Pers adalah bagian dari media massa. Dia berperan penting dalam
menghubungkan masyarakat dalam berkomunikasi melalui media tulisan dan
gambar. Medianya bisa berupa surat kabar, majalah, tabloid, situs,
ataupun yang lain. (Shaffat, 2008:2)
Pada umumnya pers dipahami memiliki peran strategis dalam upaya:
- Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui
- Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinekaan.
- Mengembangkan perdapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar.
- Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum,
- Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.[1]
Tentu peran pers yang disebutkan diatas diambil dari nilai-nilai
umum. Disepakati oleh sekelompok orang saja. Sehingga peran strategis
pers tersebut hanya berlaku bagi pers yang berada dalam kalangan
mainstream. Tentu ini berbeda dengan peran strategis yang dipahami dalam
pers Islam, dimana setiap perannya dilandasi oleh hukum Islam yaitu
Al-Quran, Hadits dan ijma.
Memang tidak semua peran strategis yang disebutkan diatas
bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Namun pada kedua, disebutkan
bahwa peran strategis pers adalah menegakkan nilai-nilai dasar
demokrasi, mendorong supremasi hukum dan Hak Asasi Manusia, serta
menghormati kebhinnekaan.
Pertama, pada poin “menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi”, ini
sangat bertolak belakang dengan cita-cita mendasar pers Islam yaitu
menegakkan nilai-nilai Islami. Karena demokrasi bukanlah hal yang tepat
untuk ditegakkan dan dibela melalui pers. Dalam prinsip-prinsip
demokrasi masih memberikan peluang siapapun memiliki banyak pendukung
atau jumlah suara signifikan untuk berkuasa. Tidak peduli meskipun orang
atau kelompok tersebut membawa kemungkaran. Sedangkan dalam prinsip
pers Islam, nilai-nilai Islam-lah yang ditegakkan. Nilai-nilai yang
berasal dari Allah Swt, diturunkan melalui Al-Quran dan Hadits, yang
mutlak kebenarannya, yang pemahamannya pun sudah final dan tidak akan
direvisi dikemudian hari.
Kedua, pada statemen “mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinnekaan”.
Statement ini bukanlah statement yang tidak wajib diikuti oleh kalangan
pers Islam. Mengapa demikian? Karena dalam banyak hal, sudut pandang
hukum Islam tidak dapat berjalan seiring dengan konsep Hak Asasi Manusia
(HAM) ketika konsep tersebut diterapkan tanpa melihat batasan. HAM
adalah persoalan yang sangat luas dan beragam. Bahkan begitu luasnya
cakupan HAM sering menimbulkan benturan pada implementasinya. Seorang
anggota Komnas HAM sendiri, Dr. Saharuddin Daming, mengatakan bahwa
pergesekan dalam mempraktekkan konsep HAM disebabkan di satu pihak
muncul pandangan yang menyatakan HAM otomatis berlaku universal,
sedangkan dipihak lain menyatakan bahwa HAM bersifat partikular[2].
Konsep HAM yang begitu luas serta kebebasan dalam
mengimplementasikannya mengharuskan adanya batasan, misalnya dalam aspek
kebebasan beragama yang diatur dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
telah dijamin hak setiap warga negara untuk bebas memeluk agama dan
beribadah menurut agama yang diyakininya.Namun untuk membatasinya, hukum
juga harus mengatur bahwa dalam melaksanakan ajaran agama dan
kepercayaan itu juga harus mengedepankan unsur ketertiban dan kehormatan
nilai-nilai kesucian ajaran agama/kepercayaan pihak lain. Jika tidak
seperti itu, maka kasus Ahmadiyah yang jelas menodai ajaran Islam akan
dianggap memiliki hak untuk menyebarkan keyakinannya.
Mengenai kalimat “menghormati kebhinnekaan”, seringkali dipahami
secara bebas oleh pers yang cenderung berpikir liberal. Tanpa batasan
dan keluar dari koridor hukum Islam. Misalnya, dalam Buletin BHINNEKA
Vol.6 Mei 2010 yang khusus membahas tentang seputar gay dan lesbian,
disana banyak terdapat tulisan yang mengatasnamakan Hak Asasi, dan
menjunjungtinggi keberagaman (baca: bhinneka) dengan melegalkan homo dan
lesbian. Sudah pasti “menghormati kebhinnekaan” yang seperti ini tidak
dapat ditolerir dan diterima dalam Islam. Karena ketetapan hukum Islam
tentang haramnya berhubungan sesama jenis sudah final dan selamanya
tidak akan berubah.
Rasulullah Saw bersabda, “Ada empat kelompok orang yang
pada pagi dan petang hari dimurkai Allah. Para sahabat lalu bertanya,
"Siapakah mereka itu, ya Rasulullah?" Beliau lalu menjawab, "Laki-laki
yang menyerupai perempuan, perempuan yang menyerupai laki-laki, orang
yang menyetubuhi hewan, dan orang-orang yang homoseks.” (HR. Ahmad dan Ath-Thabrani)
“Allah tidak akan melihat (memperhatikan) seorang lelaki yang
menyetubuhi laki-laki lain (homoseks) atau yang menyetubuhi isteri pada
duburnya. (HR. Tirmidzi)
Maka, dalam menghormati kebhinnekaan, tetap harus memiliki
batasan-batasan. Seorang wartawan muslim mengambil Al-Quran dan
As-Sunnah sebagai landasan utama dalam membatasi pemahaman tentang
“menghormati kebhinnekaan” saat membuat berita maupun tulisan. Karena
sebenarnya Islam sangat menghargai kebhinnekaan warna kulit, etnis, suku
dan status sosial di masyarakat. Seperti yang dijelaskan dalam
Al-Quran,
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
bertakwa di antara kamu...” (QS. Al Hujuraat: 13)
Kode Etik Jurnalistik (Islam)
Berprofesi sebagai pers sangat membutuhkan tanggungjawab tinggi,
kematangan dan kepribadian yang kuat (Arifin, 2007:44). Jika seorang
wartawan menulis tanpa memiliki dasar etika penulisan jurnalistik bisa
menimbulkan terjadinya permasalahan. Oleh karenanya, sebagai seorang
wartawan, tanpa dipaksa oleh siapapun seharusnya mematuhi kode etiknya
sendiri.
Zainal Arifin Emka, seorang mantan rektor STIKOSA Surabaya mengatakan
bahwa wartawan yang tidak paham kode etiknya bisa terperosok dalam
penulisan yang seenaknya, merusak reputasi orang, beritanya menyesatkan,
penyulut kepanikan, menghasut tindak kekerasan, bahkan mengobarkan
permusuhan (Arifin, 2007:44).
Pendapat diatas memang benar. Bahwa tidak seharusnya pers, terlebih
pers Islam memberitakan hal-hal yang merusak reputasi seseorang,
menyesatkan, menyulut kepanikan, menghasut kekerasan, dan mengobarkan
permusuhan. Karena setiap tindakan yang berakibat seperti itu akan
membawa dampak buruk bagi media itu sendiri.
Namun, ada beberapa hal yang harus diperhatikan bahwa dalam
kaidah-kaidah pemberitaan pers Islam tindak kekerasan dan permusuhan
bisa saja dilakukan dengan satu syarat bahwa yang sedang dihadapi adalah
tindakan kemungkaran dan masuk dalam tahapan penghinaan terhadap
prinsip-prinsip ajaran Islam. Sebagai contoh adalah aksi pembubaran
bedah buku karangan Irshad Manji dengan sekaligus menghadirkan
penulisnya. Jelas dalam karya-karya tulisan Manji terdapat banyak upaya
untuk merombak ajaran Islam agar pro dengan lesbianisme. Dengan kata
lain, dia mengkampanyekan bahwa Islam itu mentolerir perbuatan lesbian.
Hal ini berarti Irshad Manji menghina dan merendahkan ketetapan Allah
Swt dan Rasulullah Saw tentang haramnya praktek lesbian.
Jika kasusnya seperti itu, apakah mungkin pers Islam dan media-media
Islam diam saja melihat fenomena itu? Salahkah jika para jurnalis muslim
serentak bangkit untuk melakukan perlawanan opini menyimpang Irshad
Manji di berbagai media? Tidak! Karena itu merupakan respon atas
kampanye Irshad Manji yang memelencengkan makna dalil-dalil syar’i dalam
Islam.
Analisis Tidak Relevan Ade Armando terhadap Situs Portal Islam
Pada bulan Oktober tahun lalu, Ade Armando mempresentasikan sebuah
makalah penelitian berjudul “Islam Diancam!: Konstruksi Wacana
Keberagaman melalui Media Islam Online”. Pada penelitiannya, Ade
menganalisis tiga pemberitaan yang dimuat dalam salah satu situs portal
Islam di Indonesia. Isu yang pertama mengenai kisruh Gereja Yasmin, yang
kedua soal kerusuhan Ambon, dan yang ketiga mengenai apa yang
digambarkan sebagai Kristenisasi melalui praktek penghamilan.
Dalam penelitiannya, Ade menarik banyak kesimpulan, misalnya seperti ini:
“Berbagai media yang diteliti membangun gambaran tentang umat
Kristen sebagai musuh umat Islam yang berbahaya yang akan melakukan
tindakan apapun – termasuk melanggar hukum – untuk melakukan
Kristenisasi.” –hal. 10
“Media membangun gambaran bahwa ancaman Kristenisasi ini bukan
main-main dan dilakukan dalam proses berkelanjutan. Media menunjukkan
Kristenisasi di Indonesia adalah upaya yang sudah dimulai dari jaman
penjajahan Belanda. Bahkan digambarkan bahwa Indonesia sebagai negara
dengan mayoritas umat penduduk Islam terbesar di dunia hendak diubah
menjadi Negara Kristen terbesar kedua di dunia setelah AS.”—hal. 10
Dari hasil analisis yang sudah dibuat, Ade menuduh pemberitaan dari
salah satu situs Islam tersebut sama sekali tidak memperhatikan kode
etik jurnalistik. Misalnya, situs tersebut menyembunyikan fakta penting
dari pihak Kristen, memberitakan sumber-sumber yang anonim, mencampurkan
kata-kata sang wartawan ke dalam fakta, tidak cover both-side dan lain sebagainya. Memang tidak dipungkiri bahwa beberapa tuduhan tersebut ada benarnya. Namun, Ade (sang peneliti itu-red) terlupa satu hal bahwa secara tidak sadar dia juga terjebak pada argumentasi subyektifnya sendiri.
Dalam tulisan tersebut dia tidak mengklarifikasi pihak Kristen
tentang benar atau tidaknya upaya kristenisasi, upaya memperbanyak
jumlah penduduk Kristen di Indonesia, juga tentang oknum kepolisian
Ambon yang terlibat langsung pembunuhan umat Islam disana. Ade menuduh
satu situs Islam mencitrakan buruk umat Kristen dengan pemberitaannya,
namun disaat yang sama Ade tidak melakukan klarifikasi kebenaran seluruh
tuduhan-tuduhan situs tersebut. Seharusnya penyangkalan harus disertai
juga dengan fakta-fakta lapangan bahwa memang hal tersebut tidak
benar-benar terjadi. Mengapa klarifikasi kepada pihak Kristen begitu
penting? Karena jika hal tersebut benar-benar terjadi, maka pemberitaan
dalam situs tersebut tidak boleh menjadi masalah lagi.
Penulis sendiri menganggap penelitian tersebut tidak ilmiahnya dan
tidak ‘faktual’. Setiap tuduhan juga tidak disertai fakta-fakta yang
menjadi alasan kuat kenapa media-media Islam begitu keras melawan
Kristenisasi. Seharusnya bukan tuduhan singkat tentang eksklusivitas
Islam yang dimunculkan disana. Mana fakta-fakta yang berlimpah tentang
kenyataan bahwa Kristen melakukan upaya kristenisasi di berbagai daerah
di Indonesia?? Kenapa tidak dicari? Kenapa fakta itu tidak
ditanyakan/klarifikasi kepada pihak Kristen?
Ade juga buta dengan kasus-kasus yang lebih berat yang terus
dilakukan oleh media-media massa mainstream dalam mencitrakan buruk
Islam dan mendiskreditkan umat Islam di Indonesia. Dia mungkin amnesia
dengan betapa banyaknya penangkapan-penangkapan tak bersalah yang
dilakukan oleh Polri dengan tuduhan teroris dan diliput di media seolah
Islam dengan stereotip fisik tertentu pasti dicurigai sebagai teroris.
Dia juga lupa betapa sadisnya media massa mendemonologi Ust Abu Bakar
Baasyir, Syekh Puji, Munarman, Habib Rizieq, Aa’ Gym dan banyak lagi
lainnya. Jika mau adil dihitung, maka Islam lebih banyak dan lebih lama
menjadi korban ketidakadilan pemberitaan pers di media massa. Jadi,
kalau ingin objektif, kenapa tidak membela Islam saja?
Singkatnya, di dalam makalah yang ditulis dan dipresentasikan oleh
Ade Armando merupakan argumentasi yang sepihak. Tidak berbeda dengan
tuduhan yang dia lemparkan kepada salah satu situs portal berita Islam
yang diangkat. Fakta-fakta dari pihak Kristen sangat sedikit
diklarifikasikan kebenarannya. Tuntutan obyektifitas kepada media muslim
membuat dirinya sendiri tidak obyektif, emosional, dan melupakan
klarifikasi data. Maka saya menyimpulkan bahwa penelitian itu dhaif.
Titik.
[1] Shaffat, Idri. Kebebasan, Tanggungjawab, dan Penyimpangan Pers. 2008. Jakarta: Prestasi Pustaka. Hal. 139
[2]http://insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=110:ham-dan-aliran-sesat&catid=18:seputar-ham&Itemid=16 diakses tanggal 22 Mei 2012.
Oleh : Aditya ( Pimpinan Redaksi UndergroundTauhid.com/ Dosen di beberapa Universitas di Surabaya)
Kutipan :
Bilal / Arrahmah
Sabtu, 26 Mei 2012 14:50:24
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar