Menurut pandangan MUI Jatim, Peristiwa Sampang Jilid II tidak berdiri
sendiri. Hal itu masih terkait dengan kasus sebelumnya di tahun 2011.
Seperti diketahui, Tajul Muluk terbukti melanggar PNPS No. 1 Tahun
1965, terkait penodaan agama. Tajul pun divonis dua tahun kurungan
penjara.
Lantas bagaimana dengan pengikutnya? Sejumlah ulama se-Madura sempat
melakukan pertemuan di Jawa Timur untuk membahas masalah itu. Hasil
pertemuan itu memutuskan, anak-anak pengikut Tajul Muluk yang berjumlah
35 orang akan disekolahkan di pesantren Sunni di Sampang.
Tapi, kemudian oleh Tajul Muluk, anak-anak itu justru akan
disekolahkan ke yayasan milik Syiah di Bangil dan Pekalongan. Pengikut
Syiah itu nurut saja karena diiming-imingi uang dengan nilai tertentu.
Padahal mereka tidak paham apa itu Syiah. Tentu saja, anak-anak yang
disekolah ke pesantren milik Syiah itu, saat kembali ke Sampang, akan
menjadi kader-kader baru yang mengembagkan paham Syiah.
Pemerintah Kabupaten Sampang sendiri pernah berjanji, anak-anak itu
akan diberi beasiswa di Sampang, dengan harapan mereka meninggalkan
akidah Syiah. Sementara itu, ulama se Madura (BASRA) mendesak agar warga
Sampang pengikut Syiah, tak terkecuali anak-anak, dikembalikan ke
pemahaman sebelumnya, yakni paham Sunni. Tapi permintaan itu ditentang
keras oleh Syiah yang didukung oleh KONTRAS dan LBH surabaya. LSM itu
berkilah, akidah tidak boleh diganti, karena melanggar HAM.
Ulama berpandangan, jika Syiah saja boleh mengganti akidah Sunni
menjadi Syiah, kenapa untuk kembali pada akidah semula tidak bisa.
Pemicu Bentrokan
Mengenai kronologi bentrokan di Sampang, MUI Jatim menjelaskan hasil
investigasinya. Saat itu, orang Syiah mengolok-olok orang kampung
dengan melempari batu, mereka memancing emosi, dan membuat garis putih.
Saat mereka memprovokasi agar kelompok Sunni masuk mendekati garis putih
itu (batas wilayah Sunni-Syiah), maka meledaklah ranjau yang ditanam
oleh kelompok Syiah sebelumnya. Akibat ranjau itu, terlihat pecahan
kelereng hingga melukai tangan, bahu, paha, kepala, bahkan ada tangan
yang terputus.
“Orang-orang ketakutan, begitu masuk lagi, kelompok Sunni lagi-lagi dilempar bom molotov. Terjadilah saling serang.”
Media massa memberitakan, orang suni membunuh seorang perempuan
bernama Hamama, padahal nama Hamama itu adalah seorang laki-laki. Yang
pasti, korban semuanya ada pihak Sunni. Informasi itu disampaikan
langsung oleh PMI yang menangani korban yang terluka.
Ada informasi penting, tahun 2011 lalu, semua pengungsi dipersilahkan
pulang dalam keadaan aman, kecuali empat 4 orang, termasuk diantaranya
Tajul Muluk. Ketika mereka hendak dihalau pergi, salah satu dari Syiah
itu berkata, “Kami akan berjihad untuk menegakkan Syiah di Sampang. Hal
inilah yang memicu bentrokan.”
Pemicu lainnya adalah ketika terbetik kabar Tajul Muluk akan
dikurangi hukumannya menjadi 1,5 tahun dari vonis 2 tahun yang dituntut
Jaksa Penuntut Umum (JPU). Kekkhawatiran muncul dari kelompok Syiah,
akan terjadi gejolak di masyarakat, lalu dibuatlah ranjau untuk
mengantispasi adanya protes dari kelompok Sunni.
“Pengikut Syiah di Sampang diajari membuat bom dengan bahan peledak
tertentu. Ini sudah militerisasi, jelas sangat berbahaya. Ulama
se-Madura mendesak agar pemerintah, khususnya pihak kepolisian untuk
memproses secara hukum mereka yang menanam ranjau sehingga menimbulkan
korban dipihak Sunni,“ kata KH. Muhammad Yunus, Sekretaris MUI Jatim.
MUI Jawa Timur bersama Basra, PWNU Jatim dan PW Muhammadiyah Jatim
sudah menkonformasi ke Polda Jatim ihwal temuan fakta di lapangan,
khususnya terkait ranjau yang ditanam. Pihak Polda Jatim pun membenarkan
fakta itu. Yang menjadi pertanyaam, kenapa orang Syiah yang menjadi
pelakunya tidak ditangkap. Justru yang ditangkap malah orang Sunni.
Meski kemudian, 7 orang yang ditangkap itu telah dilepaskan.
Yang mengkhwatirkan lagi, Rois, saudara kandung Tajul Muluk yang
dulunya adalah seorang Syiah (kini kembali menjadi Sunni) telah
dikriminalisasi dengan tuduhan sebagai provokator, bahkan dikaitkan
dengan aksi terorisme.
Gerakan Umat Islam Bersatu (GUIB) Jatim mendesak pemerintah dan
instansi terkait agar menghentikan segala bentuk konflik horizontal yang
membuat terganggunya disharmoni bangsa.
GUIB juga menuntut agar ajaran Tajul muluk yang berpaham ahlul bait,
Syiah itsna Asy’ariyah agar dilarang di seluruh NKRI, khusus Jatim.
Aliran sesat berdasarkan kriteria yang diatur dalam PNPS No. 1/1965 dan
Pergub No. 55 Tahun 2012, maka Syiah harus menghentikan segala kegiatan,
apapun bentuk kegiatannya harus dibekukan selamanya, karena berpotensi
memunculkan konflik horinsontal.
GUIB meminta agar elemen masyarakat untuk tetap tenang, tidak
terprovokasi dengan pihak-pihak yang ingin memanfaatkan peristiwa ini
untuk merusak keamanan dan ketertiban masyarakat
source
voaislam/senin,17sep2012