JAKARTA – Dalam bukunya “Tasawuf
Sebagai Kritik Sosial”, Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj menegaskan, umat
Islam dalam perjalanan hidupnya haruslah mencita-citakan kebahagiaan
hidup di dunia dan di akhirat sebagai terminal akhir. Kebahagaiaan dan
kedamaian itulah yang kemudian diwujudkan dalam sebuah ruang yang
bernama “Darussalam”, negeri yang damai dan sentosa. Sementara sebutan
Darul Islam, negeri Islam, hanyalah merupakan kulit atau tampilan
luarnya semata.
Menurut Said, memimpikan sebuah Darul Islam, selain menguras
tenaga dengan percuma, juga akan konyol, dan pasti menemui jalan buntu.
Dalam lintasan sejarah umat di Indonesia, membangun Darul Islam tak akan
pernah berhasil diwujudkan. Oleh karena itu, sangatlah strategis
langkah para ulama pada Muktamar NU di Banjarmasin pada tahun 1936, yang
menghasilkan keputusan penting, yakni mereka menempatkan negara
Indonesia sebagai Darussalam, dan bukan Darul Islam.
Dikatakan Strategis karena hingga saat ini konstruksi tersebut
sangat relevan dan konsisten dengan berdirinya NKRI dibawah payung
Pancasila dan UUD 45, yang didalangi diantaranya oleh tokoh NU sendiri,
yakni KH. Wahid Hasyim. Kemunculan Khiththath Nahdliyah 1926 kemudian
dikukuhkan dalam Muktamar NU di Situbondo 1984, menunjukkan komitmen
tersebut. Dengan kata lain, cara berpolitik NU tetap dalam kerangka
Negara Kesatuan RI sebagai wadah Darussalam. (hal 159)
Dengan mudahnya kiai NU ini menjust kelompok Islam yang tulus
mendambakan Darul Islam atau setidaknya melahirkan perda-perda “syariah”
sebagai pihak yang memperalat atau mem-politisasi agama. “Jadi,
politisasi agama berarti melakukan segala aktivitas dalam suatu sistem
politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan
dari sistem itu dan melaksanakannya dengan menggunakan legitimasi agama.
Proses politisasi agama secara otomatis menimbulkan proses
desakralisasi agama itu sendiri hingga ke titik nadir,” ungkap Said tendensius.
Said Aqil lalu memberi contoh politisasi agama yang menorehkan
sejarah kelam peradaban manusia. Ia menyebut peristiwa eksekusi mati
sufi besar Al-Hallaj, genocide sekte Syiah di masa kekuasaan Bani Umayah
hingga pembumihangusan ajaran Mu’tazilah di akhir pemerintahan Dinasti
Abbasiyah seabagi bentuk politisasi agama. (hal 168).
Dengan sangat beraninya, Said Aqil bahkan mencibir pencetus
Pan-Islamisme yang dirintis Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh,
termasuk gerakan Ikhwanul Muslimin yang dipelopori Hasan Al-Banna. “Sejak
awal abad ke-20 hingga kini ada desakan sebagian orang Islam yang
mengaku sebagai pembaharu atau modernis, untuk mendirikan negara Islam
atau Pan-Islamisme. Termasuk tuntutan Islamisasi di berbagai sektor
kehidupan berbangsa dan bernegara. Sayangnya, yang terlihat mulia
tersebut, belum satu pun terwujud di muka bumi ini.” (hal 271)
Kenapa tidak terwujud? Said mengatakan, “Menurut saya, selain
kerancuan mereka dalam membedakan “institusi Islam” dan “Fungsi dan misi
Islam”, juga karena diselubungi oleh kepentingan kekuasaan dengan dalih
perjuangan Islam…memperalat Islam sebagai tunggangan politik yang
merendahkan nilai-nilai luhur agama tersebut.” (Hal 271)
Said juga mengekspresikan ketidaksukaannya dengan pengibaran bendera
Islam, saat dibentuk MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) yang kemudian
berubah menjadi Masyumi. Disusul hadirnya sejumlah konstestan dalam
Pemilu 1955 dari partai-partai yang memakai label “Islam”.
Bukan hanya
itu, Said begitu gembira ketika para founding father mencoret
kata “dengan kewajiban melaksanakan syariat bagi para pemeluknya” dalam
Piagam Jakarta. Kandasnya Piagam Jakarta, yang ia sebut sebagai
kepentingan politik, telah disyukuri Said dalam buku yang ditulisnya
secara berulang-ulang. (hal 272)
“…Indonesia bukanlah negara agama, juga bukan negara sekuler.
Peluang tampilnya formalitas identitas agama dalam percaturan politik
akhirnya tertutup rapat melalui kesepakatan asas tunggal Pancasila (Hal.
273),” tulis Said.
Secara kasar, Said menyebut tokoh Islam yang mengganti Pancasila
sebagai pemikir yang dangkal. “Salah satu contoh kedangkalan tersebut
nampak dari upaya beberpa orang yang mengaku cendekiawan yang ingin
mengganti Pancasila dengan asas Islam, sehingga baginya negara Islam itu
haruslah diwujudkan.”
Ketika agama menjadi ruh untuk mengatur kehidupan berbangsa dan
bernegara, Said malah menuduh agama sebagai alat kepentingan. Lalu
dengan bodoh, Said mengatakan, seharusnya agama sebagai inspirasi, bukan
aspirasi. Padahal keduanya, inspirasi dan aspirasi adalah hal yang
tidak bisa dipisahkan.
source:
Desastian / VoA-Islam
Selasa, 05 Jun 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar