayaan ustadz Abdul Aziz oleh pendeta Palti Panjaitan, tak lain untuk mencari sensasi dan mendapatkan perhatian dari gerakan Kristenisasi Internasional.

Hal itu diungkapkan ustadz Salimin Dani usai menjadi pembicara Tabligh Akbar Menolak Kristenisasi dan Maksiat di masjid Nurul Islam, Islamic Center Bekasi.

“Ini adalah test case untuk mengangkat nama HKBP, dia ingin mendapatkan credit point dari gerakan Kristenisasi Internasional maka mereka menciptakan sensasi. Sensasinya itu agar kita terpancing dan setelah itu mereka akan blow up,” ungkapnya kepada voa-islam.com, Ahad (30/12/2012).
...Ini adalah test case untuk mengangkat nama HKBP, dia ingin mendapatkan credit point dari gerakan Kristenisasi Internasional maka mereka menciptakan sensasi
Ustadz Salimin Dani juga menghargai langkah tepat ustadz Abdul Aziz dan umat Islam yang tidak terpancing aksi anarkis pendeta HKBP Palti Panjaitan
“Saya hargai, ketika ustadz Abdul Aziz itu dipukul, tetapi tidak membalas hingga melukai mereka, sehingga memang umat Islam tidak terpancing,” kata Presidium Kongres Umat Islam Bekasi (KUIB) tersebut.

Menurutnya, langkah tepat yang harus dilakukan umat Islam adalah menekan aparat kepolisian dan Bupati agar melakukan penertiban gereja liar secara menyeluruh.
“Kita harus melakukan pressure kepada kepolisian, dalam hal ini saya minta FKUB ini agar bertindak secara riil, menekan Kapolsek, Kapolres dan Bupati untuk melakukan penertiban secara menyeluruh,” tuturnya.
...saya minta FKUB ini agar bertindak secara riil, menekan Kapolsek, Kapolres dan Bupati untuk melakukan penertiban secara menyeluruh
Penertiban secara menyeluruh itu dilakukan dikarenakan bukan hanya gereja HKBP yang bermasalah namun gereja-gereja lainnya di Bekasi juga demikian.
“HKBP ini hanya satu bagian, tapi saya minta penyelesaian yang menyeluruh, universal. Di sini kan ada FKUB, KUIB, MUI dan ormas-ormas Islam lainnya. Jadi kasus HKBP ini hanya salah satunya, yang lainnya seperti gereja Albertus itu apakah tidak nakal? Gereja terbesar di Harapan Indah itu sudah berdiri namun tidak mulus, mereka gunakan tanda tangan palsu,” jelasnya.
...Jadi kasus HKBP ini hanya salah satunya, yang lainnya seperti gereja Albertus itu apakah tidak nakal?
Selain itu, ustadz Salimin Dani melihat pemberitaan apalagi pembelaan terhadap umat Islam yang terainaya begitu minim, hal ini tak terlepas dari keberpihakan dunia kepada Yahudi dan Salibis.
“Ketika umat Islam teraniaya kemudian tidak ada yang membantu, kita tahu bahwa saat ini dunia tidak berpihak pada umat Islam, dunia sedang berpihak kepada Yahudi dan kekuatan Salibis Kristen, khususnya di Indonesia,” imbuhnya.

Untuk menghadapi hal itu, ia mengajak segenap elemen, tokoh masyarakat dan umat Islam pada umumnya agar bersama-sama memikirkan bagaimana membangun kekuatan umat Islam.
“Ini yang harus kita pikirkan bahwa umat Islam harus memiliki kekuatan, selama umat Islam tidak memiliki kekuatan maka tidak akan bisa berbuat apa-apa,” tutupnya.

source
voaislam/rabu,02jan2013
 

Awas!! Anggota Densus Jemaat HKBP Mulai Meneror Ustadz Bekasi Pakai Pistol

BEKASI – Berbagai cara dilakukan pihak HKBP Bekasi untuk mendirikan gereja liar di Bekasi, mulai tipuan tanda tangan warga, anarkhisme dengan menganiaya dan meneror ustadz. Bahkan di depan khalayak ramai, Ipda Domu Samosir, seorang anggota Densus 88 Antiteror berani meneror dengan menodongkan pistol kepada Ustadz Abdul Aziz saat memimpin kerjabakti bersih desa di lahan musholla.

Hal itu terungkap dalam testimoni Ustadz Syamsuri di hadapan ribuan umat Islam dalam Tabligh dan Pawai Akbar Kongres Umat Islam Bekasi (KUIB) di Masjid Islamic Center Bekasi, beberapa waktu lalu

Teror polisi antiteror ini dilakukan ketika warga sedang melakukan kerjabakti di desanya, Ahad (4/3/2012). Saat itu, warga desa Jejalen menggelar kerja bakti bersih desa di lahan musholla, sementara jemaat HKBP yang berasal dari luar desa Jejalen menggelar kebaktian provokatif di pinggir jalan, tak jauh dari lokasi kerja bakti warga.

Dengan pengeras suaranya, jemaat HKBP menyanyikan lagu-lagu kebaktian berbahasa Batak, namun warta tak terusik sedikit pun. Pada saat yang sama, untuk menambah semangat kerja bakti, warga juga menyalakan speaker dengan berbagai lagu shalawatan dan nasyid. Namun jemaat HKBP yang sedang berkebaktian liar itu tidak terima mendengar lagu-lagu shalawatan warga.

Ipda Domu Samosir, salah satu jemaat HKBP yang juga anggota Densus 88 Antiteror marah besar mendengar alunan suara shalawatan, yasinan dan nasyid ini.  Ia langsung memegang Ustadz Abdul Aziz yang memimpin acara kerja bakti, lalu menodongkan pistol dan mengancam: “Gua habisin semua!”
“Mereka merasa terganggu dengan speaker yang kita nyalakan untuk kerja bakti, lalu anggota Densus 88 itu memegang ustadz Abdul Aziz sambil mengacungkan pistol,” ujar Syamsuri di hadapan para tokoh Bekasi dan ribuan umat Islam yang berasal dari berbagai ormas, para aktivis dan sejumlah pengurus Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) se-Bekasi.

Menanggapi teror pistol Densus jemaat HKBP terhadap Ustadz Abdul Aziz, Forum Komunikasi Umat Islam (FKUI) Jejalen melaporkan pengurus HKBP yang menjabat sebagai anggota Densus ke Mabes Polri. “Waktu itu banyak saksinya, kita melapor ke Mabes Polri dan langsung diproses, sehingga hukumannya dia tidak naik pangkat saja,” jelas Wakil Ketua FKUI Jejalen itu.

Warga Jejalen Bekasi mempertanyakan terhadap teror jemaat HKBP itu. Pasalnya, hanya sekali mendengar musik lain agama, mereka langsung marah dan meneror pakai pistol. Padahal bertahun-tahun warga mendengar musik gereja HKBP saat kebaktian, tak satupun warga melakukan tindakan teror dan anarkisme.
“Bertahun-tahun mereka yang mengganggu kita dengan aktivitas gereja di tempat yang bukan pada tempatnya, yaitu dipinggir jalan yang jelas mengganggu warga yang mayoritas muslim,” pungkasnya.

Sebagaimana diberitakan voa-islam.com terdahulu, kasus penolakan berdirinya Gereja HKBP Philadelphia ini dilakukan oleh warga sejak tahun 2009. Warga menolak keberadaan gereja Batak ini karena proses awalnya dilakukan dengan tipuan tanda tangan warga.  Warga diminta tanda tangan diatas kertas dengan blangko kosong dan menyerahkan photo copy KTP. Katanya untuk mendapatkan bantuan dana BLT (bantuan langsung tunai), tapi disalahgunakan sebagai berkas mengurus perizinan pendirian Gereja.
Merasa dibohongi dan dibodohi oleh oknum HKBP, 256 warga yang menandatangi blangko tersebut telah melayangkan surat pernyataan mencabut tanda-tangan blangko yang disalahgunakan tersebut.  

Mendapat penolakan warga, jemaat dan pendeta HKBP makin nekad dan menghalkan segala cara untuk bisa membangun gereja, antara lain dengan tindakan anarkis. Tindakan kekerasan terbaru dilakukan Pendeta HKBP Palti Hatoguan Panjaitan dengan menganiaya Ustadz Abdul Aziz tepat pada malam Natal, Senin malam (24/12/2012) di RT o1/RW 04 desa Jejalen Jaya, Tambun Kabupaten Bekasi, sekitar 200 meter dari lahan kosong milik HKBP Philadelphia. Disaksikan ribuan mata, di antaranya Kapolsek Tambun Selatan Kompol Andri Ananta, anggota provos dan puluhan personel, Pendeta Palti berani memukuli Ustadz Abdul Aziz.

Dengan teriakan premanisme “Bangsat lu!!” Pendeta Palti mengumbar amarahnya saat memukuli ustadz di hadapan jemaat HKBP dari luar desa Jejalen Jaya disaksikan ratusan warga Jejalen. Entah di mana slogan kasih yang selama ini digembor-gemborkan para pendeta? 

source
voaislam/jum'at,04jan2013 

Analisa CIIA: Donasi Gerakan Islam dapat terkena sanksi melebihi kejahatan Korupsi

JAKARTA -Terkait upaya legislasi "RUU Tindak Pidana Pendanaan Teroris" yang tengah digodok oleh Pansus DPR RI.  Menurut Direktur The Community of Ideological Islamic Analisyst (CIIA), Harits Abu Ulya, ada beberapa catatan kritis dari hasil kajian yang dilakukan terhadap draft RUU tersebut.

Pertama, sejatinya RUU ini komplement atau pelengkap dari Undang Undang  yang ada terkait pencegahan dan pemberantasan tindak pidana terorisme (UU no 15/2003). Dan ini satu paket dengan 4 Undang Undang  lainya, yaitu; Undang Undang intelijen yang sudah disahkan, Undang Undang Teroris yang dalam proses revisi, RUU Kamnas, dan Undang Undang Ormas yang juga mau direvisi.
"Dan kemudian secara khusus diarahkan kepada kontra-terorisme dalam ragam Undang Undang  tersebut. Serta diharapkan bisa mengabsorsi substansi penindakan terorisme yang lebih efektif,"Kata Harits kepada arrahmah.com, Jum'at (21/12) Jakarta.

Dasar pijakan pembuatan Undang-Undang tersebut berada pada  8 point yaitu; Kelemahan intelijen (dan solusinya ini sudah dirumuskan dalam Undang Undang Intelijen), Masa penangkapan dan penahanan yang terlalu singkat (dan ini perlu diperpanjang di UU yang baru), Perbuatan awal yang mengarah kepada aksi teror yang belum dapat ditindak (dan ini mengarah kepada kriminalisasi pemikiran/pendapat/ konsep), 

Ancaman hukuman terhadap teroris terlalu ringan (dalam UU revisi akan diperberat), Perlu ada pengadilan khusus tipiter (tindak pidana teroris) dan terpusat, Pelibatan TNI berdasarkan UU TNI No 34/2004 dan UU Polri No2/2002.7 , Deradikalisasi dengan melibatkan instansi terkait seperti depag dll, Memutus aliran dana atau pendanaan.
"Dalam RUU yang lagi ditangani pansus dan masuk tahapan dengar pendapat, mereka mengharapkan bisa mempersempit ruang gerak teroris dengan memutus semua akses pendanaan yang memungkinan," ungkap Harits

Kedua, lanjut Harits, dalam kajian atas draft RUU ini pemerintah hendak memberangus individu atau korporasi atau juga kelompok yang di cap teroris. Dan "nafsu" ini berdiri diatas paradigma yang salah kaprah sejak awal serta bahkan sangat terkesan ini adalah langkah penyelarasan atas proyek global Barat yang bernama WOT(war on terroism) yang sangat pejoratif tendensius menjadikan umat Islam sebagai musuh dan bidikan.

Ketiga, dalam RUU ini memuat pasal karet, karena banyak frase "patut diduga". Dan seseorang/korporasi/lembaga bisa dikenai UU ini hanya karena alasan patut diduga mendanai aksi teror baik secara langsung ataupun secara tidak langsung.

Keempat, bahkan dalam pasal 9 ayat 4 begitu rentannya disalahgunakan oleh lembaga keuangan (lebih dari 18 jenis) untuk memfitnah seseorang atau korporasi atau juga lembaga dengan alasan "patut diduga" kemudian melaporkan ke PPATK dengan delik tindak pidana terorisme.
"Ini cara-cara jahat, melibatkan banyak pihak dengan parameter yang kabur,"lontarnya.

Kelima, menurutnya terkesan pula  pemerintah seperti "perampok" atas aset korporasi jika mereka tertuduh terlibat dalam pendanaan aksi teror secara langsung ataupun tidak, dapat dilihat pada pasal 6 ayat 5d dan e.
"Dalam kejahatan besar saja korupsi tidak diterapkan pasal ini, padahal korupsi juga melibatkan persekongkolan banyak orang dengan sebuah perusahaan atau departemen," ungkapnya.

Keenam, Harits menjelaskan,  jika dicermati pada pasal 1 ayat 7b juncto pasal 22 ayat 1b.menunjukkan  Indonesia mengacu kepada guiden (arahan) asing untuk menentukan apakah individu/kellompok/korporasi masuk kategori teroris atau tidak.
"Dan ini bukti Indonesia tidak independen dalam isu terorisme tetapi mengekor kepada kepentingan asing,"tegasnya

Dan terakhir, lebih parah lagi menurutnya, semua substansi RUU ini berdiri diatas definisi "teroris" yang kabur dan sangat politis.Sampai hari ini kelompok Islam yang mengusung Islam sebagai ideologi menjadi sasaran dengan berbagai rekayasa dan kriminalisasi atas nama drama terorisme. Dan ini adalah kepentingan Barat yang diaminkan pemerintah Indonesia yang sekuler.

Di samping penjelasan Menkeu Agus Marto lebih mempertegas (secara implisit) bahwa RUU ini dibuat untuk mengikuti kepentingan asing sekalipun alasanya untuk meningkatkan bargaining ekonomi Indonesia dipentas dunia.
"Indonesia terlalu jauh masuk dalam kubangan perang melawan teroris versi Barat yang dikomandani AS," tutur Harits

Ia pun menghimbau agar Umat Islam, para ulama dan tokohnya agar melek melihat keadaan yang terjadi. Wa bil khusus para cerdik pandainya. Karena menurutnya, hal ini merupakan kezaliman sistemik melalui regulasi sehingga harus dilawan. Bisa jadi muslim Indonesia yang sumbang Rakyat Palestina dan Suria misalkan, bisa kena Undang Undang ini hanya karena di sana ada Hamas dan Jabhah an Nusroh yang di cap oleh AS atau PBB sebagai teroris.
"Dan itu hanya berdasarkan pasal karet dengan frase "patut diduga"  menyumbang untuk aksi teror baik langsung ataupun tidak langsung,"pungkas Harits.

source
voaislam/jum'at,21dec2012 

Terungkap! Nurul Azmi Tibyani Disiksa Aparat Saat Ditangkap

JAKARTA - Saat acara pemeriksaan dalam persidangan Nurul Azmi Tibyani di PN Jakarta Selatan terungkap bahwa pada ketika penangkapan dirinya mendapatkan intimidasi dan penganiayaan padahal ia seorang wanita.

Nurul mengaku mulutnya sempat dipukul dengan botol aqua karena tidak menjawab pertanyaan 6 orang yang serentak masuk kedalam kamar hotel tempat ia menginap.

Setelah dibawa ke Jakarta tepatnya di pondok wisata Jakarta Selatan Nurul di introgasi oleh beberapa orang secara bersamaan dan hal ini membuat dia bingung harus menjawab apa.

Lebih dari itu, pada saat sebelum di lakukan pemeriksaan resmi oleh penyidik, Nurul tidak didampingi pengacara, baik itu pada pemeriksaan pertama, kedua dan ketiga.
Penyidik pun tidak menjelaskan mengenai hak-hak tersangka untuk didampingi pengacara padahal menurut hukum acara pidana, tindak pidana yang diancam hukuman 5 tahun ke atas wajib di dampingi penasehat hukum sebagaimana ancaman pidana yang terdapat pada pasal-pasal yang dikenakan terhadap Nurul.

Absennya penasehat hukum dalam konteks ini menurut penasehat hukum Nurul, berakibat fatal yaitu tidak sahnya Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Dikemukakan juga oleh Nurul bahwa ia menolak seluruh isi BAP kecuali yang dinyatakan benar olehnya, misalnya identitas terdakwa, rekening koran dan dia adalah istri dari Cahya Fitrianta.
Nurul membenarkan tanda tangannya pada Berkas BAP tapi menolak isinya karena selain terpaksa dan tidak ada pilihan lain, juga karena sudah tidak murni seperti apa yang disampaikannya ke penyidik, keterangan tersebut sudah ditambah-tambah sehingga dapat menimbulkan penafsiran lain dari pada apa yang diterangkan.

Penasehat hukum Nurul Azmi Tibyani, Ratho Priyasa, SH menyatakan BAP atas kliennya tidak sah.  
“Pendapat kami sebagai penasehat hukum terdakwa atas fakta hukum yang terungkap di persidangan, BAP tidak sah karena dibuat dengan tidak menaati perintah hukum acara pidana yaitu absennya penasehat hukum pada saat itu maka dakwaan yang disusun berdasarkan BAP tersebut secara mutatis mutandis adalah tidak sah pula. Karena persidangan sudah berjalan sejauh ini maka kami akan perpegang pada keterangan terdakwa yang diberikan dimuka persidangan,” ujarnya kepada voa-islam.com, Rabu (3/1/2013).

Selain itu kata Ratho, keterangan yang diberikan Nurul pada persidangan waktu itu mencerminkan ketidakprofesionalan penyidik dalam penanganan a quo.
Seperti diberitakan sebelumnya, Nurul Azmi Tibyani dan suaminya Cahya Fitrianta ditangkap Densus 88 di sebuah hotel di Bandung karena dituduh terlibat pendanaan pelatihan militer (i’dad) dan jihad ke sejumlah mujahidin.
 
source
voaislam/kamis,03jan2013 

Sikap Biadab Aparat Kepolisian di Poso Lahirkan Kebencian Masyarakat

JAKARTA - Pengamat kontra-terorisme, Harits Abu Ulya menyampaikan bahwa aparat kepolisian terkesan enggan mengakui adanya penganiayaan yang dilakukan anggotanya.
Hal itu disampaikan Harits, terkait pernyataan Kapolres Poso AKBP Eko Santoso yang masih menunggu kelengkapan saksi sebanyak 14 orang korban untuk memproses dugaan penganiayaan 14 anggota Brimob, seperti dimuat koran Republika, Jum’at (4/1/2013).

“Menurut saya aneh dan terkesan enggan mengakui pelanggaran anggotanya yang di lapangan. Apa saksi 9 orang tidak cukup untuk memproses pelanggaran tersebut? Kenapa harus nunggu 5 saksi yang lain?” kata Direktur The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) ini kepada voa-islam.com, Jum’at (4/1/2013).
...Seorang guru SMPN I Kalora-Poso pak Syafrudin yang babak belur setelah keluar dari Polres apa masih tidak cukup untyk dijadikan bukti aduan atas tindak pidana (penganianyaan) yang dilakukan oleh aparat Brimob?
Ia mempertanyakan, apakah saksi korban yang masih dalam kondisi babak belur tidak cukup dijadikan bukti aduan tindak pidana penganiayaan?
“Seorang guru SMPN I Kalora-Poso pak Syafrudin yang babak belur setelah keluar dari Polres apa masih tidak cukup untyk dijadikan bukti aduan atas tindak pidana (penganianyaan) yang dilakukan oleh aparat Brimob?” ujarnya.

Tindakan membabi buta dengan menangkapi orang berbekal bukti awal bahwa mereka mengikuti pengajian, menurut Harits justru akan melahirkan kebencian masyarakat.
“Pola tindakan yang membabi buta; mengerahkan pasukan Brimob plus Densus dalam jumlah yang besar dan kemudian di lapangan main tangkap orang hanya karena sangkaan mereka ikut pengajian (ini yang dianggap bukti permulaan) ini tidak akan melahirkan solusi. Tapi justru akan melahirkan kebencian masyarakat dan dendam baru terhadap aparat. Dan aparat kepolisian harus serius mengedepankan humanisme untuk mereduksi kekerasan, jika tidak justru akan melahirkan siklus kekerasan yang tidak berujung,” jelasnya.
...di lapangan main tangkap orang hanya karena sangkaan mereka ikut pengajian (ini yang dianggap bukti permulaan) ini tidak akan melahirkan solusi. Tapi justru akan melahirkan kebencian masyarakat
Untuk itu ia menegaskan, bahwa lahirnya sikap anarkis masyarakat lantaran guru yang mengajarkannya adalah aparat sendiri.
“Masyarakat bisa anarkis dan lain-lain kerena guru yang mengajarkannya adalah aparat penegak hukum. Sekalipun punya kewenangan untuk penegakan hukum bukan berarti boleh arogan atas nama hukum dan menjungkirbalikkan hukum menurut selera aparat di lapangan,” pungkasnya.
 
source
voaislam/jum'at,04jan2013 

Nyatakan Israel tak Rebut Palestina, Hamka Haq Profesor Tolol!

JAKARTA - Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi) sebagai sayap keagamaan PDIP, melalui Ketua Umumnya  menyatakan bahwa negara Zionis Israel bukan merebut wilayah Palestina tetapi kembali ke negeri lama yang ditinggalkannya.

"Jadi sejujurnya, sangat salah kalau dibilang Israel merebut negeri orang, tapi yang benar ialah Israel kembali ke negeri yang lama ditinggal," tulis Ketua Umum Bamusi, Prof. Hamka Haq di akun twitter miliknya, @hamkahaq, Jumat (28/12/2012).
...Jadi sejujurnya, sangat salah kalau dibilang Israel merebut negeri orang, tapi yang benar ialah Israel kembali ke negeri yang lama ditinggal
Menanggapi pernyataan itu, Direktur Lembaga Kajian Politik & Syariat Islam (LKPSI) ustadz Fauzan Al-Anshari menilai pernyataan Prof. Hamka Haq adalah bodoh.
“ini pernyataan profesor tolol bin goblok karena menafikan sejarah dan fakta berdirinya negara Israel 1948! Sebenarnya males untuk mengomentari pernyataan konyol seperti itu, tapi saya khawatir ada orang-orang awam termakan asbunnya,” ujarnya kepada voa-islam.com, Rabu (2/1/2013).
...ini pernyataan profesor tolol bin goblok karena menafikan sejarah dan fakta berdirinya negara Israel 1948!
Ustadz Fauzan juga mempertanyakan maksud dari pernyataan Hamka, apakah untuk menunjukkan PDIP ingin bermesraan dengan Zionis?
“Yang menarik justru perlu dipertanyakan, untuk maksud apa dia ngomong gitu? Apa dia ingin menunjukkan bahwa PDIP ingin bermesraan dengan Zionis? Sebelumnya Benjamin Ketang masuk ke Gerindra dan pengusaha Yahudi Cina perantauan dukung prabowo sebagai capres! Apa PDIP ingin lebih dapat poin untuk merebut hati Zionis dan melukai perasaan kaum muslimin khususnya palestina?,” ungkap pimpinan Ponpes Ansharullah, Ciamis Jawa Barat.
 
Ia juga menambahkan bahwa pernyataan itu amat memalukan. “Apa tanggapan para petinggi Hamas jika tahu celotehan profesor sontoloyo itu? Sungguh memalukan! Pakai nama Hamka haq (benar) lagi, padahal pendusta!” tegasnya.

source
voaislam/rabu,02jan2013 

Inilah Catatan Buruk Aparat Kepolisian atas Penanganan Kasus Terorisme


JAKARTA  - Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Polisi Timur Pradopo dalam catatan akhir tahun menjelaskan, Polri khususnya Detasemen Khusus 88 Anti Teror Mabes Polri, telah menangani 14 kasus ‘teroris’ di seluruh wilayah Indonesia. Dalam proses penyidikkan tercatat ada 78 orang tersangka, 10 orang diantaranya tewas saat proses penangkapan.

“Tahun 2012, dalam penanganan kasus terorisme di seluruh Indonesia ada 14 kasus. Hal ini meningkat dibanding tahun 2011 dengan 10 kasus. Jumlah tersangka ada 78 orang. Kemudian yang meninggal dunia ada 10 orang. 

Sebelum akhir tahun ini akan terus dilakukan penangkapan atas orang-orang yang masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO/buron) dan akan segera kita sampaikan ke masyarakat,” kata Kapolri, Jenderal Timur Pradopo.

Dari 68 orang tersangka ‘teroris’ yang tengah diproses hukum, menurut Kapolri, 51 orang tengah dalam proses penyidikkan, 17 orang tengah dalam proses pengadilan, dan dua orang diantaranya telah divonis hakim pengadilan tingkat pertama.

Selama penanganan kasus ‘teroris’ ini menurut Kapolri, ada delapan orang anggota polisi yang tewas dan sembilan orang menderita luka-luka di tahun 2012. Sementara itu dalam penanganan kasus kekerasan bersenjata di Papua, anggota polisi yang tewas berjumlah tujuh orang.
“Jadi gugur dalam tugas itu merupakan kehormatan tertinggi. Dari anggota yang tewas selama tahun 2012 itu ada 15 anggota. Delapan orang polisi tewas di Sulawesi Tengah dan Solo Jawa Tengah, kemudian anggota polisi yang tewas ada tujuh orang. Kedepannnya polri akan lebih melakukan perlindungan terhadap anggota di lapangan,” jelas Kapolri.

Lebih lanjut dikatakan Kapolri bahwa kejahatan terorisme bukanlah kejahatan biasa dari kelompok-kelompok yang mempunyai tujuan ideologis yang mereka perjuangkan. Untuk itu, kepolisian bekerjasama dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme untuk menyadarkan mereka yang beraliran keras dan fanatik.
Berangkat dari pernyataan Kapolri terkait progres penanganan terorisme tersebut ada catatan penting yang perlu jadi bahan evaluasi institusi Polri dan pihak yang terlibat.

Pertama,  selama tahun 2012 tindak pidana terorisme versus Polri tidaklah meningkat signifikan. Justru operasi dan tindakan aparat polri (Densus 88 dan BNPT) terhadap orang-orang yang disangka teroris semakin tinggi intensitasnya di tahun 2012. Hingga melahirkan ekses perlawanan di teritorial tertentu (Poso) dari orang-orang atau kelompok yang tertuduh ‘teroris’ ini.

Kedua, dari jumlah 68 orang dalam proses penyidikan itu sebenarnya di luar jumlah orang salah tangkap yang kemudian dibebaskan setelah sebelumnya mengalami tindak kekerasan secara serius. Misalkan kasus 3 orang di Jakarta dan yang terbaru 15 orang di Poso ditangkap selama sepekan diintrograsi dan dilepas setelah tidak berhasil membuktikan keterlibatan mereka, namun cara-cara yang dipakai sarat pelanggaran HAM serius. Jadi, 68 itu angka yang tidak jujur disampaikan, padahal harusnya polisi bisa secara jujur dan berimbang menyampaikan.

Ketiga, 10 orang tewas yang dituduh teroris menurut saya diduga kuat adalah extra judicial killing, ada tindakan over dari aparat di lapangan dan sayang tidak ada evaluasi dari pihak-pihak terkait dengan cara-cara over seperti ini.
Contohnya kasus terbunuhnya Kholid di Poso pasca gagalnya aparat menyisir di gunung Tamanjeka, kemudian mengobrak abrik kota Poso dan salah satu korban meninggal adalah Kholid yang ditembak mati tanpa perlawanan sepulang dari shalat Shubuh lalu dieksekusi di jalan.

Keempat,  sangat jelas pihak aparat menunjukkan perlakukan diskriminatif. 7 orang polisi tewas di Papua dan kasus kekerasan/teror/penembakan oleh gerombolan teroris OPM intensitasnya jauh lebih tinggi dibanding kasus yang di Jawa atau Poso. Tapi Polri hanya melabeli mereka kelompok bersenjata, namun label teroris untuk kelompok yang terkait dgn ideologi Islam.
Padahal, lebih dari 10 kasus dari 14 kasus teroris versi Polri lebih tepat dilabeli aksi teror namun mereka dinyatakan bukan teroris. Anehnya lagi kasus dari kelompok OPM dengan organisasi yang mapan, visi politiknya memisahkan diri dari NKRI, melakukan banyak aksi teror; dari penembakan sampai rencana pengeboman secara serentak di titik-titik strategis, semua itu tidak pernah dilabeli teroris.
Inilah sikap diskriminatif dan politis yang menempatkan kelompok Islam tertentu lalu mengusung ideologi Islam maka akan dicap teroris, hanya dengan alasan adanya aksi teror dari salah satu anggota mereka.
Padahal, aksi teror itu belum tentu dilatarbelakangi ideologi, tapi hanya sekedar faktor dendam dan rasa ketidak adilan.

Kelima, pihak aparat dilapangan perlu evaluasi diri, tidak jarang tindakan over yang melanggar HAM dan menyinggung umat Islam justru menjadi faktor spiral kekerasan menggeliat tak berujung.
Malah mengesankan kekerasan demi kekerasan itu dipelihara dengan cara membudayakan kekerasan, demi kepentingan proyek perut dan politik.

Keenam, demikian juga sikap aparat di lapangan ditambah pengerahan aparat yang tidak proporsional seperti di Poso dan merembet ke beberapa wilayah Sulsel. Hanya beralasan mengejar teroris, tapi justru melahirkan traumatik dan mengganggu rasa tenang dan aman masyarakat (Poso khususnya).

Ketujuh, kita perlu ingat, matinya seorang muslim (baik sipil/militer)di luar hak maka itu lebih berat dibandingkan runtuhnya Ka'bah. Artinya siapapun tidak boleh menumpahkan darah seorang muslim di luar haknya.

Kedelapan, saya masih percaya dialog menjadi media untuk menurunkan aksi-aksi kekerasan dan kekerasan tidak bisa ditumpas dengan kekerasan semata.

Kesembilan, harusnya pemerintah Indonesia menyadari dan mau evaluasi diri dalam isu terorisme agar tidak terjebak lebih dalam kepada kepentingan asing (Amerika cs.) dan menjadikan umat Islam yang mengusung ideologi Islam sebagai musuh. Jika ini terus dipelihara akan melahirkan kondisi kontraproduktif pada masa yang akan datang.
Umat Islam dengan seluruh komponen, sebagai entitas dengan kekuatan politiknya punya hak yang sama di negeri Indonesia. Punya hak yang sama untuk memperbaiki dan menyelesaikan problem multi dimensi di Indonesia dengan konsep-konsep Islam yang diyakini kebenaran dan kelayakannya.
Islam bukan musuh bagi Indonesia, barat dengan ideologi kapitalis imperialismenyalah musuh yang hakiki bagi Indonesia.

Kesepuluh, perang melawan terorisme di dunia barat dan dunia Islam menyadarkan umat Islam secara keseluruhan bahwa itu adalah proyek global, perang terhadap Islam dan umatnya.
 Jadi, proyek deradikalisasi yang ujung-ujungnya makin menyudutkan kelompok-kelompok Islam juga akan sia-sia. Karena kesadaran politik umat Islam cukup tinggi dan tidak bisa lagi dimanipulasi dengan propaganda-propaganda menyesatkan atas nama menjaga nation state, pluralisme (kebhinekaan), moderatisme dan liberalisme.
Semoga para pemangku kebijakan yang zalim mendiskriditkan Islam dan menzalimi umat Islam mau muhasabah diri dan taubat sebelum nyawa di kerongkongan dan hanya tangisan yang sangat pedih melolong kesakitan sementara pintu taubat sudah tertutup. wallahu a'lam.

Catatan Buruk Aparat Kepolisian dalam Penanganan Kasus Terorisme
Oleh: Harits Abu Ulya
Direktur The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) 

source
voaislam/ahad,30dec2012