JAKARTA – Kehadiran INSIST dan
MIUMI ternyata membuat kaum liberal menjadi gerah. Karena para
intelektual dan ulama muda, seperti Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, Dr. Adian
Husaini, Dr. Adnin Armas, Dr. Fahmy Salim, Dr. Henry Muhammad dan
peneliti muda lainnya, sangat concern dalam menekuni bidang
filsafat dan pemikiran, sehingga dengan sangat mudah mematahkan
pemikiran batil kelompok liberal yang selama ini kerap memarginalkan
Islam.
Dalam konferensi pers di Gedung Bukopin, Jakarta Timur, sebelum launching buku
berjudul “Misykat: Refleksi tentang Islam, Westernisasi &
Liberalisasi”, Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi mengatakan, seiring akan
disahkannya Rancangan Undang-undang Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG)
oleh DPR, tanpa disadari telah terjadi gelombang liberalisasi dalam
segala hal. Sosok feminis seperti Irshad Manji yang membawa ide
lesbianisme dan Lady Gaga yang mempertontonkan kevulgaran dan ritual
setan dalam setiap panggungnya terus mencoba “mengotori” bumi yang
dihuni umat Islam terbesar di dunia ini, Indonesia.
Munculnya kelompok pembela Irshad Manji dan Lady Gaga membuat kita
bertanya, ada apa ini? Dikatakan Gus Hamid, begitu ia akrab disapa,
gelombang westernisasi dan liberalisasi begitu deras menginvansi negeri
ini, sehingga umat Islam Indonesia selalu dibuat cemas. “Kita prihatin,
ada tokoh Komnas HAM yang ternyata seorang homo. Setelah Irshad Manji
dan Lady Gaga, tokoh homo dan lesbi siapa lagi yang akan didatangkan
kelompok liberal ke Tanah Air?”.
Dari fenomena liberalisasi dan westernisasi ini, buku berjudul
Misykat ditulis oleh Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, menjadi jawaban untuk
mencounter penyesatan yang dilakukan kelompok liberal, meski ia tidak
menjawabnya secara spesifik. “Saya hanya menjawa dari aspek pemikiran,”
ujar Gus Hamid.
Ada lima gelombang yang selama ini menjadi doktrin kaum liberal
kepada umat Islam, yakni:
1) Nihilisme (menihilkan nilai-nilai)
2)
Pluralisme
3) Desakralisasi
4) Equality,
5) Demokratisasi.
Ke semua
gelombang itu akan bermuara pada marginalisasi agama dan nilai-nilai
luhur suatu bangsa. Ini berbahaya bagi generasi muda, khususnya generasi
muda Islam.
Ketika kaum liberal mengkampanyekan, bahwa kebenaran menjadi relatif,
akhirnya kita tidak boleh lagi bicara baik dan buruk. Pada saat
“kekerasan atas nama agama” dianggap suatu hal yang serius, tapi giliran
kekerasan seperti mutilasi, yang dilakukan bukan dari kalangan agama,
seolah dianggap biasa, bahkan dinilai sebagai bentuk kekerasan yang bisa
ditolerir.Ada apa ini? Kenapa agama dianggap jahat, sedangkan mutilasi
dianggap biasa? Inilah era liberalisasi dan globalisasi.
Kata-kata yang sering dilontarkan seperti: jangan bawa-bawa agama ke
ranah politik, jangan merasa benar sendiri, sesungguhnya ini pernyataan
yang menyudutkan agama.
Gelombang deskralisasi atau dekonstruksi
menyebabkan hilangnya nilai-nilai dan tidak ada lagi yang sakral. Gedung
Gelora Bung Karno (GBK) yang selama ini dijadikan “tempat yang sakral”
untuk menggelar sebuah event religius dan hal-yang bersifat nasional,
bergeser menjadi panggung yang bernuansakan porno.
“Ini adalah pengghinaan sebuah tempat yang agung dan sacral, seolah
sudah tidak ada lagi budaya yang luhur di negeri ini. Indonesia yang
katanya berideologi Pancasila, justru dilabrak oleh aktivitas yang
mengatasnamakan kebebasan berekspresi. Agama tidak diberi tempat untuk
menyikapi suatu masalah, ini akibat liberalisasi dan westernisasi telah
mengepung kita,” kata Gus Hamid
FPI dianggap sebagai simbol kekerasan, padahal elemen bangsa lain
seperti MIUMI, Muhammadiyah, MUI, INSIST juga melakukan penolakan
terhadap Lady Gaga tanpa melakukan kekerasan.
Penyebaran Liberalisasi
Yang lebih memprihatinkan adalah wacana sekularisme, liberalisme dan
pluralism kini telah memasuki ranah perguruan tinggi. Hari ini
pendidikan di negeri ini telah terkontaminasi pemikiran liberal,
pluralisme agama, dan relativisme. “Soal toleransi, umat Islam tak perlu
diajari. Saya sudah keliling Eropa, ternyata toleransi yang terbaik
adalah di Indonesia. Toleransi tidak akan ditemui di Barat.”
Gus Hamid berharap buku “Misykat” yang bernuasakan filosofis ini
memberi kontribusi pemikiran yang mencerahkan, sehingga identitas bangsa
Indonesia dapat dipertahankan. Kita dihadapi oleh tantangan dari luar.
Gelombang pemikiran dan kebudayaan harus dihadapi dengan cara yang sama.
“Itulah sebabnya, invansi pemikiran liberalisasi dan westernisasi
sebagai lifestyle harus dihadapi dan diselesaikan dengan cara
intelektual dan pemikiran juga.
Ketika kaum liberal hendak memarginalkan
agama, maka kita patahkan mereka dengan intelektual dan keimanan yang
kokoh. Sehingga ke depan Indonesia menjadi bermartabat,” jelas Gus Hamid
yang juga Ketua Umum MIUMI.
Kutipan :
Desastian / VoA-Islam
Selasa, 29 May 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar