REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK — Pakar Politik Universitas Boston, Jonathan Laurance mengatakan ada tiga alasan yang menyebabkan komunitas Muslim sulit berintegrasi dengan masyarakat Eropa. Ketiga alasan itu lebih condong kepada perilaku dan sikap negara-negara Eropa terhadap komunitas Muslim.
Alasan pertama, keberadaan partai-partai sayap kanan Eropa hanya memperburuk situasi dengan sikap anti-Islam. Sikap itu sengaja disuarakan guna menghambat asimilasi dan memicu tindak radikalisme sehingga memaksa pemerintah di negara-negara Eropa menekan komunitas Muslim.
“Apa yang terjadi sekarang bukan masalah agama melainkan pengarahan opini yang memunculkan pandangan sinis terhadap Islam, hilangnya kewibawaan hukum dan disharmonis hubungan antar umat beragama,” kata dia seperti dikuti nytimes.com, Selasa (24/1).
Alasan kedua, negara Eropa khawatir dengan dibukanya studi Islam yang dianggap sebagai pengakuan dan akomodasi terhadap komunitas Muslim. Padahal, dengan memperkuat hak-hak komunitas Muslim, selanjutnya akan menggiring komunitas Muslim untuk memberikan sumbangsih salah satunya terkait pencegahan aktivitas radikalisme.
“Hak-hak seperti ini akan memberi makna terhadap jaminan konkret negara-negara Eropa terhadap kebebasan beragama,” kata dia.
Alasan ketiga, negara-negara Eropa tidak merangkul organisasi Muslim. Padahal posisi organisasi Muslim sangat vital dalam komunitas Muslim. Pemerintah negara-negara Eropa sudah sewajarnya untuk meminta masukan kepada organisasi Muslim sebelum menjalankan kebijakan.
“Keberadaan organisasi bukan berarti ancaman tetapi mereka sangat berperan dalam mendamaikan masalah praktis yang menimpa komunitas Muslim. Sebagai contoh saja, bagaimana Dewan Agama Islam perancis, Konfensi Islam jerman, Komite Masjid dan Islam Italia, dan Dewan Nasional Imam Inggris memainkan peranan strategis dalam komunitas Muslim saat menghadapi tekanan,” ungkapnya.
“Apa yang terjadi sekarang bukan masalah agama melainkan pengarahan opini yang memunculkan pandangan sinis terhadap Islam, hilangnya kewibawaan hukum dan disharmonis hubungan antar umat beragama,” kata dia seperti dikuti nytimes.com, Selasa (24/1).
Alasan kedua, negara Eropa khawatir dengan dibukanya studi Islam yang dianggap sebagai pengakuan dan akomodasi terhadap komunitas Muslim. Padahal, dengan memperkuat hak-hak komunitas Muslim, selanjutnya akan menggiring komunitas Muslim untuk memberikan sumbangsih salah satunya terkait pencegahan aktivitas radikalisme.
“Hak-hak seperti ini akan memberi makna terhadap jaminan konkret negara-negara Eropa terhadap kebebasan beragama,” kata dia.
Alasan ketiga, negara-negara Eropa tidak merangkul organisasi Muslim. Padahal posisi organisasi Muslim sangat vital dalam komunitas Muslim. Pemerintah negara-negara Eropa sudah sewajarnya untuk meminta masukan kepada organisasi Muslim sebelum menjalankan kebijakan.
“Keberadaan organisasi bukan berarti ancaman tetapi mereka sangat berperan dalam mendamaikan masalah praktis yang menimpa komunitas Muslim. Sebagai contoh saja, bagaimana Dewan Agama Islam perancis, Konfensi Islam jerman, Komite Masjid dan Islam Italia, dan Dewan Nasional Imam Inggris memainkan peranan strategis dalam komunitas Muslim saat menghadapi tekanan,” ungkapnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar