Itulah sebabnya kenapa para habaib dan ulama besar NU mendesak Rois
Aam PBNU agar meninjau ulang jabatan Said Aqil Siradj sebagai Ketua Umum
PBNU. Surat teguran itu ditandatangani oleh delapan habib dan ulama
kharismatik NU Jakarta, antara lain: KH Maulana Kamal Yusuf, KH Abdur
Rosyid Abdullah Syafi’i, Habib Abdurrohman Al-Habsyi, Habib Idrus Hasyim
Alatas, KH Saifuddin Amsir, KH Fachrurrozy Ishaq, KH. M. Rusydi Ali dan
KH Manarul Hidayat.
Seperti dberitakan sebelumnya, surat yang ditandatangani oleh delapan
ulama itu disampaikan langsung kepada Rois Aam PBNU, KH. Sahal Mahfudz.
“Seiring akan dilaksanakannya MUNAS Alim-Ulama NU dan Konbes NU di
Cirebon tanggal 14-17 September 2012, kami Ulama dan Habaib DKI Jakarta
menghimbau kepada Ro’is Aam PBNU untuk menegur dan meninjau kembali
kembali keberadaan Dr KH Aqil Siradj sebagai Ketua Tanfidziyah PBNU,”
desak para ulama, Rabu (12/9/2012).
Menyimak pemikiran Said Agil Siraj lewat buku-bukunya atau pun
ucapannya dalam forum-forum tertentu, acapkali menimbulkan kontroversial
di tengah umat. Tak heran, jika banyak pihak menilai, termasuk
kiai-kiai NU sendiri, bahwa Said Agil adalah pewaris pemikiran Gus Dur
yang liberal.
Sebagai contoh ia mendukung diresmikannya Abdurrahman Wahid Center
(AWC) di Kampus Universitas Indonesia (UI), Depok, Jawa Barat. Setelah
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Ciputat, para
pengasong liberal hendak menebar dan menghidupkan kembali pemikiran
sesat Gus Dur di Kampus UI Depok.
Juga masih segar dalam ingatan, ketika Ketua Umum PBNU itu bersikap
tidak jelas, saat menyikapi Lady Gaga. Ia katakan, sejuta Lady Gaga,
iman warga NU tidak akan berubah. Begitulah statemen seorang kiai yang
ternyata tidak dipatuhi oleh warganya sendiri.
Dan benar saja, ternyata Said Aqil adalah seorang yang sekuler dan
liberal. Betapa ia begitu anti dengan simbol-silmbol Islam, terjangkit
syariat Islam Phobia, dan mengagung-agungkan sosok seperti al-Hallaj,
Ibn Arabi, hingga Syekh Siti Jenar. Pemikirannya dibingkai atas nama
tasawuf.
Saat mendeklarasikan Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI) di
Gedung PBNU, Said membagi-bagikan buku berjudul “ Tasawuf Sebagai Kritik
Sosial: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi, Bukan Aspirasi”. Buku
setebal 472 halaman tersebut diterbitkan oleh SAS Foundation bekerjasama
dengan LTN PBNU. Buku itu isinya begitu sangat liberal dan menyesatkan.
Salah satu contoh, betapa bangganya Said Aqil Siraj ketika PBNU tidak
ikut-ikutan membuat fatwa sesat Ahmadiyah, seperti yang difatwakan oleh
MUI Pusat. Sungguh aneh, jika Said justru berempati pada Ahmadiyah. Ia
justru melempar tuduhan, kelompok Islam yang mengawal fatwa MUI tentang
sesatnya Ahmadiyah, dengan ungkapan: “Islam, dengan kata lain, sudah
menjadi agama pembenaran bagi segenap tindakan yang tidak bermoral dan
tidak beradab, dan bukan lagi sebagai sebuah “hikmah” atau moralitas..” (hal 28).
Kiai yang satu ini juga menolak perda yang bernuansakan syariat Islam. Bisa disimak dari tulisannya: “Singkatnya,
semangat dasar dari syariat Islam adalah moralitas, dan bukan syariat
yang identik dengan perda-perda (peraturan daerah) di era otonomi daerah
seperti sekarang ini.” (hal 30).
Said Agil bahkan menolak fatwa MUI soal haramnya paham sepilis. Ia katakana begini: “… Jadi, tidak perlu misalnya dengan mengeluarkan fatwa-fatwa halal-haram, yang justru kian membuat bingung umat,”
ungkap Said. (hal 291). Pada halaman 363, Said mengatakan, sekulerisasi
dalam Islam lebih dekat dengan pengertian “islahuddin” atau pembaharuan
agama. (hal 363).
Inilah pernyataan yang paling parah dari buku tersebut: Bicara soal Tuhan, Said Aqil menyatakan,
agama manapun di muka bumi, pasti meyakini dan mengimani adanya Zat
Mahakuasa yang menciptakan alam semesta dan seisinya. Perbedaan
penyebutan nama Tuhan, apakah itu Allah, Sang Hyang Widi, Dewa, Thian
ataupun lainnya, bukanlah penghalang bagi keimanan seseorang. Substansi
Tuhan, sungguh pun disebut dengan beribu-ribu nama, hakikatnya satu,
yaitu Zat Pencipta alam semesta dan seisinya, yang mengatur roda
kehidupan segala makhluk di dunia hingga di akhirat kelak.” (hal 263).
“Tuhan pun tidak akan marah seandainya tidak dipanggil Allah,
seperti halnya orang Jawa yang memanggil “Pangeran” atau “Gusti Allah”.
Semua symbol dan realitas lahiriah bukanlah tujuan beribadah dan
beragama. Terminal akhir dalam beragama dan beribadah adalah komitmen
seseorang untuk menghambakan diri kepada Tuhan. Tidak sedikit orang yang
mengatasnamakan agama, tapi hakikatnya justru mentuhankan diriny dan
melalaikan Allah.” (hal 310)
Sudah sangat jelas, apa isi otak seorang Said Aqil Siraj. Masih bisa disebut sebagai ulama kah??
source
voaislam/jum'at,14sep2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar