Eksistensi pasukan AS di Jazirah Arab (istilah mereka, kawasan Timur
Tengah) saat ini bukan-lah sebuah reaksi atas sebuah permasalahan
tertentu, misalnya invasi Irak ke Kuwait 1991 M, tragedi WTC 11
September 2001 M, atau menjatuhkan rezim diktator Saddam Husain 2003 M
semata.
Eksistensi pasukan AS di Jazirah Arab
adalah sebuah strategi matang yang tidak bisa digugat lagi, sudah
dirancang sejak beberapa dekade sebelumnya. Untuk mempertahankan
eksistensinya di Jazirah Arab, AS siap memerangi seluruh negara kawasan
tersebut. Bahkan, AS siap memerangi negara-negara Eropa sekutunya, jika
mereka menghalangi kepentingan AS di kawasan ini.
Jazirah
Arab adalah kunci untuk menguasai dunia. Siapa mengendalikan kawasan
ini, ia akan menjadi pemimpin dunia. Negara-negara salib telah
mengetahui urgensi jantung dunia Islam ini sejak sebelum ditemukannya
minyak bumi di kawasan ini.
Sejak lama, kawasan ini telah menjadi jantung rute transportasi dinamis dunia, dan titik pertemuan dari berbagai benua. Sejak
empat abad terdahulu, mereka telah berusaha menguasainya, mengingat
urgensinya dari aspek keagamaan dan geografis. Portugal, kemudian
Perancis dan terakhir Inggris telah berusaha menaklukkannya. Inggrislah
yang beruntung dan berhasil menjadi penguasa penuh kawasan ini. Dengan
ditemukannya minyak bumi di kawasan ini, Inggris menjadi negara penjajah
terbesar dan terkuat di dunia pada masa itu.
Pasca perang dunia kedua, 1366 H /
1947 M, Inggris mulai melemah, merugi dan satu-persatu wilayah
jajahannya memerdekakan diri. Meski demikian, Inggris tetap
mempertahankan eksistensinya di kawasan ini. Bersamaan dengan melemahnya
Inggris, AS sebagai sekutu Inggris mulai muncul sebagai pesaing yang
bernafsu memainkan perannya di kawasan ini. AS benar-benar menggantikan
posisi Inggris di Jazirah Arab, setelah Inggris pada tahun 1969 M (1389
H) mengumumkan penarikan mundur militernya sebagai akibat dari perang
Arab-Israel tahun 1967 M (1387 H) dan penutupan terusan Suez pasca
perang tersebut.
Mantan presiden AS, Richard M. Nixon dalam memoarnya menulis: "Untuk
pertama kalinya, eksistensi militer AS secara besar-besaran di kawasan
ini terjadi pada pertengahan 1367 H / 1948 M, melalui Truman Doctrine[2], yang memberi mandat pembentukan divisi pasukan khusus keenam, yang semula mengendalikan armada AL AS Keenam.
Segera setelah keluarnya mandat itu,
pesawat-pesawat tempur AS mulai mempergunakan pangkalan-pangkalan Libya,
Turki dan Arab Saudi melalui perjanjian peminjaman dan penyewaan.
Presiden Rosevelt telah memasukkan kerajaan Arab Saudi ke dalam
undang-undang ini, sebagai bukti itikad baik AS kepada kerajaan Arab
Saudi.
Urgensi Kawasan Jazirah Arab Bagi AS Pada Masa Tersebut
Urgensi kawasan Jazirah Arab bagi AS pada masa tersebut, bisa dirunut
dari statemen para pengambil kebijakan di kalangan pemerintahan AS saat
itu. James Rosetal, Mentri Pertahanan
AS pada tahun 1945 M (1364 H) mengatakan, "Selama 25 tahun mendatang, AS
akan menghadapi penurunan drastis cadangan minyak bumi. Karena minyak
bumi dan hasil olahannya merupakan inti kemampuan menerjuni peperangan
modern, saya melihat persoalan ini merupakan salah satu problem terbesar
pemerintah AS. Bagi saya, tidak penting perusahaan AS mana yang akan
menanam investasi bagi proyek eksplorasi minyak Arab. Namun, saya sangat
yakin bahwa perusahaan tersebut haruslah perusahaan AS."
Pada saat AS menerjuni perang Dunia
Kedua 1941 M / 1360 H di pihak pasukan sekutu, urgensi kawasan Jazirah
Arab semakin besar bagi AS. Saat itu, Mentri Luar Negeri AS, Hal,
menyatakan, "Kebutuhan Departemen Maritim dan Departemen Perang AS
terhadap minyak bumi Arab Saudi semakin meningkat. Belum lagi ditambah
dengan kebutuhan kepentingan udara AS terhadap bumi Saudi."
Dewan perwira AS pada tahun 1943 M /
1362 H memandang, pasokan minyak bumi AS untuk pasukan AS di medan
pertempuran tidak mencukupi. Krisis ini menuntut pengadaan sumber-sumber
baru, dengan syarat letaknya dekat dengan posisi armada AL AS. Untuk
tujuan ini, dibangunlah kilang pengolahan minyak di Ras Tanurah (Arab
Saudi) tahun 1945 M / 1364 H.
Inilah faktor yang mendorong
pembangunan pangkalan militer pertama AS di Dhahran, Arab Saudi pada
tahun 1943 M / 1362 H. Pembangunannya baru selesai pada tahun 1946 M
/1365 H. Kerajaan Saudi memperbaharui perjanjian kesepakatan pembangunan
pangkalan ini untuk masa lima tahun selanjutnya, tahun 1951 M /1370 H.
Departemen Luar Negeri AS pada tahun
1945 M /1364 H menyatakan, "Kerajaan Arab Saudi adalah sumber yang
memadai bagi kekuatan strategis dan merupakan salah satu hadiah material
terbesar dalam sejarah dunia."
Pujian Deplu AS ini bukan karena
Kerajaan Arab Saudi merupakan negara berperadaban maju, atau kuat
militernya, melainkan karena letak geografisnya di perairan Teluk dan
Laut Merah. Juga, ini yang terpenting, memiliki cadangan minyak bumi
terbesar di dunia. Diperkirakan, kandungan minyak bumi di Arab Saudi
sebesar 165 milyar barel.
Urgensi inilah yang mendorong
presiden AS, Franklin D. Rosevelt pada tahun 1943 M / 1362 H
melangsungkan kesepakatan peminjaman pangkalan militer tersebut secara
langsung dengan Kerajaan Saudi, tanpa melalui perantaraan Inggris. Saat
itu, Rosevelt mengumumkan, "Penjagaan terhadap pemerintahan Saudi menjadi tanggung jawab AS."
Pengakuan ini tentu saja didorong
oleh kebutuhan AS terhadap Kerajaan Saudi, dan negara-negara di kawasan
ini yang mempunyai kekayaan minyak luar biasa besar. AS sendiri mengakui
kemerdekaan Arab Saudi pada bulan Muharam 1350 H / 1931 M. Arab Saudi
bukan satu-satunya negara di kawasan ini. Namun, jelas sekali bahwa Arab
Saudi adalah negara yang mempunyai kandungan minyak bumi terbesar di
kawasan ini, bahkan di dunia. Negara-negara Teluk memproduksi 62 %
produksi minyak bumi dunia, dan di kawasan Teluk terdapat minimal 370
milyar barel cadangan minyak bumi dunia, atau setara dengan 2/3 cadangan
minyak bumi dunia.
Hal ini pula yang mendorong mantan presiden AS, Richard Nixon untuk menulis dalam memoarnya, "Sekarang, siapa yang menguasai apa yang ada di Teluk Arab dan Timur Tengah, berarti telah memegang kunci untuk menguasai dunia."
Mantan presiden Jimmy Carter menulis,
"Seandainya Tuhan menjauhkan sedikit saja minyak bumi Arab ke arah
Barat, tentulah persoalan kita lebih mudah." Maksudnya, ke arah Israel,
sekutu utama AS di kawasan Teluk.
Dari pernyataan para presiden AS ini,
jelaslah bahwa persoalan hidup dan mati AS serta bangsa-bangsa Barat
amat tergantung kepada kekayaan alam dan keamanan kawasan ini. Problem
mereka tidak akan selesai, hanya dengan tergulingnya rezim Saddam
Husain. Dan ini membuktikan, tujuan invasi militer pasokan koalisi
pimpinan AS ke Irak tahun 2003 M yang lalu, bukan semata untuk
menggulingkan rezim Saddam Husain.
Urgensi Kawasan Jazirah Arab bagi Eropa
Kawasan Jazirah Arab bukan hanya
menjadi kunci hidup matinya AS. Namun juga menjadi kunci penting bagi
sekutu-sekutu AS, negara-negara NATO dan Eropa pada umumnya. Pada
awal tahun 60-an, presiden Perancis Jendral Charles de Gaulle
mengajukan proposal pembentukan "dewan administrasi" untuk menyelesaikan
konflik pemerintahan di luar Eropa.
Namun presiden AS kala itu, Dwight
Eisenhower menolak mentah-mentah usulan tersebut. Eishenhower
berpendapat, yang dibutuhkan untuk menghadapi kondisi baru di kawasan
minyak (Jazirah Arab) bukanlah lobi-lobi politik yang memakan waktu
lama, melainkan langkah-langkah antisipasi untuk mengambil keputusan
secara cepat.
Meski mendapat penentangan dari
kepala negara anggota NATO terkuat, desakan anggota-anggota NATO untuk
membentuk "dewan administrasi" ini semakin besar seiring semakin
pentingnya peran minyak bumi bagi kehidupan ekonomi Eropa.
Desakan ini mencapai puncaknya pasca
perang Arab-Israel Oktober 1973 M. Dalam pertemuan mentri-mentri luar
negeri negara-negara anggota NATO di Kanada di awal tahun 1974 M / 1394 H
dicapai kesepakatan, bahwa perhatian NATO akan diperluas mencakup
kawasan di luar negara-negara angota NATO.
Pasca invasi Soviet ke Afghanistan
tahun 1979 M /1399 H, NATO menegaskan bahwa ancaman utama terhadap Barat
bukan lagi berada di Eropa, melainkan di kawasan-kawasan penting minyak
bumi dan jalur transportasinya. Setelah
adanya penegasan ini, terjadi diskusi seru di kalangan anggota NATO
perihal pembentukan pasukan invasi kilat. Untuk mengamankan kepentingan
minyak negara-negara NATO saat terjadi krisis di Jazirah Arab,
negara-negara NATO harus membentuk pasukan gabungan yang bisa digerakkan
untuk melakukan invasi militer secara kilat.
Tiada pilihan lain bagi NATO, selain
komando pasukan gabungan NATO di Eropa, yang merupakan komando bersama
di bawah kendali tujuh negara besar anggota NATO; Belgia, Kanada, Jerman
Barat, Italia, Luxemburng, Inggris dan AS. Kekuatan pasukan ini sebesar
satu divisi. Pasukan ini telah dibentuk sejak 1961 M / 1380 H untuk
memperkuat pasukan NATO di sebelah utara dan selatan kawasan anggota
NATO.
Pelopor seruan pengefektifan pasukan
ini adalah Jendral Belgia, Robert Clour. Ia mengusulkan, pasukan ini
direorganisasi, diperkuat dan diberi wewenang dengan skala
internasional, termasuk menaungi wewenang di kawasan penghasil minyak
bumi.
Perang Arab-Israel bulan Oktober 1973
M meninggalkan krisis minyak yang mencekik industri dan perekonomian AS
serta Eropa. Dalam perang tersebut, AS dan Eropa begitu jelas berada di
belakang Israel. Sebagai balasan atas kejahatan AS tersebut,
negara-negara Arab memboikot penjualan minyak bumi kepada AS dan Eropa.
Dihadapkan kepada krisis minyak yang bisa meruntuhkan ekonominya, negara-negara NATO hanya mempunyai dua opsi :
(a)- Usulan untuk memperluas wilayah kerja NATO, sehingga meliputi seluruh kawasan Arab.
Usulan ini akhirnya ditolak, karena
beberapa pertimbangan. Pertimbangan yang terpenting adalah alasan bahwa
NATO adalah sebuah pakta pertahanan, sama sekali tidak mengizinkan
operasi ofensif di luar kawasan NATO, yaitu Eropa dan Amerika Utara.
Mungkin saat ini (2005 M), kesepakatan ini telah berubah, mengingat
pertemuan Puncak NATO pasca kemenangan atas Serbia di awal tahun 1999 M /
1420 H, telah merubah kesepakatan. Mereka menyetujui campur tangan NATO
di kawasan manapun, tanpa perlu meminta persetujuan Dewan Keamanan PBB.
Hanya saja, campur tangan NATO di kawasan penghasil minyak mendapat
penentangan serius dari AS, si penguasa kawasan minyak Arab.
(b)- Membentuk pasukan invasi koalisi Barat untuk mendapat legitimasi internasional.
Untuk melewati hambatan-hambatan
politis, pasukan ini tidak berada dibawah nama NATO, dan untuk itu bisa
diikut sertakan negara-negara lain seperti Australia, Jepang, Korea
Selatan, Filiphina dan negara-negara lain.
Usulan ini mendapat sambutan hangat.
NATO pun segera bekerja melaksanakan program ini demi mengamankan
kepentingan Barat di kawasan Jazirah. Atau dengan kata lain, Penjajahan
Baru Terhadap Kawasan Jazirah Arab. Dan
inilah yang terjadi. Dengan mengatas namakan perang melawan terorisme,
menegakkan demokrasi dan kebebasan, pasukan koalisi
salibis-zionis-paganis internasional pimpinan AS ini melancarkan invasi
militer ke Iraq, tahun 2003 M lalu.
AS Menjegal Eropa, Mengumumkan Penjajahan Teluk Dengan Mengumumkan Prinsip AS
Saat NATO sedang menyusun pasukan
invasi koalisi, AS membuat langkah baru untuk menghalangi
sekutu-sekutunya dari kalangan negara NATO untuk ikut menikmati
kepentingan minyak di kawasan Jazirah.
Joseph Sisco, asisten mentri luar
negeri AS pada tahun 1974 M / 1393 H, mengumumkan penjegalan langkah
NATO dengan mengatakan, "Kawasan Teluk adalah kawasan milik AS. Di
kawasan itu terdapat kepentingan politik, ekonomi dan strategis yang
sangat amat penting."
Pada saat yang sama, wakil mentri pertahanan AS, James Nouis, menegaskan kepentingan dan tujuan AS. Ia mengatakan: "Sesungguhnya AS perlu:
1- Mengurung kekuatan militer Soviet untuk tidak keluar dari batas-batas teritorialnya saat ini.
2- Meneruskan langkah penguasaan minyak bumi Teluk.
3- Meneruskan kebebasan kapal dan pesawat AS ke dan dari kawasan Teluk."
Joseph Sisco menegaskan, pengamanan kepentingan minyak bumi AS di kawasan Teluk diraih dengan tiga unsur:
1- Meneruskan kemampuan impor minyak bumi.
2- Dengan harga miring alias murah.
3- Dengan jumlah cukup, untuk
memenuhi kebutuhan AS yang terus bertambah, dan kebutuhan negara-negara
Eropa dan Asia yang menjadi sekutu AS.
Program pengamanan minyak bumi AS ini
merupakan tugas terbesar militer AS di kawasan Teluk. AS sedang
mencurahkan usaha besar untuk hal ini, dan AS siap menghadapi dan
melakukan tindakan apapun demi mengamankan kepentingan minyak bumi di
kawasan teluk.
AS Siap Memerangi Negara-Negara Pengekspor Minyak, Jika Mereka Tidak Tunduk Kepada Aturan AS
Jika negara-negara Arab hanya mengekspor minyak buminya kepada AS
semata, apakah AS akan ridha kepada mereka ? Tentu tidak. Masih ada
syarat lain: dengan harga murah dan jumlah yang cukup. Jika
negara-negara Arab menurunkan produksi minyak buminya, otomatis harga
akan naik dan itu akan memukul perekonomian AS. Jika hal ini terjadi, AS
siap melakukan tindakan apapun, termasuk invasi militer.
Jelaslah bahwa syarat-syarat pengamanan minyak bumi ala AS ini tak
lain adalah PENJAJAHAN dari kekuatan asing terhadap kedaulatan
negara-negara penghasil minyak bumi di kawasan Jazirah Arab.
Henry Kissinger, mentri luar negeri
AS saat itu, di awal tahun 1975 M / 1395 H mengatakan, "Sekalipun
langkah militer AS apapun di Teluk membawa dampak yang berbahaya, namun
saya tidak bisa menjamin tidak akan terjadi kondisi-kondisi yang
menyebabkan kami mempergunakan kekuatan militer kami. Sesungguhnya
penggunaan kekuatan militer saat terjadi perselisihan tentang harga
minyak adalah satu persoalan, dan usaha mencekik dunia industri adalah
persoalan lain pula."
Penegasan Kissinger ini menunjukkan
AS akan mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, termasuk invasi
militer, untuk menghajar negara-negara penghasil minyak jika mereka
tidak menuruti harga dan jumlah minyak bumi yang didiktekan oleh AS. Ini
sekali lagi menegaskan bahwa tujuan invasi AS ke Irak (dan kawasan
Jazirah) bukanlah untuk menggulingkan rezim Saddam semata. Saddam
hanyalah batu loncatan kecil, setelah itu akan disusul dengan
tindakan-tindakan penjajahan berikutnya.
Penegasan mentri luar negeri AS ini
bukan satu-satunya penegasan kesiapan AS untuk melakukan invasi militer.
Penegasan yang lebih jelas, juga dikeluarkan oleh departemen pertahanan
AS (Pentagon) dan Dewan Keamanan Nasional AS pada tahun 1973 M /1393 H.
Kedua lembaga penting AS ini membuat sebuah program bertajuk "Dhahran,
Opsi Keempat".
Inti program ini adalah persiapan AS
untuk melancarkan invasi militer ke sumur-sumur eksplorasi minyak bumi
Arab Saudi manakala timbul krisis minyak kembali. Program ini secara
khusus membidik sumur minyak Al-Ghawar, sumur minyak bumi Arab Saudi
yang dipandang sebagai sumur minyak terbesar di dunia. Untuk
menjalankan program ini, telah disiapkan sembilan batalion infantri
yang akan diangkut lewat udara, dari North Carolina, AS menuju Teluk
melalui pangkalan udara Hesrim, Israel.
Kini, pasukan ini tidak perlu
berangkat dari North Carolina. Ia cukup berangkat dari Irak, Kuwait atau
Qatar untuk melakukan penguasaan atas ladang-ladang minyak di Dhahran,
setelah sebelumnya warga negara AS di daerah itu dipindahkan ke kawasan
lain. Setelah itu, pasukan akan
bergerak untuk menguasai ladang minyak Al-Ghawar dan As-Safaniyah di
tengah padang pasir, setelah didahului oleh penguasaan kapal-kapal
minyak di pelabuhan dan depot-depot minyak di Ras Tanurah.
Kekuatan pasukan ini akan ditambah dengan satu batalion infantri untuk menguasai kawasan tersebut. Pentagon
dan Dewan Keamanan Nasional AS menyebutkan, langkah ini jauh lebih
mudah dari sebuah operasi kecil sekalipun di Vietnam atau Kuba.
Penyebabnya, kawasan ini bukan kawasan padat penduduk, berada di tengah
gurun pasir yang kosong dari pepohonan atau perbukitan, sehingga
memudahkan pergerakan pasukan tanpa hambatan sama sekali.
Dalam pembukaan program tersebut
ditulis alasan pembenaran invasi ini, "Tiada pilihan lain bagi kita,
keruntuhan ekonomi atau menginvasi Saudi di saat muncul tanda-tanda
pencekikan ekonomi."
Alasan ini menjawab tanda tanya besar
seputar alasan AS melakukan invasi ke Irak. Padahal invasi tersebut
tidak mempunyai alasan kuat. Bukankah
Dewan Atom PBB telah melaporkan tidak ditemukan senjata kimia dan
biologis pemusnah massa di Irak ? Invasi pasukan koalisi AS ini juga
ditentang oleh PBB dan dunia internasional.
Namun apa daya, AS-lah yang mendikte PBB.Setelah
rezim Saddam terguling, dan AS berhasil mendirikan pemerintahan baru
pro AS, loyalitas Irak akan diuji. Jika ia tidak mampu memenuhi
kepentingan minyak AS (jumlah cukup dengan harga murah), AS akan
menengok negara tetangga yang bisa diinvasi; Arab Saudi, Qatar atau
Kuwait.
Pilihan invasi ke Arab Saudi ini
bukan pilihan final yang tidak bisa diformat ulang. Dalam rapat Kongres
setahun peringatan 11 September, program ini diajukan ulang dengan
format sedikit dirubah. Arab Saudi akan diinvasi, dibagi menjadi tiga
bagian, dengan bagian Timur sebagai negara minyak demokrasi yang
indipenden, dibawah wewenang dan pengamanan AS langsung. Beberapa format
lain juga diajukan, namun tidak keluar dari program inti invasi ke
ladang-ladang minyak Saudi.
Inilah salah satu alasan ekonomi
keberadaan militer AS di kawasan Teluk. Alasan-alasan ekonomi lainnya
tentu masih banyak, namun kita cukupkan dengan satu alasan ini.
Alasan Politis Terbesar Bagi Eksistensi Militer AS di Kawasan Teluk
Namun, inti alasan politis adalah tetap dan tidak pernah berubah,
yaitu merealisasikan mimpi "Israel Raya". Israel Raya adalah inti
terpenting motif ideologi dan politik dari eksistensi militer AS di
Teluk. Bukti-bukti atas hal ini sangat banyak.
Kita ambilkan salah satu contoh, pernyataan mantan presiden AS,
Nixon, dalam bukunya 1999: victory without war (1999: Kemenangan Tanpa
peperangan). Nixon menulis, "Kita
memandang, pergulatan Arab-Yahudi telah bergeser, menjadi peperangan
antara kaum fundamentalis Islam di satu pihak, dan Israel serta
negara-negara Arab Moderat lainnya di pihak lain. Selama bangsa-bangsa
ini tidak mampu menyelesaikan persengketaannya, dan mengakui bersama
bahwa mereka menghadapi satu ancaman serius, kawasan Timur Tengah akan
tetap menjadi kawasan paling bergolak di dunia."
Untuk merealisasikan cita-cita
"Israel Raya" yang aman, AS harus mencegah kaum aktivis Islam memegang
tampuk kekuasaan di negara Teluk manapun. AS juga harus mencegah
pergerakan aktivis Islam agar tidak membawa pengaruh terhadap kebijakan
politik AS di Teluk. Ini adalah langkah strategis penting yang akan
selalu diambil oleh AS.Sekalipun
di kalangan negara-negara salib Barat terdapat perselisihan, pun AS dan
sekutunya meraih kemenangan atas Soviet selama Perang Dingin, 1985 M
/1405 H.
Namun ini semua tidak melupakan
permusuhan mereka kepada Islam. Setelah Gorbachev memegang tampuk
kepemimpinan Soviet, presiden AS Nixon menegaskan, "Uni Soviet dan AS
harus membuat kesepakatan kuat untuk memukul kaum fundamentalis Islam."
Dalam bukunya 1999 : Kemenangan tanpa peperangan,
Nixon menulis, "Kewajiban dan peran AS dalam kehidupan ini adalah
memimpin dunia yang bebas. AS harus segera memimpin dunia. Satu-satunya
cara untuk memimpin dunia adalah kekuatan. Dan, musuh terbesar di dunia
ketiga adalah kaum fundamentalis Islam."
Doktrin Nixon
Setelah kegagalan AS dalam perang
Vietnam, AS menegaskan bahwa menjaga eksistensi
pemerintahan-pemerintahan Arab yang loyal kepada AS, merupakan program
AS yang diprioritaskan. Pasca kekalahan di Vietnam, Nixon mengeluarkan
Nixon Doctrin yang menegaskan, "Negara-negara (Jazirah Arab) yang
mengalami ancaman dari luar, harus mengerahkan potensi manusia dan
kemampuan militernya untuk menegakkan stabilitas keamanan. AS akan
memberikan dukungan militer kepada pemerintahan tersebut, sesuai dengan
tuntutan keamanan yang ada."
Langkah ini dipraktekkan dalam masa
pemerintahan presiden Richard Nixon dan Gerald Ford. Pada masa
pemerintahan kedua presiden AS ini, negara-negara Teluk dibanjiri dengan
dukungan peralatan dan teknologi militer dalam jumlah besar dan
canggih.
Dalam doktrin Nixon, Nixon menulis,
"Sebagai pengganti eksistensi militer Inggris, eksistensi militer AS di
Teluk mendasarkan langkahnya kepada kekuatan-kekuatan lokal, yaitu Iran
dan Saudi Arabia, pada level pertama, untuk menjaga stabilitas keamanan.
Hal itu kita lakukan dengan memberikan bantuan-bantuan militer. Politik dua kaki ini telah berjalan normal, sampai ketika salah satu dari keduanya, yaitu Iran, jatuh pada tahun 1979 M."
Menurut Nixon, posisi Iran harus
digantikan oleh Irak, sehingga perimbagan kekuatan tetap terpelihara. Ia
juga menegaskan urgensi eksistesi langsung militer AS di kawasan
Teluk. Ia melanjutkan, "Karena
minyak bumi adalah kebutuhan darurat bagi Barat, bukan sekedar kebutuhan
sekunder, AS dan sekutu-sekutunya di Eropa dan Jepang harus menjadikan
pemberian bantuan ekonomi dan militer kepada pemerintahan negara-negara
di kawasan ini sebagai prioritas program. Hal ini bertujuan untuk
menolak segala ancaman atas kawasan tersebut, baik ancaman eksternal
maupun internal. Kita seyogyanya juga bersiap-siap dan tega mengambil
tindakan apapun, termasuk di dalamnya eksistensi militer yang kuat dan
bahkan tindakan militer, untuk menjaga kepentingan-kepentingan kita.
Kita seyogyanya juga bersiap-siap membuktikan kebenaran ucapan kita
dengan tindakan nyata."
Lebih lanjut, ia menulis, "Statemen
kedigdayaan bahwa AS akan melawan ancaman apapun terhadap kawasan
tersebut dengan sebuah reaksi militer, hanya akan menjadi omong kosong
bila kita tidak memiliki kekuatan militer di kawasan tersebut. Dengan
eksistensi pasukan militer, barulah statemen kita akan dipercayai. Oleh
karenanya, sangat mendesak bagi AS untuk mempunyai cara-cara pokok yang
membantu kita untuk memamerkan kekuatan militer kita secara memuaskan di
kawasan tersebut, sehingga bisa menolak dengan cepat setiap tantangan
yang muncul secara tiba-tiba."
Ia menambahkan, "Secara jelas dan
tidak berbelit-belit, kita harus menegaskan kepada para pemimpin Saudi
Arabia, Oman, Kuwait dan negara-negara utama lainnya di Teluk, bahwa
tatkala terjadi kekuatan revolusi yang mengancam kekuasaan mereka, baik
ekstrenal maupun internal, AS pasti akan berada di pihak mereka,
sehingga mereka tidak akan menemui kesudahan yang menimpa Syah Iran." Inilah inti dari Nixon Doctrin.
Doktrin Carter
Setelah Syah Iran terguling, dan Soviet menginvasi Afghanistan, pada
tanggal 20 dan 23 Januari 1980 M, presiden AS Jimmy Carter mengeluarkan
"Carter Doctrin". Dalam pernyataan yang diserahkan kepada Kongres AS
tersebut, Carter menulis, "AS menganggap usaha dari kekuatan luar
manapun untuk menguasai kawasan Teluk Persia sebagai gangguan terhadap
kepentingan vital AS. AS akan membalas gangguan ini dengan berbagai cara
yang dimilikinya, termasuk penggunaan kekuatan senjata."[3]
Doktrin ini merupakan pendorong kuat
bagi terwujudnya pasukan invasi kilat AS di kawasan Teluk. Berdasar
doktrin ini, tujuan utama dari eksistensi atau penggunaan kekuatan
militer AS di kawasan Teluk adalah sekedar untuk tindakan membela diri
atas segala ancaman dari luar. Sebenarnya,
AS tidak mengungkapkan ancaman yang lebih besar dan serius, yaitu
ancaman internal dari bangsa-bangsa pengekspor minyak tersebut.
Krisis minyak pasca perang oktober
1973 M menunjukkan, ancaman perang nuklir jauh lebih kecil dari ancaman
bangsa-bangsa pengekspor minyak. Memperkuat pemerintahan negara-negara
Teluk untuk kepentingan AS, suatu saat bisa berubah menjadi bumerang.
Mengganti pemerintahan dengan sistem
demokrasi, juga memberi peluang bagi aktivis Islam untuk memegang
tampuk kekuasaan. Jika AS menjauh dari sumber-sumber minyak ini, AS
tidak akan mendapatkan minyak bumi dengan jumlah cukup dan harga murah. Jadi,
sebenarnya tujuan utama pembentukan pasukan invasi kilat ini adalah
untuk mengamankan kepentingan minyak bumi AS dari ancaman internal,
ancaman kaum muslimin yang sering dipojokkan dengan istilah
"fundamentalis Islam".
Setelah AS kesulitan mempercayai
satupun pemerintahan Teluk, Nixon ikut melupakan Nixon Doctrin-nya, dan
justru ikut mendukung Carter Doctrin. Dalam bukunya 1999: kemenangan tanpa peperangan, ia menulis: "Kini,
AS adalah satu-satunya negara yang bisa menjaga kepentingan Barat di
Teluk Persia. Tiada satu pun negara Teluk loyalis Barat yang kuat untuk
cukup mampu mengemban tugas ini. Pun, tak satu pun negara Eropa sekutu
kita yang mempunyai kemampuan atau keinginan kuat melaksanakan tugas
ini. Kita harus menggunakan aspek militer kita untuk menunjukkan
kekuatan militer AS di Teluk. Dan kita telah merealisasikan sebuah
kemajuan yang berarti dalam aspek ini."
Presiden Carter telah membentuk
pasukan invasi kilat, presiden Reagen juga telah menguatkannya dengan
menempatkannya langsung di bawah komando pusat. Konggres juga telah
menyetujui milyaran dolar untuk pasukan ini."
Lebih lanjut, ia mengungkapkan,
"Mustahil militer AS bisa masuk ke Teluk Persia jika ia tidak mempunyai
pangkalan-pangkalan udara di Saudi Arabia dan negara-negara Teluk yang
lebih kecil lainnya. Kita perlu membuat pangkalan-pangkalan udara di
sana sehingga bisa menjaga kekuatan darat kita saat membangun rute-rute
darat. Tanpa adanya keunggulan pasukan udara, operasi penurunan militer
AS apapun di Teluk Persia akan menyerupai operasi pendaratan pasukan
Inggris di Galiyubi pada perang dunia pertama."
Bukan Carter
Sebenarnya mantan presiden Carter
bukanlah penggagas awal konsep pasukan invasi kilat ini. Ia sekedar
menghidupkan kembali usulan Robert Mc Namara, penasehat mentri
pertahanan AS di awal 60-an. Pada tahun 1962 M, Robert Mc Namara
mengusulkan mengganti konsep "perlawasanan semesta" berbasis perang
nuklir yang dianut AS dengan "perlawanan fleksibel".
Konsep perang Nuklir dianut oleh presiden Eisenhower dan Ford. Saat
itu, Mc Namara menyatakan, "Konsep perlawanan semesta sudah tidak
memenuhi tuntutan kebutuhan, saat terjadi krisis yang lebih kecil dari
krisis nuklir dan front semesta melawan Soviet. Konsep perlawanan
fkesibel bertumpu pada perluasan kemampuan perang klasik (non nuklir)
untuk menghadapi gerakan-gerakan pembangkang, peperangan rakyat, atau
konflik lokal yang terbatas. Untuk itu perlu dibentuk kekuatan pemukul
klasik yang bermobilitas tinggi dan mampu masuk ke daerah-daerah yang
jauh dengan cepat dan efektif."
Pada saat itu usulan ini ditolak oleh
Konggres. Pasca krisis minyak akibat perang 1973 M, usulan ini kembali
diperdebatkan, mengingat perannya sebagai solusi problem minyak yang
dialami AS saat itu. Adalah menteri pertahanan AS, James R. Schlesinger
yang kembali mengangkat "flexible option"nya Mc Namara, pada bulan
Januari 1974 M.
Saat Henry Kissinger menjadi mentri
luar negeri AS, pada tahun 1974 M/1394 H, ia juga menyerukan pembentukan
pasukan koalisi AS-Eropa untuk mengamankan kepentingan minyak mereka.
Namun, usulan ini ditolak NATO karena wilayah kerja NATO hanya sebatas
negara dan kawasan anggota pakta pertahanan itu semata.
Saat Carter terpilih sebagai presiden
tahun 1976 M/1396 H, ia menghidupkan kembali usulan Mc Namara dengan
format baru yang ia namakan "Carter Doctrin". Pada tahun 1977 M, pasukan
invasi kilat resmi dibentuk oleh pemerintahan Carter. Langkah pertama
pasukan ini dilakukan pada tahun 1979 M, dan untuk pertama kalinya pada
tahun 1981 M, konggres AS membahas pembentukan dan tujuan pasukan ini.
Di tahun 1981 M itu, pasukan ini
telah dibentuk secara lengkap dari segala sudut dan aspeknya. Di tahun
yang sama, mentri pertahanan AS Gasier Weneigner menjelaskan kepada
komisi pertahanan dan urusan luar negeri Konggres, bahwa pengefektifan
pasukan invasi di kawasan minyak dan jalur-jalur transportasinya semakin
mendesak, setelah Syah Iran tergulingkan dan Soviet menginvasi
Afghanistan.
Sebenarnya saat itu juga dibahas
alternatif lain selain pembentukan pasukan invasi kilat AS. Di antaranya
adalah alternatif pembentukan pasukan koalisi dengan negara-negara
Teluk dengan tujuan mengamankan kepentingan AS. Namun AS keberatan
dengan beberapa alasan, di antaranya AS tidak bisa percaya begitu saja
kepada para wakilnya, dan pembentukan pasukan koalisi ini akan memakan
anggaran besar, terlebih tindakan itu berarti memulai langkah dari nol
kembali.
Alasan lainnya, AS khawatir akan
muncul pemerintahan-pemerintahan baru di kawasan Teluk yang
menggulingkan pemerintahan-pemerintahan lama, sehingga menghancurkan
segala fasilitas militer AS selama ini.Tiada
pilihan lain, AS meneruskan program pembentukan pasukan invasi
kilatnya. Meski demikian, AS juga masih menempuh alternatif-alternatif
lain, sesuai kebutuhan dan dalam batas-batas tertentu. AS tetap
membentuk koalisi keamanan dan pertahanan dengan negara-negara Teluk,
dengan nama "Dewan Kerjasama Teluk". Juga persekutuan dengan Syah Iran,
Anwar Sadat dan Saddam Husain ---sebelum ia membangkang---.
Alternatif–alternatif lain tetap
dijalankan, namun sekedar dalam batas tertentu. Adapun inti langkah AS
adalah menjadikan pasukan invasi kilat sebagai pelaksana seluruh
kebutuhan dan kepentingan AS di Teluk.
Jumlah Pangkalan Militer AS di Seluruh Dunia
Pembentukan pasukan invasi kilat ini
hanya dikhususkan untuk kawasan Teluk. Jauh sebelum pembentukan pasukan
invasi ini, terhitung sampai tahun 1976 M, jumlah pangkalan dan markas
militer AS di seluruh dunia mencapai 300 pangkalan, tersebar di 30
negara untuk menjamin kepentingan-kepentingan AS. Sampai tahun 1975 M,
jumlah tentara AS di seluruh pangkalan militer di 30 negara ini mencapai
504.000 personal.
Untuk kawasan Eropa dan NATO saja,
sebanyak 250.000 sampai 300.000 tentara AS ditempatkan di Eropa Barat,
ditambah Armada AL AS Kedua di Samudra Atlantik, Armada AL AS Keenam di
laut Mediterania dan 7000 rudal dengan hulu ledak nuklir. Pada tahun
tersebut, sebanyak 41.000 personal telah ditarik ke negara AS, sehingga
tersisa 463.000 personal.
Pasca perang Teluk Kedua 1991 M,
Mentri pertahanan AS, Colin Powel, menegaskan, AS akan menutup 150
pangkalan militernya yang telah bertahan selama 45 tahun di Eropa, dan
memindahkannya ke pangkalan-pangkalan militer rahasia dan baru di
Kuwait, Qatar, Saudi, Oman, Bahrain dan Uni Emirat Arab.
Pangkalan Militer dan Modus Operasi Pasukan Invasi Salib
Eksistensi pasukan invasi AS di kawasan Teluk saat ini merupakan
eksistensi pasukan AS langsung terbesar sejak tahun 1980 M. Eksistensi
militer AS ini telah menjadi sebuah pengepungan yang mencekik kawasan
dari seluruh sudutnya, darat dan laut. Betapa tidak. Di Turki saja,
pasukan AS terpusat di lebih dari 20 pangkalan militer. Belum lagi
pangkalan-pangkalan militer di Yunani, dan bagian timur dari Laut
Mediterania. Terus berlanjut ke arah Mesir, tanduk Afrika ---yang
terpenting adalah pangkalan militer di Kenya---, lalu Laut Arab, Laut
Merah dan perairan Teluk. Pasukan ini juga mempunyai pangkalan-pangkalan
militer dan fasilitas kemudahan di kesultanan Oman, Kuwait, Qatar,
Saudi Arabia, Bahrain, Uni Emirat Arab, Iraq dan Yordania.
Pangkalan terpenting lainnya adalah di Palestina, dibawah pengendalian dan penjagaan Israel.Angkatan
Laut AS juga menyebar memenuhi seluruh perairan yang mengelilingi
kawasan Teluk, mulai dari selat Jabal Tariq (Gibraltar) di Barat, sampai
ke Semenanjung Hindia di Timur.
Armada AL keenam dan ketujuh AS
menjadi inti kekuatan AS yang dipersiapkan untuk operasi ini. Armada
(kapal induk) AL AS ketujuh, sejak lama memang merupakan AL AS yang
khusus diperuntukkan untuk melakukan operasi-operasi langsung di kawasan
Teluk. Sedangkan armada (kapal induk) AL AS keenam adalah pasukan yang
dikhususkan untuk beroperasi di Laut Mediterania, dalam prakteknya
mencakup Jepang dan Asia Timur sampai Timur Samudra Hindia. Ia mempunyai
hubungan dengan sebelah timur kawasan Teluk, yaitu sumber-sumber minyak
bumi yang berada di Teluk. Armada ini bermarkas di pelabuhan Yokosoka,
Jepang.
Dari aspek ekonomi,
pangkalan-pangkalan militer AS di kesultanan Oman merupakan pangkalan
yang paling berbahaya bagi kawasan Teluk. Pangkalan-pangkalan inilah
yang menguasai selat Hurmuz, selat yang menjadi jalur pengeksporan 95 %
minyak bumi Teluk ke seluruh dunia. Dengan menguasai selat ini, tanpa
perang sekalipun, AS bisa mencekik ekonomi negara-negara Teluk yang
lebih dari 98 % ekonominya bergantung kepada minyak bumi.
Karena buruknya kinerja pemerintahan
negara-negara Teluk, mereka tidak berusaha maksimal untuk menambah
sumber-sumber pendapatan negara dari aspek non-migas. Mereka juga tidak
berusaha untuk mencari solusi lain sebagai pengganti ketergantungan
kepada selat Hurmuz. Memang, pemerintahan negara-negara Teluk tidak bisa
melakukan itu semua, karena segala kebijakan mereka tidak berada di
tangan mereka. Kebijakan strategis dalam aspek militer, ekonomi, politik
pertahanan, dan keamanan mereka diarahkan oleh AS !!!!
Peranan operasi militer AS di pangkalan-pangkalan militer AS di kawasan Teluk, adalah sebagai berikut:
a) Memperkuat militer AS yang telah berada di panggung percaturan Teluk sebelumnya, dan merubahnya dari sekedar unjuk gigimenjadi pasukan siap perang.
b) Mengamankan pangkalan-pangkalan
militer dan fasilitas-fasilitas militer baru untuk pasukan AS yang
beroperasi di kawasan, maksudnya pasukan-pasukan AS yang akan bergerak
ke kawasan dalam kondisi-kondisi insidental.
c) Merealisasikan program penempatan
militer AS permanen di seluruh negara kawasan Teluk, sehingga setiap
negara Teluk terpaksa harus menerima realita ini. Taktik ini akan
merubah sikap negara-negara Teluk, yang semula sepakat menolak
eksistensi permanen militer AS. Masing-masing negara akan berlomba
meminta penempatan militer AS di negaranya, mendahului negara
tetangganya. Masing-masing pemimpin negara akan berfikir, jika tidak
menerima penempatan militer AS, negara tetangga akan menerimanya, dan
mendapatkan banyak kemudahan dari AS. Pemimpin-pemimpin
negara di kawasan ini akan berlomba-lomba menerima penempatan pasukan
AS, dan inilah yang menyebabkan sengketa terakhir antara Saudi dan
Qatar.
d) Pembangunan gudang-gudang
logistik, amunisi dan persenjataan AS untuk memudahkan operasi
penyebaran secara kilat di seluruh kawasan. Penimbunan logistik,
amunisi, persenjataan berat dan seluruh kebutuhan perang di
negara-negara kawasan, akan meminimalisir biaya, waktu dan tenaga saat
terjadi kondisi insidental yang menuntut pergerakan penyebaran secara
cepat, bahkan terhadap negara-negara pengekspor minyak sendiri.
Pembangunan gudang-gudang militer AS
ini dirancang sedemikian rupa oleh para pakar militer AS. Terletak di
tempat-tempat yang jauh, pasukan AS bisa mengisolir dan menguasainya
secara penuh, sehingga tidak mungkin dijangkau oleh negara Teluk atau
kelompok manapun di kawasan Teluk yang memusuhi AS. Dengan
seluruh perencanaan matang ini, ketika sebuah negara yang ditempati
menolak, atau gudang-gudang ini dijadikan target serangan, AS bisa
mengamankannya.
e) Meningkatkan kemampuan pasukan invasi cadangan AS yang berada di AS sendiri, untuk beroperasi secara cepat dan insidental.
f) Mempertahankan penguasaan permanen
atas setiap negara Teluk melalui pangkalan-pangkalan militer AS di
setiap negara Teluk. Setiap pangkalan militer AS bertugas menjamin
penguasaan AS atas negara yang ditempati, mengumpulkan informasi yang
cukup, tidak memberi kesempatan kepada negara tersebut untuk berdikari
dan tidak membutuhkan bantuan AS, serta mencegah pembentukan kekuatan
apapun yang bisa mengancam eksistensi AS atau Israel.
Inilah tugas-tugas utama
pangkalan-pangkalan militer AS di Teluk, yang berada di bawah kendali
komando pasukan invasi kilat. Lantas, apa cara-cara AS untuk
mengefektifkan pangkalan-pangkalan ini sehingga bisa menjadi jembatan
utama bagi setiap operasi militer pasukan ini ?
Dari sudut pandang operasi taktis, ada beberapa cara. Namun secara strategis terpusat kepada beberapa langkah berikut:
a- Campur tangan melalui perantaraan pasukan pendahuluan yang sudah berada di dalam atau di dekat kawasan.
b- Campur tangan melalui perantaraan pasukan yang bergerak dari AS ke kawasan.
c- Campur tangan melalui satuan-satuan komando operasi yang berada di dalam atau luar AS, di bawah komando pusat AS.
d- Campur tangan melalui pasukan komando strategis seperti pesawat-pesawat tempur strategis atau rudal-rudal jarak jauh.
Seluruh langkah ini telah ditempuh
dalam invasi ke Irak tahun 2003 M yang lalu. Ini berarti dalam level
perang klasik, AS telah melemparkan seluruh anak panahnya. Jika dalam
invasi ke Irak ini AS mengalami kegagalan, AS tidak segan-segan menempuh
perang kimia dan nuklir. Pasukan invasi kilat yang saat ini sudah
berada di pangkalan-pangkalan militer di Teluk, menjadi pasukan terdepan
pasukan invasi kilat secara keseluruhan. Inti
kekuatan pasukan ini adalah Divisi 82 yang diangkut dengan udara,
berkekuatan 15.200 personal, dan divisi 101 yang juga diangkut dengan
udara, berkekuatan 18.900 personal.
Kedua divisi ini terdiri dari
berbagai kesatuan infantri dengan senjata ringan, tanpa meriam-meriam
berat atau tank-tank tempur utama. Divisi
82 bisa diangkut dari AS dalam waktu maksimal dua minggu, dengan
pesawat-pesawat pengangkut C 5 Galaxy yang bisa membawa minimal
peralatan militer seberat 100 ton, pesawat-pesawat C 141 yang bisa
membawa peralatan perang minimal seberat 32 ton dan pesawat-pesawat
pengisi bahan bakar KC 135 yang bisa mengisi bahan bakar pesawat sambil
terbang. Dengan adanya pesawat KC 135 ini, AS tidak terlalu memerlukan
pangkalan-pangkalan permanen untuk mendukung logistik pesawat-pesawat
tempurnya.
Meski demikian, AS juga membuat
program penggunaan pesawat-pesawat sipil untuk mengangkut pasukan invasi
dalam keadaan insidental.Penjelasan
ini baru menyebut dua divisi saja, dari keseluruhan pasukan invasi
kilat AS di kawasan Teluk. Jumlah keseluruhan pasukan invasi AS tentu
jauh lebih besar dari angka ini.
Pada awal pembentukan pasukan invasi ini di masa presiden Carter saja, jumlah pasukan ini antara 100.000-110.000 tentara. Kepala
Staf Angkatan Bersenjata AS saat itu, Bernard Roger, menyebutnya
sebagai kesatuan indipenden. Setelah itu, komandan pertama pasukan
invasi ini, Jendral Kelly, di awal tahun 1980-an menegaskan bahwa jumlah
pasukan ini akan ditingkatkan menjadi 200.000 tentara. Jumlah final
pasukan invasi kilat ini sebanyak 200.000 pasukan ini, dicapai pada
tahun 1991 M yang lalu, dengan menambahkan 100.000 personal dari
berbagai kesatuan militer AS.
Untuk pasukan sebesar ini, AS telah
menyiapkan secara khusus lebih dari 200 pesawat berbagai jenis. Jumlah
personal dan jenis persenjataan pasukan invasi AS ini bertambah, sejak
dilakukannya invasi AS ke Irak tahun 2003 M yang lalu.
Heran….!!???
Hal yang sangat mengherankan, seluruh
program, persiapan, langkah lama, rencana makar, jumlah besar pasukan,
logistik dan persenjataan pasukan invasi AS yang sudah berada di kawasan
Teluk sejak tahun 1991 M ini, masih belum meyakinkan sebagian umat
Islam bahwa Jazirah Arab ---termasuk di dalamnya Makkah dan Madinah, dua
kota suci umat Islam--- sudah dijajah oleh AS dan sekutu-sekutunya
sejak lebih dari 13 tahun yang lalu !!???
Sebagian kaum muslimin yang polos
lantas berkomentar, pengerahan pasukan AS secara besar-besaran di dunia
Islam ini adalah akibat dari serangan "mujahidin" di WTC dan beberapa
penjuru dunia lainnya. Mereka tidak memahami, bahwa kebijakan AS saat
ini sudah dirancang sejak lebih dari 20 tahun sebelum kelahiran Usamah
bin Ladin.
Mereka berteriak, "Perang melawan terorisme yang dikomandoi AS saat ini adalah sebagai reaksi atas tindakan ugal-ugalan para "teroris" di Manhatan, Kenya, Tanzania, Afghanistan, Yaman, Filiphina, Bali, Jakarta dan seterusnya". Seakan-akan mereka mengajak bicara anak-anak kecil yang tidak faham sejarah !!!
Ungkapan mereka yang lebih polos
lagi, mereka mengatakan perang melawan terorisme ini akan berakhir bila
apa yang mereka sebut sebagai rezim Taliban, Al-Qaeda, Jama'ah
Islamiyah, para "teroris" dan seterusnya berhasil ditangkap dan
dihancurkan. Padahal, pasukan AS sudah bercokol di kawasan Jazirah Arab
sejak lima dekade sebelumnya, jauh sebelum mereka yang diistilahkan
sebagai kelompok-kelompok "teroris' tersebut lahir !!!!
Penempatan pasukan invasi kilat AS
saat ini, adalah tindak lanjut dari penempatan militer AS sebelumnya.
Bedanya, lima dekade sebelumnya bersifat "meminjam dan menyewa
pangkalan", sedangkan kini bersifat "permanen, langgeng, menjadi pemilik
alias menjajah langsung".
Mentri pertahanan AS, Colin Powel,
di awal tahun 1991 M (Rabi'ul Awal 1411 H) menegaskan kepada para
wartawan saat ditanya tentang berapa lama keberadaan militer AS di Saudi
Arabia, "Kita tentu saja tidak siap datang setiap 10 tahun sekali untuk
memecahkan persoalan-persoalan kawasan ini."
Ia menambahkan, "Keberadaan pasukan
AS di Saudi tergantung kepada stabilitas kawasan." Sampai kini,
stabilitas belum tercipta, sekalipun pasukan penjajahan AS sudah
bercokol di sana sejak lebih dari 13 tahun yang lalu.
Penegasan mentri pertahanan AS ini,
merupakan pengulangan penegasan mentri luar negeri AS, James Baker, dua
minggu sebelumnya yang menyebutkan bahwa keberadaan pasukan invasi kilat
AS di Saudi yang saat itu berkekuatan 350.000 tentara, amat bergantung
kepada stabilitas kawasan Teluk. Tentu saja, istilah "stabilitas
kawasan" adalah sebuah istilah "karet" yang bisa ditarik ulur sesuka
hati AS.
Terperosok ke Lubang yang Sama, Berulang Kali
Hal yang sanat menyedihkan, saat ini kaum muslimin ---terkhusus lagi
kawasan Teluk--- kembali tertipu dengan statemen yang sama dengan
statemen-statemen sebelumnya, oleh tokoh yang itu-itu juga.
Mereka tertipu oleh statement para pejabat AS bahwa pasukan AS akan
segera ditarik keluar dari kawasan Teluk, bila tugas mengamankan kawasan
ini telah selesai.
Pada hari Jum'at 16 Shafar 1424 H
yang lalu, dalam wawancara dengan harian Maroco Ideo, Maroko, Henry
Kissinger ---mantan menlu AS--- kembali menghasung negara-negara Arab
untuk berpartisipasi membangun kembali Irak, pasca invasi AS 2003 M
lalu.
Begitulah. AS yang menghancurkan
Irak, dengan persetujuan dan izin negara-negara Arab lewat
pangkalan-pangkalan militernya, kemudian negara-negara Arab pula yang
harus memperbaiki, membangun kembali, menanggung kehancuran Irak dan
seluruh biaya perang. Dengan kekayaan dan pajak warga negara-negara Arab tersebut, pajak dari kaum muslimin !!!
Dalam wawancara itu, Kissinger dengan arogan menyatakan,"Negara-negara Arab harus bergerak segera untuk kembali membangun Irak." "Pembangunan Irak bukan tanggung jawab AS semata." " AS tidak bisa bertahan di Irak lebih lama dari dua tahun, karena akan menambah kebencian rakyat Irak kepada AS."
Sungguh arogan. AS yang menghancurkan
Irak, membunuh puluhan ribu penduduknya tanpa memperhitungkan
sedikitpun kebencian rakyat Irak. Setelah semuanya hancur, dengan enteng menyatakan
pembangunan Irak adalah tanggung jawab negara-negara Arab, mereka harus
terlibat dalam inti percobaan dengan membangun kembali Irak.
Waktu dua tahun yang ditegaskan
Kissinger, tentu saja bisa bertambah sampai 20 atau 50 tahun. Negara dan
organisasi dunia mana yang bisa memprotes dan meminta pertanggung
jawaban AS ? Tentu tidak ada, selain operasi-operasi perlawanan
mujahidin Irak.
Dalam kunjungan ke Irlandia, Sabtu 24
Shafar 1424 H yang lalu, statemen yang sama juga ditegaskan oleh mentri
pertahanan AS, Donald Rumsfled, "AS berencana akan mempertahankan
eksistensinya di Irak dan Afghanistan sampai terbentuknya pemerintahan
demokratis seluas-luasnya."
Persoalannya, siapa yang menentukan
standar demokratis dan seluas-luasnya ??? Tentu saja AS, dan AS akan
menarik ulur standar ini sesuka hatinya. Keberadaan pasukan AS di Irak
dan Afghanistan akhirnya akan bersifat langgeng, seperti yang sudah
terjadi di negara-negara Teluk.
Dalam perbincangan dengan stasiun TV
Al-Jazera, Rumsfeld menegaskan, "AS tidak berniat mempertahankan
pangkalan-pangkalan militernya untuk jangka panjang di Irak." Jika AS
menetapkan akan mempertahankannya dalam jangka panjang di Irak, adakah
protes dari negara-negara Arab yang sebelumnya berlomba mengemis agar
pangkalan-pangkalan AS di negara mereka dipertahankan dalam jangka waktu
yang lebih lama ??? Tentu saja tidak ada.
Para konseptor di Pentagon telah
memberikan statemen, ada kebutuhan mendesak untuk mempertahankan 125.000
pasukan AS di Irak, minimal dalam jangka waktu setahun untuk
menciptakan stabilitas keamanan Irak, sampai pemerintahan baru yang
demokratis mampu mempertahankan stabilitas keamanan negara. Jumlah ini
setara dengan 63 % keseluruhan pasukan invasi kilat AS di kawasan Teluk.
Bermarkasnya 63 % pasukan invasi AS
di Irak, membuat pasukan invasi AS ini tidak tergantung lagi kepada
pangkalan udara pangeran Sultan, Saudi Arabia. Bila satu tahun telah lewat, dan pemerintahan baru belum mampu menciptakan stabilitas, langkah apa yang akan diambil oleh AS?
Admiral Arthur Cropsky, direktur
kantor evakuasi militer Pentagon menjawab, "AS memandang selesainya
perang di Irak merupakan kesempatan AS untuk kembali menebarkan kekuatan
militernya ke seluruh penjuru dunia. Langkah ini akan membawa perubahan besar pada pangkalan-pangkalan AS di Eropa dan Asia."
Nampaknya, AS akan memindahkan
pangkalan-pangkalan di Eropa dan Asia yang merupakan pangkalan-pangkalan
terpenting AS di luar AS, ke Irak. Arthur menambahkan, "Amat konyol
bila setelah selesainya perang seperti yang kita lakukan di Irak,
seluruh persoalan akan kembali normal seperti sedia kala."
Anggota partai Republik, Perez, di
hadapan Senat pada hari Sabtu 25 Shafar 1424 H menyatakan, "Persoalan
ini membutuhkan waktu minimal lima tahun, sampai terbentuk pemerintahan
baru yang mampu secara langsung mengendalikan urusan sendiri d Irak."
Senator Richard Loger, ketua komisi
hubungan luar negeri Senat, juga dari partai Republik, menegaskan dalam
wawancara dengan stasiun TV CNN, "Saya yakin, kita harus memikirkan
waktu yang tidak kurang dari lima tahun."
Seorang senator partai Republik
lainnya, Patt Robertos, yang juga ketua komisi intelijen Senat AS kepada
stasiun TV Fox News juga mengungkapkan, "Kita datang untuk menetap." Ia
menambahkan, "Saya masih ingat, ketika presiden Bill Clinton
menyebutkan kita akan berada di Semenanjung Balkan selama satu tahun.
Sampai saat ini, sepuluh tahun sudah berlalu dan kita masih tetap berada
di Balkan. Kita juga masih perlu bertahan di sana."
Paul Wolfowitz, asisten mentri
pertahanan AS dan orang kedua di Pentagon, juga menegaskan bahwa AS bisa
saja membuat pangkalan-pangkalan militer baru di Irak, yang akan
menjadi sebuah negara Teluk kawan baru AS. Ia menambahkan, "Persoalan
pokoknya, adalah dengan menggulingkan pemerintahan ini (Irak), akan
memberi peluang lebih leluasa kepada AS untuk bergerak di Teluk. Dan,
langkah kaki AS akan semakin ringan, tanpa ada ancaman dari Irak."
Rencana ini dikuatkan oleh pernyataan
para petinggi Pentagon yang dimuat oleh harian The New York Times,
bahwa AS berniat mempertahankan secara permanen empat pangkalan militer
di Iraq untuk menjaga kepentingan-kepentingan AS, dan pada saat yang
bersamaan akan mengurangi jumlah pasukannya di Saudi.
Keempat pangkalan militer tersebut adalah :
a- Pangkalan militer di bandara internasional Saddam.
b- Pangkalan militer di Talel, dekat Nashiriyah.
c-
Pangkalan militer ITS I, di sebuah tempat terpencil di tengah padang
pasir Iraq Barat, sejajar dengan kilang-kilang minyak antara Baghdad dan
Yordania.
d- Pangkalan militer di Pasyur, Irak Utara.
Saat ini, pasukan AS bermarkas di
empat pangkalan militer ini, selain ratusan kesatuan lainnya yang
ditempatkan di setiap kota di Irak dan daerah-daerah sekitarnya. Setelah
ini, mungkin pasukan AS di Irak akan dikurangi sehingga tinggal 125.000
personal, yang akan ditempatkan di empat pangkalan militer ini."
Inilah pernyataan para petinggi
pemerintahan AS. Jadi, benarkah tergulingnya Saddam menciptakan
stabilititas di kawasan ? Benarkah tergulingnya rezim partai Baath
membuat AS tidak memerlukan lagi pangkalan-pangkalan militer di kawasan
ini ? Benarkah jatuhnya Irak ke tangan AS, dan keberhasilan AS membentuk
pemerintahan boneka baru loyalis AS, berarti selesainya opsi penggunaan
kekuatan militer di kawasan ini ???
Seorang yang memahami sejarah invasi
pasukan AS di kawasan Teluk dan mengikuti pernyataan-pernyataan para
pejabat AS, tidak akan ragu-ragu menjawab tanda tanya di atas dengan
jawaban TIDAK. Gertakan dan ancaman AS kepada Suriah, Iran, Sudan, Libya
dan negara-negara "poros setan" lain di kawasan ini, semakin bertambah
setiap hari.
Belum lagi dengan penegasan Nixon bahwa musuh terbesar AS di kawasan ini adalah "fundamentalis Islam". Keberadaan
pasukan AS untuk masa yang lebih lama, dikuatkan oleh para petinggi
pemerintahan AS secara berturut-turut dalam beberapa waktu terakhir.
Wakil Presiden Dick Cheney, dalam
pertemuan dengan asosiasi redaksi media massa AS, menegaskan bahwa
invasi ke Irak akan disusul oleh operasi-operasi militer lain, sesuai
dengan penegasan resmi presiden George W. Bush sebelumnya (BBC,
16/9/2001 M) bahwa perang "salib" melawan para teroris ini akan memakan
waktu yang lama.
Dick Cheney menyebutkan, "AS
mempunyai kewajiban moral untuk menghadapi para teroris." Tentu sudah
dimaklumi bersama, bahwa "teroris' yang dimaksud oleh AS adalah kaum
muslimin yang teguh memegang ajaran diennya, yang biasa mereka tuding
dengan istilah "fundamentalis Islam", atau "kaum Wahabi".
Yang jelas, perang salib AS di
kawasan Teluk belum akan berakhir, meski rezim Saddam sudah mereka
gulingkan, bahkan mereka telah membentuk pemerintahan boneka loyalis AS.
Irak hanyalah batu loncatan awal. Negara-negara di kawasan Jazirah
Arab, akan menjadi target selanjutnya. Dan tentu saja, pasukan invasi
kilat AS akan dipertahankan dalam waktu lebih lama, atau tepatnya
selamanya.
Hal ini dikuatkan dengan penegasan
para petinggi Pentagon kepada kantor berita AFP, bahwa tiga hari setelah
jatuhnya Irak, pesawat-pesawat tempur AS mengangkut sejumlah besar bom
MOAB, dengan berat masing-masing bom 9,5 ton. Bom ini merupakan bom
terbesar AS sejak zaman perang klasik. Daya hancurnya senilai dengan
sebuah bom nuklir kecil. AFP tidak menyebutkan sebab pengiriman bom-bom
tersebut ke kawasan Jazirah, sekalipun Irak telah takluk tiga hari
sebelumnya.
Dua hari setelah jatuhnya Irak,
mentri pertahanan Inggris, Jeff Hone mengancam akan melakukan pukulan
mematikan kepada negara-negara "pembangkang", yaitu negara yang
melindungi teroris internasional, dan negara yang berusaha atau telah
memiliki senjata-senjata pemusnah masa. Melindungi teroris, memiliki
atau berusaha memiliki senjata pemusnah masal, merupakan sebuah sifat
yang bisa melekat atau dilekatkan kepada setiap negara di kawasan
Teluk. Dengan alasan ini pula, AS, Inggris dan sekutu-sekutunya melakukan invasi ke Irak.
Meski rezim Irak sudah dijatuhkan,
dan penggeledahan terhadap setiap rumah, bangunan dan jengkal tanah Irak
telah mereka lakukan, bahan-bahan kimia untuk senjata pemusnah masal
tidak didapatkan. Tim investigasi PBB sebelumnya juga telah mengeluarkan
laporan ketidak beradaan senjata pemusnah massal di Irak.
Namun, begitulah. Tidak masalah bila
pasukan invasi AS dan sekutunya tidak menemukan bukti atas tuduhan yang
mereka lontarkan. Karena, tujuan invasi ini bukanlah untuk mencari
senjata pemusnah masal. Pun, bukan untuk menggulingkan rezim Saddam
semata. Juga bukan untuk memburu Usamah bin Ladin, Al-Qaeda, dan
jaringan teroris semata.
Tujuan sebenarnya adalah
mempertahankan penjajahan atas Jazirah Arab ; Saudi, Kuwait, Qatar,
Bahrain, Uni Emirat Arab, Kesultanan Oman dan Yaman. Tujuan sebenarnya adalah merampok dan menguras kekayaan alam dunia Islam. Tujuan sebenarnya adalah memerangi Islam, kaum muslimin dan mujahidin. Tujuan sebenarnya adalah mengokohkan mimpi Israel raya. Tujuan sebenarnya adalah perang salib modern.
[1/judul] . Tema ini
telah dikaji secara luas dan mendalam oleh sejumlah ulama, cendekiawan,
dan pakar. Di antaranya syaikh Dr. Safar bin Abdurahman Al-Hawali
dalam Kasyful Gummah 'an Ulamail Ummah, Markazul Dirasat wal Buhuts Al-Islamiyyah dalam Al-Tawajud Al-Amriki fil Jazirah Al-'Arabiyah Haqiqatuhu wa Ahdafuhu dan Mustaqbalul 'Iraq wal Jazirah Al-'Arabiyah Ba'da Suquthi Baghdad, syaikh Sulaiman bin Nashir Al-'Ulwan dalam Silsilatu Al-Tau'iyah bil Harbi Al-Shalibiyah, syaikh Nashir bin Hamd Al-Fahd dalam Al-Hamlah Al-Shalibiyah fi Marhalatiha Al-Tsaniyah "Harbul 'Iraq", syaikh Abdurrahman bin Abdul-Hamid Al-Amin dalam Bayanun Ilal Ummah Al-Islamiyah 'Anil Harbi Al-Amrikiyah Al-Shalibiyah 'alal Iraq Harbul Khalij Ats-Tsalitsah, syaikh Muhammad bin Abdullah Al-Saif dalam Al-'Iraq wa Ghazwu Al-Shalib Durusun wa Ta-ammulatun, Majalah Al-Anshar dalam Al-Harbu Al-Shalibiyah Al-Mu'ashirah Al-Haqiqah Al-Mafdhuhah wa Al-Daurul Mathlub dan Al-'Iraq minal Ihtilal ila Al-Tahrir Waqi'ul Azmah wa Aafaqul Hal, syaikh Dr. Abdullah bin Nashirudin Al-Zairi dalam Al-Khasaish Al-Syar'iyah Lil-Jazirah Al-'Arabiyah, syaikh Dr. Salman bin Fahd Al-Audah dalam Jaziratul Islam, dan syaikh 'Isa bin Sa'ad Ali 'Usyain dalam Risalatun Qabla Fawatil Awan.
[2] . Truman Doctrin adalah kebijakan politik luar negeri presiden AS, Harry S. Truman untuk memberikan bantuan ekonomi dan militer ke Turki dan Yunani sebesar $ 400 juta, untuk membendung ancaman komunis. Kebijakan yang diajukan ke konggres pada tanggal 12 Maret 1947 M, dan disetujui ini, akhirnya menjadi alasan AS untuk mendukung setiap negara yang dianggap terancam oleh kekuatan komunis.
[3] . Carter Doctrine, Annual Message to the Congress on the State of the Union, January 23, 1980 : Let our position be absolutely clear: An attempt by any outside force to gain control of the Persian Gulf region will be regarded as an assault on the vital interests of the United States of America, and such an assault will be repelled by any means necessary, including military force. [Sumber ; Public Papers of the Presidents of the United States, Jimmy Carter 1980-81, vol. 1. Washington, D.C.: U.S. Government Printing Office, 1981. Microsoft® Encarta® Reference Library 2003].
[2] . Truman Doctrin adalah kebijakan politik luar negeri presiden AS, Harry S. Truman untuk memberikan bantuan ekonomi dan militer ke Turki dan Yunani sebesar $ 400 juta, untuk membendung ancaman komunis. Kebijakan yang diajukan ke konggres pada tanggal 12 Maret 1947 M, dan disetujui ini, akhirnya menjadi alasan AS untuk mendukung setiap negara yang dianggap terancam oleh kekuatan komunis.
[3] . Carter Doctrine, Annual Message to the Congress on the State of the Union, January 23, 1980 : Let our position be absolutely clear: An attempt by any outside force to gain control of the Persian Gulf region will be regarded as an assault on the vital interests of the United States of America, and such an assault will be repelled by any means necessary, including military force. [Sumber ; Public Papers of the Presidents of the United States, Jimmy Carter 1980-81, vol. 1. Washington, D.C.: U.S. Government Printing Office, 1981. Microsoft® Encarta® Reference Library 2003].
Kutipan :
Saif Al Battar / Manjaniq / Arrahmah
Selasa, 9 Rajab 1433 H / 29 Mei 2012 / 06:25:26
Selasa, 9 Rajab 1433 H / 29 Mei 2012 / 06:25:26
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar