Irshad
Manji, seorang tokoh penggerak dan praktisi lesbianisme datang lagi ke
Indonesia, di bulan Mei 2012 ini. Berbagai rencana penyambutan
kedatangannya sudah disiapkan di sejumlah kota. Kabarnya, ia akan
meluncurkan buku terbarunya, Allah, Liberty & Love, dalam edisi Indonesia.
Irshad Manji memang lesbian ”nekad”. Logikanya, lesbian tidak bangga dengan kelainan seksual yang dideritanya.
Tapi, aktivis liberal Nong Darol Mahmada pernah menulis artikel di Jurnal Perempuan (edisi khusus Lesbian, 2008) berjudul:Irshad Manji, Muslimah Lesbian yang Gigih Menyerukan Ijtihad. Katanya: ”Manji sangat layak menjadi inspirasi kalangan Islam khususnya perempuan di Indonesia.”
Jika
disimak dari kualitas dan prestasi akademik serta kualitas bukunya,
Irshad Manji tampak dengan sengaja dibesar-besarkan namanya. Majalah Ms. menobatkan dia sebagai “Feminis Abad ke-21”. Maclean’s memberinya penghargaan Honor Roll di tahun 2004 sebagai “Orang Kanada yang Sangat Berpengaruh”.
Dalam bukunya (edisi Indonesia), Beriman Tanpa Rasa Takut: Tantangan Umat Islam Saat Ini, dicantumkan pujian pada sampul depan:”Satu dari Tiga Muslimah Dunia yang Menciptakan Perubahan Positif dalam Islam.” Dalam buku ini, bisa ditemukan nada-nada penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW dan keraguan terhadap al-Quran.
”Sebagai seorang pedagang buta huruf, Muhammad bergantung
pada para pencatat untuk mencatat kata-kata yang didengarnya dari
Allah. Kadang-kadang Nabi sendiri mengalami penderitaan yang luar biasa
untuk menguraikan apa yang ia dengar. Itulah bagaimana ”ayat-ayat
setan” – ayat-ayat yang memuja berhala – dilaporkan pernah diterima
oleh Muhammad dan dicatat sebagai ayat otentik untuk al-Quran. Nabi
kemudian mencoret ayat-ayat tersebut, menyalahkan tipu
daya setan sebagai penyebab kesalahan catat tersebut. Namun, kenyataan
bahwa para filosof muslim selama berabad-abad telah mengisahkan cerita
ini sungguh telah memperlihatkan keraguan yang sudah lama ada terhadap
kesempurnaan al-Quran.” (hal. 96-97).
Cerita
yang diungkap oleh Manji itu memang favorit kaum orientalis untuk
menyerang al-Quran dan Nabi Muhammad saw. Cerita itu populer dikenal
sebagai kisah gharanik. Riwayat cerita ini sangat lemah dan palsu. Haekal, dalam buku biografi Nabi Muhammad saw, menyebut
cerita tersebut tidak punya dasar, dan merupakan bikinan satu kelompok
yang melakukan tipu muslihat terhadap Islam. Karen Armstrong, dalam
bukunya, Muhammad: A Biography of the Prophet juga membahas masalah ini dalam satu bab khusus.
Kisah ”ayat-ayat setan” itu kemudian diangkat juga oleh Salman Rushdie menjadi judul novelnya: The Satanic Verses (Ayat-ayat Setan).
Novel yang terbit pertama tahun 1988 ini memang sangat biadab dalam
menghina Nabi Muhammad saw, para sahabat, dan istri-istri beliau.
Menurut Armstrong, cerita dalam novel Salman Rushdi ini mengulang semua
mitos Barat tentang Nabi Muhammad saw sebagai sosok penipu, ambisius,
yang menggunakan wahyu-wahyunya untuk mendapatkan sebanyak-banyak
perempuan yang dia inginkan. Para sahabat nabi juga digambarkan dalam
novel ini sebagai manusia-manusia tidak berguna dan tidak manusiawi. Tentu saja, judul Novel itu sendiri sudah bertendensi melecehkan al-Quran.
Umat
Islam yang sangat menghormati dan mencintai Nabi Muhammad saw, tentu
saja sangat tersinggung dengan penerbitan Novel Salman Rushdie yang
sangat tidak beradab ini. Rushdie diantaranya menggambarkan
perempuan-perempuan dengan nama-nama istri-istri Nabi Muhammad saw sebagai penghuni rumah pelacuran bernama ”Hijab”. Rushdie juga menyebut Nabi Muhammad – yang dinamainya ”Mahound” -- sebagai “the most pragmatic of prophets.” Penulis
novel yang menghina Nabi Muhammad saw seperti Salman Rushdie inilah
yang dijadikan rujukan oleh Irshad Manji dalam memunculkan isu tentang
“ayat-ayat setan”.
Buku lain yang ditulis Irshad Manji berjudul The Trouble with Islam, mendapatkan sorotan tajam dari berbagai pihak. Editorial Palestine Solidarity Review menulis judul kritiknya: “The Trouble with Irshad Manji”. Diantara
kritiknya adalah kerancuan pemikiran Irshad Manji yang berlebihan
dalam memuji kebebasan Barat, di mana ia menulis, bahwa hanya di Barat,
Muslim mendapatkan kebebasan untuk berpikir, berekspresi, dan
sebagainya (enjoy precious freedoms to think, express, challenge and be challenged without fear of state reprisal).
Palestine Solidarity Review menulis kritiknya, bahwa Irshad Manji tampaknya buta terhadap berbagai jenis intimidasi dan diskriminasi yang diderita Muslim di Negara-negara Barat: ”
Is she blind to the fact that thousands of Muslims in the U.S. are
being intimidated into silence by deportations, detentions, SEVIS
registration, racist attacks on the street, and state repression? That
Muslim youth are fighting racists and the cops in the street in England
and France?”
Di Aceh dicambuk!
Dalam
sejarah manusia, perilaku homo dan lesbi lazimnya dianggap menyimpang.
Tapi, Indonesia memang unik dan ajaib. Jumlah penduduk Muslimnya
sekitar 200 juta orang. Jutaan orang sudah mengantri untuk berhaji! Uniknya,
manusia-manusia yang jelas-jelas berperilaku bejat, pemuja setan,
pegiat homoseksual dan lesbian, bisa dengan leluasa mengumbar angkara
di negeri Muslim terbesar di dunia ini.
Dalam bukunya, yang berjudul Perzinaan, dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia Ditinjau dari Hukum Islam
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), pakar hokum Universitas
Indonesia, Neng Djubaedah, mengutip
Hadits riwayat Abu Dawud yang
menyatakan, bahwa
Pelaku lesbian (musahaqah) harus dikenai hukum rajam.
Imam Syafii berpendapat,
Pelaku lesbian, baik muhshan atau bukan, dijatuhi hukuman rajam, dilempari batu sampai mati.
Sementara itu, dalam
Qanun Hukum Jinayat Aceh, pasal 33 ayat (1) ada ketentuan:
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan liwath aytau musahaqah, diancam dengan ‘uqubat
ta’zir paling banyak 100 (seratus) kali cambuk dan denda paling banyak
1.000 (seribu) gram emas murni atau penjara paling lama 100 (seratus)
bulan).”
Sedangkan orang-orang yang mempropagandakan homoseksual dan lesbianisme,
menurut Qanun Jinayat Aceh tersebut,
Diancam
dengan hukuman cambuk paling banyak 80 kali dan denda paling banyak
1.000 gram emas murni atau penjara paling lama 80 bulan. (ayat 3).
Jadi, sesuai hukum Islam, harusnya pelaku homoseksual atau lesbian dirajam, atau -- jika mengikuti Qanun Jinayat di Aceh -- dia harus dicambuk paling banyak 100 kali. Malangnya, dalam KUHP pasal 292 ditetapkan: “Orang
dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesame kelamin
yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.”
Bisa diduga, Irshad Manji tidak akan pergi ke Aceh untuk mempromosikan
kelesbianannya atas nama kebebasan. Sebab, di Aceh sudah ditetapkan
hukum cambuk bagi promotor atau praktisi homo dan lesbi. Kita
memang sulit memahami, mengapa manusia seperti Irshad Manji
dipuja-puji dan dipromosikan di Indonesia. Padahal, katanya, Indonesia
berdasarkan pada Pancasila, yang memiliki sila kedua: Kemanusiaan yang
adil dan beradab. Beradabkah tindakan yang memuja seorang lesbian?
Apa
pun status hukumnya, membanggakan perilaku homoseks dan lesbian adalah
sebuah kemunkaran yang nyata. Nabi SAW sudah bersabda: “Barangsiaa
di antara kalian yang melihat suatu kemunkaran maka hendaklah ia
mengubah dengan tangannya; jika tidak mampu maka dengan lisannya; dan
jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman.”
(HR Muslim).
Feminis Lesbian
Program
legalisasi – bidang hukum dan opini – praktik homo dan lesbi biasanya
berjalan seiring dengan kampanye kaum feminis atau aktivis Kesetaraan
Gender. Menurut feminis lesbian, baik kaum feminis maupun lesbian
mempunyai tujuan yang sama, yaitu mendobrak dominasi laki-laki terhadap
perempuan. Bunch (1972) menyatakan: “Para lesbian harus
menjadi feminis dan berjuang melawan penindasan terhadap perempuan,
sebagaimana para feminis harus menjadi lesbian jika mereka ingin mengakhiri supremasi laki-laki (Lesbians
must become feminists and fight against woman oppression, just as
feminist must become lesbians if they hope to end male supremacy.)
Sejak era 1970-an, dorongan agar aktivis feminis sekaligus
menjadi lesbian dikabarkan semaki menguat. Menurut mereka, adalah hal
yang aneh, jika ada feminis yang bekerjasama secara politik dengan
sesame perempuan, tetapi kemudian ia pulang ke rumah dan tidur dengan
laki-laki. Ruth Mahaney mengatakan: “I don’t understand you women. You do your political work with women, but you go home to men… Yeah, why do we?” (Tentang feminis lesbian, lihat: Triana Ahdiati, Gerakan Feminis Lesbian, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2007).
Kedatangan
kembali Irshad Manji ke Indonesia tidak bisa dipandang sebagai hal
sepele. Sebab, selama ini, kaum lesbi dan pendukungnya telah melakukan
berbagai gerakan menuju legalisasi praktik homo dan lesbi di Indonesia. Jurnal Perempuan,
edisi Maret 2008, melaporkan, bahwa pada tanggal 6-9 November 2006, 29
pakar HAM terkemuka dari 25 negara berkumpul di Yogyakarta untuk
memperjuangkan hak-hak kaum lesbian ini.
Di situ, mereka menghasilkan sebuah dokumen yang disebut: ”Prinsip-prinsip
Yogyakarta terhadap Pemberlakuan Hukum Internasional atas Hak-hak
Asasi Manusia yang Berkaitan dengan Orientasi Seksual, Identitas Gender
dan hukum internasional sebagai landasan pijak yang lebih tinggi dalam
perjuangan untuk Hak Asasi Manusia yang paling dasar (baca: kebutuhan
seksual) serta kesetaraan gender, yang disebut dengan Yogyakarta Principles.”
Jurnal Perempuan itu juga menulis tentang dokumen tersebut: ”Prinsip-prinsip Yogyakarta ini merupakan tonggak sejarah (milestone)
perlindungan hak-hak bagi lesbian, gay, biseksual dan transgender.
Menggunakan standar-standar hukum internasional yang mengikat dimana
negara-negara harus tunduk padanya.” Salah satu tuntutan
para pegiat KKG dan lesbianisme adalah agar perkawinan sesama jenis juga
mendapatkan legalitas di Indonesia. ”Pasal 23 Kovenan Hak Sipil dan
Politik juga secara terbuka mencantumkan tentang hak membentuk keluarga
dan melakukan perkawinan, tanpa membedakan bahwa pernikahan tersebut
hanya berlaku atas kelompok heteroseksual,” tulis Jurnal yang
mencantumkan semboyan ”untuk pencerahan dan kesetaraan”.
Gadis Arivia, seorang pegiat KKG, dalam artikelnya yang berjudul ”Etika Lesbian” di Jurnal Perempuan
ini menulis: ”Etika lesbian merupakan konsep perjalanan kebebasan yang
datang dari pengalaman merasakan penindasan. Etika lesbian
menghadirkan posibilitas-posibilitas baru. Etika ini hendak melakukan
perubahan moral atau lebih tepat revolusi moral.” Lebih jauh, Gadis Arivia menulis tentang keindahan hubungan pasangan sesama perempuan:
”Cinta
antar perempuan tidak mengikuti kaidah atau norma laki-laki.
Percintaan antar perempuan membebaskan karena tidak ada kategori
”laki-laki” dan kategori ”perempuan”, atau adanya pembagian peran dalam
bercinta. Dengan demikian, tidak ada konsep ”other” (lian) karena
penyatuan tubuh perempuan dengan perempuan merupakan penyatuan yang
kedua-keduanya menjadi subyek dan berperan menuruti kehendak
masing-masing. Dengan melihat kehidupan lesbian, kita menemukan
perempuan sebagai subyek dan memiliki komunitas yang tidak ditekan oleh
kebiasaan-kebiasaan heteroseksual yang memaksa perempuan berlaku
tertentu dan laki-laki berlaku tertentu pula.”
Dengan
memandang perkawinan sejenis sebagai alternatif membentuk rumah tangga
yang bahagia, diantara aktivis feminisme dan Kesetaraan Gender merasa
geram dengan tradisi masyarakat dan negara yang hanya mengakui
perkawinan heteroseksual. Prof. Siti Musdah Mulia, dosen UIN Jakarta,
dalam jurnal yang sama, menuntut agar agama yang hidup di masyarakat
juga memberikan pilihan bentuk perkawinan sejenis: ”Dalam hal
orientasi seksual misalnya, hanya ada satu pilihan, heteroseksual.
Homoseksual, lesbian, biseksual dan orientasi seksual lainnya dinilai
menyimpang dan distigma sebagai dosa. Perkawinan pun hanya dibangun
untuk pasangan lawan jenis, tidak ada koridor bagi pasangan sejenis.
Perkawinan lawan jenis meski penuh diwarnai kekerasan, eksploitasi, dan
kemunafikan lebih dihargai ketimbang perkawinan sejenis walaupun penuh
dilimpahi cinta, kasih sayang dan kebahagiaan.”
*****
Homoseksual
dan lesbian adalah kelainan seksual dan penyakit yang harus diobati.
Pakar kedokteran jiwa, Prof. Dr. Dr. Dadang Hawari, dalam bukunya, Pendekatan Psikoreligi pada Homoseksual,
(Jakarta: Balai Penerbit FK-UI, 2009), mengungkapkan keprihatinannya
dengan semakin merebaknya fenomena homoseksual dan lesbian ini. Menurut
Dadang Hawari, penyakit ini bisa diobati: ”Kasus homoseksual tidak
terjadi dengan sendirinya, melainkan melalui proses perkembangan
psikoseksual seseorang, terutama faktor pendidikan keluarga di rumah dan
pergaulan sosial. Homoseksual dapat dicegah dan diubah orientasi
seksualnya, sehingga seorang yang semula homoseksual dapat hidup wajar
lagi (heteroseksual).”
Jadi,
Irshad Manji yang lesbi, harusnya sadar bahwa dia sakit dan perlu
diobati, bukan malah dipuja-puji di sana-sini dan dijadikan narasumber
untuk diskusi. Prof. Dadang Hawari memberi nasehat pada kaum homo dan
lesbi: ”Bagi mereka yang merasa dirinya homoseksual atau lesbian
dapat berkonsultasi kepada psikiater yang berorientasi religi, agar
dapat dicarikan jalan keluarnya sehingga dapat menjalani hidup ini dan
menikah dengan wajar.”
Pada akhirnya, di zaman yang penuh ”fitnah” ini, baik kita renungkan sebuah sabda Nabi Muhammad SAW: ”Sesungguhnya
manusia jika melihat kemunkaran tapi tidak mengingkarinya, maka
dikhawatirkan Allah akan menimpakan azab-Nya, yang juga akan menimpa
mereka.“ (HR Abu Bawud, at-Tirmidzi, dan Ibn Majah). (Depok, 1 Mei 2012, @husainiadian).
Last Updated on
Tuesday, 01 May 2012 06:00
Tuesday, 01 May 2012 05:57
Written by Adian Husaini
Kutipan :
INSISTS. Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations