Beberapa hari terakhir, bumi Jihad yang diberkahi, bumi Syam,
mengalami badai fitnah di kalangan para pejuangnya. Pertikaian antara
Mujahidin Daulah Islam Irak dan Syam (ISIS) dengan kelompok lain
diekspos secara besar-besaran oleh media sekuler untuk menjatuhkan
Mujahidin. Berikut ini adalah nasehat yang diberikan oleh Ikatan Ulama
Suriah untuk para pejuang Suriah khususnya Mujahidin ISIS.
بذل النصيحة للمجاهدين في الدول الإسلامية
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang
Kepada saudara-saudara kami, putra-putra Daulah Islam Irak dan Syam, dan setiap orang yang pesan ini sampai kepada dirinya.
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Kami
memuji Allah Yang tiada Ilah yang berhak diibadahi selain-Nya. Kami
memanjatkan shalawat dan salam kepada nabi kita Muhammad, keluarganya
dan seluruh sahabatnya. Amma ba’du.
Ini adalah nasehat yang kami
persembahkan kepada saudara-saudara kami mujahidin dalam kelompok Daulah
Islam dan selainnya. Saya memulainya dengan tiga buah mukaddimah,
kemudian saya menerangkan sebelas masalah. Dengan memohon pertolongan
kepada Allah semata, saya katakan:
Mukaddimah pertama
Tempat mengembalikan perkara adalah Al-Qur’an dan As-sunnah
Tidak
samar lagi bagi kalian bahwa Allah Azza wa Jalla mengutus rasul-Nya
dengan petunjuk dan agama kebenaran agar ia memenangkan agama-Nya atas
seluruh agama lainnya. Allah menurunkan kepada beliau Al-Kitab
(Al-Qur’an) agar menjadi syariat bagi beliau dan minhaj (way of life/jalan
hidup) yang beliau berjalan di atasnya. Allah mengaruniakan Al-Hikmah
yaitu As-Sunnah kepada beliau agar beliau menjelaskan kepada umat
manusia apa yang Allah turunkan kepada mereka di dalam Al-Qur’an. Allah
Ta’ala berfirman :
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ
بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ
وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا
تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا
مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا
Dan Kami telah menurunkan kepadamu
Al-Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan wahyu yang sebelumnya,
yaitu kitab-kitab suci (yang diturunkan sebelumnya) dan sebagai tolok
ukur kebenaran terhadap kitab-kitab suci yang lain itu. Maka putuskanlah
perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah
datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kalian Kami berikan
syariat (aturan) dan minhaj (jalan yang terang, way of life). (QS.
Al-Maidah [5]: 48)
Allah Azza wa Jalla menyatakan bahwa Al-Qur’an yang mulia ini adalah nikmat-Nya yang agung kepada kita dan Allah menjadikannya sebagai amanah berat yang kita harus menyesuaikan diri kita dengannya.
Allah Azza wa Jalla menyatakan bahwa Al-Qur’an yang mulia ini adalah nikmat-Nya yang agung kepada kita dan Allah menjadikannya sebagai amanah berat yang kita harus menyesuaikan diri kita dengannya.
Allah Azza wa Jalla berfirman :
لَقَدْ
مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ
أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ
الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ
مُبِينٍ
Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang
yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang rasul dari
golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah,
membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab
(Al-Qur’an) dan Al-Hikmah (As-Sunnah). Dan sesungguhnya sebelum
(kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang
nyata. (QS. Ali Imran [3]: 164)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
”
أَمَّا بَعْدُ، أَلَا أَيُّهَا النَّاسُ فَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ يُوشِكُ
أَنْ يَأْتِيَ رَسُولُ رَبِّي فَأُجِيبَ، وَأَنَا تَارِكٌ فِيكُمْ
ثَقَلَيْنِ: أَوَّلُهُمَا كِتَابُ اللهِ فِيهِ الْهُدَى وَالنُّورُ
فَخُذُوا بِكِتَابِ اللهِ، وَاسْتَمْسِكُوا بِهِ ” فَحَثَّ عَلَى كِتَابِ
اللهِ وَرَغَّبَ فِيهِ،
“Amma ba’du. Ketahuilah wahai manusia,
sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia biasa, hampir-hampir akan tiba
utusan Rabbku (yaitu malaikat maut) sehingga aku akan memenuhi
panggilannya. Maka aku meninggalkan di tengah kalian dua amanah yang
berat. Amanah pertama adalah kitab Allah, di dalamnya ada petunjuk dan
cahaya. Maka ambillah kitab Allah dan berpegang teguhlah dengannya.”
Beliau lantas menghasung mereka kepada kitab Allah…” (Hadits riwayat
imam Muslim dalam kitab shahihnya).
Juga tidak samar lagi bagi
kalian bahwa Allah mensyariatkan kepada kita jihad di jalan-Nya adalah
untuk menyampaikan dien-Nya, meninggikan kalimat-Nya, menghancurkan
fitnah dan melenyapkan kesyirikan. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
﴿
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ
لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَإِنَّ اللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (39)
وَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَوْلَاكُمْ نِعْمَ
الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيرُ﴾
Dan perangilah mereka, supaya
jangan ada fitnah (kekafiran dan gangguan kepada kaum beriman-red) dan
supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari
kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka
kerjakan. Dan jika mereka berpaling, maka ketahuilah bahwasanya Allah
Pelindungmu. Dia adalah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.
(QS. Al-Anfal [8]: 39-40).
Oleh karena itu peperangan tidak
menjadi jihad di jalan Allah kecuali jika tujuannya adalah meninggikan
kalimat Allah, bukan tujuan lainnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam
ditanya: “Wahai Rasulullah, seseorang berperang untuk menunjukkan
keberaniannya, seseorang berperang demi fanatisme kelompok dan seseorang
berperang karena riya’ (pamer). Manakah di antara mereka yang disebut
di jalan Allah?” Beliau menjawab :
«مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللهِ هِيَ الْعُلْيَا، فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللهِ»
“Barangsiapa
berperang agar kalimat Allah menjadi kalimat yang paling tinggi, maka
dialah yang berperang di jalan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, beserta jihad di jalan Allah, niscaya urusan agama akan tegak.
Dengan
hal yang pertama (Al-Qur’an dan As-Sunnah) akan diketahui syariat Allah
dan hukum-Nya, dan dengan hal yang kedua (jihad di jalan Allah) kaum
muslimin melindungi agama mereka dan menuntun umat manusia kepada agama
mereka serta menerapkan syariat Allah, dan mereka menimbang semua hal
itu dengan timbangan yang lurus.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
لَقَدْ
أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ
وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ وَأَنْزَلْنَا الْحَدِيدَ
فِيهِ بَأْسٌ شَدِيدٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ مَنْ
يَنْصُرُهُ وَرُسُلَهُ بِالْغَيْبِ إِنَّ اللَّهَ قَوِيٌّ عَزِيزٌ
Sesungguhnya
Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang
nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca
(keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami
menurunkan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai
manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya
Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya
padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha
Perkasa. (QS. Al-Hadid [57]: 25)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah berkata: “Maka tujuannya adalah agar seluruh agama
(ketundukan) milik Allah semata dan kalimat Allah menjadi kalimat yang
tertinggi.
Kalimat Allah adalah nama menyeluruh yang mencakup
semua kalimat-kalimat-Nya yang dimuat oleh kitab suci-Nya. Demikianlah
Allah berfirman: Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami
dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama
mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan
keadilan.
Maka tujuan dari diutusnya para rasul dan diturunkannya
kitab-kitab suci adalah agar umat manusia melaksanakan keadilan baik
dalam hak-hak Allah maupun dalam hak-hak makhluk.
Allah kemudian
berfirman: Dan Kami menurunkan besi yang padanya terdapat kekuatan yang
hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan
besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya
dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya.
Maka
barangsiapa menyimpang dari kitab suci, ia diluruskan dengan besi. Oleh
karena itu tegaknya agama adalah dengan mushaf dan pedang. Dan telah
diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhu, ia berkata:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam telah memerintahkan kepada kami
untuk memukul dengan ini [yaitu pedang] orang yang menyimpang dari ini
[yaitu mushaf].”
Jika inilah yang menjadi tujuannya, maka
hendaklah tujuan itu diraih dengan sarana yang paling dekat kepada
tujuan, kemudian dengan sarana yang lebih dekat kepada tujuan…” (Majmu’
Fatawa, 28/263-264)
Maka tegaknya agama Islam adalah dengan kitab
suci yang memberi petunjuk dan pedang yang menolong. Sebagaimana firman
Allah Ta’ala :
وَكَفَى بِرَبِّكَ هَادِيًا وَنَصِيرًا
“Maka cukuplah Rabbmu sebagai pemberi petunjuk dan penolong.” (QS. Al-Furqan [25]: 31)
Maka
anak panah yang ditembakkan oleh seorang mujahid tidak boleh mendahului
dalil (yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah-red) yang untuknya ia berperang.
Mukaddimah kedua
Mengembalikan putusan perkara kepada Allah dan rasul-Nya saat terjadi perselisihan
dan mukadimah ini dibangun di atas dasar mukaddimah pertama
dan mukadimah ini dibangun di atas dasar mukaddimah pertama
Sesungguhnya
Allah Azza wa Jalla memerintahkan kepada kita untuk mengikuti-Nya dan
Allah membatasi petunjuk pada menaati nabi-Nya Shallalahu ‘alaihi wa
salam yang mengantarkan kepada ketaatan kepada-Nya. Allah Azza wa Jalla
berfirman :
قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا
الرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَا حُمِّلَ
وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَا عَلَى
الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ
Katakanlah: “Taatlah
kepada Allah dan taatlah kepada rasul; dan jika kalian berpaling maka
sesungguhnya kewajiban rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya,
dan kewajiban kalian sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan
kepada kalian. Dan jika kalian taat kepadanya, niscaya kalian mendapat
petunjuk. Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan
(amanat Allah) dengan terang.” (QS. An-Nuur [24]: 54)
Sungguh
telah terjadi perbedaan pendapat dan perselisihan di antara mujahidin,
meskipun mujahidin mengklaim telah mengikuti Rasul. Maka dalam perbedaan
pendapat seperti ini wajib dikembalikan kepada Allah Azza wa Jalla dan
rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa salam. Sebagaimana firman Allah Ta’ala :
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ
وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ
إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya), dan
ulil amri di antara kalian. Kemudian jika kalian berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik
akibatnya. (QS. An-Nisa’ [4]: 59)
Ketika Allah Ta’ala
memerintahkan kepada kita untuk mengembalikan kepada Allah dan Rasul
saat kita berselisih dalam sebuah perkara dari syariat-Nya, maka Allah
menjelaskan bahwa manhaj ini adalah lebih baik bagi kita dalam agama
kita dan lebih baik kesudahannya.
Para ulama berkata:
Mengembalikan kepada Allah adalah mengembelikan kepada kitab-Nya dan
mengembalikan kepada Rasul setelah beliau wafat adalah mengembalikan
kepada sunnah beliau. Lawan dari mengembalikan kepada Allah dan
rasul-Nya adalah meminta keputusan hukum kepada hawa nafsu. Allah telah
melarang kita dari meminta keputusan hukum kepada hawa nafsu,
sebagaimana firman-Nya :
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى
شَرِيعَةٍ مِنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ
الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ (18) إِنَّهُمْ لَنْ يُغْنُوا عَنْكَ مِنَ
اللَّهِ شَيْئًا
Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu
syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu
dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.
Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak dari kamu
sedikitpun dari siksaan Allah. (QS. Al-Jatsiyah [45]: 18-19)
Terkadang
sebagian orang Islam yang mengajak (umat manusia) kepada Islam memiliki
hawa nafsu dari arah ia mendahulukan perkataan ulama dan umara’ yang ia
ikuti meskipun perkataan ulama dan umara’ tersebut menyelisihi syariat
Allah, dan ia fanaim buta kepada jama’ahnya. Sesungguhnya mengikuti
ulama dan umara tersebut dalam keadaan seperti ini termasuk bagian dari
hawa nafsu yang tidak akan memberi manfaat apapun di sisi Allah bagi
orang (ulama dan umara’) yang diikuti tersebut.
Mujahidin di
jalan Allah hendaknya tidak menyombongkan dirinya untuk mendengarkan hal
ini dan hendaknya mereka tidak menyangka bahwa diri mereka terlalu
mulia untuk dikatakan bahwa mereka terkadang mengikuti hawa nafsu
mereka. Karena sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla saja telah berbicara
kepada nabi-Nya dengan ayat ini, padahal beliau adalah manusia yang
paling sempurna imannya dan paling agung jihadnya.
Mukaddimah ketiga
Nasehat itu membahagiakan seorang mukmin dan tidak menyedihkannya
Sesungguhnya
nasehat adalah cabang dari keimanan, nasehat di dalam syariat kita
hukumnya wajib bagi orang yang mampu menyampaikannya. Nasehat ditujukan
kepada Allah, rasul-Nya, kaum muslimin dan pemimpin mereka. Sebagaimana
telah diriwayatkan dalam shahih Muslim dari Abu Ruqayyah Tamim Ad-Dari
radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam
bersabda :
«إِنَّ الدِّينَ النَّصِيحَةُ إِنَّ الدِّينَ
النَّصِيحَةُ إِنَّ الدِّينَ النَّصِيحَةُ» قَالُوا: لِمَنْ يَا رَسُولَ
اللَّهِ قَالَ: «لِلَّهِ وَكِتَابِهِ وَرَسُولِهِ، وَأَئِمَّةِ
الْمُؤْمِنِينَ، وَعَامَّتِهِمْ»
“Sesungguhnya agama adalah
nasehat. Sesungguhnya agama adalah nasehat. Sesungguhnya agama adalah
nasehat.” Para sahabat bertanya: “Bagi siapa wahai Rasulullah?” Beliau
menjawab: “Bagi Allah, kitab-Nya, rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin
dan kaum muslimin secara umum.” (HR. Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dan
An-Nasai)
Maka hendaknya saudara-saudara kita mujahidin menerima
nasehat dari saudara-saudara mereka, tidak sedih karena nasehat tersebut
dan hendaknya hati mereka tidak memendam kedengkian dan dendam kepada
orang yang memberikan nasehat kepada mereka.
Karena sesungguhnya
nasehat adalah hal yang tidak membuat hati seorang mukmin menyimpan
kedengkian, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam :
ثَلَاثٌ
لَا يُغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُؤْمِنٍ: إِخْلَاصُ الْعَمَلِ لِلَّهِ،
وَمُنَاصَحَةُ وُلَاةِ الْمُسْلِمِينَ، وَلُزُومُ جَمَاعَةِ الْمُسْلِمِينَ
، فَإِنَّ دَعْوَتَهُمْ، تُحِيطُ مِنْ وَرَائِهِمْ
“Tiga perkara
yang hati seorang mukmin tidak mendengkinya: Ikhlas beramal karena Allah
semata, memberikan nasehat kepada para pemimpin kaum muslimin dan
berkomitmen dengan jama’ah kaum muslimin, karena sesungguhnya doa kaum
muslimin menjaga mereka dari belakang mereka.”(HR. Ahmad, Ibnu Majah,
Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman dan Ibnu Abdil Barr. Syaikh Syu’aib
Al-Arnauth dan Nashiruddin Al-Albani menshahihkannya)
Maksudnya
adalah tiga perkara ini tidak akan didengki oleh hati seorang muslim,
justru hatinya akan mencintainya dan meridhainya, demikian dikatakan
oleh para ulama pensyarah hadits. Maka barangsiapa beriman niscaya ia
akan senang dengan adanya nasehat dan ia akan menerimanya. Adapun orang
yang di dalam hatinya ada sikap curang dan penipuan kepada Islam dan
kaum muslimin, maka sekali-kali ia tidak akan bisa mengambil manfaat
dari perumpamaan-perumpamaan, meskipun benda-benda mati saling beradu
tanduk di hadapannya.
Maka dengan meminta pertolongan kepada Allah dan memohon kelurusan dan kebenaran dari-Nya, saya katakan :
Pertama : Ajakan untuk meminta putusan perkara kepada syariat Allah Ta’ala
Bagi
mujahidin dalam kelompok Daulah Islam Irak dan Syam dan kelompok
lainnya apabila diajak kepada hukum Allah dan rasul-Nya, hendaknya
mereka tunduk kepada hukum tersebut dan mendengar kepadanya, jika hakim
(orang yang memutuskan perkara) adalah orang yang memiliki kelayakan
(kemampuan), sekalipun orang yang dijadikan hakim tersebut bukan berasal
dari kelompok mereka.
Berdasar hal-hal yang telah kita jelaskan pada bagian mukaddimah-mukaddimah di atas.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
(وَإِذَا
دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ إِذَا فَرِيقٌ
مِنْهُمْ مُعْرِضُونَ (48) وَإِنْ يَكُنْ لَهُمُ الْحَقُّ يَأْتُوا
إِلَيْهِ مُذْعِنِينَ (49) أَفِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ أَمِ ارْتَابُوا أَمْ
يَخَافُونَ أَنْ يَحِيفَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَرَسُولُهُ بَلْ أُولَئِكَ
هُمُ الظَّالِمُونَ (50) إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا
دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا
سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ)
Dan
apabila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya, agar rasul
menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka
menolak untuk datang.Tetapi jika keputusan itu untuk (kemaslahatan)
mereka, mereka datang kepada rasul dengan patuh.
Apakah (ketidak
datangan mereka itu karena) dalam hati mereka ada penyakit, atau
(karena) mereka ragu-ragu ataukah (karena) takut kalau-kalau Allah dan
rasul-Nya berlaku zalim kepada mereka? Sebenarnya, mereka itulah
orang-orang yang zalim.
Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin,
apabila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum
(mengadili) di antara mereka ialah ucapan.”Kami mendengar dan kami
patuh.”Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. An-Nuur [24]: 48-51)
Ayat-ayat
yang mulia di atas telah menetapkan bahwa orang yang diajak kepada
hukum Allah dan rasul-Nya tidak lepas dari salah satu dari dua keadaan
-
Boleh jadi ia berpaling darinya, menyombongkan diri dan tidak mau
menerimanya kecuali jika mendatangkan kemaslahatan bagi dirinya. Mereka
ini disifati oleh Allah Azza wa Jalla sebagai orang-orang yang di dalam
hatinya ada penyakit, keragu-raguan dan berprasangka buruk terhadap
hukum Allah. Mereka inilah orang-orang yang zalim.
-
Boleh jadi ia menerima seruan, menyambut ajakan, dan mengatakan: “Kami
mendengar dan kami menaati hokum Allah dan rasul-Nya. Mereka inilah
orang-orang yang mendapatkan keberuntungan di sisi Allah.
Imam
Ibnu Jarir At-Thabari berkata: “Allah Ta’ala berfirman: Sesungguhnya
ucapan yang seyogyanya dikatakan oleh orang-orang yang beriman jika
diajak kepada hukum Allah dan hukum rasul-Nya, untuk memutuskan perkara
di antara mereka dan pihak yang bersengketa dengan mereka, adalah mereka
hanya mengatakan ‘Kami mendengar” apa yang dikatakan kepada kami ‘dan
kami menaati’ orang yang mengajak kami kepada hal itu.”
Maka
bagaimana lagi sedangkan orang yang mengajak kalian untuk berhukum
(kepada hukum Allah dan rasul-Nya) adalah saudara-saudara kalian
mujahidin sendiri?Hal yang mengherankan adalah kalian dalam kelompok
Daulah Islam diajak berhukum kepada Allah dan Rasul-Nya, namun sebagian
kalian enggan padahal kalian tidak keluar dari rumah dan berjihad
kecuali untuk menegakkan hukum Allah di muka bumi.
Kedua: Syubhat menolak mahkamah-mahkamah syariat
Sebagian
kalian boleh jadi mengatakan bahwa kami (kelompok Daulah Islam, edt)
memiliki mahkamah-mahkamah sendiri dan qadhi-qadhi (hakim-hakim) sendiri
yang kami percayai.
Maka kami katakan kepada kalian: Meskipun
persoalannya begitu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam —padahal
beliau adalah orang yang menang dan berkuasa— juga tunduk kepada
keputusan sahabat Sa’ad bin Muadz radhiyallahu ‘anhu.
Apa yang
kalian klaim tentang qadhi-qadhi kalian, juga bisa diklaim oleh
mujahidin selain kelompok kalian tentang qadhi-qadhi mereka. Maka tiada
jalan obyektif dan adil selain kalian —-dari kelompok Daulah Islam dan
mereka dari kelompok lainnya— meminta keputusan hukum kepada para ulama
yang terpercaya yang memutuskan perkara dengan kebenaran dan adil dalam
memutuskan perkara.
Ketiga: Fanatisme buta kepada jama’ah
Mujahidin
wajib mewaspadai tipu daya Iblis tentang kedudukan kelompok mereka, di
mana Iblis menghiasi sikap fanatisme buta kepada jama’ah mereka, Iblis
menampakkan kepada mereka bahwa mereka senantiasa di atas kebenaran,
bahwa mereka adalah thaifah manshurah, dan bahwa jama’ahnya
senantiasaberedar bersama kebenaran kemanapun kebenaran berada; lalu
mereka mengungkapkan hal itu lewat tindakan mereka sekalipun ucapan
lisan mereka menyelisihinya.
Lalu mereka meneguhkan keyakinan
tersebut di dalam jiwa mereka, sampai-sampai sebagian mereka memberikan
loyalitas atas dasar kelompok mereka, memberikan permusuhan demi
kelompok mereka.Sehingga anggota Daulah Islam fanatik buta kepada
kelompoknya, anggota Ahrar Asy-Syam fanatik buta kepada kelompoknya, dan
begitu juga kelompok-kelompok lainnya.
Sikap
berkelompok-kelompok seperti ini hokum asalnya adalah dilarang, karena
biasanya mengakibatkan perpecahan dan perselisihan. Allah Azza wa Jalla
berfirman:
(وَإِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاتَّقُونِ)
“Dan sesungguhnya umat kalian ini adalah umat yang satu dan Aku adalah Rabb kalian, maka bertakwalah kalian kepada-Ku.” (QS. Al-Mu’minun [23]: 52)
Allah juga berfirman:
(إِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُون)
“Dan sesungguhnya umat kalian ini adalah umat yang satu dan Aku adalah Rabb kalian, maka beribadahlah kalian kepada-Ku.”(QS. Al-Anbiya’ [21]: 92)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا
“Dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Namun
sikap berkelompok-kelompok ini telah menimpa umat Islam. Adapun kata
pemutus di dalamnya adalah apa yang ditegaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah saat beliau mengatakan:
وَأَمَّا ” رَأْسُ
الْحِزْبِ ” فَإِنَّهُ رَأْسُ الطَّائِفَةِ الَّتِي تَتَحَزَّبُ أَيْ
تَصِيرُ حِزْبًا فَإِنْ كَانُوا مُجْتَمِعِينَ عَلَى مَا أَمَرَ اللَّهُ
بِهِ وَرَسُولُهُ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ وَلَا نُقْصَانٍ فَهُمْ
مُؤْمِنُونَ لَهُمْ مَا لَهُمْ وَعَلَيْهِمْ مَا عَلَيْهِمْ. وَإِنْ
كَانُوا قَدْ زَادُوا فِي ذَلِكَ وَنَقَصُوا مِثْلَ التَّعَصُّبِ لِمَنْ
دَخَلَ فِي حِزْبِهِمْ بِالْحَقِّ وَالْبَاطِلِ وَالْإِعْرَاضِ عَمَّنْ
لَمْ يَدْخُلْ فِي حِزْبِهِمْ سَوَاءٌ كَانَ عَلَى الْحَقِّ وَالْبَاطِلِ
فَهَذَا مِنْ التَّفَرُّقِ الَّذِي ذَمَّهُ اللَّهُ تَعَالَى وَرَسُولُهُ
فَإِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أَمَرَا بِالْجَمَاعَةِ والائتلاف وَنَهَيَا
عَنْ التَّفْرِقَةِ وَالِاخْتِلَافِ وَأَمَرَا بِالتَّعَاوُنِ عَلَى
الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَنَهَيَا عَنْ التَّعَاوُنِ عَلَى الْإِثْمِ
وَالْعُدْوَانِ.
“Adapun pemimpin hizb (golongan) adalah pemimpin kelompok yang bertahazzub,yaitu
menjadi golongan. Jika mereka (anggota kelompok) berkumpul di atas hal
yang diperintahkan oleh Allahd an rasul-Nya tanpa menambah dan tanpa
mengurangi, maka mereka adalah orang-orang yang beriman, bagi mereka hak
sebagaimana hak kaum beriman dan atas mereka kewajiban sebagaimana
kewajiban kaum beriman.
Namun jika mereka menambah atau
mengurangi dari perintah Allah dan rasul-Nya, seperti dengan fanatik
buta kepada orang yang masuk dalam kelompoknya baik baik orang tersebut
benar maupun batil, dan berpaling dari orang yang tidak masuk dalam
kelompoknya baik orang tersebut benar maupun batil; maka ini adalah
perpecahan yang dicela oleh Allah dan rasul-Nya. Karena sesungguhnya
Allah dan rasul-Nya telah memerintahkan untuk berjama’ah dan bersatu,
dan Allah dan rasul-Nya telah melarang dari berpecah-belah dan
berselisih.Allah dan rasul-Nya telah memerintahkan untuk saling membantu
dalam kebajikan dan ketakwaan, dan Allah dan rasul-Nya telah melarang
dari saling membantu dalam perbuatan dosa dan aniaya.”(Majmu’ Fatawa, 11/92)
Kami
memperhatikan banyak anggota Daulah Islam, Ahrar Asy-Syam, Jaisyul
Islam dan lain-lainnya sikap keluar dari apa yang diperintahkan (Allah
dan rasul-Nya), kepada apa yang dilarang (Allah dan rasul-Nya), berupa
sikap tahazzub [membangun wala' atau loyalitas dan bara' atau
permusuhan] atas dasar kelompok dan jama’ah yang ia ikuti, sebagaimana
dikatakan oleh Syaikhul Islam di atas. Bahkan sebagian mereka tidak mau
menerima pendapat dan tidak pula keputusan perkara kecuali dari
syaikh-syaikh (tokoh-tokoh) kelompoknya saja.Hal ini, demi Allah, adalah
keburukan yang besar.
Sikap ini menyerupai kondisi Khawarij yang
ditegaskan dalam hadits mutawatir dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa salam, saya berdoa kepada Allah semoga melindungi kalian dari menjadi
orang-orang Khawarij. Orang-orang Khawarij sangat bersungguh-sungguh
dalam beribadah dan mereka fanatik buta kepada pendapat-pendapat mereka
yang mereka dasarkan kepada dalil Al-Qur’an; sampai akhirnya amiru
mukminin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu memerangi mereka.
Orang-orang
Khawarij tidak mau menerima perkataan dan tidak pula pendapat, kecuali
dari para pemimpin mereka. Ketika Abdullah bin Khabbab bin Art radhiyallahu ‘anhuma berjalan melintasi mereka dan ia menceritakan hadits dari bapaknya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam
yang menyelisihi madzhab mereka, maka sikap ketaatan beragama mereka
yang palsu dan syariat hawa nafsu mereka menyeret mereka untuk
mendustakannya, kemudian mereka membunuhnya, lalu mereka membelah perut
budak perempuannya.
Ketika Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma
mendatangi mereka, mereka berdebat tentang perihal mendengar darinya
dan mereka berselisih; apakah kita akan mendengar darinya atau tidak?
Karena syaikh-syaikh (pemimpin-pemimpin mereka) telah membiasakan mereka
untuk tidak mau mendengar dari selain mereka. Demi Allah, hal itu
bukanlah udzur bagi para pengikut di sisi Allah Yang telah berfirman:
وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا
Dan
mereka berkata:”Ya Rabb kami, sesungguhnya kami telah menaati
pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan
kami dari jalan (yang benar).” (QS. Al-Ahzab [33]: 67)
Fanatisme
buta kepada kelompok Daulah Islam, atau Ahrra Asy-Syam, atau Jabhah,
merupakan bagian dari fanatisme yang tercela dan berkelompok-kelompok
yang dibenci syariat. Pemimpin dari kelompok-kelompok ini, baik Daulah
Islam maupun kelompok lainnya menanggung dosa kelompok-kelompok ini jika
mereka berbuat keburukan dan mereka mendapat bagian dari pahalanya jika
kelompok-kelompok ini berbuat kebaikan; sebagaimana disebutkan oleh
Ibnu Taimiyah dalam perkatannya.
Keempat: Pembai’atan (Abu Bakar) Al-Baghdadi sebagai khalifah bagi kaum muslimin
Sesungguhnya
di antara hal yang diyakini oleh anggota Daulah Islam Irak dan Syam
adalah bahwa amir mereka Abu Bakar Al-Baghdadi merupakan imam seluruh
kaum muslimin dan bahwa tanzhim mereka ini adalah Daulah Islamiyah,
seperti khilafah umum untuk seluruh kaum muslimin.
Dari keyakinan tersebut mereka lalu membangun beberapa perkara :
Di
antaranya, barangsiapa tidak membai’at Abu Bakar Al-Baghdadi adalah
orang yang tersesat. Sebagian mereka terkadang mengatakan orang tersebut
adalah Khawarij, atau ungkapan-ungkapan semisal itu.
Ini
merupakan perkara yang paling berbahaya, dan sikap ini pula yang
menyeret mereka untuk menolak berhukum kepada selain mereka. Padahal
seandainya kenyataannya (status kelompok Daulah Islam-red) seperti
itupun bukanlah alasan membenarkan (untuk menolak berhukum kepada selain
mereka). Maka bagaimana lagi jika kenyataannya tidak seperti (apa yang
mereka yakini) itu?
Kami katakan kepada saudara-saudara kami tersebut :
Sesungguhnya
kedudukan Daulah Islam Irak dan Syam tidak lebih dari kedudukan
kelompok-kelompok dan brigade-brigade lainnya yang berjuang di negeri
Syam.
Sejatinya Daulah Islam Irak dan Syam bukanlah Daulah
Islamiyah, dalam pengertian ia sebuah pemerintahan rasyidah yang telah
tegak (mapan), yang telah membentangkan sayap kekuasaannya kepada dua
negeri yang besar ini (seluruh wilayah Irak dan Suriah-red).
Sebab kondisi di dua negeri ini sudah sama-sama diketahui. Daulah Islam Irak dan Syam tidak memiliki sulthah (kekuasaan, kekuatan) atas kedua negeri ini, dan Daulah Islam juga tidak memiliki wilayah (kewenangan,
kekuasaan) atas kedua negeri ini. Hal itu karena kekuasaan umum (atas
seluruh kaum muslimin-red) tercapai melalui beberapa cara :
-
Di antaranya, seseorang menguasai secara paksa (dengan kekuatan
militer) atas sebuah negeri dan kekuasaannya dipegang secara mantap
olehnya. Cara ini belum dicapai oleh Daulah Islam Irak dan Syam, tidak
di Irak dan tidak pula di Syam. Bahkan mereka di Irak hampir-hampir
tidak nampak di sebuah tempat dan tidak mengumumkan diri karena thaghur
Rafidhah senantiasa memburu mereka. Sementara antara mereka (Daulah
Islam Irak dan Syam) dengan saudara-saudara mereka penduduk awam Ahlus
Sunnah ada hubungan yang tidak akrab.
Adapun di Syam, kondisi
mereka lebih sedikit dari kondisi sebagian saudara-saudara mereka dan
kelompok-kelompok selevel mereka, karena sebagian golongan jauh lebih
kuat dari mereka, lebih banyak perbekalan dan personilnya; namun
demikian mereka tidak mengklaim untuk kelompok mereka sebagaimana klaim
Daulah Islam kepada kelompoknya.
Bahkan seandainya kita
menjadikan jihad dan kepeloporan dalam jihad sebagai tolok ukur untuk
pengangkatan sebagai imam, maka sebelum Daulah Islam sudah ada
jama’ah-jama’ah lainnya yang berjihad di negeri Syam, dan mereka
mendapatkan persaksian baik (kaum muslimin, edt) yang belum didapatkan
kesaksian itu oleh Daulah Islam. Seandainya kepeloporan mereka dalam
jihad di Syam berkonskuensi Amir mereka harus dibai’at (oleh kaum
muslimin), niscaya hal ang wajib dilaksanakan dalam masalah ini adalah
sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam:
«فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ، فَالْأَوَّلِ،»
“Penuhilah bai’at orang yang pertama kali dibai’at, lalu orang yang dbai’at setelahnya…” (HR. Bukhari dan Muslim)
Namun
kami katakan bahwa tiada satu pun dari amir kelompok-kelompok tersebut
merupakan amir umum bagi seluruh kaum muslimin, dan pembai’atan amir
tersebut juga bukanlah bai’at umum (oleh seluruh kaum muslimin). Namun
amir tersebut hanyalah amir tentara (kelompok mujahidin, edt) dan
bai’atnya adalah bai’at jihad.
- Di antara cara lainnya adalah para tokoh yang berwawasan luas dan bijaksana (ahlu ra’yi dan ahlu syura) mengangkat seseorang sebagai Amir, lalu seluruh masyarakat (kaum muslimin) mengikuti mereka dan menyetujui pendapat mereka.
Bukan sebagaimana dibayangkan oleh sebagian tulisan kalian bahwa jika dua orang anggota ahlul halli wal ‘aqdi
telah membai’at seseorang maka orang tersebut telah sah menjadi
khalifah dan (kaum muslimin) wajib mendengar dan menaatinya, dengan
mengutip pendapat sebagian ulama.
Sebab, imamah (kekhilafahan)
adalah akad antara pemimpin dan seluruh rakyat, bukan akad antara dua
orang dengan imam. Hal seperti ini mengandung kerusakan-kerusakan yang
tidak samar lagi bagi orang yang berakal sehat.Maksud dari para ulama
menyebutkan hal sepert ini adalah persetujuan masyarakat (kaum muslimin)
terhadap mereka (ahlul halli wal aqdi) dan anjuran untuk mengangkat imam (khalifah).
- Di antara cara lainnya adalah istikhlaf
(penunjukan pengganti), sebagaimana Abu Bakar Ash-Shidiq menunjuk Umar
bin Khathab radhiyallahu ‘anhum sebagai penggantinya.Sudah diketahui
bersama bahwa di negeri Syam saat ii tidak ada imam syar’i atas seluruh
kaum muslimin, sampai bisa diklaim bahwa imam tersebut menunjuk pemimpin
kalian Al-Baghdadi sebagai penggantinya.
Setelah semua
penjelasan ini, jika Al-Baghdadi-lah yang mendorong kalian untuk
melakukan tindakan itu, maka ia adalah seorang yang mencari kekuasaan.
Kewajiban (syariat) untuk orang seperti itu adalah tidak mengangkatnya
sebagai pemimpin.Adapun jika para pengikutnyalah yang bertanggung jawab
atas tindakan tersebut, tanpa adanya perintah dari Al-Baghdadi, maka
Al-Baghdadi harus mencegah mereka dari tindakan tersebut.
Adapun
masyarakat umum maka tidak boleh bagi mereka membai’at dirinya
(Al-Baghdadi) sampai seluruh manusia (kaum muslimin) bersepakat atasnya.
Semoga
Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Sufyan Ats-Tsauri, imam Ahlus
Sunnah wal Jama’ah, ketika dikatakan kepadanya: “Orang-orang sudah ramai
membicarakan tentang imam Al-Mahdi.” Maka Sufyan Ats-Tsauri menjawab:
إِنْ مَرَّ عَلَى بَابِكَ فَلَا تُبَايِعْهُ حَتَّى يُبَايِعَهُ النَّاسُ
“Seandainya imam Al-Mahdi lewat di depan pintu rumahmu, maka janganlah engkau membai’atnya sampai semua manusia membai’atnya.”
(catatan editor : Dalam riwayat Imam Abu Nu’aim Al-Asbahani dan Adz-Dzahabi dengan lafal :
«إِنْ مَرَّ عَلَى بَابِكَ فَلَا تَكُنْ مِنْهُ فِي شَيْءٍ حَتَّى يَجْتَمِعَ النَّاسُ عَلَيْهِ»
“Seandainya
imam Al-Mahdi lewat di depan pintu rumahmu, maka janganlah engkau
melakukan tindakan apapun kepadanya sampai semua manusia (kaum muslimin)
sepakat membai’atnya.” – Hilyatul Awliya’ wa Thabaqatul Ashfiya’, 7/31 dan Siyar A’lam An-Nubala, 7/253))
Ini
berkenaan dengan Al-Mahdi Al-Muntazhar yang dijelaskan oleh hadits
mutawatir. Maka bagaimana dengan seseorang yang tidak dikenal oleh
penduduk Syam?
Kami tidak merasa susah dengan pembai’atan
Al-Baghdadi atau pembai’atan orang muslim lainnya yang menegakkan di
tengah kami syariat Allah; namun pembai’atan itu tidak terjadi kecuali
dengan cara-cara yang syar’i.
Kelima: Kerusakan-kerusakan
yang timbul karena meyakini pembai’atan Daulah Islam Irak dan Syam
sebagai pembai’atan khalifah umum
Keyakinan yang keliru tentang kedudukan Daulah Islam Irak dan Syam ini telah menyeret kalian kepada perkara-perkara besar :
-
Di antaranya, kalian menolak berhukum kepada pengadilan-pengadulan
selain pengadilan-pengadilan kalian. Kami telah menyebutkan hal ini dan
kami telah menjelaskan kesalahannya.
- Di antaranya,
kalian meyakini bahwa setiap orang yang tidak berbai’at (kepada
Al-Baghdadi, edt) adalah orang yang tersesat dan bahwa ia mati dengan
cara mati jahiliyah, dengan berdalil kepada sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam :
مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ، مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa mati sementara di tengkuknya tidak ada bai’at, maka ia mati dengan cara mati jahiliyah.” (HR. Muslim)
Keyakinan ini tidak benar, karena hadits ini berkenaan dengan imam umum atas seluruh kaum muslimin, jika ia telah tegak.
-
Di antaranya, kalian meyakini bahwa orang yang tidak membai’at
Al-Baghdadi adalah Khawarij. Hal ini menyeret pada tindakan meremehkan
darah orang yang tidak membai’at dan memandang kelompok-kelompok lainnya
sebagai kelompok pembangkang (pemberontak). Inilah yang menjadi alasan
banyaknya peperangan antara kalian dengan saudara-saudara kalian
mujahidin, sebab sedikit sekali terjadi perselisihan kecuali salah satu
pihaknnya adalah Daulah Islam.
Inilah adalah kesalahan ganda.
Pertama, tanzhim kalian bukanlah seperti itu (khilafah lslamiyah atas
seluruh kaum muslimin-red). Kedua, taruhlah Daulah Islam Irak dan Syam
itu adalah khilafah rasyidah dan pemerintahan yang telah tegak, di mana
status kerajaan-kerajaan Islam semuanya telah ia penuhi, maka ia tidak
boleh memaksa seorang pun untuk membai’at jika orang tersebut duduk di
dalam rumahnya dan enggan untuk membai’at, apalagi ia memerangi orang
tersebut, selama orang tersebut tidak memprovokasi manusia dan membuat
golongan manusia untuk memerangi imam (khalifah).
Bahkan
seandainya orang itu memprokovasi manusia, membuat kelompok manusia dan
satu kelompok yang siap berperang bersatu dengannya, niscaya imam kaum
muslimin tidak boleh memulai peperangan terhadap mereka sampai merekalah
yang memulai peperangan.
Hal ini semua telah ditetapkan oleh para ulama Islam, dengan berdalil kepada sikap amirul mukminin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu yang selama enam bulan belum membai’at khalifah Rasulullah Shallallahu ‘alaih wa salam, yaitu Abu Bakar Ash-Shidiq radhiyallahu ‘anhu.
Sebagaimana
telah diriwayatkan dengan sanad yang paling shahih di dalam Shahih
Bukhari dan kitab hadits lainnya dari riwayat Az-Zuhri dari Urwah dari
Aisyah. Meskipun begitu, Abu Bakar Ash-Shiddiq tidak memerangi Ali bin
Abi Thalib dan tidak pula memerintahkan tindakan buruk kepada Ali.
Bukannya Ali bin Abi Thalib yang mendatangi Abu Bakar Ash-Shiddiq,
justru Ali mengirim pesan kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq: “Datanglah
kepada kami dan jangan ada seorang pun yang menyertaimu.” Ali meminta
begitu karena khawatir Umar bin Khathab akan ikut datang.
Maka
Abu Bakar Ash-Shiddiq mengunjungi rumah Ali bin Abi Thalib, berbicara
kepadanya dengan lemah lembut, bersikap rendah hati kepadanya, dan
antara keduanya terjad pembicaraan yang diriwayatkan dalam kitab Shahih.
Dalam pembicaraan itu Abu Bakar Ash-Shiddiq tidak meminta Ali bin Abi
Thalib untukmembai’atnya, juga tidak memerintahkanya untuk berbai’at.
Sampai Ali sendiri yang berkata: “Waktumu adalah nanti sore untuk
dibai’at.”
Meskipun demikian, ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq
mengimami shalat Dhuhur, kemudian naik ke mimbar, menyebutkan kondisi
Ali dan sikapnya yang tidak mau berbai’at, Abu Bakar Ash-Shiddiq
menyebutkan udzur yang Ali sampaikan kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Demikian
pula Sa’ad bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu tidak membai’at Abu Bakar
Ash-Shiddiq, ia justru berangka ke Syam dan meninggal di Syam tanpa
berbaiat kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Adapun sikap Ali bin Abi
Thalib kepada Khawarij sudah terkenal, di mana Ali tidak memulai
peperangan terhadap mereka, Ali juga tidak menghalangi mereka dari
mendatangi masjid atau mendapatkan jatah fai’, sampai Khawarij sendiri yang memulai peperangan.
Inilah
fiqih (pemahaman) dua orang khalifah yang rasyid, Abu Bakar Ash-Shiddiq
dan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhuma. Di dalamnya ada suri
tauladan bagi orang-orang yang mau meneladani.
Adapun jika kalian
mengatakan: “Kami tidak mengatakan hal itu dan kami tidak mengklaim
kelompok-kelompok di luar kami sebagai kelompok bughat (pemberontak)”,
maka ini merupakan sikap yang kontradiktif. Bagaimana mungkin kalian
bisa menetapkan keimaman (kekhalifahan) Abu Bakar Al-Baghdadi kecuali
dengan menetapkan konskuensi dari bai’at ini, yaitu memvonis orang yang
tidak membai’at sebagai orang yang keluar dari ketaatan dan memberontak.
Keenam: Status hukum orang yang mengangkat dirinya sebagai imam (khalifah) kaum muslimin tanpa meminta musyawarah kaum muslimin
Tidak
boleh bagi seorang pun untuk mengangkat dirinya sendiri sebagai imam
(khalifah) bagi kaum muslimin, juga tidak boleh bagi orang lain untuk
mengangkatseorang pun sebagai imam (khalifah) kaum muslimin tanpa
bermusyawarah dengan kaum muslimin. Barangsiapa melakukan hal itu maka
Umar Al-Faruq radhiyallahu ‘anhu telah memutuskan hukuman mati bagi
orang tersebut dan orang yang mengangkatnya sebagai imam kaum muslimin,
meskipun orang yang diangkat sebagai imam tersebut memiliki kemuliaan
yang setara dengan generasi sahabat.
Umar radhiyallahu ‘anhu
telah menyampaikan dalam khutbah terakhirnya —sebagaimana dalam Shahih
Bukhari dan lainnya— ketika sampai berita kepadanya bahwa seseorang
mengatakan: “Seandainya Umar telah mati, maka aku akan membai’at fulan.
Demi Allah, bai’at Abu Bakar tidak lain hanyalah sesaat kemudian terjadi
bai’at.”
Maka Umar radhiyallahu ‘anhu marah dan berkata:
إِنِّي
إِنْ شَاءَ اللَّهُ لَقَائِمٌ العَشِيَّةَ فِي النَّاسِ، فَمُحَذِّرُهُمْ
هَؤُلاَءِ الَّذِينَ يُرِيدُونَ أَنْ يَغْصِبُوهُمْ أُمُورَهُمْ
“Aku,
insya Allah, akan berdiri di hadapan manusia pada sore nanti untuk
memperingatkan mereka dari orang-orang yang hendak merampas urusan
mereka (hak memilih pemimpin).”
Kemudian di akhir khutbahnya, Umar berkata:
ثُمَّ
إِنَّهُ بَلَغَنِي أَنَّ قَائِلًا مِنْكُمْ يَقُولُ: وَاللَّهِ لَوْ قَدْ
مَاتَ عُمَرُ بَايَعْتُ فُلاَنًا، فَلاَ يَغْتَرَّنَّ امْرُؤٌ أَنْ
يَقُولَ: إِنَّمَا كَانَتْ بَيْعَةُ أَبِي بَكْرٍ فَلْتَةً وَتَمَّتْ،
أَلاَ وَإِنَّهَا قَدْ كَانَتْ كَذَلِكَ، وَلَكِنَّ اللَّهَ وَقَى
شَرَّهَا، وَلَيْسَ مِنْكُمْ مَنْ تُقْطَعُ الأَعْنَاقُ إِلَيْهِ مِثْلُ
أَبِي بَكْرٍ، مَنْ بَايَعَ رَجُلًا عَنْ غَيْرِ مَشُورَةٍ مِنَ
المُسْلِمِينَ فَلاَ يُبَايَعُ هُوَ وَلاَ الَّذِي بَايَعَهُ، تَغِرَّةً
أَنْ يُقْتَلاَ،
Sesungguhnya telah sampai kepadaku berita bahwa
salah seorang diantara kalian mengatakan: ‘Demi Allah, seandainya Umar
telah mati, maka aku akan membai’at fulan’. Janganlah sekali-kali
seseorang terpedaya sehingga ia mengatakan: ‘Bai’at Abu Bakar tidak lain
hanyalah sesaat kemudian terjadi bai’at’.Ketahuilah, memang begitulah
yang telah terjadi dengan pembai’atan Abu Bakar, namun Allah telah
melindungi dari keburukannya.Sementara itu tiada di antara kalian
seseorang yang manusia melakukan perjalanan jauh untuknya sebagaimana
terjadi pada diri Abu Bakar.Barangsiapa membaiat seseorang tanpa
bermusyawarah dengan kaum muslimin, niscaya ia tidak boleh dibaiat dan
tidak pula orang yang ia bai’at, dikhawatirkan keduanya akan dibunuh.”
Kemudian Umar mengulanginya dengan mengatakan di akhir khutbahnya:
فَمَنْ
بَايَعَ رَجُلًا عَلَى غَيْرِ مَشُورَةٍ مِنَ المُسْلِمِينَ، فَلاَ
يُتَابَعُ هُوَ وَلاَ الَّذِي بَايَعَهُ، تَغِرَّةً أَنْ يُقْتَلاَ
“Maka
barangsiapa membaiat seseorang tanpa bermusyawarah dengan kaum
muslimin, niscaya ia tidak boleh dibaiat dan tidak pula orang yang ia
bai’at, karena dikhawatirkan keduanya akan dibunuh.”(HR. Bukhari no. 6830, An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubra no. 7157-7158, Ahmad no. 391, Ad-Darimi no. 2322, dan Ibnu Hibban no. 414)
Dalam lafal yang shahih di dalam As-Sunan Al-Kubra karya imam An-Nasai bahwasanya Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu berkata:
إِنَّهُ لاَ خِلاَفَةَ إِلاَّ عَنْ مَشُورَةٍ وَلاَ يُؤَّمَّرُ وَاحِدٌ مِنْهُمَا تَغِرَّةً أَنْ يُقْتَلاَ.
“Sesungguhnya
tiada kekhilafahan kecuali dengan melalui musyawarah (kaum muslimin)
dan janganlah salah seorang di antara keduanya diangkat sebagai amir,
karena dikhawatirkan keduanya akan dibunuh.”
Dalam lafal riwayat An-Nasai dalam kitab yang sama disebutkan:
وَإِنَّهُ
لاَ خِلاَفَةَ إِلاَّ عَنْ مَشُورَةٍ وَأَيُّمَا رَجُلٍ بَايَعَ رَجُلاً
عَنْ غَيْرِ مَشُورَةٍ لاَ يُؤَمَّرُ وَاحِدٌ مِنْهُمَا تَغِرَّةً أَنْ
يُقْتَلاَ.
“Sesungguhnya tiada kekhilafahan kecuali dengan
melalui musyawarah (kaum muslimin) dan siapapun seseorang membai’at
orang lain tanpa melalui musyawarah kaum muslimin, maka janganlah salah
seorang di antara keduanya diangkat sebagai amir, karena dikhawatirkan
keduanya akan dibunuh.”
Imam Syu’bah bin Hajjaj berkata: “Saya
bertanya kepada Sa’ad bin Ibrahim —yaitu salah satu perawi hadits
tersebut—: “Apa makna karena dikhawatirkan keduanya akan dibunuh?” Maka
ia menjawab: “Hukuman bagi keduanya salah seorang di antara keduanya
tidak boleh diangkat sebagai amir.”
Makna karena dikhawatirkan
keduanya akan dibunuh adalah sebagai kewaspadaan (antispasi) agar tidak
dibunuh. Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari berkata:
“Maknanya adalah barangsiapa melakukan hal itu niscaya ia telah
memperdaya dirinya sendiri dan kawannya dan mempertaruhkan keduanya
untuk dibunuh.” (Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, 12/150)
Imam Abu Sulaiman Al-Khathabi berkata: “
Belum
pernah sampai kepada kami dari para ulama Syam dan tidak pula dari para
komandan mujahidin di Syam bahwa kalian meminta musyawah (pendapat)
mereka tentang perkara Al-Baghdadi.
Jika kalian mengatakan bahwa
musyawarah terjadi di antara kami para pengikutnya, maka demi Allah,
kalian telah sangat mendekati kondisi Khawarij.Sampai-sampai aku
mengingatkan kalian dengan Allah agar kalian tidak termasuk golongan
Khawarij. Maka selamatkanlah diri kalian, selamatkanlah diri kalian!
Apakah kalian sendiri umat Islam di negeri ini, sementara
saudara-saudara kalian lainnya bukan umat Islam?
Ketujuh: Peringatan untuk tidak membunuh seorang muslim
Salah
sat perkara yang paling dikhawatirkan dari mujahidin adalah jika mereka
terjebur dalam penumpahan darah orang-orang yang dilindungi (oleh
syariat Islam). Membunuh seorang muslim iu lebih besar dosanya daripada
seluruh pahala jihad mereka.
Membunuh seorang muslim termasuk dosa besar. Allah Ta’ala berfirman:
وَمَنْ
يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا
وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا
Dan
barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya
ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan
Allah mengutukinya serta Allah menyediakan azab yang besar baginya.(QS. An-Nisa’ [4]: 93)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
«لَنْ يَزَالَ المُؤْمِنُ فِي فُسْحَةٍ مِنْ دِينِهِ، مَا لَمْ يُصِبْ دَمًا حَرَامًا»
“Seorang
mukmin akan senantiasa mendapatkan kelapangan dalam agamanya selama ia
belum menumpahkan darah yang haram (dilindungi oleh syariat Islam).”(HR. Bukhari no. 6862, Ahmad no. 5681, Al-Baihaqi, 8/21, Al-Hakim, 4/350 dan Al-Baghawi no. 2519)
Perawi
hadits ini, Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Sesungguhnya di
antara keruwetan perkara yang tiada jalan keluar darinya bagi orang yang
menceburkan dirinya ke dalamnya adalah perkara menumpahkan darah yang
haram tidak secara halal.”(HR. Bukhari no. 6863 dan Al-Baihaqi, 8/21)
Telah
terjadi beberapa perkara di mana Daulah Islam menanggung dosa
penumpahan darah, kemudian belum pernah sampai kepada kami bahwa Abu
Bakar Al-Baghdadi atau orang yang mewakilinya melaksanakan hak Allah
terhadap si pembunuh ini, sehingga ia menegakkan hokum qisash
terhadapnya atau ia berlepas diri darinya dengan sikap berlepas diri
yang beritanya sampai kepada orang yang dekat maupun orang yang jauh.
Inilah
Khalid bin Walid radhiyallahu ‘anhu, pedang yang Allah hunus kepada
orang-orang kafir, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam mengutusnya
kepada Bani Jadzimah, maka ia bersegera membunuhi mereka saat mereka
mengucapkan “shaba’naa” (kami telah beralih agama, dari agama syirik kepada agama Islam, edt)danmereka tidak mampu mengucapkan aslamnaa (kami
telah masuk Islam, edt). Ketika berita itu sampai kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa salam maka beliau mengangkat kedua tangannya ke
langit dan berdoa:
«اللَّهُمَّ إِنِّي أَبْرَأُ إِلَيْكَ مِمَّا صَنَعَ خَالِدٌ مَرَّتَيْنِ»
“Ya
Allah, aku berlepas diri dari apa yang diperbuat oleh Khalid.Ya Allah,
aku berlepas diri dari apa yang diperbuat oleh Khalid.” (HR.
Bukhari no. 4339, An-Nasai, 8/237, Ahmad no. 6382, Abdurrazzaq no. 9434,
Ath-Thahawi dalam Syarh Musykil Al-Atsar no. 3231 dan Al-Baihaqi, 9/115)
Khalid
membunuh mereka karena ia melakukan ta’wil (menganggap mereka tidak mau
masuk Islam, edt).Meskipun demikian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam
berlepas diri dari perbuatannya. Sementara kita belum mendengar
Al-Baghdadi atau selainnya mengingkari anggota Daulah Islam yang
membunuh saudaranya sesama mujahid karena melakukan ta’wil!
Ketika Khalid bin Walid memerintahkan anggota pasukanya untuk membunuh tawanan mereka (Bani Jadzimah), Ibnu Umar menjawab:
وَاللَّهِ
لاَ أَقْتُلُ أَسِيرِي، (وَلاَ يَقْتُلُ رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِي
أَسِيرَهُ، حَتَّى قَدِمْنَا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ))
“Demi Allah, aku tidak akan membunuh tawananku [dan
seorang pun dari kawan-kawanku tidak boleh membunuh tawanannya, sampai
kita datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa salam].” (HR.
Bukhari no. 4339, An-Nasai, 8/237, Ahmad no. 6382, Abdurrazzaq no. 9434,
Ath-Thahawi dalam Syarh Musykil Al-Atsar no. 3231 dan Al-Baihaqi, 9/115)
Ibnu Umar tidak memenuhi perintah amirnya, Khalid. Hal itu tidak lain karena besarnya perkara darah.
Imam
Al-Bukhari di dalam kitab Shahihnya memberi judul atas hadits tersebut:
Bab jika hakim (penguasa) memutuskan perkara secara zalim atau
menyelisihi ulama, maka keputusanya tertolak.
Al-Hafizh Ibnu
Hajar Al-Asqalani berkata: “Di dalam hadits ini ada isyarat yang
membenarkan tindakan Ibnu Umar dan sahabat yang mengikutinya dalam tidak
melaksanakan perintah Khalid untuk membunuh orang-orang yang ia
perintahkan untuk dibunuh tersebut.”
Imam Abu Sulaiman
Al-Khathabi berkata: “Hikmah berlepas dirinya Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa salamd ari perbuatan Khalid padahal beliau tidak menghukum
Khalid disebabkan Khalid berijtihad adalah agar diketahui bahwa beliau
Shallallahu ‘alaihi wa salam tidak mengizinkan hal itu, khawatir ada
orang yang mengira hal itu terjadi atas izin beliau; dan supaya selain
Khalid setelah itu tidak melakukan tindakan tersebut.” (Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, 13/182)
Saya
mengingatkan kalian dengan satu perkara, wahai mujahidin, tidaklah
kalian keluar dari negeri kalian kecuali untuk mencari ridha Allah
Ta’ala. Maka jangan sampai kalian datang pada hari kiamatkelak sementara
kalian dipegangi oleh seorang muslim yang dibunuh oleh salah seorang di
antara kalian secara zalim. Muslim tersebut mengatakan: “Wahai Rabbku,
tanyalah orang ini kenapa ia membunuhku?” Maka Rabb Subahanu wa Ta’ala :
“Celakalah, celakalah, seretlah ia (si pembunuh) ke neraka!”
Kemudian,
janganlah sekali-kali salah seorang di antara kalian berdalil dengan
hadits Khalid bin Walid radhiyallahu ‘anhu dan sikapnya yang bersegera
membunuhi Bani Jadzimah untuk membenarkan sikap kalian yang bersegera
memerangi sebagian kelompok mujahidin lainnya. Sebab Khalid diutus
kepada sebuah kaum yang hukum asalnya adalah kafir, sementara kalian
berada di tengah masyarakat yang hukum asalnya adalah beriman.Antara dua
kondisi ini ada perbedaan sejauh jarak antara timur dan barat.
Pihak
yang menerapkan hukum orang-orang kafir atas orang-orang beriman
hanyalah kaum Khawarij, dan kalian insya Allah bukanlah termasuk kaum
Khawarij.
Kedelapan: Disyariatkannya pembagian tentara kepada daerah-daerah
Di
antara pemahaman keliru yang dianut oleh sebagian kalian adalah
meyakini bawa pembagian pasukan kaum muslimin kepada daerah-daerah
adalah termasuk perbuatan jahiliyah, bahwa ia berarti mengikuti dan
mengakui batas-batas geografi perjanjian Sykes-Piccot dan bahwa
menamakan tentara-tentara ini dengan nama negeri-negerinya termasuk
dalam kategori hal itu.
Keyakinan seperti ini sama sekali tidak
benar. Karena kebijaksanaan berkonskuensi baha penduduk setiap negeri
dari negeri-negeri kaum muslimin lebih mengenal tanah mereka, lebih
berpengalaman dengan lembah-lembahnya, dan lebih dekat kepada karakter
penduduknya.
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam
mengirim pasukan ke Dzatu Salasil, beliau mengangkat Amru bin Ash
sebagai komandan pasukan. Padahal ia belum lama masuk Islam dan di dalam
pasukan tersebut terdapat orang-orang yang jauh lebih mulia dari
dirinya dan lebih dahulu masuk Islam. Penunjukan itu tidak lain karena
Amru bin Ash lebih paham tentang penduduk Dzatu Salasil, karena mereka
adalah kerabatnya dari jalur ibu.
Demikian pula penamaan dengan
daerah-daerah ini dan membuat ketentaraan dengan namanya dari kalangan
penduduknya adalah perkara yang terpuji di dalam Islam.
Telah
diriwayatkan dari Abu Idris Al-Khaulani dari Abdullah bin Hawalah
Al-Uzdi radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam
bersabda:
«إِنَّكُمْ سَتُجَنَّدُونَ أَجْنَادًا: جُنْدٌ
بِالشَّامِ، وَجُنْدٌ بِالْعِرَاقِ، وَجُنْدٌ بِالْيَمَنِ “. فَقَالَ ابْنُ
حَوَالَةَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ،خِرْ لِي يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: ”
عَلَيْكُمْ بِالشَّامِ “
“Kalian akan dimobilisasi menjadi
tentara-tentara; tentara di Syam, tentara di Irak dan tentara di Yaman.”
Ibnu Hawalah berkata: “Wahai Rasulullah, pilihkanlah untuk saya!” Maka
beliau bersabda: “Hendaklah engkau bersama (tentara) Syam…” (HR.
Abu Daud no. 2483, Ahmad no. 17005, Al-Bukhari dalam At-Tarikh
Al-Kabir, 5/33, Ya’qub bin Sufyan Al-Fasawi dalam Al-Ma’rifah wat
Tarikh, 2/288, Ath-Thahawi dalam Syarh Musykilil Atsar no. 1114,
Ath-Thabarani dalam Musnad Asy-Syamiyyin no. 1172 dan lain-lain. Hadits
shahih)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam
menyebutnya; tentara Syam, tentara Irak dan tentara Yaman. Beliau tidak
menamakan mereka tentara Irak dan Syam, sebagaimana yang kalian lakukan.
Dalam sebagian jalur periwayatan hadits ini dari jalur Jubair bin Nufair dari Abdullah bin Hawalah radhiyallahu ‘anhu berkata:
«كُنَّا
عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَشَكَوْا
إِلَيْهِ الْفَقْرَ وَالْعُرْيَ وَقِلَّةَ الشَّيْءِ، فَقَالَ النَّبِيُّ –
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -:” أَبْشِرُوا فَوَاللَّهِ لَأَنَا
لِكَثْرَةِ الشَّيْءِ أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ مِنْ قِلَّتِهِ، وَاللَّهِ لَا
يَزَالُ هَذَا الْأَمْرُ فِيكُمْ حَتَّى يُفْتَحَ لَكُمْ جُنْدٌ
بِالشَّامِ، وَجُنْدٌ بِالْعِرَاقِ، وَجُنْدٌ بِالْيَمَنِ حَتَّى يُعْطَى
الرَّجُلُ الْمِائَةَ فَيَسْخَطُهَا “.
“Kami berada d sisi Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa salam dan kami mengadukan kepada beliau
kemiskinan, ketiadaan pakaian dan ketiadaan kekayaan apapun. Maka beliau
bersabda: “Bergembiralah kalian, demi Allah, sesungguhnya aku lebih
mengkhawatirkan banyaknya kekayaan atas kalian daripada sedikitnya
kekayaan. Demi Allah, perkara (kekuasaan) ini akan senantiasa di tengah
kalian sampai dikaruniakan kepada kalian tentara di Syam, tentara di
Irak dan tentara diYaman; sampai-sampai seseorang diberi bagian 100
dinar namun ia masih belum puas.” (HR. Abu Nu’aim dalam Hilyatul
Awliya’. Al-Hafizh Al-Haitami di dalam Majmauz Zawaid wa Mambaul
Fawaid, 6/212 menulis: Diriwayatkan oleh At-Thabarani dengan dua sanad,
para perawi salah satu sanadnya adalah para perawi kitab ash-shahih
kecuali Nashr bin Alqamah, dan ia adalah perawi yang tsiqah)
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda tiga tentara, namun kalian
menjadikan tentara Irak dan tentara Syam satu tentara saja.
Kesembilan: Kesalahan ungkapan ‘Daulah tetap langgeng’
Sebagian anggota Daulah Islam Irak dan Syam seringkali mengulang-ulang ungkapan “Ad-Daulatu baaqiyatun…Daulah tetap langgeng”.
Saya
tidak tertarik untuk mengomentarinya, karena saya mengetahui itu adalah
perkataan orang-orang awam yang para ulama akan malu untuk
mengatakannya. Sebab ungkapan tersebut mengandung kedustaan kepada Allah
dan kedustaan kepada rasul-Nya, serta berkata-kata atas nama Allah
tanpa landasan ilmu. Khilafah rasyidah saja tidak langgeng, bagaimana
daulah kalian akan langgeng?
Bahkan nubuwah (kenabian) sekalipun
diangkat, demikian pula khilafah rasyidah di akhir zaman akan diangkat,
sebab kiamat hanya akan terjadi pada seburuk-buruk makhluk.
Apapun keadaannya, ungkapan “Daulah akan langgeng” termasuk perkataan yang berlebih-lebihan (ghuluw).
Kesepuluh: Kekeliruan ungkapan “orang yang duduk-duduk saja tidak memberi fatwa kepada seorang mujahid”
Diantara
perkara yang wajib dinasehati adalah menjelaskan kekeliruan perkataan
orang yang mengatakan, baik dari kelompok kalian atau selain kelompok
kalian, bahwa “ulama yang duduk-duduk saja (tidak berjihad, edt) tidak
memberi fatwa untuk seorang mujahid”. Padahal orang yang duduk-duduk
saja tersebut sekiranya ia mengatakan suatu perkaran yang sesuai dengan
hawa nafsu sebagian brigade yang berjihad, tentulah brigade tersebut
akan menyebar luaskannya dan mengangkatnya sebagai imam.
Oleh
karena itu saya melihat mereka —dan orang selain saya juga melihat
mereka— sangat cepat mencaci maki para tokoh ulama, sampai-sampai salah
seorang di antaa mereka yang belum tumbuh kumisnya dan lisanya belum ia
biasakan untuk mengucapkan kebaikan, telah berani mengunyah daging para
ulama dan segera menyantap kehormatan mereka.
Salah seorang ulama
besar yang terkenal di Syam telah menceritakan kepadaku bahwa ia duduk
bersama beberapa orang pemuda mujahidin, mereka mengkafirkan para ulama
kaum muslimin dengan menyebutkan nama-nama mereka dan individu-individu
mereka. Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan.
Maka saya
katakan, pertama, meskipun demikian kalian memegangi keyakinan kalian
dengan berdasarkan dan berargumentasi dengan pendapat para ulama
terdahulu yang mereka itu tidak dikenal sebagai orang-orang yang
berperang di jalan Allah atau berjihad satu hari sekalipun.Kalian
mengutip dar buku-buku pada ulama Islam padahal tidak semua mereka
berjihad dan tidak semua mereka menembakkan satu anak panah di jalan
Allah.Dan ini adalah kondisi keempat imam madzhab yang diikuti.
Selain
hal ini, bisa dikatakan kepada kalian: Beritahukanlah kepada kami
tentang perkataan kalian ini ” ulama yang duduk-duduk saja tidak memberi
fawa kepada mujahid”, apakah ini sebuah ayat Al-Qur’an yang kalian
hafal dan kami lupa atasnya, ataukah ia hadits yang kalian riwayatkan
dan kami belum mengenalnya, ataukah ia adalah kaedah fiqhiyah yang
ditunjukkan oleh syariat Islam? Semua kemungkinan tersebut ternyata
tidak.
Maksimal yang bisa dikatakan tentang orang yang menyatakan
perkataan tersebut adalah ia mengira para ulama tidak mengetahui
sedikit pun kondisi mujahidin dan realita mereka. Dan ini adalah
persangkaan yang tidak benar. Betapa banyak ulama di dunia yang belum
sekalipun mengunjungi negeri Syam dan juga negeri Irak, namun ia lebih
mengetahui kondisinya dibandingkan kalian, karena ia dikunjungi oleh
para ulama negeri tersebut (Syam dan Irak) dan ia menjalin komunikasi
dengan penduduk dunia. Ditambah apa yang Allah munculkan di zaman kita
ini berupa sarana-sarana untuk komunikasi dan mengetahui berita, hal
yang membuatnya mengetahui perkara-perkara dan menjadikannya seakan-akan
berada di antara mujahidin.
Kedua, saya katakan bahwa ke di
antara perkara yang paling aku khawatirkan dari diri kalian adalah sikap
tergesa-gesa mengkafirkan manusia, karena sesungguhnya masalah
pengkafiran termasuk dalam kategori perkara-perkara rumit yang harus
dilakukan oleh orang-orang yang telah menggapai kedudukan tersebut, dari
kalangan ahli ilmu dan syariat.
Barangsiapa mengatakan kepada
saudaranya “Hai orang kafir” niscaya ucapan tersebut akan kembali kepada
salah satu dari keduanya. Engkau tidak akan dihisab pada hari kiamat
karena engkau tidak mengkafirkan si fulan, seseorang dari kalangan
masyarakat. Namun engkau akan dihisab jika engkau mengkafirkannya tanpa
dalil.Oleh karena itu jalan selamat adalah menyerahkan urusan ini kepada
para ahlinya yaitu para ulama dan qadhi (hakim syariat Islam).
Para
ulama telah menetapkan perbedaan antara perbuatan yang menjadikan kafir
(fi’il mukaffir) dan antara mengkafirkan pelakunya, dengan uraian yang
tidak cukup dimuat oleh lembaran yang singkat ini. Tidaklah Khawarij
tersesat kecuali karena sikap mereka yang mengkafir-kafirkan
masyarakat.
Alangkah tepatnya perkataan imam Al-Qurthubi
rahimahullah: “Bab pengkafiran adalah bab yang sangat rawan. Banyak
orang memberanikan diri padanya maka mereka pun berguguran.Dan banyak
ulama bijak yang menahan diri darinya, maka mereka pun selamat.”
Maka
sayangilah diri kalian sendiri dan saudara-saudara kalian kaum muslimin
penduduk negeri Syam, karena mereka selama rentang waktu sangat panjang
di bawah kekuasaan thaghut yang kafir, yang mengajarkan dan menjejalkan
kekafiran kepada mereka.Maka berlemah lembutlah kalian kepada mereka,
karena terkadang dari lisan mereka keluar ucapan-ucapan yang hakekatnya
tidak mereka maksudkan, hal itu karena rezim kafir ini telah membiasakan
mereka atas ucapan-ucapan kekafiran tersebut, sehingga status mereka
saat ini seperti orang yang belum lama masuk Islam.Sementara dimaafkan
untuk orang yang belum lama masuk Islam, hal yang tidak dimaafkan untuk
orang selain dirinya.Wallahu a’lam.
Kesebelas: Peringatan untuk mewaspadai sikap ghuluw (ekstrim, berlebih-lebihan)
Umat
Islam ditimpa dengan dua kelompok; satu kelompok berpaling dari agama
dan menjauhinya sehingga mereka tidak mempelajarinya dan tidak
menerimanya, sedangkan satu kelompok lainnya bersikap berlebih-lebihan
di dalam beragama.Kedua kelompok ini sama-sama tercela, dan kebenaran
itu berada di antara sikap berlebih-lebihan dan sikap mengacuhkan.
Memperingatkan mujahidin tidak lain hanyalah dengan mengingatkan mereka untuk mewaspadai sikap ghuluw
(berlebih-lebihan), karena sikap ghuluw memasuki ibadah-ibadah, baik
ibadah yang sedikit maupun ibadah yang banyak, ibadah yang kecil maupun
ibadah yang besar.Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam telah bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّينِ
“Jauhilah oleh kalian sikap berlebih-lebihan.”(HR. An-Nasai, Ibnu Majah dan lain-lain) Hadits ini disabdakan beliau berkenaan dengan pemilihan kerikil untuk melempar jumrah. Beliau bersabda: “Melemparlah dengan kerikil-kerikil seperti ini, dan jauhilah oleh kalian sikap berlebih-lebihan!”
Melempar
jumrah adalah ibadah.Jika sikap berlebih-lebihan dalam melempar jumrah
dilarang oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam, padahal bahayanya
terbatas pada diri pelakunya, maka berlebih-lebihan dalam jihad tentu
lebih layak untuk dilarang, sebab sikap berlebih-lebihan dalam jihad
sangatlah berbahaya. Orang yang memegang pelatuk senjata, jika ia tidak
diatur oleh syariat Islam dan diluruskan oleh As-sunnah, niscaya ia akan
terjatuh dalam bencana-bencana. Senjata itu terkadang memiliki sikap
berlebihan dan kekuatan itu terkadang memiliki sikap melampaui
batas.Kami berdoa kepada Allah semoga Allah melindungi kami dan kalian.
Kedua belas: Hal yang mendorong penulisan nasehat ini
Wa
ba’du…sesungguhnya kami telah menyampaikan nasehat dalam surat ini
karena rasa cinta kepada mujahidin di jalan Allah, demi menunaikan
tanggung jawab dan menjaga jihad ini dari penyelewengan. Allah Ta’ala
telah mengambil perjanjian dari para ulama agar mereka menjelaskan ilmu
dan tidak menyembunyikannya. Allah Ta’ala mencela orang-orang yang
menyembunyikan ilmu. Allah Ta’ala berfirman:
وَإِذَ أَخَذَ اللّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلاَ تَكْتُمُونَهُ
Dan
(ingatlah) ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah
diberi kitab (yaitu): “Hendaklah kalian menerangkan isi kitab itu kepada
manusia, dan jangan kalian menyembunyikannya.” (QS. Ali Imran [3]: 187)
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّن كَتَمَ شَهَادَةً عِندَهُ مِنَ اللّهِ
“Dan siapakah yang lebih zalim dari pada orang yang menyembunyikan kesaksian dari Allah yang ada padanya?”(QS. Al-Baqarah [2]: 140)
Allah Ta’ala juga berfirman:
إِنَّ
الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِن
بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَئِكَ يَلعَنُهُمُ
اللّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللَّاعِنُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang
menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa
keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami
menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah
dan dilaknati pula oleh semua mahluk yang dapat melaknati.(QS. Al-Baqarah [2]: 159)
Saya
mengetahui bahwa di antara putra-putra Daulah Islam dan kelompok
lainnya ada yang akan membaca dan tidak mengambil manfaat darinya.
Sebagian mereka akan mengatakan: “Hal ini tidak samar bagi para syaikh
kami.”
Maka saya memintakan perlindungan Allah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Melihat bagi mujahidin semoga amal-amal mereka tidak
menjadi bencana bagi mereka di hari kiamat kelak. Sesungguhnya
seseorang hanya akan selamat dengan amal perbuatannya sendiri. Sikapnya
mengikuti orang selain ash-shadiq al-mashduq (nabi Muhammad yang jujur dan dibenarkan) Shallallahu ‘alaihi wa salam tidak akan menyelamatkan dirinya.
Hanya
kepada Allah semata kita memohon untuk menjayakan agama-Nya dan
memenangkan wali-wali-Nya. Shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan
kepada nabi yang mulia, keluarganya dan seluruh sahabatnya. Segala puji
bagi Allah Rabb seluruh alam.
Ditulis oleh : Syaikh Dr. Ahmad bin Faris As-Salum
Rabithah Al-Ulama’ As-Suriyyin (Ikatan Ulama Suriah)
Sumber : Islamsyria.com
( Muhib al-Majdi/arrahmah.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar