JAKARTA (Voa-Islam) - Berkacalah pada Mesir. Pertarungan pemikiran antara hak dan batil semakin sengit dan seru. Para ulama di negeri itu tampil sebagai pembela Islam, baik yang formal seperti Al-Azhar, maupun personal. Sebagai lembaga yang cukup disegani, Al-Azhar telah lama berjuang menghadang arus sekularisme.
Al-Azhar, melalui badan ilmiahnya yang cukup bergengsi di dunia, Majma’ Al Buhuts Al-Islamiyah (Pusat Penelitian Islam), pernah mengadili Ali Abdul Razaq dalam sebuah pengadilan yang dihadiri lebih dari 20 ulama, karena bukunya Al-Islam wa Ushul Al-Hukm yang controversial itu.
Buku ini sempat membuat geger dunia Arab karena isinya menafikan adanya sistem politik dan pemerintahan dalam Islam. Pengadilan itulah yang memutuskan dicabutnya seluruh ijazah Al-Azhar yang pernah diberikan kepada Ali Abdul Razaq. Yang bersangkutan juga diberhentikan dari jabatannya sebagai hakim di Mahkamah Syar’iyah di Mesir.
Senasib dengan Ali Abdul Razaq, Nasr Abu Zeid (seorang professor Fakultas Sastra Universitas Kairo) juga dihadapkan sanksi yang sama, buku-bukunya dilarang peredarannya. Nasr Abu Zeid memang dipengaruhi oleh gurunya, Hasan Hanafi, yang mengajar filsafat pada fakultas dan perguruan tinggi yang sama.
Yang menarik, Prof. Abdussobur Shahin dari Fakultas Darul Ulum, Kairo, yang menjadi ketua panitia penilai karya-karya Nasr Abu Zeid, dalam putusannya menyatakan Nasr Abu Zaid tidak layak menjadi guru besar karena karya-karyanya tidak ilmiah. Sejak itu, kasus ini menjadi isu nasional, bahkan internasional. Didukung jaringan sekularisme di kampus dan pemerintahan, Nasr Abu Zeid dikukuhkan juga menjadi guru besar.
Ulama tidak kehabisan akal. Al-Azhar bersama dengan ulama di luar Al-Azhar menempuh jalur hukum. Mereka mengajukan somasi ke pengadilan. Dilengkapi dengan data dan fakta ilmiah dari tulisan-tulisan Abu Zeid atas keluarnya dari Islam, ulama menuntut agar pengadilan memutuskan ia dan istrinya harus dipisah (fasakh). Tuntutan itu dikabulkan dan akhirnya, Nasr Abu Zeid melarikan diri ke Leiden, Belanda. Di sana, ia menjadi guru besar Islamic Studies dan membimbing sarjana-sarjana asal Indonesia. Dikabarkan, pada tahun 2007, Nasr Abu Zeid pun ditolak kehadirannya oleh umat Islam Indonesia untuk menjadi narasumber di sebuah kampus di Riau dan Malang.
Tantangan Dakwah di Indonesia
Di negeri ini, pertarungan serupa dapat ditemukan di pentas pemikiran, walaupun tidak seseru yang ada di Mesir. Tahun 70-an, Nurcholish Madjid telah melemparkan ide sekulernya. Lalu, hal tersebut ditanggapi oleh sejumlah intelektual Muslim, seperti Endang Saifudin Anshari, Prof. H.M Rasyidi dan lain-lain.
Mendiang Munawir Sadzali juga pernah melempar ide controversial seputar hukum waris, namun hal itu dijawab oleh kalangan intelektual, seperti Rifyal Ka’bah dari Partai Bulan Bintang (PBB). Tahun 1992, Nurcholis Madjid kembali melempar bola panas seputar ahlul kitab, makna agama, jilbab dan ide lainnya. Ia mendapat perlawanan keras di Masjid Taman Ismail Marzuki (TIM) oleh cendekiawan muslim, seperti Ridwan Saidi, Ustadz Daud Rasyid, dan sebagainya.
Setelah itu muncul generasi baru dari kalangan JIL (Jaringan Islam Liberal), seperti: Ulil Abshar Abdalla, Guntur Romli, dan Abdul Moqsith Ghazali. Mereka harus berhadap-hadapan dengan Ustadz Adian Husaini, Adnin Armas, Hamid Zarkasyi, Nirwan Safrin dan sebagainya (dari INSIST) untuk mengcounter pemahaman sepilis. Kini, kaum JIL dan konco-konconya mendapatkan perlawanan tangguh dari Front Pembela Islam (FPI) yang didukung oleh kaum muslimin di Indonesia.
Inilah tantangan dakwah, yang tak selalu berjalan mulus. Diperlukan ilmu, siyasah (strategi), keberanian, jaringan, kesabaran, dan istiqamah. Dakwah yang hanya mengajarkan pembersihan jiwa dan acara-acara ritual belaka, nyaris tidak mendapatkan tantangan dan lawan yang tangguh mendukung kebatilan.
Andaikan Rasulullah Saw hanya sekedar mengajarkan pembersihan jiwa kepada kaum Quraisy, atau mengajarkan praktik ibadah formal, niscaya tidak akan ditentang oleh Abu Lahab, Abu Jahal, dan sekutu-sekutunya. Namun, karena dakwah Nabi Saw mengandung makna perombakan tatanan, penghancuran ideology jahiliyah, dan membangun sistem baru, maka kaum kafir Quraisy akhirnya mati-matian menghadang dakwah itu.
Apa pasal? Mereka merasa dakwah Rasullah Saw ini adalah ancaman eksistensi ideology dan sistem kekuasaan mereka yang sudah mapan. Itulah sebabnya, kaum kafir Quraisy melakukan perlawanan sengit terhadap dakwah Nabi Saw. Pada prinsipnya, tiada zaman yang sepi dari musuh-musuh Islam, dulu maupun sekarang. Hal itu dibenarkan dalam Al Qur’an: “Dan begitulah, Kami jadikan di setiap negeri itu penjahat-penjahat kelas beratnya.”
Kini, musuh-musuh Islam itu gemetar, frustasi, dan mundur ke belakang. Tapi, perjuangan belum usai. Pertarungan antara hak dan kebatilan masih terus berlangsung hingga detik ini. Maka, bersabarlah, tetap istiqamah, dan yakinlah bahwa pertolongan Allah sangat dekat.
Kutipan :
Desastian / VOA
Rabu, 22 Feb 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar