Yaitu, apa yang telah berlalu dan mendahului, seperti
ungkapan: “Salafa asy-syai-u”, “Salafan” artinnya “madha” (telah
berlalu). Dan “Salaf” artinya sekelompok pendahulu atau suatu kaum yang
mendahului dalam perjalanan.
Allah Ta’ala berfirman, “Maka tatkala mereka membuat Kami murka,
kami menghukum mereka lalu Kami tenggelamkan mereka semuanya (di laut),
dan Kami jadikan mereka sebagai contoh dan pelajaran bagi orang-orang
yang kemudian.”(Az-Zukhruuf: 55-56).
Maksudnya adalah Kami (Allah) menjadikan orang-orang
terdahulu itu sebagai contoh bagi orang yang hendak berbuat seperti
perbuatan mereka, agar generasi setelah mereka mengambil pelajaran dan
teladan darinya.
Jadi makna Salaf adalah orang yang telah mendahului anda
baik itu nenek moyang maupun kerabat keluarga anda, dimana mereka di
atas anda baik dari segi umur ataupun kebaikannya. Oleh karena itu,
generasi pertama dari kalangan Tabi’in dinamakan “as-Salafush Shalih.
(Lihat kamus bahasa Arab: Taajul ‘Aruus, Lisaanul ‘Arab dan al-Qaamuusul
Muhuth: (bab:Salafa).
Pengertian Salaf Secara Istilah (Terminologi):
Kata “Salaf” menurut kalangan ulama aqidah, teriminologinya
sekitar ‘Sahabat’, atau ‘Sahabat dan Tabi’in atau ‘Sahabat, Tabi’in dan
Tabi’ut Tabi’in’ yang hidup di masa (tiga abad pertama) yang dimuliakan
dari kalangan para imam yang telah diakui keimanannya, kebaikannya,
kepahamannya terhadap as-Sunah dan keteguhannya dalam menjadikan
as-Sunnah sebagai pedoman hidupnya, menjauhi bid’ah, dan dari
orang-orang yang telah disepakati oleh ummat tentang keimanan mereka
serta keagungan kedudukan mereka dalam agama.
Oleh karena itu, generasi
permulaan Islam dinamakan “as-Salafush Shalih”.
Allah Ta’ala berfirman,
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul
sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesesatan yang
telah dikuasinya itu dan Kami masukakan ia ke dalam Jahannam, dan
Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”(An-Nissa’: 115).
Firman-Nya pula,
““Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) diantara
orang-orang muhajirin dan anshar serta orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun
ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka Surga-surga yang
mengalir sungai-sungai didalamnya; mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah: 100).
Nabi Muhammad SAW bersabda,
“Sebaik-baik manusia adalah
(orang yang hidup) pada masaku ini (yaitu generasi Sahabat), kemudian
yang sesudahnya (generasi Tabi’in), kemudian yang sesudahnya (generasi
Tabi’ut Tabi’in).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). (HR. Al-Bukhari no. 2652 dan Muslim no. 2533 (212), dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud r.a.).
'Pemimpin Salafush Shalih Adalah Rasulullah SAW
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang
bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi
berkasih sayang sesama mereka: kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari
karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka
mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan
sifat-sifat mereka dalam Injil.” (Al-Fat-h: 29).
Allah Ta’ala telah memadukan antara ketaatan kepada-Nya dan ketaatan kepada Rasul-Nya SAW, dengan berfirman-Nya,
“Dan
barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama
dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: nabi-nabi,
para shiddiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shalih.
Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya” (An-Nisaa’: 69).
Allah menjadikan ketaatan kepada Rasul SAW merupakan konsekuensi dari ketaatan kepada Allah Ta’ala. Firman-Nya, “Barangsiapa
mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan
barangsiapa berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu
untuk menjadi pemelihara bagi mereka.”( An-Nissa’: 80).
Allah Ta’ala mengabarkan bahwa ketidaktaatan kepada Rasul
dapat menggugurkan dan membatalkan amal perbuatan seseorang. Firman-Nya,
““Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada
Rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu.” (Muhammad:
33).
Dan Dia melarang kita melanggar perintah Rasul SAW. Firman-Nya, “Dan
barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul_nya dan melanggar
ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api Neraka
sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” (An-Nisaa’: 14)
Allah Ta’ala menyuruh kita agar menerima apa yang
diperintahkan oleh Rasul SAW dan meninggalkan apa yang dilarangnya.
Allah Ta’ala befirman:
“…..Apa yang diberkan Rasul kepadamu maka
terimalah dia! Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah! Dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (Al-Hasyr: 7).
Allah Ta’ala memerintahkan kita agar mengangkat beliau
SAW sebagai hakim (penengah) dalam segala aspek kehidupan kita dan
mengembalikan semua hukum kepada hukum dan peraturan beliau.
Allah SWT
berfirman :
“Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakekatnya) tidak
beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perakara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka
terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan
sepenuhnya.” (An-Nisaa’: 65).
Allah Ta’ala sudah menyampaikan kepada kita bahwa Nabi-Nya
SAW adalah sosok suri teladan dan contoh terbaik; dimana konsekuensinya
adalah beliau harus diikuti dan diteladani.
Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan)
hari Kiaman dan dia banyak menyebut Allah.” (Al-Ahzaab: 21)
Allah menyertakan keridhaan-Nya bersamaan dengan keridhaan Rasul-Nya SAW, sebagaimana firman-Nya:
“….Allah dan Rasul-Nya itulah yang lebih patut mereka cari keridhaannya, jika mereka adalah orang-orang yang mukmin.” (At-taubah: 62).
Allah pun menjadikan tindakan mengikuti Rasul-Nya SAW sebagai tanda kecintaan kepada-Nya. Firman-Nya:
“Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah,
ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran: 31).
Oleh karena itu, rujukan Salafush Shalih ketika terjadi
perselisihan adalah al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya SAW, sebagaimana yang
difirmankan Allah Ta’ala :
“…..Jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur-an) dan Rasul
(Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” (An-Nisaa’ : 59).
Sebaik-baik Salaf setelah Rasulullah SAW adalah para
Sahabat, yaitu mereka yang telah mengambil agamanya dari beliau SAW
secara benar dan penuh keikhlasan, seabagaimana Allah Ta’ala telah
menjelaskan sifat mereka dalam Kitab-Nya yang mulia, dengan firman-Nya,
“Diantara
orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah
mereka janjikan kepada Allah; maka diantara mereka yang gugur. Dan
diantara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun
tidak merubah (janjinya).” (Al-Ahzaab: 23).
Kemudian orang-orang yang datang setelah mereka, dari tiga
generasi pertama yang dimuliakan, seperti yang disabdakan Rasulullah SAW
tentang mereka,
“Sebaik-baik manusia adalah (orang yang hidup) pada
masaku ini (yaitu generasi para Sahabat), kemudian yang sesudahnya
(generasi Tabi’in), kemudian yang sesudahnya (generasi Tabi’ut
Tabi’in).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). (HR. Al-Bukhari no. 2652 dan Muslim no. 2533 (212), dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud r.a).
Oleh karena itu, para Sahabat dan Tabi’in itulah yang lebih
berhak untuk diikuti daripada lainnya, dikarenakan kejujuran mereka
dalam keimanan, dan keikhlasan mereka dalam beribadah merekalah penjaga
(kemurnian) ‘aqidah, penlindung syari’at dan pelaksanaannya baik secara
perkataan maupun perbuatan. Oleh karena itu, Allah Ta’ala memilih mereka
untuk menyebarkan agama-Nya dan menyampaikan Sunnah Rasul-Nya
SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM
Nabi SAW bersabda,
“…. Ummatku akan terpecah menjadi
tujuh puluh tiga golongan, semuanya di dalam Neraka kecuali satu
golongan.” Lalu para Sahabat bertaanya: ‘Wahai Rasulullah, siapa dia?
Beliau menjawab: ‘Yaitu mereka berada apa yang telah ditempuh olehku
dan Sahabatku.’” (Shahih Sunan at Tirmidzi oleh Imam al-Albani).
(HR. At-Tirmidzi no. 2641 dan al-Hakim (I/129) dari Sahabat ‘Abdullah
bin ‘Amr, dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiihul Jaami’
no. 5343).
Bagi siapapun yang mendikuti jejak Salafush Shalih dan
berjalan di atas manhaj mereka di semua zaman dinamakan: “Salafi,”
dinisbahkan kepada mereka, dan sebagai pembeda antara dia dengan
orang-orang yang menyelisihi manhaj Salaf dan mengikuti selain jalan
mereka.
Allah Ta’ala berfirman,
“Dan barang siapa menentang
Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan
jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan
yang telah dikuasinya itu dan kami masukkan ia ke adalam Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisaa’: 115).
Oleh karena itu, seorang Muslim sudah seharusnya untuk merasa bangga dengan penisbatan dirinya kepada mereka (Salafush Shalih).
Lafazh “Salafiyyah” menjadi sebutan pada penerapan metode
Salafush Shalih dalam mengambil (ajaran) Islam, memahami dan
Mengamalkannya. Dengan demikian, maka pengertian “Salafiyyah” itu
ditunjukkan kepada orang-orang yang berpegang teguh sepenuhnya terhadap
al-Qur-an dan Sunnah Rasulullah SAW dengan pemahaman Salaf.
sumber: Diadaptasi dari Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari, Al-Wajiiz fii Aqiidatis Salafis Shaalih (Ahlis Sunnah wal Jama’ah), atau Intisari Aqidah Ahlus Sunah wal Jama’ah), terj. Farid bin Muhammad Bathathy(Pustaka Imam Syafi’i, cet.I), hlm.39–48.
Written by admin
Source :
Syariah web
31/05/2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar