Beberapa waktu lalu SETARA Institute melalui Diskusi Publik Deradikalisasi Agama untuk Pemenuhan Hak Konstitusional Warga Negara dan Jaminan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan,
kembali meneguhkan militansinya terhadap paham sekularisme dan
pluralisme di Indonesia. Diskusi yang bertempat di Hotel Century Park
Senayan Jakarta tersebut merupakan upaya ‘serius’ mereka memasarkan
pandangan sekular-pluralis yang dibungkus dengan baju penelitian Radikalisme Agama di Jabodetabek dan Jawa Barat: Implikasinya terhadap Jaminan Kebebasan Keragaman / Berkeyakinan, dirilis Rabu, 22 Desember 2010.
Sejatinya, penelitian itu dimaksudkan untuk membina toleransi umat beragama. Tapi ternyata isinya hanyalah copy paste atas
tradisi dan budaya Barat hari ini. Oleh sebab itu, semua pandangan yang
tidak sejalan dengannya menjadi salah. Akhirnya, di negeri ini
seolah-olah hanya mereka yang paling toleran dan paling berhak berbicara
tentang toleransi. Juga, seakan-akan hanya mereka yang paling
nasionalis dan paling kompeten untuk menilai suatu pemikiran/tindakan
itu toleran atau tidak. Benarkan demikian? Mari kita lihat!
Membatasi Peran Agama
Menurut hasil penelitian LSM Setara
Institute, Masyarakat Jabodetabek dan Jawa Barat memiliki tingkat
toleransi yang tinggi hanya pada ranah relasi sosial saja, seperti dalam
berteman, bertetangga dan mengikuti perkumpulan. Sebaliknya, dalam
masalah privat, justru masyarakat di daerah-daerah tersebut sangat
intoleransi. Dalam masalah nikah beda agama misalnya, penolakan
masyarakat mencapai angka 84, 13 persen, yang menerima hanya 14, 29
persen. Mereka juga menolak jika ada anggota keluarga yang pindah ke
agama lain (tribunnews.com/2010/12/22/).
Penggunaan istilah “privat” untuk
menggambarkan masalah-masalah yang terkait dengan akidah adalah bentuk
penghinaan terhadap Islam. Bagaimana tidak, dalam Islam persoalan akidah
sangat mendasar dan mewarnai segala aktivitas fikir dan perbuatan
setiap Muslim, baik ketika maupun dalam kehidupan bermasyarakat (baca:
Bediuzzaman Sa’id Nursi). Sementara mereka justru ingin membuang peran
Islam dalam kehidupan sosial. Dengan kata lain, mereka bermaksud
mendikte Allah swt dalam merumuskan konsep kehidupan sosial, termasuk
dalam masalah toleransi.
Sekularisme berasal dari terma
modernisme, yang dilatarbelakangi ajaran Bible “berikan hak Tuhan pada
Tuhan dan berikan hak raja kepada raja”. Dari sini kemudian terjadi
pemisahan antara agama dan gereja. Kemudian, para saintis
mengembangkannya menjadi doktrin epistemologi dualism dan dikotomi.
Sehingga agama dan sains, objektif dan sibjektif, rasional dan empiris
laksana dua kutub yang tak pernah bertemu. Tapi kemudian, hal ini
menjadi masalah serius bagi mereka sendiri.
John Esposito misalnya,
dalam seminar Islamic Philosophy and Science tahun 1992 di Pinang, Malaysia, menegaskan bahwa saat ini Barat dalam keadaan dead-lock. Sebab
mereka tidak pernah bisa menyatukan dualisme dan dikotomi. Selain itu,
sekularisme telah menyebabkan masyarakat Barat meninggalkan agama
(Kristen). Petaka ini tampak dari pernyataan menyesal para pendetanya,
Spirituality has gone to the east (baca juga: The Christian Research Journal, 1990, p. 39).
Anehnya, pandangan dichotomy seperti itu
malah dijiplak oleh LSM Setara Institute. Mereka berbicara panjang
lebar tentang kehidupan sosial, mengenai hubungan antar agama dan
pernikahan beda agama. Namun pada saat yang bersamaan tidak sama sekali
menyinggung masalah akidah umat Islam. Ini menunjukkan bahwa bagi
mereka, kehidupan sosial dan akidah adalah dua hal yang terpisah, tak
memiliki kaitan. Makanya ‘masyarakat yang menolak pernikahan beda agama
dan tidak menyetujui anggota keluarga yang pindah agama’ mereka sebut
sebagai intoleransi. Ini jelas bertentangan dengan doktrin tauhid dalam
Islam.
....Dari sini jelas peneliti Setara Institute sama sekali tidak mengenal Islam. Bisa juga mereka memang sengaja tidak mau tahu dengan bagaimana Islam yang sebenarnya....
Dari sini jelas peneliti Setara
Institute sama sekali tidak mengenal Islam. Bisa juga mereka memang
sengaja tidak mau tahu dengan bagaimana Islam yang sebenarnya. Sebab
sepertinya mereka sengaja membawa Islam kepada doktrin Humanisme
Sekuler. Yang jelas ini menjadi bukti bahwa penelitian tersebut tidak
objektif, tapi bias. Sebagai kerja ilmiah, seharusnya peneliti memahami Islam dari kaca mata Islam, dengan menggunakan worldview Islam. Kenyataannya tidak demikian.
Memaksakan Inovasi Teologis
Paham pluralisme yang difatwa haram oleh
MUI pada 29 Juli 2005 tersebut merupakan inovasi teologis dan bentuk
final dari pemikiran yang dibawa oleh agamawan liberal. Oleh sebab itu,
masyarakat Muslim yang menolak pernikahan beda agama dan tidak
mengizinkan anggota keluarga pindah ke agama lain dipandang sebagai
intoleransi. Hal ini karena bagi mereka, tidak ada lagi sekat antar
agama, termasuk sifat eksklusif teologis masing-masing agama.
Inti doktrin pluralisme agama adalah
menghilangkan sifat eksklusif umat beragama. Makanya kelompok agamawan
liberal dalam agama-agama tidak lagi mengklaim bahwa agama mereka adalah
sempurna dan absolute. Begitu juga, orang-orang sekular-pluralis tidak
lagi menginginkan umat Islam bersifat fanatik, merasa benar sendiri dan
menganggap agama lain salah.
Adalah John Hick, tokoh paling besar dan
paling penting dalam wacana pluralisme agama telah menegaskannya.
Menurutnya, di antara prinsip pluralisme agama adalah menyatakan bahwa
agama lain adalah sama-sama jalan yang benar menuju kebenaran yang sama (Other religions are equally valid ways to the same truth).
Semua ini erat kaitannya dengan gerakan Postmodernisme, yang diterima
baik oleh mereka yang menerima aliran-aliran filsafat postmodern,
khususnya dekonstruksionisme.
....Sebagai kerja ilmiah, seharusnya peneliti memahami Islam dari kaca mata Islam, dengan menggunakan worldview Islam. Kenyataannya tidak demikian....
Gerakan pluralisme agama adalah salah
satu agenda liberalisasi pemikiran. Dalam pandangan manusia pluralis,
semua agama adalah sama benarnya dan sama validnya. Paham ini setidaknya
memiliki dua aliran yang berbeda tapi ujungnya sama, yakni aliran
kesatuan transenden agama-agama (transcendent unity of religion) dan teologi global (global theology). Aliran
pertama lebih merupakan protes terhadap arus globalisasi, sedangkan
yang kedua merupakan kepanjangan tangan dari gerakan globalisasi. Dan
dalam perkembangannya, aliran global theology menjadi corong utama gerakan westernisasi.
Strategi Orientalis Menghancurkan Umat Islam
Gagasan sekular-pluralis sebagaimana
yang melatar belakangi hasil penelitian LSM Setara Institute merupakan
kepanjangan tangan dari agenda orientalis untuk mempersiapkan generasi
baru dari kalangan umat Islam yang jauh dari Islam, menjadikan kita
tidak lagi bangga dengan Islam. Generasi Muslim yang sesuai dengan
kehendak imperialis, generasi yang malas dan hanya mengejar kepuasan
hawa nafsunya.
Di sini, mereka tidak lagi bermaksud
memurtadkan seorang Muslim dari Islam, tapi menjadikan umat Islam tidak
lagi berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits, sehingga tidak lagi
berakhlak karimah. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Samuel Zwemmer,
seorang orientalis yang menjabat direktur organisasi misionaris dan
juga pendiri Jurnal the Muslim World pada tahun 1935 pada
Konferensi Misionaris di Kota Yerusalem. Semua ini adalah Ini adalah
bagian dari gerakan liberalisasi pemikiran Islam.
....mereka tidak lagi bermaksud memurtadkan seorang Muslim dari Islam, tapi menjadikan umat Islam tidak lagi berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits, sehingga tidak lagi berakhlak karimah....
Salah satu cara yang mereka tempuh untuk
tujuan tersebut adalah membesar-besarkan masalah toleransi, seakan-akan
ia hal baru dalam Islam. Padahal jika kandungannya bukan ide-ide
sekular-pluralis, Islam sudah matang bertoleransi sejak ia lahir.
Sementara jika maknanya adalah relativisme, maka pluralisme tidak lebih
dari kepanjangan tangan dari postmodernisme.
Ada di antara orang-orang pluralis yang
mengatakan bahwa famam yang mereka anut adalah pluralisme sosiologis
yang merujuk kepada Peter L Berger atau Diana L Eck. Padahal keduanya
memiliki teori yang sama bahwa sumber kebenaran itu tidak hanya satu
tapi banyak.
Artinya, pluralisme itu sendiri sudah mengandung pandangan
relativitas dalam kebenaran, atau setidaknya, curiga terhadap kebenaran.
Pluralisme ini tidak berpegang pada suatu dasar apa pun. Tidak boleh
ada kebenaran tunggal.
Bahkan dalam satu pengertian, pluralisme
mengajarkan bahwa sebenarnya kebenaran itu tidak ada (baca: The Grolier Webster Int. Dictionary Of The English Language; Oxford Advanced Lear ners’ Dictionary of Current English dan Oxford Dictionary of Philosophy).
Ungkapan bahwa yang mereka kembangkan
adalah pluralisme sosiologis dan tidak menyentuh ranah teologis hanyalah
agar faham itu tidak ditolak oleh umat Islam. Dan di lapangan,
kenyataan bahwa faham pluralisme hanya menyentuh ranah sosiologis tidak
pernah terbukti, seperti yang tampak dalam penelitian SETARA Institute
ini.
Untuk memperlancar gerakan liberalisasi
melalui faham sekular-pluralis ini, para orientalis membuat label-label
negatif terhadap siapa saja yang menyalahi paham tersebut. Karenanya,
pandangan yang menyalahi cara pikir sekular-liberal selalu diposisikan
berhadapan dengan fundamentalisme religius (baca: Cheryl Bernard). Dalam
situs Kedutaan Besar AS disebutkan program Mengembangkan Paham Pluralisme dan Toleransi untuk Menghadapi Ekstrimisme.
Dan ternyata, beberapa hari yang lalu, kita umat Islam Indonesia menyaksikan bahwa trik orientalis
tersebut diperagakan dengan sangat sempurna oleh LSM Setara Institute.
Atas nama riset dan penelitian yang dilakukan dengan cara pandang dan
tujuan yang diwarnai oleh Worldview Barat Postmodern seperti penjelasan
di atas, mereka menyematkan cap “radikal dan intoleran” terhadap
sejumlah ormas Islam, seperti: FUI (Forum Umat Islam), FPI (Front
Pembela Islam), GARIS (Gerakan Reformasi Islam), FAPB (Front Anti
Pemurtadan Bekasi), FUI (Forum Ukhuwah Islamiyah) Cirebon, Tholiban,
DDII (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia), dan sejumlah majelis taklim
lainnya.
Tidak itu saja. Sebelum dialog
berlangsung, SETARA Institute mengaku telah menemui institusi Negara.
Mereka merekomendasikan kepada Negara agar menegakkan hukum bagi para
pelaku kekerasan, intoleransi, dan diskriminasi dan melakukan
deradikalisasi pandangan, prilaku dan orientasi keagamaan melalui kanal
politik dan ekonomi, terang salah satu peneliti Setara Institut, Ismail
Hasani.
Dengan label negatif diikuti dengan
rekomendasi tersebut tampak jelas bahwa apa yang sedang dilakukan oleh
Setara Institute adalah upaya untuk menggambarkan seolah-olah yang
mendukung syariat Islam adalah yang anti Pancasila dan UUD 1945.
Sedangkan yang menentang syariat Islam adalah yang pro-Pancasila dan UUD
1945. Benarkan demikian? Tentu tidak. Sebab Setara Institute
menggunakan worldview sekuler-pluralis dalam menafsirkan
Pancasila, dan itu bertentangan dengan hakikat makna yang terkandung
dalam Pancasila itu sendiri.
Di Indonesia, ‘cara’ menghadang
masyarakat Muslim mengamalkan Syariat Islam seperti yang dilakukan oleh
Setara Institute bukanlah hal baru. Cara-cara seperti itu sudah lama
dilakukan oleh para pendukung program liberalisasi pemikiran Islam di
Indonesia.
Pada era 80-an misalnya, KH Saifuddin Zuhri, seorang tokoh NU
yang menjabat Menteri Agama RI telah mengurai adanya upaya-upaya dari
pihak-pihak yang hendak menghadang Islam dengan melabel umat Islam yang
berupaya menjalankan syariat Islam sebagai ekstrimis dan radikal.
Padahal menurut beliau, adalah wajar jika umat Islam mempertahankan
keyakinan mereka. Dan yang demikian bukanlah radikalisme apalagi
ekstrim.
Yang perlu ditegaskan di sini, segala
upaya untuk memisahkan umat Islam dari Islam bertentangan dengan
konstitusi Negara kita. Sebab dalam Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959,
Soekarno telah dengan tegas menyatakan bahwa Piagam Jakarta tertanggal
22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan
konstitusi Negara Indonesia, yaitu UUD 1945. Di mana di dalamnya tertera
7 kata yang sebelumnya dihapus, yakni dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya (baca: Kaleidoskop Politik di Indonesia, jilid 3).
Epilog
Uraian ini menunjukkan bahwa tidak ada
yang baru apalagi istimewa dalam penelitian yang dilakukan oleh LSM
Setara Institute ini. Motifnya sama saja dengan apa yang pernah
dicetuskan oleh para orientalis. Sehingga, kesan yang tampak justru
hanya untuk menjustifikasi gagasan sekular-pluralis yang lahir dari
rahim Barat, bukan untuk toleransi sebagaimana yang mereka
gembar-gemborkan. Selain itu, cara fikir dan logika kerja yang mereka
gunakan dalam penelitian tersebut sama persis dengan strategi-strategi
orientalis dalam menjauhkan umat Islam dari Islam.
Anwar Al-Jundi
menyatakan bahwa para orientalis dalam mengkaji Islam, pertama-tama
menentukan tujuan. Kemudian untuk membuktikan proposisinya, mereka
mengumpulkan berbagai macam data. Selanjutnya mereka menfsirkannya
sesuai dengan tujuan mereka itu. Sehingga lahirlah teori-teori baru. Dan
ini yang terjadi dalam penelitian Setara Institute, menemukan teori
toleransi baru, yang sangat bertentangan dengan Islam.
....tidak ada yang baru apalagi istimewa dalam penelitian yang dilakukan oleh LSM Setara Institute ini. Motifnya sama saja dengan apa yang pernah dicetuskan oleh para orientalis....
Dengan demikian, penelitian Setara Institute lebih merupakan infotainment bagi
manusia postmo. Realitas Konstitusi Negara yang mengakui hak-hak umat
Islam untuk menjalankan syariat Islam seakan ditutup-tutupi. Sehingga
benar yang disampaikan oleh KH Muhammad Al-Khathtath, Setara Institute
yang justru tidak Pancasilais.
Jika cara fikir Setara Institute itu
diikuti, maka Islam harus menyesuaikan diri dengan merubah konsep
akidahnya. Sebaliknya, jika menolak maka Islam menjadi salah. Wallahu a’lamu bi ash-Shawab.
*) Penulis adalah Peneliti Muda pada Center for Islamic and Occidental Studies (CIOS) Institut Studi Islam Darussalam Gontor.
Oleh: Asmu’i Marto
Kutipan
VoA-Islam
Jum'at, 21 Jan 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar