JAKARTA -
Direktur The Community Of Islamic Ideology Analyst (CIIA) dan pemerhati
kontra terorisme Harits Abu Ulya, membeberkan sejumlah bukti dan
analisa kritis terkait penindakan kasus terorisme oleh aparat kepolisian
baik itu Brimob maupun Densus 88.
Dari
mulai kasus salah tangkap terhadap 14 orang di Poso dan penembakan di
teras masjid Nur Al Afiah, Makassar serta di Dompu dan Bima, menjadi
fokus pembicaraan wawancara eksklusif voa-islam.com bersama Harits Abu
Ulya, Kamis (10/1/2013). Berikut ini kutipan lengkap wawancara tersebut.
Apakah salah tangkap 14 orang di Poso itu murni salah tangkap atau pura-pura salah tangkap? Alasannya?
Saya
bicara dari fakta empiriknya; 14 orang itu salah tangkap. Setelah 7x24
jam mereka diinterograsi dengan dilakban (tutup mata/kepala) disertai
dengan tindak kekerasan yang sangat tidak manusiawi kemudian mereka
dilepas.
Dan
pihak kepolisian bisa jadi punya argumentasi yang berbeda. Tapi menurut
saya bukti kekerasan dan salah tangkap ini sangat mencolok mata.
Sekarang oknum masih diproses di Polda setempat, cuma hasilnya belum
disampaikan secara transparan ke publik. Justru yang terlihat pihak
aparat kepolisian terkesan ingin menutupi kasus ini, dengan dalih yang
tidak logis.
Misalkan
mereka masih butuh saksi lengkap sejumlah 14 orang yang mengaku
ditangkap dan disiksa. Apakah tidak cukup dengan 9 atau sepuluh orang
yang babak belur menjadi bukti adanya tindak pidana yang sangat serius
oleh aparat (oknum)?
Dan
lebih anehnya lagi, ketika mereka di introgasi dengan mata tertutup dan
menerima kekerasan fisik yang tidak manusiawi tersebut dianggap tidak
bisa menunjukkan orang-perorang yang melakukan penganiayaan.
Ya jelas
saja, tapi naïf kalau alasan ini dibuat kemudian pihak Polda tidak
mampu memproses, kecuali memang aparat itu bukanlah penegak hukum
melainkan gerombolan penjahat yang terorganisir.
Artinya
proses operasi aparat dengan alasan memburu “teroris” kan semua ada
kontrol dan komandan, provost bisa teliti dan saya rasa tidak sulit
untuk menemukan siapa saja yang terlibat tindakan tidak manusiawi ini.
Jadi ini bukan kasus pura-pura salah tangkap, ini kasus serius yang
kesekian kalinya dalam drama kontra terorisme.
Ekstra
Judicial Killing yang dilakukan di Makassar, Dompu dan Bima serta kasus
sebelumnya di Poso itu karena korban menyerang atau Densus 88 paranoid?
Hampir
semua cerita itu dari satu sumber, yakni pihak kepolisian (Densus 88).
Setiap paska operasi kemudian tim Densus 88 membuat laporan dan laporan
ini yang dijadikan acuan pihak Mabes melalui humasnya untuk menyampaikan
kronologi dan sebagainya. Tidak ada informasi pembanding atau sangat
minim munculnya informasi penyeimbang yang bisa menjelaskan kebenaran
obyektif apa yang terjadi dilapangan.
Kasus di
Poso, Kholid dieksekusi tanpa perlawanan sepulang solat subuh. Dan
semua saksi melihat kejadiannya seperti itu. Kasus di Makassar juga
sama, dua guru tahfizh Qur’an masjid Ar Ridla Sudiang Makassar di
eksekusi paska shalat dhuha di teras masjid Nur Al Afiah RS Wahidin
Makassar.
Saksi
mata banyak menuturkan tidak ada baku tembak. Yang ada adalah 2 orang
ditembak oleh aparat Densus 88 tanpa perlawanan. Dan yang penting,
masalah BB (barang bukti) adanya pistol dan sebuah granat nanas
kebenaranya tidak bisa lagi secara obyektif dibuktikan. Karenanya
pemiliknya juga sudah meninggal.
Bukan
tidak mungkin bahwa BB tersebut adalah direkayasa (diadakan oleh Densus
88). Seperti halnya sejauh mana kebenaran tuduhan bahwa mereka “teroris”
dan terlibat aksi di Pos? Semua jadi kabur karena orang yang dituduh
sudah meninggal.
Bahkan
jikapun benar mereka terlibat, maka sejauh mana level keterlibatan
mereka tidak bisa juga diverifikasi. Namun faktanya tetap saja mereka
tewas dibawah undang-undang “Terduga Teroris”.
Yang
Dompu juga demikian, sekarang musim berkebun di bukit atau gunung.
Mereka yang dieksekusi bukan turun gunung setelah latihan, tapi mereka
berkebun. Yang lebih dahsyat adalah dari 5 orang yang tewas, 2 orang
belum jelas identitasnya.
Jadi
logika sehatnya; bagaimana bisa Densus 88 bunuh orang dengan alasan
terduga teroris, sementara kenal saja tidak. Sampai mereka tewas pun
juga belum jelas identitasnya siapa merek?
Sangat
naïf sekali dan ini kedzaliman yang luar biasa.Orang bisa di bunuh kapan
saja, baik kenal atau tidak asal ada alasan terduga teroris. Ini
menunjukkan kegagalan operasi intelijen Densus 88 dilapangan.
Densus 88/Brimob sering sekali salah tangkap dan melakukan ekstra Judicial killing tetapi tidak pernah dihukum. Mengapa?
Mereka
jumawa karena merasa mendapatkan mandat UU dan dukungan luas baik
masyarakat maupun negara Barat (Amerika CS). Mereka merasa diatas angin,
ada dalam sebuah arus besar yang tidak ada yang bisa membendung atau
menghentikan.
Dan yang
paling penting ini karena persoalan politik, bukan murni bicara tentang
sebuah tindakan kejahatan (crime). Terorisme adalah sebuah “crime”
dengan definisi dan kepentingan politik dari negara yang mengusungnya.
Dan
orang-orang yang terzalimi tidak punya daya, terpuruk dalam ketidak
adilan hukum yang secara politik dan sosial tidak berempati kepada
dirinya. Saya tetap optimis, kejahatan Densus 88 tetap saja akan
menemukan garis demarkasinya. Dan tidak ada kejahatan kecuali ada
balasan dan catatannya. Wallahu a’alam
source
vpaislam/sabtu,12jan2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar