Adalah sebuah
kenyataan yang tidak bisa dielakkan bahwa sejak lama masyarakat
Indonesia hidup dengan kultur dan agama yang majemuk, tidak terkecuali
saat Islam datang ke negeri ini. Saat itu, agama Hindu-Budha sudah ada
lebih dahulu. Dalam proses Islamisasi, sebagian ada yang langsung
tertarik untuk memeluk Islam tanpa paksaan, namun sebagian lain masih
memegang kepercayaan lama sehingga persentuhan kaum Muslim dengan
orang-orang non-Muslim tidak bisa dihindarkan.
Dalam hal ini, ada
prinsip-prinsip pokok dipegang secara eksklusif dan tidak bisa
ditawar-tawar, yaitu dalam hal akidah dan ibadah. Sementara dalam
hal-hal lain, yang tidak berpotensi merusak akidah, ibadah, serta ajaran
pokok Islam lainnya, umat Islam bisa menjalin kerja sama dengan siapa
saja yang berbeda agama atau budaya.
Contoh menarik bagaimana
prinsip-prinsip di atas dijalankan secara sangat baik dapat kita lihat
dalam sejarah Walisongo, para pendakwah Islam paling masyhur dan paling
berhasil di Tanah Jawa. Para wali ini hidup di akhir zaman Majapahit.
Sekalipun sudah banyak yang menganut Islam, namun masih banyak keluarga
keraton dan rakyat biasa yang masih belum Muslim. Oleh sebab itu,
muamalah dengan non-Muslim tidak bisa dihindarkan.
Salah satu
kasus yang penting dicatat adalah saat Walisongo membangun masjid
pertama di Demak yang kemudian dikenal sampai hari ini sebagai Masjid
Demak. Para arkeolog menyimpulkan bahwa corak Masjid Demak ini masih
sangat kental diwarnai gaya arsitektur zaman Hindu. Salah satu cirinya
adalah atapnya yang berundak 2,3,5, denahnya persegi empat dengan
serambi di samping. Model seperti ini mirip dengan seni bangun candi
pada masa itu, sekalipun detailnya tetap memperhatikan falsafah Islam
dan fungsi mesjid itu sendiri bagi umat Islam. Hanya corak dan gayanya
yang dipengaruhi Hindu.
Lebih menarik lagi apabila kita telusuri arsitek dan tukang yang
membangun masjid ini. Sebagai inisiator dan konseptor masjidnya adalah
para Wali. Akan tetapi, implementasi arsitektur dan pengerjaannya
dilakukan oleh tukang-tukang dari Majapahit. Dalam Babad Cirebon
dikisahkan bahwa serambinya sendiri berasal dari Kota Majapahit. Kepala
tukang (arsitek) yang membangun Masjid Demak ini pula yang dipercaya
oleh Sunan Gunung Djati untuk merancang dan membangun kota di Cirebon
saat ia mendirikan Kerajaan Cirebon beberapa tahun setelah berdiri
Kerajaan Demak. Dalam Babad Cirebon arsitek itu adalah Raden Sepat,
seorang arsitek asal Majapahit yang masih belum Muslim. (Marwati Djoened
Poeponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia Jil.
III, Balai Pustaka Jakarta 1991, hal. 284-286).
Membangun masjid
adalah perkara sakral. Namun, dalam prosesnya ada yang mutlak harus
tunduk pada aturan Islam seperti arah kiblat dan fungsi mesjid sebagai
tempat ibadah (terutama shalat berjamaah). Sisanya ada perkara yang
tidak ada kaitan dengan masalah akidah dan ibadah seperti gaya,
bahan-bahan bangunan, proses pengerjaan, dan sebagainya. Diduga, Raden
Sepat adalah arsitek terbaik pada zamannya.
Para Wali ingin
mempersembahkan yang terbaik saat membangun mesjid yang akan digunakan
sebagai pusat kegiatan umat Islam. Oleh sebab itu, untuk perkara-perkara
teknis yang tidak terkait mengganggu akidah umat Islam, mereka tidak
segan-segan bekerja sama dengan Raden Sepat, sekalipun bukan Muslim.
Perhargaan
terhadap kebudayaan lokal -- yang ditunjukkan dengan memilih gaya lokal
dalam membangun mesjid -- diduga sebagai upaya dakwah kepada
masyarakat di Jawa saat itu agar mereka bisa memahami bahwa Islam bukan
hendak menghilangkan budaya Jawa, melainkan ingin menyempurnakannya
dengan ajaran Islam yang luhur. Padahal, bila dilihat dari sisi kultural
yang lain, para Wali ini sebagian besar masih berketurunan Arab. Hanya
Sunan Kalijaga yang dikenal asli berdarah Jawa. Akan tetapi, ketika
memilih unsur kebudayaan untuk berdakwah, yang dipilih adalah yang
paling dikenal oleh masyarakatnya, yaitu kebudayaan Jawa, bukan Arab.
Bila
dalam masalah yang tidak terkait langsung dengan akidah para Wali ini
bisa amat toleran, lain halnya bila sudah menyangkut masalah akidah. Ini
dapat kita lihat pada kasus Syekh Siti Jenar (Syekh Lemah Abang) yang
dihukum mati oleh Kerajaan Demak atas rekomendasi dari para wali.
Belakangan ini ada yang mencoba membalikkan fakta bahwa Syekh Siti Jenar
dihukum karena alasan politik bahwa Syekh Siti Jenar tidak mendukung
penguasa Demak. Padahal, dalam berbagai cerita yang dimuat dalam
berbagai babad, proses pelaksanaan hukuman setelah benar-benar secara
faktual Syekh Siti Jenar melakukan penyimpangan agama.
Paling
tidak dalam dua sumber babad, yaitu Babad Tanah Jawi dan Babad Walisana
eksekusi mati yang dilakukan terhadap Syekh Siti Jenar setelah terbukti
secara meyakinkan bahwa Syekh Siti Jenar melakukan hal-hal berikut. :
- Pertama, Syekh siti Jenar telah meninggalkan Al-Quran, hadis, ijma’, dan qiyâ.
- Kedua, Syekh Siti Jenar telah terkategori zindiq dan mulhid (panteis dan ateis) karena mengaku bahwa ora ana Pangeran anging Angsun (tidak ada Tuhan kecuali Aku).
- Ketiga, Syekh Siti Jenar sering menakwilkan Al-Quran tanpa kaidah yang benar sehingga banyak yang takwilnya yang ngawur.
- Keempat, ajaran-ajaran Syekh Siti Jenar sangat membahayakan karena sangat pesimistis melihat dunia juga mendukung tindakan anarki dan chaos, dan
- Kelima, perilaku-perilaku muridnya pun sangat meresahkan masyarakat.
Para Wali tidak menjatuhkan
keputusan sepihak. Sebelumnya telah dilakukan berkali-kali diskusi.
Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus yang ditugaskan untuk mengajak kembali
Syekh Siti jenar ke jalan yang benar. Namun, hasilnya tetap nihil.
Akhirnya suatu musyawarah Walisongo diadakan di bawah pimpinan Sunan
Giri sebagai tetua Walisongo.
Dalam musyawarah yang mirip dengan
persidangan itu, Syekh Siti Jenar tetap pada pendiriannya hingga ia
akhirnya diputuskan telah menyimpang dan layak untuk dijatuhi hukuman
karena bila dibiarkan malah akan merusak akidah umat Islam. Dalam hal
ini berlaku prinsip kaidah fiqih sad adz-dzarî’ah (mencegah bahaya yang
lebih besar).
Setelah Walisongo mendirikan Kerajaan (Islam)
Demak, Syekh Siti Jenar dipanggil kembali untuk diperiksa ulang mengenai
pendapat dan praktik keagamaannya. Karena tidak ada perubahan, maka
diputuskan oleh kerajaan bahwa Syekh Siti Jenar harus dijatuhi hukuman
mati bersama dengan tujuh orang muridnya. (Widji Saksono, Mengislamkan
Tanah Jawa, 1995:46-66).
Demikianlah contoh “toleransi” Walisongo! Wallâhu A’lam bil-shawab (***)
Wednesday, 18 April 2012 17:10
INSISTS. Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar