Ketika Patrialis Akbar menjabat sebagai Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia (Menkum HAM), Pemerintah bersikukuh memperjuangkan draf RUU
Nikah Siri yang sudah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Dia
menegaskan, nikah siri perlu diatur agar ada kepastian hukum dalam
pernikahan dan kepastian hukum anak-anak mereka.
Untuk diketahui, draf usulan RUU Nikah Siri Hukum Materiil Peradilan
Agama Bidang Perkawinan menampung pasal tentang nikah siri atau nikah
yang tidak tercatat di kantor urusan agama (KUA). Pasal tersebut
menyebutkan, jika seseorang melakukan nikah siri atau melakukan kawin
kontrak, ia dapat diancam dengan pidana penjara.
Pasal 143 RUU UU yang hanya diperuntukkan bagi pemeluk Islam ini menggariskan, setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan pejabat pencatat nikah dipidana dengan ancaman hukuman bervariasi, mulai dari enam bulan hingga tiga tahun dan denda mulai dari Rp 6 juta hingga Rp12 juta. Selain kawin siri, draf RUU juga menyinggung kawin mut’ah atau kawin kontrak.
Pasal 144 menyebut, setiap orang yang melakukan perkawinan mut’ah dihukum penjara selama-lamanya 3 tahun dan perkawinannya batal karena hukum. RUU itu juga mengatur soal perkawinan campur (antardua orang yang berbeda kewarganegaraan). Pasal 142 ayat 3 menyebutkan, calon suami yang berkewarga negaraan asing harus membayar uang jaminan kepada calon istri melalui bank syariah sebesar Rp500 juta.
Pasal 143 RUU UU yang hanya diperuntukkan bagi pemeluk Islam ini menggariskan, setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan pejabat pencatat nikah dipidana dengan ancaman hukuman bervariasi, mulai dari enam bulan hingga tiga tahun dan denda mulai dari Rp 6 juta hingga Rp12 juta. Selain kawin siri, draf RUU juga menyinggung kawin mut’ah atau kawin kontrak.
Pasal 144 menyebut, setiap orang yang melakukan perkawinan mut’ah dihukum penjara selama-lamanya 3 tahun dan perkawinannya batal karena hukum. RUU itu juga mengatur soal perkawinan campur (antardua orang yang berbeda kewarganegaraan). Pasal 142 ayat 3 menyebutkan, calon suami yang berkewarga negaraan asing harus membayar uang jaminan kepada calon istri melalui bank syariah sebesar Rp500 juta.
Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama Nasarudin Umar menjelaskan,
maksud draf RUU tersebut tiada lain hanya untuk menjadikan kewibawaan
perkawinan terjaga karena dalam Islam perkawinan adalah hal yang suci.
Selain itu, RUU ini diajukan terkait masalah kemanusiaan. Dia berharap,
adanya UU ini nantinya akan mempermudah anak mendapatkan haknya seperti
dapat warisan, hak perwalian, pembuatan KTP, paspor, serta tunjangan
kesehatan dan sebagainya.
Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menyatakan dukungannya terhadap
draf RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan.Dalam
pandangannya, nikah siri itu lebih banyak merugikan anak-anak dan kaum
perempuan. "Anak-anak yang lahir dari kawin siri itu tidak diakui hukum
dan tidak mendapatkan hak waris," jelasnya di Gedung MK kemarin.
Mahfud menyatakan, perempuan yang dinikahi secara siri tidak diakui
oleh hukum sehingga jika seseorang mempunyai dua istri, kemudian istri
pertama adalah hasil pernikahan yang tercatat dan istri kedua adalah
hasil nikah siri, maka istri pertama sangat kuat di hadapan hukum.
Sejumlah aktivis perempuan, termasuk Komisi Nasional (Komnas) Perempuan mendukung atas RUU Nikah Siri. Menurut mereka, tak ada keuntungan bagi perempuan dalam pernikahan siri. Misalnya, jika laki-laki melepaskan diri dari pernikahan, bagaimana dengan hak anak yang dilahirkan nantinya? Perempuan dan anaknya tak bisa menuntut tanggungjawab dari laki-laki atau ayah si anak. Padahal, jika dalam perkawinan sah, perempuan dan sang anak bisa menggugat secara hukum.
Sejumlah aktivis perempuan, termasuk Komisi Nasional (Komnas) Perempuan mendukung atas RUU Nikah Siri. Menurut mereka, tak ada keuntungan bagi perempuan dalam pernikahan siri. Misalnya, jika laki-laki melepaskan diri dari pernikahan, bagaimana dengan hak anak yang dilahirkan nantinya? Perempuan dan anaknya tak bisa menuntut tanggungjawab dari laki-laki atau ayah si anak. Padahal, jika dalam perkawinan sah, perempuan dan sang anak bisa menggugat secara hukum.
Ulama Menolak
Front Pembela Islam (FPI) Kota Depok sempat menentang keras adanya
Rancangan Undang-undang (RUU) tentang nikah siri. Menurut FPI, menikah
secara siri adalah sah dalam hukum Islam dan tidak perlu
dipermasalahkan.
Ketua FPI Depok Habib Idrus Al Gadri mengatakan, anggota DPR seharusnya membuat aturan mengenai perzinahan dan pelacuran, sehingga tidak perlu mempersulit nikah siri. Habib Idrus memandang masalah ini dari kacamata hukum syariat Islam yang seharusnya tidak bermasalah jika nikah siri dilakukan berdasarkan keinginan bersama.
"Jelas saya enggak setuju DPR itu lucu. Kenapa yang seperti ini dibahas? Banyak yang berzina tapi tidak diatur dalam undang-undang, kalau mau sama mau kan enggak masalah," tegasnya, (21/02/10).
Habib Idrus juga mendesak DPR segera mencabut draft RUU tentang nikah siri tersebut. Apalagi, kata Idrus, pidana disusun dengan dalih melindungi perempuan. "Ini RUU yang mengada-ada, saya juga sangat keberatan dengan pidananya, kalau mau sama mau tidak perlu ada dalih melindungi perempuan," jelasnya.
Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi menilai pemidanaan nikah siri yang diatur dalam Draf RUU Nikah Siri adalah sebagai langkah tidak benar. "Saya kira ini tidak benar. Nikah siri cukup diadministrasikan saja. Harusnya yang lebih dulu dipidanakan itu yang tidak nikah (berhubungan seks di luar nikah). Saya yakin ini ada agenda tersembunyi untuk melegalkan yang melakukan seks bebas (free sex) dan menyalahkan yang nikah," kata Hasyim.
Ketua FPI Depok Habib Idrus Al Gadri mengatakan, anggota DPR seharusnya membuat aturan mengenai perzinahan dan pelacuran, sehingga tidak perlu mempersulit nikah siri. Habib Idrus memandang masalah ini dari kacamata hukum syariat Islam yang seharusnya tidak bermasalah jika nikah siri dilakukan berdasarkan keinginan bersama.
"Jelas saya enggak setuju DPR itu lucu. Kenapa yang seperti ini dibahas? Banyak yang berzina tapi tidak diatur dalam undang-undang, kalau mau sama mau kan enggak masalah," tegasnya, (21/02/10).
Habib Idrus juga mendesak DPR segera mencabut draft RUU tentang nikah siri tersebut. Apalagi, kata Idrus, pidana disusun dengan dalih melindungi perempuan. "Ini RUU yang mengada-ada, saya juga sangat keberatan dengan pidananya, kalau mau sama mau tidak perlu ada dalih melindungi perempuan," jelasnya.
Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi menilai pemidanaan nikah siri yang diatur dalam Draf RUU Nikah Siri adalah sebagai langkah tidak benar. "Saya kira ini tidak benar. Nikah siri cukup diadministrasikan saja. Harusnya yang lebih dulu dipidanakan itu yang tidak nikah (berhubungan seks di luar nikah). Saya yakin ini ada agenda tersembunyi untuk melegalkan yang melakukan seks bebas (free sex) dan menyalahkan yang nikah," kata Hasyim.
Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
(UMY), Homaidi Hamid, S.Ag., M.Ag juga menanggapi polemik nikah siri.
Menurutnya, RUU Peradilan Agama bidang Perkawinan dinilai tidak
komprehensif jika perbuatan zina atau kumpul kebo juga tidak dipidanakan.
Lebih lanjut Homaidi menjelaskan, adanya RUU yang mengatur sanksi
bagi nikah siri pada awalnya dilakukan dengan alasan atau bertujuan
untuk melindungi status anak dan istri yang banyak dirugikan pada kasus
nikah siri. “Dengan melihat tujuan dari RUU tersebut, jelas bagus.
Karena selama ini anak-anak maupun istri-istri hasil nikah siri tidak
memiliki kekuatan hukum,” urainya.
Hanya saja kalau orang menikah siri kemudian memiliki anak
dipidanakan akan menjadi tidak adil karena perbuatan zina yang memiliki
anak juga tidak dipidana. Padahal anak hasil berzina tersebut tidak
mempunyai kekuatan hukum. “Jika orang menikah siri dipidana seharusnya
orang berzina juga dihukum,” tambahnya.
Nikah siri dipahami sebagai pernikahan yang dilakukan berdasarkan
ketentuan hukum Islam. “Pernikahan dilakukan dengan memenuhi syarat
nikah, rukun nikah serta ada wali pernikahan juga. Namun pernikahan ini
belum dicatat di pengadilan sehingga tidak memiliki akta perkawinan.
Walaupun sebenarnya akta tersebut bukan yang menentukan sah tidaknya
pernikahan melainkan bukti terjadinya pernikahan. Tidak ada bukti inilah
yang menyebabkan anak maupun istri dari pernikahan siri tidak memiliki
payung hukum.” tuturnya.
Namun menurut Homaidi, masyarakat yang sudah menjalankan nikah siri
tidak perlu risau karena nikah siri dapat disahkan melalui pengadilan
agama. “Nikah siri dapat diresmikan di pengadilan agama dengan nama
isbat nikah. Isbat nikah merupakan penetapan pengadilan bahwa pernikahan
yang dilakukan sebelumnya adalah sah.” tuturnya.
Masalah Perdata
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU) Arwani
Faishal mengingatkan bahwa pernikahan adalah masalah perdata. Karena itu
akan menjadi kezaliman pemerintah jika memenjarakan pelakunya. Dia
kemudian membandingkan dengan pelaku kumpul kebo yang jelas-jelas
bertentangan dengan agama mana pun, tapi tidak pernah dikenai sangsi
pidana oleh negara.
"Lho, orang-orang yang menjalankan ajaran agama justru diancam dengan hukuman penjara? Jika ini terjadi justru negara malah bertindak zalim,"kata Arwani. Menurutnya, pernikahan siri atau pernikahan yang tidak didaftarkan secara administratif kepada negara adalah perkara perdata yang tidak tepat jika diancam dengan hukuman penjara. Bahkan sanksi material (denda) juga tetap memiliki dampak sangat buruk bagi masyarakat.
"Bila mengenakan denda dalam jumlah tertentu untuk orang-orang yang melakukan nikah siri, tentu hal ini dapat menimbulkan ketidakadilan. Bukan masalah bagi mereka yang punya uang banyak. Namun tidak adil bagi mereka yang secara ekonomi hidupnya pas-pasan,"kata Arwani. Dalam pandangannya, nikah siri memiliki berbagai dampak positif (maslahah) dan dampak negatif (mafsadah) yang sama-sama besar.
Jika dilegalkan, akan sangat rawan disalahgunakan dan jika tidak diakui akan bertentangan dengan syariat Islam. "Untuk itu dampak negatif dan positif pernikahan siri harus dikaji dan disikapi bersama,"katanya.
"Lho, orang-orang yang menjalankan ajaran agama justru diancam dengan hukuman penjara? Jika ini terjadi justru negara malah bertindak zalim,"kata Arwani. Menurutnya, pernikahan siri atau pernikahan yang tidak didaftarkan secara administratif kepada negara adalah perkara perdata yang tidak tepat jika diancam dengan hukuman penjara. Bahkan sanksi material (denda) juga tetap memiliki dampak sangat buruk bagi masyarakat.
"Bila mengenakan denda dalam jumlah tertentu untuk orang-orang yang melakukan nikah siri, tentu hal ini dapat menimbulkan ketidakadilan. Bukan masalah bagi mereka yang punya uang banyak. Namun tidak adil bagi mereka yang secara ekonomi hidupnya pas-pasan,"kata Arwani. Dalam pandangannya, nikah siri memiliki berbagai dampak positif (maslahah) dan dampak negatif (mafsadah) yang sama-sama besar.
Jika dilegalkan, akan sangat rawan disalahgunakan dan jika tidak diakui akan bertentangan dengan syariat Islam. "Untuk itu dampak negatif dan positif pernikahan siri harus dikaji dan disikapi bersama,"katanya.
Sepertinya kaum feminis dan liberal tetap ngotot untuk terus
melanjutkan gagasannya yang tertunda untu mengkriminalisasi para pelaku
pernikahan siri.
Umat Islam tentu saja harus menghormati martabat kaum
perempuan, namun juga tidak mentolerir perzinahan. Upaya Departemen
Agama, untuk memasukkan draft ini dalam RUU tentang Hukum Materiil
Peradilan Agama Bidang Perkawinan, harus ditolak secara tegas.
Maka jangan memplintir kasus Bupati Garut Aceng Fikri, untuk
mengusung agenda terselubung untuk membiarkan perzinahan, dan menggugat
nikah sirri.
source
voaislam/kamis,06dec2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar