Ulama Syi’ah selalu membuat klaim bahwa madzhab mereka adalah warisan
dari keluarga Nabi. Kita banyak mendengar klaim seperti ini di
mana-mana, khususnya ditujukan bagi muslim yang awam. Awam di sini bukan
sekedar awam dalam artian tidak berpendidikan atau tidak terpelajar,
tetapi awam dalam pemahaman Islam, termasuk kalangan awam yang saya
maksud adalah kalangan intelektual yang berpendidikan tinggi hingga
menyelesaikan jenjang pasca sarjana, barangkali juga diberi gelar
profesor. Tetapi dalam masalah pemahaman agama sangat awam, bahkan
banyak dari pemilik gelar –satu gelar ataupun lebih– yang belum dapat
membaca Al-Qur’an dengan benar.
Banyak orang awam terpesona oleh cerita-cerita yang enak
didengar tentang madzhab Ahlul Bait, begitu juga cerita tentang
penderitaan Ahlul Bait dan cerita-cerita lainnya. Mereka terpengaruh
oleh cerita-cerita Syi’ah tanpa bisa melacak asal usul cerita-cerita
itu, tanpa bisa memilah apakah cerita itu benar adanya atau hanya
sekedar dongeng tanpa ada faktanya. Di satu sisi kita kasihan melihat
orang-orang awam yang tertipu, tetapi di sisi lain kita bisa memaklumi
bahwa orang awam tidak dapat melacak asal usul periwayatan sebuah
cerita. Karena untuk melacak kebenaran sebuah cerita bukan hal yang
mudah bagi orang awam, begitu juga memanipulasi cerita tidak mudah
dilakukan oleh orang awam.
Tetapi jika kita melihat lagi sejarah dengan teliti, kita akan
menemukan peristiwa-peristiwa yang bertentangan dengan banyak klaim yang
dibuat oleh Syi’ah. Hingga akhirnya kita bertanya-tanya tentang
kebenaran klaim Syi’ah. Dan yang lebih mengherankan lagi, Syi’ah tetap
saja tidak bergeming dan tetap bersikeras memegang teguh klaimnya yang
telah dibantah oleh sejarah. Yang disebut klaim bisa jadi hanya
kesimpulan dari beberapa fakta yang bisa saja keliru, namun mestinya
jika klaim itu bertabrakan dengan satu bukti nyata dan sejarah yang
benar-benar terjadi, mestinya mereka yang mencari kebenaran akan
meninjau kembali pemikiran sebelumnya yang keliru.
Tetapi berbeda bagi ulama Syi’ah, karena ada beberapa ulama Syi’ah
berusaha menutupi peristiwa-peristiwa yang bertentangan dengan madzhab
Syi’ah, atau seperti kata Abbas Al-Qummi: “Dapat melemahkan akidah orang
banyak, yang bisa kita temukan dalam kitab Ma’rifatul Imam, karya
Sayyid Muhammad Husein Al Huseini:
“Temanku –Ayatullah Sayyid Shadruddin Al-Jaza’iri– menceritakan; Pada
suatu hari dia berada di rumah Ayatullah Sayyid Muhsin Al-Amin Al-Amili
di Syam, kebetulan Tsiqatul Muhadditsin Abbas Al-Qummi juga ada di sana.
Lalu terjadilah dialog antara Abbas Al-Qummi dan Muhsin Al-Amin. Abbas
Al-Qummi bertanya kepada Muhsin Al-Amin: “Mengapa anda menyebutkan baiat
imam Ali Zainal Abidin kepada Yazid bin Muawiyah, –semoga dia dan
ayahnya dikutuk dan masuk neraka– dalam kitab A’yanu As-Syi’ah?” Muhsin
Al-Amin menjawab: “Kitab A’yanu As-Syi’ah adalah kitab sejarah, karena
telah terbukti dalam sejarah bahwa ketika Muslim bin Uqbah menyerang
kota Madinah, membunuh dan merampok serta memperbolehkan kehormatan
selama tiga hari atas perintah Yazid, melakukan kejahatan yang tidak
mampu ditulis oleh pena, imam As-Sajjad telah berbaiat pada Yazid karena
kepentingan mendesak, dan karena taqiyah untuk menjaga diri
dan bani Hasyim. Baiat ini adalah seperti baiat Ali pada Abu Bakar
setelah enam bulan dari wafatnya Nabi, setelah syahidnya Fatimah.”
Abbas Al-Qummi mengatakan: “Tidak boleh menyebutkan kejadian ini
meskipun benar terjadi, karena dapat melemahkan akidah orang banyak, dan
kita harus selalu menyebutkan kejadian yang tidak betentangan dengan
akidah orang banyak.”
Muhsin Al-Amin menjawab: “Saya tidak tahu, mana kejadian sejarah yang
ada manfaat di dalamnya dan mana yang tidak ada manfaatnya, hendaknya
anda mengingatkan saya pada kejadian yang tidak ada manfaatnya, saya
tidak akan menuliskannya.”
Selain berusaha “menghapus” peristiwa itu dari buku-buku Syi’ah, ulama
Syi’ah juga menebarkan keraguan seputar peristiwa-peristiwa yang tidak
sejalan dengan kepentingan Syi’ah dan “melemahkan akidah orang”, seperti
Ali Al-Milani yang mencoba meragukan peristiwa Abu Bakar diperintahkan
oleh Nabi untuk menjadi imam shalat. Dia mencoba menguji peristiwa itu
melalui metode penelitian hadits ala Syi’ah. Namun itu tidak banyak
berguna karena peristiwa itu tercantum dalam kitab Shahih Bukhari, yang
dianggap shahih oleh kaum muslimin. Jika peristiwa itu diragukan, maka
sudah semestinya peristiwa lainnya yang tercantum dalam Shahih Bukhari
juga ikut diragukan, seperti peristiwa Saqifah, dan peristiwa
Nabi yang menyerahkan bendera perang kepada Ali pada perang Khaibar.
Juga hadits tentang kedudukan Nabi Muhammad dan Ali yang dinyatakan
bagai Nabi Musa dan Nabi Harun.
Akhirnya orang awam banyak yang tidak mengetahui –atau meragukan–
peristiwa-peristiwa penting yang bertentangan dengan kepentingan
penyebaran Syi’ah, hingga akhirnya peristiwa-peristiwa itu tidak
dijadikan data dalam proses menarik kesimpulan. Dan akhirnya kesimpulan
itu bisa jadi benar secara urutan logika, tetapi karena ada data yang
tidak diikutkan –atau premis yang tidak valid– maka kesimpulannya
menjadi keliru.
Sejarah keluarga Nabi
Pada makalah singkat ini kami akan membuktikan kepada pembaca, seputar
sejarah keluarga Nabi yang disepakati oleh para sejarawan baik Sunni
maupun Syi’ah, yang akan membuktikan bahwa para Ahlul Bait tidak pernah
menganut ajaran yang dianut dan diyakini oleh kaum Syi’ah hari ini.
Seluruh sejarawan baik dari pihak Syi’ah maupun Sunni mengakui bahwa
Ahlul Bait Nabi tinggal bermukim di kota Madinah, di tengah-tengah
penganut madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah, sebagian Khalifah yang
berkuasa menginginkan mereka agar pindah ke kota lain, tetapi mereka
tetap ingin tinggal di kota Madinah.
Meskipun Musa Al-Kazhim akhirnya pindah ke Iraq atas permintaan
Khalifah Harun Ar-Rasyid, tinggal sebagai tamu dinasti Abbasiyah hingga
meninggal dunia di Baghdad pada tahun 183 hijriyah, dan dikubur di
Baghdad, hari ini daerah di sekitar kuburnya disebut dengan Kazhimiyah, karena kuburannya ada di sana.
Begitu pula Ali Ar-Ridha dipanggil oleh Al-Ma’mun untuk dijadikan
putra mahkota yang akan menggantikan jabatannya sebagai khalifah,
akhirnya Ali pergi ke Khurasan dan meninggal dunia pada tahun 203
Hijriyah, dan dimakamkan di kota Masyhad.
Bagitu juga Ali Al-Hadi meninggalkan kota Madinah, tetapi tidak menuju
kufah dan malah tinggal di Samarra’, karena memenuhi panggilan Khalifah
Al-Mutawakkil, dan meninggal dunia pada tahun 254 hijriyah,
meninggalkan dua orang anak yang bernama Hasan dan Ja’far. Hasan menjadi
imam kesebelas bagi Syi’ah sementara Ja’far dijuluki oleh Syi’ah dengan
julukan Ja’far Al-Kadzab (si pendusta) karena dia menyangkal keberadaan
anak Hasan Al-Askari yang diyakini keberadaannya oleh Syi’ah, yang mana
dengan itu dia membongkar kepalsuan ajaran Syi’ah. Dengan ini bisa
dipahami bahwa keberadaan para imam Ahlul Bait di luar kota Madinah
adalah dalam waktu yang sangat singkat, dan semua itu di luar keinginan
mereka sendiri, karena memenuhi panggilan khalifah yang berkuasa saat
itu.
Di sini muncul beberapa pertanyaan yang logis alias masuk akal tentang
madzhab yang dianut oleh keluarga Nabi nan suci. Bukan hanya
pertanyaan, tapi bukti-bukti nyata bagi mereka yang mempergunakan akal
sehatnya untuk berpikir, yang tidak dapat dibantah oleh Syi’ah baik di
masa lalu atau saat ini (jika ada pembaca yang dapat membantah saya
persilahkan, tapi saya tidak menjanjikan imbalan):
Di antara bukti-bukti yang menunjukkan adanya pemalsuan sejarah bahwa para imam adalah bermadzhab Syi’ah:
Ali berada di bawah ketaatan para khulafa Rasyidin yang menjabat
khalifah sebelumnya, jika memang madzhab Ali berbeda dengan para
khalifah sebelumnya –seperti yang diklaim oleh Syi’ah– sudah pasti Ali
akan keluar dari Madinah yang penduduknya tidak mau berbaiat
kepadanya, dan pergi ke negeri Islam lainnya, apalagi negeri yang belum
lama masuk dalam Islam seperti Iraq dan Persia, yang mana penduduk
negeri itu baru masuk Islam dan haus akan kebenaran, jika memang Ali
benar-benar dihalangi untuk menduduki jabatan yang menjadi haknya pasti
mereka akan menolongnya, tetapi yang terjadi adalah Ali tidak keluar
dari Madinah, baru keluar dari Madinah setelah dibaiat menjadi khalifah.
Begitu juga peristiwa perdamaian antara Hasan dan Muawiyah, sudah
semestinya Hasan tidak menyerahkan jabatan imamah kepada Muawiyah, jika
memang imamah adalah jabatan yang sama seperti kenabian –seperti yang
diyakini Syi’ah, lihat dalam kitab Ashlu Syi’ah wa Ushuluha juga kitab Aqaidul Imamiyah–,
sudah semestinya Hasan berjuang sampai tetes darah terakhir, apalagi
ribuan tentara siap untuk mendukungnya dalam menumpas Muawiyah. Bukannya
menumpas Muawiyah, Hasan malah menyerahkan jabatan yang menjadi amanat
ilahi –sebagaimana kenabian– kepada musuh yang telah memerangi ayahnya.
Para imam setelah imam Ali tidak pernah memberontak kepada khalifah
yang adil, kecuali imam Husein yang syahid di Karbala, meskipun demikian
beliau memberontak karena kezhaliman Yazid, bukan karena Husein yang
menginginkan untuk menjadi imam, meskipun dia adalah orang yang paling
berhak menjadi khalifah saat itu.
Maka kita simak saat Zaid bin Ali berdialog dengan Muhammad Al-Baqir
mengenai apakah untuk menjadi seorang imam disyaratkan untuk
memberontak, sedangkan Zaid meyakini hal itu, yaitu untuk menjadi imam
seseorang harus memberontak pada khalifah. Muhammad Al-Baqir membantah
hal itu dengan menyatakan jika syarat yang ditetapkan oleh Zaid benar
maka ayah mereka berdua “Ali bin Husain” bukanlah imam karena dia tidak
memberontak kepada Yazid dan tidak mengajak orang lain untuk
memberontak. Peristiwa baiat Ali bin Husein terhadap Yazid disebutkan
oleh Muhsin Al-Amin dalam A’yanus Syi’ah.
Juga bagaimana para keluarga Nabi tetap tinggal di tengah-tengah Ahlus
Sunnah jika memang mereka bermadzhab Syi’ah –seperti klaim Syi’ah
selama ini–, mengapa mereka tidak tinggal di wilayah yang banyak
terdapat orang yang mencintai mereka dari golongan Rafidhah dan Ghulat
seperti di Kufah maupun Khurasan, apalagi saat mereka tinggal di
Madinah mereka tidak luput dari pengawasan Bani Abbasiyah yang saat itu
menguasai pemerintahan. Berbeda ketika mereka menyebar di negeri lain.
Semua Ahlul Bait yang memberontak kepada khalifah tidak ada
yang bermadzhab Syi’ah Rafidhah, mereka memberontak karena alasan
politik, bukan karena alasan madzhab, sedangkan Ahlul Bait yang berhasil
mendirikan negara tidak ada dari mereka yang menerapkan madzhab Syi’ah,
seperti:
Ahlul Bait yang bermadzhab Sunni, dan berhasil mendirikan negara adalah:
Idris bin Hasan bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib, pendiri dinasti
Adarisah di Maghrib, bahkan Idris bin Hasan adalah penyebab utama dari
menyebarnya madzhab maliki di Maroko, semua itu karena imam Malik tidak
mengakui keabsahan baiat Abu Ja’far Al-Manshur yang telah berbaiat
sebelumnya kepada Muhammad bin Abdullah bin Hasan yang dikenal dengan
nama An-Nafsu Az-Zakiyyah, maka dia berpendapat bahwa Abu Ja’far masih
terikat baiat dengan Muhammad bin Hasan, imam Malik disiksa karena
pendapatnya itu, dan dia tidak menarik ucapannya.
Baiat kepada Muhammad dilakukan secara rahasia, di antara yang
berbaiat adalah saudara-saudaranya, ayahnya, Abu Ja’far Al-Manshur, Abul
Abbas dan Ja’far As-Shadiq yang dianggap oleh Syi’ah sebagai imam ke
enam, juga banyak tokoh Ahlul Bait lainnya.
Asyraf Makkah yang merupakan keturunan Imam Husein, yang memerintah Makkah beberapa abad yang lalu.
Begitu juga Asyraf Madinah yang merupakan keturunan Hasan, yang memerintah kota Madinah.
Begitu juga Ahlul Bait yang bermadzhab Zaidi, walaupun mereka
bermadzhab Zaidi tapi mereka tidak terpengaruh oleh ajaran Rafidhah,
mereka hanya menganggap Ali lebih utama dibanding Abu Bakar dan Umar,
mereka juga mensyaratkan bahwa yang lebih mulia dan utama harus menjabat
khalifah, namun mereka juga mencintai seluruh sahabat Nabi, yang dalam
sejarah dikenal dengan istilah Syi’ah sebagai sikap politik, bukan
sebagai madzhab.
Ahlul Bait penganut madzhab Zaidi yang berhasil mendirikan negara dan tidak terpengaruh madzhab Rafidhah:
Muhammad bin Yusuf Al-Ukhaidhir, dia adalah Muhammad bin Yusuf bin
Ibrahim bin Musa Al-Jaun bin Hasan Al-Mutsanna bin Hasan bin Ali bin Abi
Thalib, pendiri pemerintahan Ukhaidhiri di wilayah Yamamah, begitu juga
anak keturunannya, Muhammad adalah orang yang datang dari Hijaz ke
Yamamah dan mendirikan negara di sana pada tahun 252 H/866 M.
Begitu juga Husein bin Qasim Ar-Rassi, pendiri pemerintahan Alawiyah
di Sha’dah dan Shan’a, Yaman, pada tahun 280 H. Ayahnya yang bernama
Qasim Ar-Rassi adalah penulis kitab “Bantahan terhadap kaum Rafidhah”,
yang telah dicetak.
An-Nashir lil Haqq Al-Hasan yang dijuluki Al-Athrusy karena
pendengarannya kurang baik, pendiri negara Alawiyyin di Dailam, yang
mengajarkan Islam kepada penduduk Jil dan Dailam yang kekuasaannya
mencapai Thabaristan, berhasil membebaskan Amil dan masuk ke kota Jalus
pada tahun 301 H, tetap memimpin pemerintahan hingga wafat tahun 304 H.
dia meninggalkan warisan ilmiyah yang banyak, yang tidak memuat ajaran
Rafidhah sedikitpun, di antaranya adalah kitab Al-Bisat, yang ditahqiq
oleh Abdul Karim Jadban, diterbitkan pertama kali pada tahun 1997 oleh
Dar Turats di Sha’dah.
Sedangkan banyak dari Ahlul Bait sendiri yang termasuk ulama
Ahlus Sunnah, di antaranya adalah kebanyakan dari 11 imam, –karena imam
yang ke-12 sebenarnya tidak pernah ada– seperti Hasan dan Husein, Ali
Zainal Abidin, Muhammad Al-Baqir, Ja’far As-Shadiq, Musa Al-Kazhim dan
Ahlul Bait lainnya. Begitu juga Imam Abu Abdullah Muhammad bin Idris bin
Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin Sa’ib bin Abdullah bin Yazid bin
Muthalib bin Abdi Manaf bin Qushay Al-Muththalibi As-Syafi’i, beliau
adalah imam salah satu dari empat madzhab dalam Ahlus Sunnah wal
Jama’ah, yang memiliki hubungan erat dengan keluarga Nabi, karena dia
adalah keturunan Muthalib bin Abdi Manaf, sama seperti Nabi Muhammad
yang juga keturunan Abdi Manaf, sedangkan keluarga Muththalib juga
termasuk Ahlul Bait yang tidak boleh menerima sedekah, seperti pendapat
jumhur ulama.
Al-Qur’an memuat kisah Nabi Isa yang menolak klaim kaum Nasrani
terhadap dirinya, menyatakan bahwa Nabi Isa bukanlah Tuhan yang layak
disembah. Kita perlu meneliti lebih dalam sebelum meyakini sesuatu.
Jika madzhab Syi’ah bukanlah madzhab Ahlul Bait seperti diklaim oleh Syi'ah, lalu madzhab siapa?
Sumber : syiahindonesia
source
arrahmah/Selasa, 22 Maret 2011 06:29:11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar