Dari 180 rekomendasi, pemerintah mengadopsi 144 rekomendasi dan 36
sisanya akan dibawa ke Indonesia untuk dipertimbangkan dan diputuskan
pada September 2012, pada sesi 21 Dewan HAM PBB.
Nampaknya, pemerintah Indonesia mengadopsi mayoritas rekomendasi resolusi Dewan HAM PBB itu. Diantara yang menjadi sorotan Dewan HAM PBB itu :
Nampaknya, pemerintah Indonesia mengadopsi mayoritas rekomendasi resolusi Dewan HAM PBB itu. Diantara yang menjadi sorotan Dewan HAM PBB itu :
“Harmonisasi sejumlah peraturan daerah (perda)
diskriminatif dengan standar HAM dan menghapus perda yang memicu
diskriminasi berbasis agama, selain itu juga membatalkan undang-undang
maupun kebijakan yang membatasi hak atas kebebasan berpikir dan
berekspresi”.
Tentang menyangkut sejumlah peraturan daerah (perda) yang diangap
diskiriminatif, sebagai akibat sejumlah daerah di Indonesia, yang
menetapkan sejumlah perda, yang melarang berbagai bentuk penyakit
sosial seperti, “Molimo” (madon-berzina, mendem-mabok, madat-narkoba, main-judi, dan mateni-membunuh”.
Apakah itu sebuah pelanggaran HAM? Jika pemerintah daerah, menetapkan
peraturan daerah, yang melarang pelacuran, berzina, minum, narkoba,
judi, dan membunuh? Tentu setiap pemerintah daerah, di era otonomi
berhak membuat perutaran, yang dapat menjamin ketertiban, keamanan,
kehidupan moralitas masyarakat luas. Dengan menghapus berbagai penyakit
sosial.
Pemerintah pusat seharusnya menghormati, sejumlah pemerintah daerah,
yang didukung DPRD, berinisiatif membuat peraturan dalam rangka menjamin
kondisi daerahnya, menjadi lebih normal, termasuk melarang dan
membatasi segala aktifitas yang dapat membahayakan kehidupan warganya.
Apakah dengan dalih kebebasan dan hak asasi manusia, segala
penyimpangan, kemudian dibiarkan dan tidak diatur. Jika sebuah
penyimpangan itu tidak diatur, dan dibiarkan, maka akan terjadi
malapetaka dalam kehidupan.
Rakyat dibiarkan berzina secara bebas, dan membiarkan para pelacur
melakukan praktek di mana-mana, orang minum minuman keras dibiarkan,
orang menggunakan narkoba tidak ditindak, orang judi bisa bebas, dan
setiap orang dibiarkan membunuh terhadap orang lain?
Memang, belum lama ini, Mendagri Gumawan Fauzi, sudah menegaskan
hendaknya, seluruh pemerintahan daerah mencabut peraturan daerah
(perda), yang dinilai bertentangan dengan undang-undang yang lebih
tinggi (UUD’45) dan Pancasila.
Tetapi, bagaimana pemerintah pusat mengebiri pemerintah daerah, yang
membuat berbagai peraturan, yang tujuannya ingin melindungi dan menjaga
rakyatnya? Apakah, perda itu sebagai sebuah pelanggaran, dan harus
dibatalkan, dan sama sekali tidak diakomodasi? Hanya karena perda itu
dituduh sebagai perda : “Syariah”?
Sejatinya, adanya perda-perda yang dibuat oleh pemerintah daerah itu,
tujuannya melindungi masyarakat dari berbagai penyakit sosial, dan
menjamin agar rakyat tidak hancur. Semua bentuk kejahatan yang ada dalam
bentuk “molimo” yang sudah menjadi penyakit sosial, di mana
sekarang sudah sangat akut, maka pada akhirnya menghancurkan
sendi-sendi kehidupan bangsa Indonsia.
Tetapi, bagaimana masalah internal pemerintahan di Indonesia harus
sampai masuk dalam agenda sidang Komisi HAM PBB? Betapa LSM-LSM dan
fihak Gereja begitu paranoid terhadap umat Islam, dan pemerintah daerah
yang mangadopsi aspirasi rakyat melalui DPRD melarang berbagai
penyimpangan yang ada, kemudian dituduh melanggar HAM?
Di bagian lain yang disoroti Komisi HAM PBB terkait dengan pelangaran HAM di Indonesia :
“Terkait isu kebebasan beragama: mel akukan tinjau ulang dan mencabut kebijakan yang membatasi kebebasan beragama, memastikan semua produk hukum yang mengatur kehidupan beragama sesuai dengan standar HAM internasional, pelatihan bagi aparat untuk penegakan hukum dan perlindungan atas kebebasan beragama, membangun upaya intensif dan langkah kongkret stop kekerasan berbasis agama, investigasi dan hukum pelaku kekerasan terhadap minoritas agama, dan menghentikan syiar kebencian”.
Komisi HAM PBB sangat serius menanggapi tentang adanya pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia. Tentu, hal ini terkait dengan isu masalah Ahmadiyah, dan larangan pendirian Gereja Yasmin di Bogor,yang dilaporkan oleh LSM-LSM, dan Dewan Gereja Indonesia kepada Komisi HAM PBB, di Jenewa.
“Terkait isu kebebasan beragama: mel akukan tinjau ulang dan mencabut kebijakan yang membatasi kebebasan beragama, memastikan semua produk hukum yang mengatur kehidupan beragama sesuai dengan standar HAM internasional, pelatihan bagi aparat untuk penegakan hukum dan perlindungan atas kebebasan beragama, membangun upaya intensif dan langkah kongkret stop kekerasan berbasis agama, investigasi dan hukum pelaku kekerasan terhadap minoritas agama, dan menghentikan syiar kebencian”.
Komisi HAM PBB sangat serius menanggapi tentang adanya pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia. Tentu, hal ini terkait dengan isu masalah Ahmadiyah, dan larangan pendirian Gereja Yasmin di Bogor,yang dilaporkan oleh LSM-LSM, dan Dewan Gereja Indonesia kepada Komisi HAM PBB, di Jenewa.
Masalah Ahmadiyah, tentu Komisi HAM PBB, tidak dapat hanya melihat
itu, sebagai pelangaran HAM. Karena, hal itu menyangkut masalah yang
pokok (asas). Di mana dikalangan para pemimpin Islam di Indonesia,
sudah menyampaikan kepada pemerintah, solusi yang diinginkan dalam
rangka menyelesaikan masalah Ahmadiyah.
Ahmadiyah adalah masalah internal umat Islam. Usaha dialog dengan
fihak Ahmadiyah dan pemerintah sudah berulang kali diselenggarakan,
tetapi pemerintah tidak mengambil langkah tegas. Terhadap Ahmadiyah.
Inilah yang kemudian menimbulkan konflik di tingkat bawah.
Kalangan umat Islam menilai Ahmadiyah sebagai kelompok yang
menyimpang dari mainstream (arus utama) umat Islam, yang samasekali
tidak dapat ditoleransi. Ahmadiyah mengaku memiliki nabi sendiri, dan
memiliki kitab sendiri, dan itu semua bertentangan dengan keyakinan
mayorita umat Islam.
Apakah dengah dalih kebebasan beragama umat Islam harus membiarkan
Ahmadiyah melakukan aktifitas, dan melakukan gerakan, yang mengajak umat
Islam masuk ke dalam Ahmadiyah, yang sudah terang-terangan menyimpang
dari pokok ajaran Islam?
Tentang Gereja Yasmin.
Gereja Yasmin merupakan salah satu dari gereja yang banyak di
Indonesia. Di mana prosedur pendirian sangat manipulatif. Dengan cara
melanggar kesepakatan yang sudah tertuang dalam SKB Tiga Menteri,
tentang tata cara pendirian rumah ibadah. Diantaranya, setiap gereja
yang hendak didirikan, harus mendapatkan persetujuan tanda tangan 90
warga di sekitar lokasi.
Sering terjadi fihak gereja melakukan manipulasi tanda tangan
penduduk setempat. Di mana dengan tanda tangan yang dimanipulasi itu,
kemudian gereja mendapat izin pendirian gereja. Bayangkan, di
Indonesia pertumbuhan gereja, lebih 200 persen, dibandingkan dengan umat
Islam, yang mayoritas di Idnonesia, yang tidak sampai 100 persen
pertumbuhan setiap tahun. Ini berdasarkan hasil penelitian Departemen
Agama 2009.
Masihkah fihak gereja merasa dibatasi hak-hak dasar mereka? Sehingga,
kasus Gereja Yasmin, harus dilaporkan kepada Komisi HAM PBB, sebagai
pelanggaran HAM di Indonesia.
Orang Islam setiap hari dibunuhi di mana saja tidak ada yang
mengangkat ini ke Komisi HAM PBB. Di Barat, khususnya di Eropa dan
Amerika Serikat, dapatkah umat Islam menjalankan hak-hak dasarnya,
seperti keyakinan agama mereka secara bebas.
Di sejumlah negara Eropa, pemerintahannya melarang wanita menggunakan
kerudung dan cadar. Akitivitas keagamaan mereka batasi. Sejumlah
hak-hak dasar mereka ikut juga dibatasi, seperti dalam pendidikan,
dibidang ekonomi, sosial, dan budaya.
Sekarang di seluruh negara-negara
Barat, terjadi mengalami diskriminasi yang begitu hebat terhadap umat
Islam. Tetapi, adakah yang berbicara hak asasi umat Islam?
Masjid-masjid dilarang mengumandangkan adzan dengan menggunakan
pengeras suara. Semua aktivitas umat Islam direduksi dengan sangat
keras. Umat Islam kemana saja diawasi. Umat Islam sudah dengan
steriotipe yang negatif sebagai militan, fundamentalis, dan ektrimis,
serta teroris.
Berbeda setiap pemerintah Barat, khususnya Amerika dengan sangat
enaknya membunuhi umat Islam dan tokoh-tokohnya hanya dengan modal
stempel “teroris”, merekasudah dapat bertindak apa saja, termasuk membunuh Muslim.
Di Indonesia sudah berapa banyak umat Islam, yang belum dibuktikan
kesalahannya, langsung ditembak di jalan-jalan dan di rumah-rumah
mereka, hanya karena mereka dituduh sebagai “teroris”. Kejahatan atau
kesalahannya tidak pernah dibuktikan didepan pengadilan.
Mereka disiksa di penjara-penjara. Adakah yang memperhatikan nasib
mereka. Seperti halnya mereka yang sampai sekarang masih disimpan di
penjara Guantanmo, di Teluk Kuba,hanya karena mereka ingin menegakkan
aturan dan hukum Allah.
Sementara hanya gara-gara masalah Ahmadiyah dan Gereja Yasmin di
Bogor, Indonesia sudah diadukan kepada Komisi HAM di Jenewa oleh LSM-LSM
dan Dewan Gereja.
Sepanjang pemerintah Soeharto berapa banyak umat Islam di bantai oleh
rezim biadab Soeharto, di Aceh, Lampung, dan Tanjung Priok, dan di
sejumlah penjara? Tidak ada yang melaporkan Soeharto kepada Komisi HAM
PBB.
Jadi kalau umat Islam mati dibunuh, di kristenkan, di murtadkan, dan
benamkan ke dalam penjara-penjara serta disiksa itu sifatnya “given”
belaka? Lembaga-lembaga internasional dan multilarel (global), datang
ke negara-negara Afrika, Asia, Timur Tengah, dan memurtadkan mereka,
mendirikan gereja, padahal yang beragama Kristen bisa dihitung dengan
jari di tengah-tengah Muslim, lalu kalangan Muslim harus menerima begitu
saja?
Jadi kalau Ahmadiyah terus menyebarkan faham yang melawan
“mainstream” mayoritas Muslim dan Gereja memurtadkan Muslim harus
dibiarkan saja? Begitu? Wallahu’alam.
source :
VoA-Islam
Jum'at, 08 Jun 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar