SOLO –
Diskusi dan perbincangan seputar aksi maupun definisi terorisme
sepertinya tidak akan pernah habis dan tidak pernah ada ujungnya. Hal
ini bisa dimaklumi bersama karena definisi terorisme sendiri yang
diterapkan dan ditetapkan oleh para penegak hukum dalam memberantas aksi
tindak pidana terorisme masih sangat kabur dan terkesan tebang milih
serta sarat muatan politis.
Untuk
mencari solusi alternatif dan penanganan yang tepat dan jitu dalam
mengurai berbagai masalah tentang kasus terorisme yang terjadi di
Indonesia, Forum Silaturahmi Mahasiswa Islam Fakultas Hukum Universitas
Negeri Solo (FOSMI FH UNS) mengadakan Seminar Hukum Islam bertajuk
“Teror Is (NOT) Me” yang bertempat di Aula Gedung 3 FH UNS Solo.
Menurut
panitia pelaksana, tema tersebut dipilih karena sampai saat ini,
pemberantasan tindak pidana terorisme yang ditangani oleh aparat penegak
hukum seperti BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) dan Densus
88 hanya berkutat pada kegiatan-kegiatan yang berbau Islam dan para
pelakunya semuanya yang dituduh sebagai teroris notabenya adalam seorang
muslim.
“Kan
sudah menjadi rahasia umum lagi bahwa sekarang ini masyarakat
beranggapan bahwa setiap kali ada kasus terorisme mesti dikaitkan dengan
Islam, dan setiap teroris pasti muslim. Nah ini kan sebuah anggapan
yang tidak kita inginkan bersama,” kata salah satu panitia kepada voa-Islam.com seusai seminar berlangsung.
Maka
dari itu, seminar ini diadakan sebagai upaya untuk meniadakan
pikiran-pikiran bahwa teroris itu adalah seorang muslim dan terorisme
adalah kegiatan yang terkait dengan Islam. Sebab, aksi-aksi teror yang
terjadi belakangan ini jika dilihat dalam konteks yang lebih luas lagi,
baik dari segi sosial masyarakat maupun dari segi hukum, bisa dilakukan
oleh berbagai kalangan.
Aksi
teror dan penyerangan kepada polisi misalnya, tidak hanya dilakukan oleh
kalangan aktivis Islam, namun kalangan dan kelompok-kelompok kristen
semisal OPM maupun RMS juga melakukan hal yang sama sebagaimana yang
terjadi di Maluku dan Papua beberapa hari yang lalu.
Kalangan
pejabat yang melakukan korupsi, secara tidak langung juga telah
melakukan aksi teror dan meresahkan masyarakat. Aksi tawuran pelajar,
juga telah meresahkan warga masyarakat. Buktinya, masyarakat yang ebrada
disekitar lokasi terjadinya tawuran biasanya marah dan ikut membubarkan
aksi tawuran pelajar tersebut.
“Harapannya
seperti itu, bahwa teroris itu bukan kita (muslim-red). Sebab, banyak
juga kalangan dan kelompok lain diluar Islam maupun aktivis Islam yang
melakukan tindakan teror dan meresahkan masyarakat. Jadi kalau
pemerintah konsisten dengan undang-undang terorisme, mereka kan
ditindak,” tambahnya.
Seminar
yang diselenggarakan pada Sabtu (1/12/2012) pagi menjelang siang itu
menghadirkan 4 narasumber antara lain, Irjen Pol. (Purn) Ansyad Mbai
Kepala BNPT, Budhi Kuswanto, SH. anggota Tim Pengacara Muslim (TPM) Jawa
Tengah, Noor Huda Ismail, S.Kom. Direktur Yayasan Prasasti Perdamaian
dan Burhanuddin Harahap, SH. MH. M.Si Ph.D Ahli Hukum Islam FH UNS Solo.
Jalannya Seminar Diwarnai Kejadian Tidak “Sportif” dari BNPT
Meski
secara global acara seminar berjalan lancar, namun ada beberapa kejadian
yang seharusnya tidak patut terjadi dalam forum diskusi yang diklaim
sebagai tempat para intelektual dan akademisi untuk mengadakan tukar
fikiran dan tempat mengemukakan perbedaan pendapat serta tempat mencari
solusi dari sebuah masalah.
Beberapa kejadian tidak “Sportif” itu antara lain,
pertama, ketika
pemateri kedua yakni Budhi Kuswanto sedang memaparkan materinya,
pengawal Ansyad Mbai membisiki panitia. Ternyata bisikan kepada salah
seorang panitia tersebut diteruskan kepada moderator. Setelah sampai
kepada moderator, para peserta kemudian baru tau kalau Budhi diminta
untuk segera mengakhiri pemaparannya.
Padahal
Budhi baru menyampaikan materinya sekitar 20 menit, sedangkan waktu yang
diberikan kepda masing-masing pemateri yakni 25 menit sampai 30 menit.
Hal ini tidak aneh karena dalam pemaparannya, Budhi memang
mengetengahkan beberapa fakta terkait ketidak konsistenan Densus 88
maupun BNPT dalam menangani aksi dan kasus terorisme khususnya dalam
segi hukum.
Banyak
undang-undang tindak pidana terorisme menurut Budhi yang tidak
diindahkan oleh Densus 88 maupun BNPT. Diapun memberikan contoh
bagaimana Jaksa Penuntut Umum (JPU) ada yang sama sekali tidak memahami
kasus terorisme.
“Pernah
dalam sebuah persidangan, Jaksa itu salah menyebutkan sebuah istilah,
ini kan fatal. Dalam Islam ada istilah Gamis (baju gamis-re). Tapi Jaksa
waktu itu malah mengucapkan kata Gamis dengan Games. Ini kan
membuktikan kalau aparat yang menyidangkan kasus terorisme tidak
menguasai bahan dakwaan yang ia dakwakan kepada tersangka,” ucapnya
dengan nada sedikit menyindir Ansyad Mbai.
Kedua,
waktu sesi tanya jawab, listrik diruangan yang ber-AC tersebut
tiba-tiba padam hampir 15 menit. Hal ini terjadi setelah 2 penanya
menyampaikan pertanyaannya yang sangat memojokkan Densus 88 dan BNPT dan
pada saat penanya ke-3 sedang menggebu-gebu “menghabisi” pemaparan
Ansyad Mbai yang dianggap tidak akan menyelesaikan permasalahan
terorisme.
Ketiga,
yakni ketika Budhi hendak memberikan kata penutupnya, tiba-tiba Ansyad
Mbai menyela pemaparan Budhi. Padahal setiap pemateri sudah diberi waktu
sendiri-sendiri oleh moderator dalam menyampaikan closing statemen.
Keempat,
dalam kesepakatan awal bahwa termin tanya jawab akan dibagi menjadi 2
bagian. Bagian pertama 3 penanya, dan bagian 3 penanya. Tapi, melihat
para peserta yang harusnya dalam skenario BNPT diharapkan dan harusnya
mendukung aksi-aksi brutal Densus 88 dalam memberantas tindak pidana
terorisme malah berbalik 180 derajat. Akhirnya moderator mengakhiri
seminar hanya dengan 1 termin tanya jawab.
Kelima,
kejadian tidak sportif yang dilakukan Ansyad Mbai pada seminar tersebut
adalah tidak dijawabnya pertanyaan para penanya yang mungkin menurut
Ansyad Mbai bisa menguliti dan membuka topeng busuk Densus 88 dan BNPT.
“Ya,
terus terang saya kecewa lah. Katanya forum diskusi dan tukar fikiran,
tapi pertanyaan kita tidak dijawab semua dan terkesan pak Ansyad tadi
ada yang ditutup-tutupi. Dan yang paling penting tadi, apa yang dia
katakan tadi tidak konsisten sekali dengan apa yang dia ucapkan dan
realita yang ada,” ujar Ika, salah satu aktivis Islam UNS yang merupakan
penanya kedua dalam tanya jawab tersebut.
source
voaislam/rabu,05dec2012