Laman

Minggu, 08 Januari 2012

Sosok Said Aqil Menurut Buku ''Membuka Kedok Tokoh-Tokoh Liberal dalam Tubuh NU'' (1,2,3).

 
Said Aqil Siradj

Said Aqil Siradj, Seorang tokoh NU yang merangkap Jabatan sebagai Penasehat Pemuda Kristen Indonesia, mengatakan: “Tauhid Islam dan Kristen sama saja.” Kehadiran sekte Kristen yang menamakan dirinya “Kanisah Ortodoks Syiria” di bawah pimpinan Bambang Noorsena sempat menarik perhatian besar berbagai kalangan, karena berbeda dengan gaya Kristen lainnya. Kristen ortodoks Syiria tampill mirip dengan gaya umat Islam. Yakni dengan khas idiom-idiom ke-Islaman dan ke-Araban. Mereka mengucapkan salam dengan ucapan “Assalamu’alaikum”, laki-lakinya berpeci dan bergamis  dan wanitanya juga berjilbab. Al-kitab yang dibaca mereka juga berbahasa Arab dan cara melantunkannya pun seperti Qiroatul Quran, yang istilah mereka disebut Tilawatul Injil. Sambutan positif serta dukungan atas munculnya Kristen ortodoks Syiria yang kebablasan itu justru datang dari seorang tokoh NU yang nyambi kerja sebagai Penasehat Angkatan Muda Kristen Republik Indonesia.

Sikap tokoh NU asal Palimanan, Cirebon, Jawa Barat yang kontroversial itu mengingatkan kepada apa yang pernah dilakukan pendahulunya, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dan Noer Kholis Madjid. Tudingan miring itu bermula dari sejumlah sikapnya yang dinilai nyleneh. Misalnya, ia menjalin pershahabatan yang begitu erat dengan tokoh-tokoh non-muslim. Seperti Romo Mangun Wijaya, Romo Mudji Sutrisno, dan Romo Sandyawan Sumardi. Bahkan dengan lancangnya dia berani mengkafirkan Imam Ghozali dalam disertasinya meraih gelar doktor di Universitas Ummul Quro’ Makkah. Sehingga dia dikafirkan oleh 14 kyai atas tindakannya tersebut. Dalam buku “Menuju Dialog Teologis Kristen-Islam” karangan Bambang Noersena, Said memberikan kata penutup yang membahayakan dan menyesatkan, “Dari ketiga macam Tauhid di atas (Tauhid al-Rububiyyah, Tauhid al-Uluhiyyah, Tauhid al-Asma' Wa ash-Shifat), maka Tauhid Kanisah Ortodoks Syiria tidak memiliki perbedaan yang berarti dengan Islam. Secara al-Rububiyyah, Kristen Ortodoks Syiria jelas mengakui bahwa Allah SWT adalah Tuhan sekalian alam yang wajib disembah. Secara al-Uluhiyyah, mereka juga mengikrarkan “La Ilaha Illallah” sebagai ungkapan ketauhidannya. “Sementara dari Tauhid Al-Asma' Wal-Shifat, secara substansial tidak jauh berbeda. Jika dalam Islam Sunni, kalam Tuhan yang Qodim itu turun kepada manusia melalui Muhammad, dalam bentuk al-Quran, maka Kristen Ortodoks Syiria berpandangan bahwa Kalam Tuhan turun menjelma (Tajassud) dengan Ruhul Qudus dan perawan Maryam menjadi manusia. Perbedaan ini tentu saja sangat wajar dalam dunia teologi, termasuk dalam teoloqi Islam. Walhasil, keyakinan Kristen ortodoks Syiria  dengan Islam Sunni, walaupun berbeda dalam peribadatan (Syari’at), pada hakekatnya memiliki persamaan yang sangat substansial dalam bidang Tauhid,” ungkapnya. (Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia).
Pernyataan Said Aqil tadi sungguh sangat keterlaluan dan sangat jelas menyimpang dari Aqidah Islam. Dengan menyamakan Tauhid Islam dengan Kristen. Dengan demikian, berarti teologi Said Aqil sama sesatnya dengan teologi Kristen yang diusung oleh para pendeta dan teolog kristiani. Jika dia masih merasa sebagai umat Islam, maka seharusnya dia bertobat kepada Allah SWT. dan mencabut semua omongannya, karena omongan-omongan tersebut dengan sendirinya telah menggugurkan keislamannya.

Begitu juga sangat disayangkan otak pemikiran Said Aqil yang sudah terkontaminasi oleh pemikiran Gus Dur dan menjalankan kontrak Zionis Internasional, sehingga dengan lancangnya berani mengkritik para Shahabat Nabi, lebih ironis keberadaan KH. Ilyas Ru'yat dan KH. Sahal Mahfudz sebagai Rois Syuriyah diam seribu bahasa seakan mendukung pemikiran Said yang kacau dan ngawur itu. Bahkan oleh PBNU Said dan KH. Drs. Noer Iskandar MA. yang juga punya pemikiran sama dengan Said Aqil diserahi menyusun pedoman Ahlussunnah Wa al-Jamaah, yang keduanya mempunyai haluan Mu'tazilah-Syi'ah.
Keterlibatan Said Aqil dan Gus Dur dalam Syi'ah bisa dilihat dari pernyataan dan seringnya bola-balik ke Iran. Kagum kepada Khomeini, dengan menyebutnya sebagai Waliyullah, Islam tidaklah jauh berbeda dengan Syi'ah, NU dan Syi'ah mempunyai kultur sama, Tahlilan, Dziba'an, cinta Ahlil Bait dll.

Said Aqil dalam makalahnya yang dipresentasikan dalam Seminar Nasional PMII di Jakarta, 8 Agustus 1995, dan di Kantor PBNU pada tanggal 19 Oktober 1996, yang banyak kami temukan dalam makalah tersebut banyak kejanggalan dan kesalahan yang amat fatal, tiga diantaranya adalah:
1. Sejarah mencatat, begitu tersiar berita Rasulullah wafat dan digantikan oleh Abu Bakar, hampir semua penduduk Jazirah Arab menyatakan keluar dari Islam. Seluruh suku-suku di tanah Arab membelot seketika itu juga. Hanya Madinah, Makkah dan Thoif yang tidak menyatakan pembelotannya. Inipun kalau dikaji secara seksama bukan karena agama, bukan didasari keimanan, tapi karena kabilah. Pikiran yang mendasari orang Makkah untuk memeluk agama Islam adalah logika, bahwa kemenangan Islam adalah kemenangan Muhammad, sedang Muhammad adalah orang Quraisy, penduduk asli kota Makkah. Dengan demikian kemenangan Islam adalah kemenangan suku Quraisy. Kalau begitu, tidak perlu murtad. Artinya tidak murtadnya Makkah itu bukan karena agama, tapi karena slogan yang digunakan Abu Bakar di Bani Saqifah, "al-A'immatu Min Quraisy", (halaman 3 alenia  V).
2. a. Di masa-masa awal pemerintahan kira-kira enam tahun pemerintahan Khalifah Utsman keadaan wajar-wajar saja. Semuanya berjalan dengan baik, kemenangan terjadi dimana-mana, katakanlah sukses. Namun dimasa-masa akhir ketika usianya mulai lanjut, Utsman mulai pikun. (halaman 6 alenia I).
   b. Begitupun ketika ditanya tentang pengangkatan Gubernur dan pembantu-pembantu Khalifah yang semuanya dari kalangan famili, ia tegas bahwa itu karena adanya ayat Al-Quran, "Wa Atidzal Qurba", utamakan dahulu kerabat. Ketika itu Utsman sudah pikun dan sudah selayaknya mundur.  (Halaman 7 alenia I).
3. Sejak itu Mutawakkil mendapat gelar Nashirullah (pembela madzhab Ahlussunah Wa al-Jamaah) mulailah lahir Hadits "Sataftariqu Umaty"........dst, bahwa umat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan hanya satu yang selamat. Ada lagi riwayat yang mengatakan "Kulluha Fil Jannah Illa Wahid" (semua masuk surga kecuali satu). Persoalannya, kalau kita terima versi "Kulluha Finnar Illa Wahid" timbul pertanyaan: Siapa yang satu itu? Diriwayatkan bahwa Nabi menjawab; "orang yang seperti aku dan Shahabatku" lalu siapa atau madzhab mana, partai mana yang mampu dan berhak menyatakan kami inilah seperti Rasulullah dan Shahabat-Shahabatnya. Dengan demikian Hadits ini sulit diterima keshahihannya. Yang jelas Hadits ini dilatarbelakangi oleh kondisi politik ketika Mutawwakil naik menjadi Khalifah. (Halaman 15 alenia III).

Dan komentar kami atas kejanggalan-kejanggalan dalam makalah Said Aqil yang telah kami paparkan adalah sebagai berikut:
1. Said Aqil dalam makalahnya jelas telah memvonis, bahwa penduduk Madinah, Makkah dan Thoif yang memeluk Islam dengan keimanannya, tidak lagi beragama Islam setelah wafatnya Rasulullah SAW. Sebab kata-kata "hanya Madinah, Makkah dan Thoif yang tidak menyatakan pembelotannya, ini pun kalau dikaji secara seksama, bukan karena agama, bukan didasari keimanan tetapi karena kabilah", mengandung arti, bahwa penduduk Madinah, Makkah dan Thoif keluar dari Islam hanya saja tidak menyatakan pembelotannya, yang semata-mata karena fanatisme kesukuan. Tuduhan yang sangat keji ini juga tertuju kepada Nabi Muhammad SAW.
Penilaian Said Aqil ini jelas bertentangan dengan fakta sejarah yang terekam dalam tarikh-tarikh Islam yang mu’tabar. Dan terhadap pribadi Said Aqil berlaku sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam Kitabul Adab dan diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Kitabul Iman.
2. Kata "Pikun" yang dialamatkan kepada Utsman bin Affan oleh Said Aqil, merupakan penghinaan dan caci maki terhadap pribadi Shahabat Utsman, Khalifah Nabi yang ketiga serta pernah menjadi menantu Rasulullah (dua kali). Perbuatan dan ucapan yang demikian ini jelas termasuk dosa besar (kabair) berdasarkan Hadits Nabi riwayat Muslim dalam bab: "Diharamkan Mencaci-Maki Shahabat".
3. Bagaimana bisa, dan memakai apa, orang semacam Said Aqil menyatakan Hadits "Sataftariqu Umaty" sulit diterima keshahihannya, bahkan sampai mengatakan Hadits tersebut dilatar belakangi politik ketika Mutawakkil menjadi Khalifah? Padahal Hadits di atas oleh Imam Turmudzi dikatagorikan Hadits yang Hasan dan shahih? Dengan demikian Said Aqil berarti memandulkan Hadits yang dinyatakan shahih Imam Turmudzi dan lainnya.
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: (تَفَرَّقَتِ اليَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً أَو اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَالنَّصَارَى مِثْل ذَلِكَ وَتَفَرَّقَ أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً), رواه الترمذي.
وعن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم (لَيَأْتِيَنَّ عَلَى أُمَّتِي مَا أَتَى عَلَى بَنِي إسْرَائِيْلَ حذو النَّعْل باِلنَّعْل حَتَّى أَنْ كَانَ مِنْهُمْ مِنْ أُمَّتِي أُمَّة عَلاَنِية لَكَانَ مِنْ أُمَّتِي مَنْ يَصْنَع ذَلِكَ وَإِنَّ بَنِي إسْرَائِيْلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً وَتَفَرَّقَ أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِى النَّارِ إلاَّ مِلَّة وَاحِدَة ), قال : من هي يا رسول الله ؟ قال : (مَا أَناَ عَلَيْهِ وَأَصْحَابِيْ), رواه الترمذي.
Dalam menilai Shahabat Utsman Said sungguh keterlaluan dengan mengatakan sayyidina Utsman pikun, melakukan Nepotisme, menghambur-hamburkan uang, seakan Said merasa lebih mulia daripada Shahabat. Perbuatan dan ucapan Said termasuk dosa besar bahkan bisa kufur.
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال : قال رسو ل الله صلى الله عليه وسلم : (لاَ تَسُبُّوْا أَصْحَابِيْ لاَ تَسُبُّوْا أَصْحَابِيْ فَوَ الَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَوْ أَنَّكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيْفَهُ). رواه مسلم.

Kesalahan Cara Berpikir Said Aqil
Kesalahan Said Aqil ini bukan kesalahan parsial atas produk pemikiran saja, yakni seperti kesalahan Ulama bila ada salahnya, melainkan kesalahan Said Aqil adalah kesalahan cara berpikirnya (virus otak). Dia banyak membaca karangan orang-orang Syi'ah atau orang-orang modern yang cara berpikirnya dengan pikiran ala barat dan melecehkan Islam seperti Thoha Husain orang buta yang menjadi Pendikbud di Mesir, Qosim Amin dan lain-lain, serta orang-orang Orientalis yang memang mengibarkan perang pikiran, perang sejarah, dan lain sebagainya.

Pedoman Said Aqil adalah bila orang Islam memuji orang Islam perlu diuji kebenarannya, tetapi bila mencaci sesama orang Islam (seperti mencaci dirinya sendiri) ini diterima. Kaca mata hitam yang dia pakai, sehingga sejarah kelihatan hitam semua.
Said Aqil cerdas, tapi karena banyak membaca karangannya orang-orang yang seperti di atas, maka terjangkitlah dia oleh virus Orientalis, Liberalis dan Salibis. Sebagaimana iblis itu cerdas tapi berhubung kecerdasannya terkena virus, maka sebagaimana nasib Said Aqil yang terjangkit virus sesat lagi mensesatkan. Bersambung
(disadur dari buku “Membuka Kedok Tokoh-Tokoh Liberal dalam Tubuh NU: Informasi, Penyimpangan dan Jawabannya” karya H. Muhammad Najih Maimoen, penerbit Toko Kitab Al-Anwar, Pondok Pesantren Al-Anwar Rembang, cet. III, Januari 2011/Shafar 1432, halaman 67-101).

Kutipan :
VOA
Kamis, 15 Dec 2011

Pola Pikir Said Aqil & Yahudi Menurut Buku ''Membuka Kedok Tokoh Liberal di Tubuh NU'' (2)

  
Said Aqil Siradj

Said Aqil yang didukung oleh Gus Dur, memiliki pola pikir non-Islami, cara pikir yang digariskan oleh orang Yahudi dan yang tak bertuhan yang mereka bungkus dengan kata ilmiah. Ilmiah bagi mereka adalah meninggalkan keyakinan agama dengan obyektif pikiran tanpa memikirkan kebenaran, dan kebenaran bagi mereka adalah nisbi tidak ada kebenaran yang mutlak, meskipun dari Allah dan Rasul-Nya. Segalanya boleh dikritik, ditinjau ulang, dibenahi, disesuaikan dengan sosial kultural dan sosial politik. Na'udzubillah.

Kata mereka, pendapat kami benar ada kemungkinan salah, dan pendapat orang lain salah ada kemungkinan benar. Maka bila ada yang tidak cocok, tidak setuju, bahkan sampai memurtadkan, membid'ahkan, mereka akan tenang saja karena ilmiah yang nisbi itu.
Seakan urusan ilmiah adalah urusan dunia tidak ada hubungan pahala dan dosa, apalagi dengan neraka. Lupa atau mengingkari bahwa segala yang dilakukan atau yang dikatakan di dunia akan diminta pertanggung jawaban di hari kiamat nanti. Agama bagi mereka tidak ubah dengan sosial kultural atau sosial politik yang setiap saat bisa diganti dimajukan, dimundurkan, ditinjau ulang dll. (Apakah mereka kira Tuhan dan sifat-sifat-Nya juga perlu disesuaikan dengan sosial-sosial..?). Bahkan Said Aqil dengan gegabah menyimpulkan bahwa misi Islam adalah politik.

Ringkasnya, walaupun dengan al-Qur’an dan Hadits mereka tetap "Sami'na Watafakkarna, Tsuma Tabahhasna Wa Tajaddalna, Faabaina Wa Ashoina".
Inilah cara berpikir Yahudi dan orang-orang yang tak bertuhan yang punya predikat Ilmuan Internasional. Orang-orang yang ahli agama, baik para Shahabat dan lain-lain yang ‘sami'na wa atho'na’ mereka anggap tidak ilmiah, jumud, ekstrim, taqlid buta dan lain-lain, bahkan dengan pandangan yang merendahkan, baik secara terang-terangan atau implisit.

Said Aqil yang konon kabarnya adalah seorang sejarawan ternyata banyak menulis kesalahan yang fatal dalam mengungkapkan sejarah para Shahabat Rasulullah SAW sehingga cenderung bertindak gegabah dan tak selektif, meneliti mana sejarah yang benar dan yang palsu. Akibatnya Said Aqil lebih bangga bila menemukan catatan sejarah yang justru menyudutkan posisi Shahabat. Padahal, at-Thobary sendiri dalam pengakuannya hanya sekedar menulis apa yang ia dapatkan. Soal benar dan tidaknya ia tidak bertanggung jawab. Maka, sangat konyol sekali bila referensi sejarah yang belum disaring tersebut dijadikan pegangan.
ولعل من أسباب اضطراب المؤرخين المعاصرين حول أحداث الفتنة هو أنهم اعتمدوا في استقاء أحداث الفتنة على بعض كتب التاريخ ككتب الطبري دون أن يأخذوا في الاعتبار أن الطبري وغيره من المؤرخين أوردوا في كتبهم هذه إلى جانب الروايات الصحيحة العديد من الروايات الموضوعة والمكذوبة والواهية لأنهم أوردوا كل ما سمعوه وتركوا لمن يأخذ عنهم أن يميز عن طريق السند بين المكذوب والصحيح والثقة والضعيف وقد بين الطبري في مقدمة تاريخ هذا الأمر فقال:
"وليعلم الناظر في كتابنا أن اعتمادي في كل ما أحضرت ذكره فيه مما شرطت أني راسمه فيه إنما هو على ما رويت من الأخبار التي أنا ذاكرها فيه والآثار التي أنا مسندها إلى رواتها دون ما أدرك بـحجج العقول واستنباط  بفكر النفوس إلا اليسير القليل منه. فما يكن في كتابي هذا من خبر ذكرناه عن بعض الماضيين مما يستنكره قارئه أن يستشنعه سامعه من أجل أنه لم يعرف له وجها من الصحة ولا معنى في الحقيقة فليعلم أنه لم يؤت في ذلك من قبلنا وإنما أتى من بعد ناقليه إلينا وأنا إنما أدينا ذلك على نحو ما أدى إلينا". (تاريخ الطبري ج1/ص7-8) . (دراسة عن الفرق ص30-31).

Maka kami sangat menyayangkan Dr. Said Aqiel bila sembarangan menukil referensi sejarah tanpa mengecek siapa sebenarnya pengarang kitab tersebut. Seperti Thoha Husain misalnya yang dinukil pada makalahnya hal. 10 adalah seorang ahli bid’ah yang tidak boleh dijadikan pegangan.
وفرقة دعت إلى الإلحاد وهم فرقة شتى كما تقدم ذكره وأزيد هنا على ما تقدم أنه منذ قامت حكومة مصطفى كمال في تركيا عملت على تشجيع الحركات الإلحاديات فألفت هناك كتب كثيرة تهدف إلى التشكيك في حقائق الأديان كلها والدعوة إلى تركها فقد نبذ الكماليون الشريعة الإسلامية برمتها من حكومتهم ومهدوا طريقا لمحو عقائد الإسلام وآدابه وعباداته من نابتة شعيهم بمنع اللغة العربية من جميع بلادهم وترجمة القرآن بما لا يؤدي حقائق معانيه من لغتهم وكتابته كغيره بالحروف اللاتينية للإجهاز على ألفاظه وأساليبه المعجزة، ومنهم طه حسين وعلي عبد الرزاق وهو من أكابرهم.
Tapi, walaupun bagaimana hebatnya ajaran Taqiyyah Syi’ah tetap yang namanya bangkai akan tercium juga. Buktinya, Khomeini yang katanya mengkomandoi revolusi Iran untuk menggulingkan Syi'ah Iran, sebenarnya yang menjadi tujuan utamanya bukanlah perjuangan merebut kekuasaan, tapi tak lain dan tak bukan adalah menyebarkan ajaran “Syi’ah Imamiyah”–nya. Apalagi bertujuan menggulingkan penguasa yang lalim. Sama sekali bukan itu tujuan Khumaini. Lihatlah nukilan di bawah ini:
لكي نتعرف على نوعية الثورة التي قام بها الخميني حتى نقول فيها رأيا فإنه يجب أن تعرف أولا أن هذه الثورة لم تكن ثورة قامت على أساس مواجهة حكومة صالحة أو طالحة، حكومة صحيحة أو خاطئة ولم تكن ثورة قامت على أساس اختلاف في النظريات السياسية أو حبا في السلطة أو غير ذلك من العوامل والمحركات التي تحدث في عالم الثورات وبخاصة في البلاد الإسلامية، إذ أن الثورة التي قام بها الإمام الخميني قامت على أساس المذهب الشيعي قامت على أساس عقيدة الإمامة والغيبة الكبرى لإمام آخر الزمان المهدي المنتظر.
وقد أوضح الإمام الخميني فكرة الإمامة والغيبة الكبرى في كتابه " ولاية الفقيه " أو "الحكومة الإسلامية". وهذا الكتاب هو رأس الأمر هنا، فهو الأساس الفكري والعقدي للثورة وفهم هذا الكتاب يستلزم أولا التعرف على المذهب الشيعي وخاصة على أسس المذهب وأصوله المتمثلة في عقيدة الإمامة. (الثورة الإيرانية ص33).
المهدي المنتظر الإمام الثاني عشر وآخر الأئمة في ذلك الزمان الذي مضى عليه ألف سنة. ويقول الخميني ؛ ويمكن أن ثمر آلاف السنوات هكذا أيضا، ومن حق الفقهاء ، أي علماء الشيعة بل من واجبهم ومن المفروض عليهم أن يسعوا إلى أن يكونوا خلفاء الإمام آخر الزمان الإمام الغائب ، أن يتملكوا زمام الحكم كممثلين للإمام وكندوبين عنه.وإذا وجد من بينهم من يتملك صلاحية الحكم نهض وتملك زمام حكم الأمة، ومن هنا تصبح طاعته واجبة ليس فقط كإمام بل كنبي وكرسول. (أصول الثورة الإيرانية في ضوء الحكومة الإسلامية ص26).
وكتب الإمام الخميني في كتابه هذا تحت عنوان ولاية الفقيه ما يلي: " وإذا نهض بأمر تشكيل الحكومة فقيه عالم عادل فإنه يلي من أمور المجتمع ما كان يليه النبي صلى الله عليه وسلم ووجب على الناس أن يسمعوا له ويطيعوا ويملك هذا الحكم من أمر الإدارة والرعاية والسياسة للناس ما كان يملكه الرسول صلى الله عليه وسلم وأمير المؤمنين عليه السلام . (الحكومة الإسلامية ص49).
وفي نفس الكتاب (ص75) يكتب الإمام الخميني فيما بعد ما يلي؛ " إن الفقهاء هم أوصياء الرسول صلى الله عليه وسلّم من بعد الأئمة وفي حال غيابهم وقد كلفوا بالقيام بجميع ما كلف الأئمة عليهم السلام بالقيام به".
كانت تلك هي الفكرة التي قامت عليها الثورة التي أتى بها الإمام الخميني ومكانته منها لست مكانة قادة الثورات بالبلدان الأخرى، أو رؤساء الحكومات في البلاد الأخرى بل هو قائم مقام إمام الشيعة الثاني عشر الإمام الغائب وهو وصي رسول الله صلى الله عليه وسلم وعلى ذلك فطاعته واجبة تماما مثل طاعة الإمام والنبي وجميع خطواته وجميع أعماله وجميع قراراته إنما تتمتع بنفس الحيثية السابقة، وذلك طبقا لأساس المذهب الشيعي لعقيدة الإمامة ونظرية الغيبة الكبرى لإمام آخر الزمان، وطبقا لأصول ونظرية ولاية الفقيه المرتبطة بزمان الغيبة الكبرى لإمام آخر الزمان. (الثورة الإيرانية ص 37).
Said Aqiel juga bukan untuk sekedar suksesi belaka. Namun, sebenarnya dia mengemban misi Syi’ah Iran ke Indonesia. Lebih tepatnya semua penduduk Indonesia (khususnya warga Nahdlatul Ulama) akan dimasukkan ke aliran Syi’ah, biar bareng-bareng masuk neraka bersama dia. Betapa kejam dan liciknya manusia bernama Said Aqiel itu. Sengaja dia duduk di atas berpakaian Pengurus Besar NU, tapi ternyata ingin menghancurkan NU dan umumnya umat Islam dengan pikiran-pikiran Syi’ahnya. bersambung
(Disadur dari buku “Membuka Kedok Tokoh-Tokoh Liberal dalam Tubuh NU: Informasi, Penyimpangan dan Jawabannya” karya H. Muhammad Najih Maimoen, penerbit Toko Kitab Al-Anwar, Pondok Pesantren Al-Anwar Rembang, cet. III, Januari 2011/Shafar 1432, halaman 67-101).


Kutipan :
VOA
Ahad, 18 Dec 2011


Said Aqil Antek Syiah Menurut Buku ''Membuka Kedok Tokoh Liberal di Tubuh NU'' (3)


 
Said Aqil Siradj

Said Aqiel juga bukan untuk sekedar suksesi belaka. Namun, sebenarnya dia mengemban misi Syi’ah Iran ke Indonesia. Lebih tepatnya semua penduduk Indonesia (khususnya warga Nahdlatul Ulama) akan dimasukkan ke aliran Syi’ah, biar bareng-bareng masuk neraka bersama dia. Betapa kejam dan liciknya manusia bernama Said Aqiel itu. Sengaja dia duduk di atas berpakaian Pengurus Besar NU, tapi ternyata ingin menghancurkan NU dan umumnya umat Islam dengan pikiran-pikiran Syi’ahnya.


Sebagai bukti menonjol bahwa Said Aqil adalah antek Syi’ah, dia gemar mengungkap tulisan sejarah yang melecehkan para Shahabat Nabi. Sebagaimana budaya Syi’ah juga menjelek-jelekkan dan mengkafirkan para Shahabat Rasulullah SAW.

قال الخميني: لم يؤمن الشيخان أبو بكر وعمر إيمانا تابعا من القلب بل قبلا الإسلام في الظاهر فقط طمعا في الحكم والسلطة، وقد التصقا بالرسول صلى الله عليه وسلم. وتعبير "التصقا" هو تعبير الخميني- إلى أن قال - عثمان ومعاوية ويزيد جمـيعهم في درجة واحدة فهم ظالـمون ومجرمون. (الثورة الإيرانية ص73-74).


Itulah mulut kotor Khomeini, seorang tokoh yang didewa-dewakan orang Iran dan manusia yang telah rusak mata hatinya. Shahabat Abu Bakar yang telah mendapat gelar al-Shiddiq justru dikecam dan dihinanya. Dan langkah Khomeini tersebut juga ditiru oleh si Said Aqil. Katanya, “Abu Bakar tak punya integritas, Umar hanyalah putra mahkota yang berarti terpilihnya tidak lewat pemusyawaratan, tapi ditunjuk langsung oleh Abu Bakar.” Dan lebih tragis adalah nasib Sayyidina Utsman. Beliau dipikun-pikunkan oleh Said Aqil dan dituduh suka menghambur-hamburkan uang pada kerabatnya.


Di antara kesalahan Said Aqil pada Sayyidina Utsman bin Affan Ra adalah:

Pertama, dalam makalahnya no.14, Said mengatakan bahwa pada enam tahun terakhir dari kekhilafahan Utsman terjadi banyak kesalahan yang bersumber-kan dari Marwan dengan mengangkat pejabat dari golongan Bani Umayyah.

Bagaimanakah sebenarnya permasalahan tersebut? Siapakah sebenarnya Marwan? Apakah dia seorang yang tak pantas jadi pejabatnya? Dan salahkah bila kekhalifahan Sayyidina Utsman diwarnai kelompok Bani Umayyah? Atau bagaimanakah sebenarnya peristiwa tersebut? Maka, tulisan-tulisan di bawah ini akan memberi penjelasan secara gambling dan panjang lebar kepada Said Aqil yang sebenarnya belum begitu pengalaman tentang sejarah para Shahabat Rasulullah SAW.

أما مروان بن الحكم فلم يوله عثمان إلا أنه كان مشهودا له بالعدل والثقة من الصحابة والتابعين وفقهاء المسلمين. (العواصم من القواصم ص89).
صحيح أن مروان قد ارتكب بعض الأخطاء التي كانت سببا من أسباب الفتنة. (الطبقات ابن سعد ج5/ ص26).
ولكنها لم تكن كل الأسباب وإن ما ارتكبه مروان لم يكن بأمر الخليفة وموافقته وربما عن غير علم منه فمروان إذن وليس الخليفة هو الذي يتحمل مسئولية تلك الأخطاء. (دراسة عن الفرق ص38).
وأما قوله: وولي مروان أمره وألقى إليه مقاليد أموره ودفع إليه خاتمه وحدث من ذلك قتل عثمان وحدث من الفتنة بين الأمة ما حدث. فالجواب : أن قتل عثمان والفتنة لم يكن سببها مروان وحده، بل اجتمعت أمور متعددة من جملتها أمور تنكر من مروان وعثمان رضي الله عنه كان قد كبر وكانوا يفعلون أشياء لا يعلمونه بها فلم يكن آمرا لهم بالأمور التي أنكرتموها عليه بل كان يأمر بإبعادهم وعزلهم فتارة يفعل ذلك وتارة لا يفعل ذلك وقد تقدم الجواب العام.
ولما قدم المفسدون الذين أرادوا قتل عثمان وشكوا أمورا أزالها كلها عثمان حتى أنه أجابهم إلى عزل من يريدون عزله وإلى أن مفاتيح بيت المال تعطى لمن يرتضونه وأنه لا يعطي أحدا من المال إلا بمشورة الصحابة ورضاهم ولم يبق لهم طلب ولهذا قالت عائشة رضي الله عنها: مصصتموه كما يمص الثوب ثم عمدتم إليه فقتلتموه. (منهاج السنة النبوية ج6/ص 248).
ثبت في الصحيح أن رجلا أراد أن يطعن في عثمان عند بن عمر فقال: إنه قد فر يوم أحد ولم يشهد بدرا ولم يشهد بيعة الرضوان فقال ابن عمر: أما يوم أحد فقد عفا الله عنه (وفي لفظ: فر يوم أحد فعفا الله عنه، وأذنب عندكم ذنبا فلم تعفوا عنه) وأما يوم بدر فإن النبي صلى الله عليه وسلم استخلف على ابنته وضرب له بسهمه. وأما بيعة الرضوان فإنما كانت بسبب عثمان فإن النبي صلى الله عليه وسلم بعثه إلى مكة وبايع عنه بيده ويد النبي صلى الله عليه وسلم خير من يد عثمان. فقد أجاب ابن عمر بأن ما يجعلونه عيبا(ما كان منه عيبا) فقد عفا الله عنه والباقي ليس بعيب بل هو من الحسنات. وهكذا عامة ما يغاب به على سائر الصحابة هو إما حسنة وإما معفوا عنه فحينئذ فقول الرافضي: إن عثمان ولى من  لا يصلح للولاية إما أن يكون هذا باطلا ولم يول إلا من يصلح وإما أن يكون ولى من لا يصلح في نفس الأمر لكنه كان مجتهدا في ذلك فظن أنه كان يصلح وأخطأ ظنه وهذا لا يقدح فيه.

وهذا الوليد بن عقبة الذي أنكر عليه ولايته قد اشتهر في التفسير والحديث والسير أن النبي صلى الله عليه وسلم ولاه على صدقات ناس من العرب فلما قرب منهم خرجوا إليه فظن أنهم يحاربونه فأرسل إلى النبي صلى الله عليه وسلم محاربتهم له فأراد النبي صلى الله عليه وسلم أن يرسل إليهم جيشا فأنزل الله تعالى: (يَاأَيّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَـيّنُوْا أَنْ تُصِـيْبُوْا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتَصْبَحُوْا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِيْنَ). (الحجرات:61).
فإذا كان حال هذا خفى على النبي صلى الله عليه وسلم فكيف لا يخفى على عثمان؟، وإذا قيل : إن عثمان ولاه بعد ذلك، فيقال: باب التوبة مفتوح وقد كان عبد الله بن سعد بن أبي سرح ارتد عن الإسلام ثم جاء تائبا وقبل النبي صلى الله عليه وسلم إسلامه وتوبته بعد أن كان أهدر دمه. وعلي رضي الله عنه يبين له من عماله ما لم يكن يظنه فيهم فهذا لا يقدح في عثمان ولا غيره. وغاية ما يقال: إن عثمان ولى من يعلم أن غيره أصلح منه وهذا من موارد الاجتهاد. أو يقال: إن محبته لأقاربه قبلته إليهم حتى صار يظنهم أحق من غيرهم أو أن ما فعله كان ذنبا. وقد تقدم أن ذنبه لا يعاقب عليه في الآخرة.
وقوله: حتى ظهر من بعضهم الفسق ومن بعضهم الخيانة، فيقال: ظهور ذلك بعد الولاية ولا على أن المولّي علم ذلك وعثمان رضي الله عنه لما علم أن الوليد بن عقبة شرب الخمر طلبه وأقام عليه الحد. وكان يعزل من يراه مستحقا للعزل،  ويقيم الحد على من يراه مستحقا لإقـامة الحد عليه. (منهاج السنة النبوية ص238-241).
وإذا أخذنا هذه التهم واحدة واحدة نجد أن حب المرء لقرابته ليس مما يؤاخذ به. أما أنا لخليفة عثمان دفعه هذا الحب إلى أن يولي أقاربه أمور الدولة مع علمه بعدم كفاءتهم وصلاحهم للأمر فهذا أمر يحتاج إلى نظر:
فالوليد بن عقبة مثلا الذي اتهم الخليفة بأنه ولاه لقرابته منه نجده قد تولى بعض الأعمال لعمر رضي الله عنه، ومن ثم لا ينبغي اتهام عثمان بأنه ولاه لأنه قريب فحسب. أما قصة شرب الوليد الخمر وصلاته بالناس سكرانا فقد شكك فيها محب الدين الخطيب وحاول إثبات أنها كانت مؤامرة دبرت ضد الوليد قام بها بعض الحاقدين عليه والناقمين الذين أقام فيهم الحد وشهدوا زورا عليه نكاية به وانتقاما لأنفسهم. واستند في هذا إلى رواية أوردها الطبري في تاريخه. (العواصم  من القواصم ص94).

وهذا يخالف المصادر الموثوقة التي أكدت هذه الحادثة فقد وردت إشارة إلى الحادثة في صحيح البخاري ومسلم وسنن أبي داود. وقد ذهب ابن حجر غلى أن قصة صلاة الوليد بالناس أربعا وهو سكران مشهورة مخرجة في الصحيحين وعزله عثمان  بعد جلده عن الكوفة وولاها سعيد بن العاص ويقال إن بعض أهل الكوفة تعصبوا عليه فشهدوا عليه بغير الحق حكاه الطبري واستنكره بن عبد البر . (الإصابة ج3/ص637-638).
وثبوت هذه القصة ونتئجها لا يقدح في عثمان رضي الله عنه بل يؤكد عدالته وعدم محاباته لأقاربه إذ أن قرابة الوليد منه لم تمنعه من أن يتقصى الأمر، وحينما وجد شهودا شهدوا ضد الوليد قام بواجبه كأمير المؤمنين فأقام الحد عليه وعزله عن الولاية.

أما عبد الله بن سعد بن أبي السرح فقد ثبت أنه تاب من ردته وأن عثمان توسط له عند الرسول عليه الصلاة والسلام فعفا عنه وحسن إسلامه وشارك في فتوحات الإسلام في مصر وشمال أفريقيا وشهد له بالكفاءة وحسن البلاء وكان له مواقف محمودة الفتوح.  ثم ولاه عثمان مصر بعد هذه التجارب، فعثمان إذن لم يوله إلا وقد ظن أنه كفؤ وجدير بالقيام بما يوكل إليه من أعمال. وقد ثبت أن ابن أبي السرح قد ارتكب بعض الأخطاء. أما أن عثمان قد أقره على ذلك وكتب إليه كتابا سريا يأمره بتأديب الثائرين من أهل مصر بعد أن أعطاهم الأمان فهذا كله كذب على الخليفة عثمان وإن صح أن الكتاب ختم بخاتمه كما يقال فربما تم هذا من غير علم الخليفة وأمره. (منهاج السنة ج3/ص188).
أما معاوية فقد كان واليا على دمشق في عهد عمر وأنه كان مشهودا له بالكفاءة وحسن السياسة وقد برزت هذه الكفاءة الإدارية والسياسية حينما ضمت إليه الأقاليم الأخرى. صحيح أن استمرار المعاوية رضي الله عنه فترة طويلة في ولاية الشام ربما كان عاملا من العوامل التي شجعته على مناوءة سلطة الدولة فيما بعد ولكن ليس هذا أمرا يؤاخذ عليه الخليفة عثمان الذي أراد أن يصلح بتوليته الشام أمر الناس.
فهؤلاء الولاة إذن لم يولهم عثمان لقرابتهم منه فحسب بل لأنهم ولاة متمرسون في شؤون إدارة الدولة وسياستها، سبق لهم أن تولوا أمر المسلمين وأثبتوا جدارة وكفاءة، وقد يقال أن هؤلاء الولاة لم يكونوا أفضل من غيرهم من صالحي المسلمين بل أن كثيرا ممن لو يولوا كانوا أسبق من هؤلاء الولاة إسلاما وأصدق جهادا وسبقا للخير. ويمكن الرد على ذلك بالقول: إن تعيين هؤلاء الولاة كان اجتهادا من الخليفة الذي رأى أنهم أولى من غيرهم وأكفأ وأنهم أصلح لسياسة المسلمين وتصريف أمور الدولة وقد يكون مخطئا في هذا الاجتهاد له أجر الإمام المجتهد، إذ ليس أحد كما يقول ابن تيمية معصوما بعد النبي صلى الله عليه وسلم بل الخلفاء وغير الخلفاء يجوز عليهم الخطأ والذنوب التي تقع منهم قد يتوبون عنها وقد تكفرها عنهم حسناتهم الكثيرة. والمهم في الأمر أنه حينما كان يتبين انحراف أحد هؤلاء الولاة لم تشفع له قرابته عند عثمان من أن يجلد حد شارب الخمر ويعزل عن الولاية كما فعل بالوليد بن عقبة كما أن هذه القرابة وحدها لم تكن مؤهلا للولاية وإلا لولى عثمان محمد بن أبي حذيفة الذين كان ربيبا لعثمان وقريبه ولكن عثمان رفض أن يوليه حينما طلب ذلك وقال له: يا بني لو كنت رضا ثم سألتني العمل لاستعملتك ولكن لست هناك. (دراسة عن الفرق ص34-35).
وأما تولية الأحداث فلم يولّ إلا رجلا سويا عدلا، وقد ولى رسول الله عتاب بن أسيد على مكة وهو ابن عشرين سنة وولّى أسامة بن زيد بن حارثة وطعن الناس في إمارته. وأما إيثاره قومه بني أمية فقد كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يؤثر قريشا على الناس ووالله لو أن مفتاح الجنة بيدي لأدخلت بني أمية عليها. (البداية والنهاية ج7/ ص187).

وروى ابن جرير من طريق محمد بن إسحاق عن عمه عبد الرحمن بن يسار أن الذي كان معه هذه الرسالة من جهة عثمان إلى مصر أبو الأعور السلمي على جمل لعثمان وذكر ابن جرير من هذه الطريق أن الصحابة كتبوا إلى الآفاق من المدينة يأمرون الناس بالقدوم على عثمان ليقاتلوه وهذا كذب على الصحابة وإنما كتبت كتب مزوره عليهم كما كتبوا من جهة علي وطلحة والزبير إلى الخوارج كتبا مزورة عليهم أنكروها وهكذا زور هذا الكتاب على عثمان أيضا فإنه لم يأمر به ولم يعلم به أيضا. (البداية والنهاية ج7/ص192).
وقد ذكر ابن جرير الطبري في تاريخه بأسانيده: أن المصريين وجدوا ذلك الكتاب مع البريد إلى أمير مصر فيه الأمر بقتل بعضهم وصلب بعضهم وبقطع أيدي بعضهم وأرجلهم وكان قد كتبه مروان بن الحكم على لسان عثمان متأولا قوله تعالى: (إِنَّمَاجَزَاءُ الَّذِيْنَ يُحَارِبُوْنَ اللهَ وَرَسُوْلَهُ وَيَسْعَوْنَ فِى الأَرْضِ فَسَادًا أَنْ يَقَتَّلُوْا أَوْ يُصَلَّبُوْا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلاَفٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الأَرْضِ ذلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِى الدُّنْياَ وَلَهُمْ فِى الآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيْمٌ) (المائدة: 33), وعنده أن هؤلاء الذين خرجوا على أمير المؤمنين عثمان رضي الله عنه من جملة المفسدين في الأرض ولا شك أنهم كذلك ولكن لم يكن له أن يفتات على عثمان ويكتب على لسانه بغير علمه ويزور على خطه وخاتمه ويبعث غلامه على بعيره بعد ما وقع الصلح بين عثمان وبين المصريين على تأمير محمد بن أبي بكر على مصر بخلاف ذلك كله . (البداية والنهاية ج7/ص204).
وقال الإمام أحمد: حدثنا عبد الرحمن بن مهدي (ثنا) معاوية بن صالح من ربيعة بن يزيد عن عبد الله بن أبي قيس حدثني النعمان بن بشير قال: كتب معي عثمان إلى عائشة كتاب فدفعت إليها كتابه فحدثتني أنها سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول لعثمان: (إِنَّ اللهَ لَعَلَّهُ يُقَمِّصُكَ قَمِيْصًا فَإِنْ أرَادَكَ أَحَدٌ عَلَى خَلْعِهِ فَلاَ تَخْلَعْهُ، ثلاث مرات). قال النعمان: فقلت يا أم المؤمنين ! فأين كنت عن هذا الحديث؟، فقالت: يا بنيّ والله أنسيته. وقد رواه الترمذي من حديث الليث عن معاوية بن صالح عن ربيعة بن يزيد عن عبد الله بن عامر عن النعمان عن عائشة به. ثم قال : هذا حديث حسن غريب. ورواه ابن ماجه من حديث الفرج بن فضالة عن ربيعة بن يزيد عن النعمان فأسقط عبد الله بن عامر. (البداية والنهاية ج7/ ص198).

وأما قوله: وولى عبد الله بن سعد بن أبي سرح مصر حتى تظلم منه أهلها وكاتبه أن يستمر على ولايته سرا خلاف ما كتب الله جهرا. والجواب: أن هذا كذب على عثمان وقدحلف عثمان أنه لم يكتب شيئا من ذلك وهو الصادق البار بلا يمين وغاية ما قيل: إن مروان كتب بغير علمه وأنهم طلبوا أن يسلم إليهم مروان ليقتلوه فامتنع فإن كان قتل مروان لا يجوز فقد فعل الواجب وإن كان يجوز ولا يجب فقد فعل الجائز وإن كان قتله واجبا فذاك من موارد الاجتهاد فإنه لم يثبت لمروان ذنب يوجب قتله شرعا فإن مجرد التزوير لا يوجب القتل. وبتقدير أن يكون ترك الواجب فقد قدمنا الجواب العام. (منهاج السنة النبوية ج6/ص244).
وأخرج الترمذي والحاكم عن عائشة رضي الله عنها أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (يَا عُثْمَان ! إنَّهُ لَعَلَّ اللهَ يَقَمِّصُكَ قَمِيْصًا فَإِنْ أرَادَكَ المُنَافِقُوْنَ عَلَى خَلْعِهِ فَلاَ تَخْلَعْهُ حَتَّى تَلْقَانِي). وأخرج الترمذي عن عثمان أنه قال يوم الدار: إن النبي صلى الله عليه وسلم عهد إليّ عهدا فأنا صابر عليه. (تاريخ الخلفاء ص142).
وأما قوله: أمر بقتل محمد بن أبي بكر، فهذا من الكذب المعلوم على عثمان وكل ذي علم بحال عثمان وإنصاف له يعلم أنه لم يكن ممن يأمر بقتل محمد بن أبي بكر ولا أمثاله ولا عرف منه قط أنه قتل أحدا من هذا الضرب،وقد سعوا في قتله ودخل عليه محمد فيمن دخل وهو لا يأمر بقتالهم دفعا عن نفسه فكيف يبتدئ بقتل معصوم الدم. وإن ثبت أن عثمان أمر بقتل محمد بن أبي بكر لم يطعن على عثمان. بل عثمان إن كان أمر بقتل محمد بن أبي بكر أولى الطاعة ممن طلب قتل مروان لأن عثمان إمام هدى وخليفة راشد يجب عليه سياسة رعيته وقتل من لا يدفع شره إلا بالقتل. وأما الذين طلبوا قتل مروان فقوم خوارج مفسدون في الأرض ليس لهم قتل أحد ولا إقامة حد وغايتهم أن يكونوا ظلموا في بعض الأمور وليس لكل مظلوم أن يقتل بيده كل من ظلمه بل ولا يقيم الحد.
وليس مروان أولى بالفتنة والشر من محمد بن أبي بكر ولا هو أشهر بالعلم والدين منه بل أخرج أهل الصحاح عدة أحاديث عن مروان وله قوله مع أهل الفتيا واختلف في صحبته. ومحمد بن أبي بكر ليس بهذه المنزلة عند الناس ولم يدرك من حياة النبي صلى الله عليه وسلم إلا أشهرا قليلة من ذي القعدة عام حجة الوداع. ومروان من أقران ابن الزبير فهو قد أدرك حياة النبي صلى الله عليه وسلم ويمكن أنه رآه عام فتح مكة أو عام حجة الوداع. (منهاج السنة النبوية ج6/ص245).

وأما قوله: ولى معاوية الشام فأحدث من الفتن ما أحدثه. فالجواب: أن معاوية إنما ولاه عمر بن الخطاب رضي الله عنه لما مات أخوه يزيد بن أبي سفيان ولاه عمر مكان أخيه واستمر في ولاية عثمان وزاده عثمان في الولاية وكانت سيرة معاوية مع رعيته من خيار سير الولاية وكان رعيته يحبونه. وقد ثبت في الصحيح عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: وخيار أئمتكم الذين تحبونهم ويحبونكم وتصلون عليهم ويصلون عليكم وشرار أئمتكم الذين تبغضونهم ويبغضونكم وتلعنونهم ويلعنونهم. (منهاج السنة ج6/ص246).
وأما قوله: إنه نفى أبا ذر إلى الربذة وضربه ضربا وجيعا مع أن النبي صلى الله عليه وسلم قال في حقه: ما أقلت الغبراء ولا أظلت الخضراء على ذي لهجة أصدق من أبي ذر، وقال: إن الله أوحى إليّ أنه يحب أربعة من أصحابي وأمرني بحبهم. فقيل له: من هم يا رسول الله ؟، قال: علي سيدهم وسلمان والمقداد وأبو ذر. فالجواب: أن أبا ذر سكن الزبذة ومات بها السبب ما كان يقع بينه وبين الناس فإن أبا ذر رضي الله عنه كان رجلا صالحا زاهدا وكان من مذهبه أن الزهد واجب. وأن ما أمسكه الإنسان فاضلا عن حاجته فهو كنز يكوى به في الناس. واحتج على ذلك بما لا حجة فيه من الكتاب  والسنة. (وَالَّذِيْنَ يَكْنِزُوْنَ الذَّهَبَ وَالفِضَّةَ وَلاَ يُنْفِقُوْنَهَا فِي سَبِيْلِ اللهِ) (التوبة : 34). وجعل الكنـز ما يفضل عن الحاجة واحتج بما سمعه من النبي صلى الله عليه وسلم وهو أنه قال: يا أبا ذر ما أحب أن لي مثل أحد ذهبا يمضي عليه ثالثه وعندي منه دينار إلا دينارا أرصده للدين. وأنه قال الأكثرون هم الأقلون يوم القيامة إلا من قال بالمال هكذا وهكذا. ولما توفي عبد الرحمن بن عوف وخلف مالا جعل أبو ذر ذلك من الكنز الذي يعاقب عليه وعثمان يناظره في ذلك حتى دخل كعب ووافق عثمان فضربه أبو ذر وكان قد وقع بينه وبين معاوية بالشام بهذا السبب. وقد وافق أبا ذر على هذا طائفة من النساك كما يذكر عن عبد الواحد بن زيد ونحوه ومن الناس من يجعل الشبلى من أرباب هذا القول.
وأما الخلفاء الراشدون وجماهير الصحابة والتابعين فعلى خلاف هذا القول فإنه قد ثبت في الصحيح عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: ((لَيْسَ فِيْمَا دُوْنَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ وَلَيْسَ فِيْمَا دُوْنَ خَمْسِ ذَوْدٍ صَدَقَةٌ وَلَيْسَ فِيْمَا دُوْنَ خَمْسِ أوَاقٍ صَدَقَةٌ)). فنفى الوجوب فيما دون المائتين ولم يشترط كون صاحبها محتاجا إليها أم لا.

وقال جمهور الصحابة: الكنز هو المال الذي لم تؤد حقوقه وقد قسم الله تعالى المواريث في القرآن ولا يكون الميراث إلا لمن خلف مالا . وقد كان غير واحد من الصحابة له مال على عهد النبي صلى الله عليه وسلم من الأنصار بل ومن المهاجرين وكان غير واحد من الأنبياء له مال.
وكان أبو ذر يريد أن يوجب على الناس ما لم يوجب الله عليهم ويذمهم على ما لم يذمهم الله عليه مع أنه مجتهد في ذلك مثاب على طاعته صلى الله عليه وسلم كسائر المجتهدين من أمثاله. وقول النبي صلى الله عليه وسلم ليس فيه إيجاب إنما قال: (مَا أُحِبُّ أَنْ يَمْضِيَ عَلَيَّ ثاَلِثُهُ وَعِنْدِي مِنْهُ شَيْءٌ)، فهذا يدل على استحباب إخراج ذلك قبل الثالثة لا على وجوبه. وكذا قوله : (المُكثِرُوْنَ هُمُ المقلوْنَ)، دليل على أن من كثر ماله قلت حسناته يوم القيامة إذا لم يكثر الإخراج منه، وذلك لا يوجب أن يكون الرجل القليل السحنات من أهل النار إذا لم يأت كبيرة ولم يترك فريضة من فرائض الله.
وكان عمر بن الخطاب رضي الله عنه يقوّم رعيته تقويما تاما فلا يعتدي لا الأغنياء ولا الفقراء. فلما كان في خلافة عثمان توسع الأغنياء في الدنيا حتى زاد كثير منهم على قدر المباح في المقدار والنوع وتوسّع أبو ذر في الإنكار حتى نهاهم عن المباحات. وهذا من أسباب الفتن بين الطائفتين.
فكان اعتزال أبي ذر لهذا السبب ولم يكن لعثمان مع أبي ذر غرض من الأغراض. وأما كون أبي ذر من أصدق الناس فذاك لا يوجب أنه أفضل من غيره بل كان أبو ذر مؤمناضعيفا كما ثبت في الصحيح عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: (يَا أبَا ذَرٍّ إنِّي أرَاكَ ضَعِيْفًا وَإنِّي أُحِبُّ لَكَ مَا أُحِبُّ لِنَفْسِي, المُؤْمِنُ القَوِيّ خَيْرٌ وَأحبّ إلَى اللهِ مِنَ المُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ وَفِى كُلّ خَيْر). وأهل الشورى مؤمنوك أقوياء وأبو ذر وأمثاله مؤمنون ضعفاء. فالمؤمنون الصالحون لخلافة النبوة كعثمان وعلي وعبد الرحمن بن عوف أفضل من أبي ذر وأمثاله . والحديث المذكور بهذا اللفظ الذي ذكره الرافضي ضعيف بل موضوع وليس له إسناد يقوم به . (منهاج السنة النبوية ج6/ ص270-276)

وأما نفي أبي ذر رضي الله عنه إلى الربذة فقد ثبت ولكن لم يكن بفعل عثمان بل باختيار أبي ذر الذي آثر أن يبتعد ويعتزل حينما وقع بينه وبين الناس ما وقع بسبب بعض آرائه. ويؤكذ هذا ما أورده البخاري في صحيحه عنزيد بن وهب قال: مررت بالربذة فإذا أنا بأبي ذر قلت: ما أنزلك منزلك هذا ؟، قال: كنت بالشام فاختلفت أنا ومعاوية في (وَالَّذِيْنَ يَكْنِزُوْنَ الذَّهَبَ وَالفِضَّةَ وَلاَ يُنْفِقُوْنَهَا فِى سَبِيْلِ اللهِ) (التوبة:34)، فقال معاوية: نزلت في أهل الكتاب، فقلت: نزلت فينا وفيهم. وكان بيني وبينه في ذاك فكتب إليّ عثمان رضي الله عنه يشكوني. فكتب إليّ عثمان أن أقدم المدينة فقدمتها فكثر عليّ الناس حتى كأنهم لم يروني قبل ذلك فذكرت ذلك لعثمان، فقال: إن شئت تنحيت فكنت قريبا. فذاك الذي أنزلني هذا المنزل ولو أمّروا عليّ جيشا لسمعت وأطعت.
وروى ابن سيرين قال: قدم أبو ذر المدينة فقال عثمان: كن عندي تغدو عليك وتروح اللقاح. قال: لا حاجة لي في دنياكم، ثم قال: ائذن لي حتى أخرج إلى الربذة، فأذن له فخرج. (صفوة الصفوة ج1/ ص596).
ويؤيد هذا أن أبا ذر لم يكن يحمل على الخليفة شيئا وقد أورد ابن سعد أن ناسا من أهل الكوفة قالوا لأبي ذر وهو بالربذة: يا أبا ذر فعل بك هذا الرجل وفعل فهل أنت ناصب لنا راية (يعني فنقاتله)، فقال: يا أهل الإسلام لا تعرضوا على ذاكم ولا تذلوا السلطان فإنه من أذل السلطان فلا توبة له والله لو أن عثمان صلبني على أطول خشبة أو أطول حبل لسمعت وأطعت وصبرت وأحتسبت ورأيت أن ذاك خير لي ولو سيرني ما بين الأفق إلى الأفق أو قال ما بين المشرق والمغرب لسمعت وأطعت وصبرت وأحتسبت ورأيت أن ذاك خير لي ولو ردني إلى منزلي لسمعت وأطعت وصبرت وأحتسبت ورأيت أن ذاك خير لي. (دراسة عن الفرق ص39-40).
كتب إليّ السري يذكر أن شعيبا حدثه عن سيف عن عطية عن زيد الفقهي، قال: لما ورد ابن السوداء الشام لقي أبا ذر، فقال: يا أبا ذر ألا  تعجب إلى معاوية يقول: المال مال الله ألا أن كل شيء لله كأنه يريد أن يحتجه دون المسلمين ويمحو اسم المسلمين. فأتاه أبو ذر فقال: ما يدعوك إلى أن تسمى مال المسلمين مال الله ؟، قال: يرحمك الله يا أبا ذر، ألسنا عباد الله والمال ماله والخلق خلقه والأمر أمره ؟، قال: فلا تقله، قال: فإني لا أقول أنه ليس لله ولكن سأقول مال المسلمين.

ودخل عليّ عثمان فقال: يا أبا ذر ما لأهل الشام يشكون ذربك، فأخبره أنه لا ينبغي أن يقال: مال الله ولا ينبغي للأغنياء أن يقتنو مالا، فقال: يا أبا ذر عليّ أن أقضي ما عليّ وآخذ ما على الرعية ولا أجبرهم على الزهد وأن أدعوهم إلى الاجتهاد والاقتصاد. قال: فتأذن لي في الخروج فإن المدينة ليست لي بدار، فقال: أوتستبدل بها إلا شرا منها، قال: أمرني رسول الله صلى الله عليه وسلم أن أخرج منها إذا بلغ البناء سلعا، قال: فانفذ لما أمرك به، قال: فخرج حتى نزل الربذة فخط بها مسجدا وأقطعه عثمان صرمة من الإبل وأعطاه مملوكين وأرسل إليه أن تعاهد المدينة حتى لا ترتد أعرابيا ففعل. وكتب إليّ السري عن شعيب عن سيف عن محمد بن عون عن عكرمة عن ابن عباس قال : كان أبو ذر يختلف من الربذة إلى المدينة مخافة الأعرابية وكان يحب الوحدة والخلوة. (تاريخ الطبري ج2/ص615-616). و (الكامل لابن الأثير ج3/ ص11).

ثم خرج على من عنده وخرج عثمان على أثره فجلس على المنبر ثم قال: أما بعد؛ فإن لكل شيء آفة، ولكل أمر عاهة وإن آفة هذه الأمة وعاهة هذه النعمة عيابون طعانون يرونكم ما تحبون ويسترون عنكم ما تكرهون يقولون لكم ويقولون أمثال النعام، يتبعون أول ناعق أحب مواردهم إليهم البعيد لا يشربون إلا نفصا ولا يردون إلا عكرا لا يقوم لهم رائد وقد أعييتهم الأمور. إلا فقد والله عبتم عليّ على ما أقررتم لابن الخطاب بمثله ولكنه وطئتم برجله وضربكم بيده وقمعكم بلسانه فدنتم له على ما أحببتم وكرهتم ولنت لكم وأوطأتكم كتفي وكففت يدي ولساني عنكم فاجترأتم عليّ أما والله لأنا أعز نفرا وأقرب ناصرا وأكثر عددا وأحرى إن قلت هلم أتى إليّ , ولقد عددت لكم أقرانا وأفضلت عليكم فصولا، وكشرت لكم عن نابي وأخرجتم مني خلقا لم أكن أحسنه ومنطقا لم أنطق به فكفوا عني ألسنتكم وعيبكم وطعنكم ولاتكم فإني كففت عنكم من لو كان هو الذي يكلمكم لرضيتم منه بدون منطقي هذا. ألا فما تفقدون من حقكم ؟، والله ما قصرت عن بلوغ ما بلغ من كان قبلي. ولم تكونوا تختلفون عليه فقام مروان بن الحكم فقال: إن شئتم حكمنا والله ما بيننا وبينكم السيف نحن وأنتم والله كما قال الشاعر:

فرشنا لكم أعراضنا فنبت بكم  *  مغارسكم تبنون في دفن الثرى

فقال عثمان: أسكت لأسكت دعني وأصحابي ما منطقك في هذا ؟ ألم أتقدم إليك أن لا تنطق ؟ فسكت مروان ونزل عثمان عن المنبر فاشتد قوله على الناس وعظم وزاد تألبهم عليه. (الكامل لابن الأثير ج3/ ص44-45).

Dari data-data di atas dapat dicatat beberapa kesalahan Said Aqil di antaranya adalah sebagai berikut.

Sayyidina Utsman dalam menjalankan pemerintahannya sama sekali tidak didikte oleh Marwan bin Hakam. Justru Marwan mendapat amarah dari Khalifah Utsman manakala hendak campur tangan urusan beliau dalam menangani para demonstran. Ini suatu bukti bahwa walaupun Sayyidina Utsman sudah tua namun tak bersedia dicampuri pihak lain dalam melaksanakan amanat kekhalifahannya. Entah sumber dari mana yang mendikte Said Aqil untuk melontarkan tuduhan keji pada sayyidina Utsman sampai mengatakan bahwa, “pada masa ini (6 tahun terakhir) khalifah Utsman sudah mulai usia senja (harom) sehingga hampir semua urusan pemerintahan banyak didikte oleh sekretarisnya, Marwan bin Hakam.”

Mungkin Marwan telah banyak melakukan kesalahan dalam masa pemerintahan sayyidina Utsman serta manuver dan sepak terjang politiknya banyak merugikan dan berdampak terpecah-belahnya ummat Islam sehingga menjadikan tidak wibawa dan lemahnya kekuatan ummat Islam dimata musuh-musuh Islam,  diantara kesalahannya adalah:

  1. Mengobarkan pemberontakan terhadap pemerintahan Utsman dan merusak gagasan islah antara Utsman dan para pemberontak yang telah dicanangkan oleh para tokoh shahabat.
  2. Memalsukan suratnya Utsman RA yang ditujukan kepada Gubernur Mesir, Ibnu Abi Saroh, yang isinya agar membunuh penduduk  Mesir.
  3. Memprovokasi para pemberontak untuk membunuh shahabat Ali RA.
  4. Melaknat shahabat Ali RA. 
  5. Membunuh shahabat Tholhah bin Ubaidillah.
  6. Marwan bersama anaknya, Abdul Malik, memberitahukan tempat-tempat persembunyian penduduk Madinah kepada pasukan Yazid sehingga menjadi penyebab terbunuhnya penduduk Madinah di tanah Harroh. (Muhammad Al-‘Arobi Ath-Thabbani (Abu Hamid Marzuq), Baro’atul Asy’ariyin min Aqo’idil Mukholifin).

Tapi, hal itu bukanlah merupakan satu-satunya penyebab timbulnya kekacauan dan pemberontakan. Sebab utamanya adalah munculnya isu-isu negatif yang ditiupkan oleh orang Yahudi bernama Abdullah bin Saba’. Dan jikalau Said Aqil mengingkari adanya Abdullah bin Saba’ sehingga menganggapnya sebagai tokoh fiktif, maka itu adalah suatu pertanda bahwa dia (Said Aqil) benar-benar terpengaruh dengan kebohongan pemikiran Syi'ah. Karena, ath-Thobari, al-Kamil dan al-Bidayah telah memuatnya. Sungguh memalukan sekali kalau Said Aqil malah tak mengetahuinya. Inilah akibatnya bila mata hati telah rusak dan teracuni ajaran sesat Syi’ah. Buktinya, Said Aqil ikut menghadiri pertemuan “Peringatan Arba’in” di Malang. Dan di sana dia mengaku terus terang sebagai gedibal Syi’ah. Demikian pula dalam pertemuan “Peringatan Karbala” yang diadakan pengikut-pengikut Syi’ah di Jakarta, dia juga ikut mendatanginya.


Sungguh suatu hal yang sangat ganjal sekali, mengapa peristiwa di atas lepas dari pantauan Said Aqil, mengapa dia tak mampu mengatakan bahwa sumber fitnah di masa akhir kekhalifahan sayyidina Utsman adalah berita bohong yang direkayasa Abdullah bin Saba’. Hal ini layak dijadikan sebagai bahan pertanyaan atas kebenaran pengakuan Said Aqil. Mestinya kalau dia seorang yang jujur dan mengemban amanat ilmiyah juga mengungkapkan catatan sejarah di atas. Sehingga tidak hanya memilih karangan manusia tak bertanggung jawab (baca: antek Syi’ah) yang menyudutkan Sayyidina Utsman maupun Marwan. Padahal sebenarnya Marwan bukanlah seorang yang pantas untuk dijadikan satu-satunya kambing hitam terhadap kasus kudeta yang melanda kekhalifahan Sayyidina Utsman bin Affan. Dia (Marwan), dalam pandangan para tokoh Shahabat, Tabi’in dan Fuqohaul Ummah adalah seorang yang adil dalam meriwayatkan Hadits. Maka apabila ada cerita atau fakta sejarah yang mendiskreditkan Marwan saja dengan menafikan sepak terjang Abdullah bin Saba', perlu di teliti kebenarannya atau dengan suatu penakwilan yang tepat, tidak asal ngawur dan serampangan, membabi buta.


Perlu jadi tambahan pelajaran bagi Said Aqil yang pura-pura tidak mengenal ilmu Hadits bahwa dengan adanya fakta di atas Marwan bin Hakam bukanlah orang yang pantas untuk dijadikan bahan kecaman maupun melontarkan kesalahan. Di samping dia (Marwan) terbukti membela Sunnah Rasul sebagaimana dalam riwayat Imam Ahmad bin Hambal juga diakui oleh kalangan ahli Hadits. Bahkan beliau adalah sebagai guru dari para tokoh ahli Hadits dari kalangan Tabi’in, di antaranya adalah Imam Said ibn Musayyab yang merupakan “Ra'su Ulama al-Tabi’in” (ketua ulama tabi’in). Begitu juga Imam al-Laits bin Said (tokoh ulama Mesir),  Imam Abdurrozaq (tokoh ulama Yaman) dan lainnya juga mengambil riwayat dari Marwan bin Hakam. Ini suatu syahadah (baca: bukti kuat) bahwa nama Marwan sangatlah harum dan terhormat di kalangan para ulama Ahli Hadits. Dan perlu diingat bahwa tidak sembarang orang diakui dan diterima riwayatnya oleh para ahli Hadits kecuali setelah lewat seleksi yang ketat dan persyaratan yang rumit. Hanya orang adil dan benar-benar tsiqoh-lah yang tercatat sebagai rawi-rawi Hadits. Apalagi jikalau orang tersebut adalah guru dari pemimpin ulama tabi’in, maka hal itu sudah lebih dari cukup sebagai bukti akan keutamaan kehormatannya. Untuk lebih mempertajam masalah ini, haruslah diketahui oleh Said Aqil bahwasanya para ulama sampai mengarang kitab “al-Jarhu wa al-Ta’dil” adalah karena banyaknya bermunculan manusia-manusia fasiq dan pendusta yang tak bertanggung jawab dalam menyampaikan berita yang diterima maupun yang disampaikan. Maka, para Ulama sunnah bangkit untuk mendata orang yang dapat diterima riwayatnya (baca: orang adil) dengan yang tertolak riwayatnya. Lebih jelasnya, Imam al-Hafidz Ahmad ibn Hajar al-‘Asqalaniy mengatakan:


Terbilangnya Marwan bin Hakam sebagai Fuqaha’ tentunya menjadi isyarat bagi siapa saja yang menguak sepak terjang dan kiprah Marwan dalam gelanggang politik untuk lebih mengedepankan kaca mata Husnudzdzon dari pada mengklaim-nya sebagai sumber malapetaka dan fitnah. Apalagi jikalau ternyata Marwan terbukti tidak bersalah, maka sangat gegabah sekali bila Said Aqil membesar-besarkan kesalahan yang belum tentu terbukti tersebut. Ini suatu bukti kesalahan Said Aqil.


Seperti halnya peristiwa yang paling disoroti Said Aqil adalah surat palsu yang menjadikan marahnya demonstran Mesir. Seandainya memang benar surat tersebut dari Marwan, itupun belum pantas dijadikan alasan untuk merendahkan martabat Sayyidina Utsman atas manuver politik Marwan. Sebab, sebagaimana yang tertulis dalam al-Bidayah wa al-Nihayah juz; 7 hal. 204 (lihat no.8 dalam makalah ini) adalah berdasarkan ayat;  

(إِنَّمَاجَزَاءُ الَّذِيْنَ يُحَارِبُوْنَ اللهَ وَرَسُوْلَهُ وَيَسْعَوْنَ فِى الأَرْضِ فَسَادًا أَنْ يَقَتَّلُوْا أَوْ يُصَلَّبُوْا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلاَفٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الأَرْضِ ذلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِى الدُّنْياَ وَلَهُمْ فِى الآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيْمٌ). (المائدة : 33).

“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka memperoleh siksaan yang besar.” (QS. Al-Maidah:33)


Dan memang para demonstran Mesir yang berdatangan ke Madinah untuk meminta ganti gubernurnya (Abdullah bin Sa'd’ bin Abi Sarh) adalah kaum Khawarij yang berbuat kerusakan di bumi. Maka sudah pantaslah bila Marwan dengan meminjam kekuasaan khalifah Utsman mengirim surat rahasia kepada gubernur lama (Ibnu Abi Sarah) untuk membasmi manusia-manusia durjana tersebut. Tindakan itu adalah suatu bukti ketajaman mata politik Marwan yang memang telah berhak untuk ijtihad. Sebab, mungkin saja dalam pandangannya kalau tidak dengan cara demikian tentunya tak akan mungkin membasmi orang-orang yang selalu bikin ribut. Karena siapa pun tahu bahwa khalifah Utsman adalah seorang khalifah yang bersikap lembut dan tak suka kekerasan. Maka, seandainya siasat politik tersebut diusulkan pada khalifah Utsman tentu ditolaknya. Mungkin logika politik yang demikianlah yang mengilhami Marwan untuk melaksanakan kehendaknya mem-basmi kaum Khawarij.

ثم دخلت سنة 35 وفيها مقتل عثمان بن عفان رضي الله عنه. وكان السبب في ذلك أن عمرو بن العاص حين عزله عثمان عن مصر ولى عليها عبد الله بن سعد بن أبي سرح وكان سبب ذلك أن الخوارج من المصريين كانوا محصورين من عمرو بن العاص فجعلوا يعملون عليه حتى شكوه إلى عثمان لينزعه عنهم ويولي عليهم من هو ألين منه فلم يزل ذلك دأبهم حتى عزل عمرا عن الحرب وتركه على الصلاة وولى على الحرب والخراج عبد الله بن سعد بن أبي سرح. ثم سعوا فيما بينهما بالنميمة فوقع بينها حتى كان بينهما كلام قبيح فأرسل عثمان فجمع لابن أبي سرح جميع عمالة مصر خراجها وحربها وصلاتها وبعث إلى عمروا يقول له: لا خير لك في المقام عند من يكرهك فاقدم إليّ، فانتقل عمرو بن العاص إلى المدينة. (البداية والنهاية؛ ج7/ ص186).

Dari data di atas, terlihat jelas bahwa demonstran Mesir yang menuntut khalifah Utsman untuk mengganti gubernurnya adalah orang-orang brengsek yang senang bertualang dalam gelanggang politik. Semakin dituruti kemauannya maka, mereka semakin berani dan menginjak-injak kebijaksanaan pemerintah yang sah (khalifah Utsman). Lihat saja dalam khutbah sayyidina Utsman:

وقام عثمان فحمد الله وأثنى عليه، وقال: كل ما أشرتم به عليّ قد سمعت ولكل أمر باب يؤتى منه إن هذا الأمر الذي يخاف على هذه الأمة كائن وإن بابه الذي يغلق عليه فيكفكف به اللين والمؤاتاة والمتابعة إلا في حدود الله تعالى ذكره التي لا يستطيع أحد أن يبادي بعيب أحدهما فإن سده شيء فرفق فذاك والله ليفتحن وليست لأحد عليّ حجة حق. وقد علم الله أني لم آل الناس خيرا ولا نفسي ووالله ان رجى الفتنة لدائة فطوبى لعثمان إن مات ولم يحركها. كفكفوا الناس وهبوا لهم حقوقهم واغتفروا لهم وإذا تعوطيت حقوق الله فلا تدهنوا. (تاريخ الطبري ج2/ ص648).

Dan ada lagi fakta yang lebih jelas bahwa sebenarnya surat tersebut tidaklah dari kalangan pemerintahan (baik khalifah Utsman maupun Marwan), namun sengaja direkayasa oleh para demonstran yang sengaja hendak menggulingkan pemerintahan yang sah. Buktinya, mereka para demonstran Mesir, Kufah dan Bashrah mengapa sama-sama kembali ke Madinah setelah mereka hendak kembali ke negaranya? Ini tentu ada fihak ketiga yang mendalangi dan berdiri di belakang mereka. Siapa orangnya, tak sulit untuk ditebak. Siapa lagi kalau bukan Abdullah bin Saba’, tokoh Yahudi yang telah menebarkan isu politik di antara para demonstran sehingga mereka ramai-ramai berdatangan ke Madinah untuk menggugat Khalifah Utsman. Dialah sebenarnya biang keladi utama timbulnya segala kekacauan di akhir masa pemerintahan Sayyidina Utsman. Hasutannya begitu tajam dan mengena. Sehingga dengan jargon bahwa Ali-lah yang lebih berhak menjadi khalifah dan Utsman telah merebutnya, orang-orang yang bodoh akhirnya termakan rekayasa politik yang kotor tersebut. Demikian pula orang yang tak kenal sejarah juga akan termakan hasutan Said Aqiel, padahal dia tak lebih sebagai penjual berita yang ingin mengeruk keuntungan pribadi dengan menjual nama dan kehormatan shahabat. Sungguh kasihan sekali orang yang mengidolakan antek Syi'ah dan syetan tersebut. Kami juga pencinta shahabat Ali RA, tapi bukan Rafidloh yang menolak dan tidak mengakui kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dan Utsman seperti yang mereka lakukan.


Dengan gaya diplomasi yang sok manthiqnya dia (Said Aqiel) memutar balikkan fakta dan menyelidiki “Ahlussunah wal Jama’ah” yang sebenarnya. Padahal maksudnya ingin menghan-curkan “Aqidah Ahlussunah wal Jama’ah”. Semoga Allah memberi hidayah kepada Said Aqil dan cukong-cukongnya.

وهكذا تفاقمت الفتنة وجمعت عناصرهامن الاقاليم والامصاركالكوفة ومصروالبصرة يبتون في الظاهر بعض الظلامات والشكاوي من الولاه إلى الخليفه ويخططون في الباظن للقضاء على الخليفلة الإسلامية.وقدشعركبارالصحابة بالحطرحينماتوافدت جموعالدهماء الى المدينة فحاولوا تهدءة التاءرين من الخليفة ان يستمع إلى شكايا اتهموا المظالم التى زعموها,بعدأن استمع اليهم بن يردالحق إلى مضابه وأن يقيم العدل وينصف المظلوم وأن يختارلأمرة المسلمين من يرضونه ويرضى الله تعالى, وبهذاهدأت الأحوال وتفرقت الجموع قافلة إلى الأمصارولكن لم بلبت  ان عادت مرة أخرى مدعيه أن الخليفة عثمان قد نقض العهد الذي قطعه على نفسه وأنه كاتب عامله على مصر سرا يأمره أن يؤدب المتطلمين بدلا من أن ينصفنهم وقد أشرنا من قبل إلى أن قصة الكتاب المزعوم ونسبتها إلى عثمان مجرد افتراء عليه ومما يؤكد اختلاق هذه القصة والمؤمراة التي وراءها ما أشار إليه على رضي الله عنه  حيثما خاطب هؤلاء الخارجين قائلا.

" كيف علمتم يا أهل الكوفة ويا أهل البصرة بما لقي أهل امصر وقد سرتم مراحل ثم طويتم عنا، هذا والله أمر أبرم بالمدينية". ويذكر ابن كثير أن بعض الصحابة قالوا للخارجين عند عودتهم "كيف علمتم بذلك (أي الكتاب) من أصحابكم وقد افترقتم وصار بينكم مراحل؟، إنما هذا أمر اتفقتم عليه".

فلما لم يجد الخارجون مبررا مقنعا قالوا: صفوة على ما أردتم لا حاجة لنا في هذا الرجل ليعتزلنا ونحن نعتزله. (ص44).

Dan sebagai akhir dari tulisan ini perlu di renungkan firman Allah SWT. dalam kitab suci Al-Qur’anul Karim:

(أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْديهِ مِنْ بَعْدِ اللهِ أَفَلاَ تَذَكَّرُوْنَ). (الجاثية : 23).

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah Subhanahu Wata'ala membiarkannya sesat berdasarkan ilmunya dan Allah Subhanahu wa ta'ala telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatan-nya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk setelah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?”  (QS. AL-Jatsiah: 22).

Sungguh memalukan perkataan Said Aqil. Inilah akibatnya bila mata hati telah rusak dan teracuni ajaran sesat Syi’ah. Buktinya, Said Aqil ikut menghadiri pertemuan “Peringatan Arba’in” di Malang dan Surabaya dengan pidatonya yang penuh semangat dan  menggebu-nggebu. Dan di sana dia mengaku terus terang sebagai agen Syi’ah. Demikian pula dalam pertemuan “Peringatan Karbala” yang diadakan pengikut-pengikut Syi’ah di Jakarta, dia juga ikut mendatanginya.


Said juga pernah mengusulkan, bahwa sebaiknya Departemen Agama (Depag) dihapus-kan, sebab keberadaannya itu hanya akan mengkotak-kotak agama Islam di Indonesia. Menurutnya, Depag hanya ada di Indonesia dan Israil. Kata Said ketika menjadi pembicara tunggal diskusi Pluralitas agama di Unika Widya Mandala, Kamis 9 Juli 1998. selanjutnya Said mengatakan mengenai mereka yang mengatakan non-muslim itu kafir, padahal tidak pernah Al-Quran menyatakan agama lain itu kafir. Justru orang yang memper-mainkan agama itu kafir.


Itulah fenomena kang Said, Katib Aam PBNU, orang yang berani menghina Allah, Rasulnya, mengkritisi bahkan menghina Shahabat Nabi. Yang pernah dikafirkan oleh empat belas kyai karena dengan lancang berani mengkafirkan imam Ghozali dalam disertasinya untuk meraih gelar doktor di Universitas Ummul Quro Makkah, dia juga mencari makan kepada orang kristen dengan menjadi Penasehat Angkatan Muda Kristen Republik Indonesia, juga sebagai agen Syi'ah di Indonesia.  Dia juga tanpa canggung berkhotbah dalam acara misa Kristiani di sebuah gereja di Surabaya. Dengan background belakangnya berupa salib patung Yesus dalam ukuran yang cukup besar. Beritanya pun dimuat majalah aula milik warga NU. Dia juga pernah melontarkan gagasan pluralnya, yaitu merencanakan pembangunan gedung bertingkat, dengan komposisi lantai dasar akan diperuntukkan sebagai masjid bagi umat Islam, sedangkan lantai tingkat satu diperuntukkan sebagai gereja bagi umat kristiani, lantai tingkat dua diperuntukkan sebagai pura bagi penganut Hindu, demikian dan seterusnya.


Apa kang Said rela seandainya penyakit AIDS (diagnosis Gonore) yang disebabkan gonta-ganti pasangan dalam melakukan hubungan seksual karena melakukan nikah Mut'ah yang mereka halalkan itu menimpa putra-putrinya......?!!!

Ingat pengaduan seorang pasien AIDS, perempuan berjilbab, mahasiswi dari Pekalongan yang kost di wisma Fathimah jalan Alex Kawilarang 63 Bandung kepada Dokter Hanung, seorang dokter spesialis kulit dan kelamin dari kota Bandung, kota dimana kang Jalal (Jalaludin Rahmat) gembong Syi'ah di Indonesia bertempat tinggal.

Perempuan tadi menganggapnya bahwa kehidupan yang selama ini dijalani sudah sesuai dengan Syari'at Islam sesuai dengan keyakinannya. Perempuan tadi baru tahu, bahwa petualangan seks yang selama ini dia lakukan yang disebabkan nikah mut'ah itu beresiko dengan panyakit kelamin (gonore) yang sangat mengerikan, dan ini akan terus terjadi pada generasi-generasi umat Islam penganut aliran Syi'ah. (Majalah Asa Edisi 5 1411 H).

Di Iran sendiri, sebagai negara yang mayoritas Syi'ah, akibat dari legalnya nikah mut'ah, dikabarkan setiap bulannya 82 meninggal akibat terserang penyakit AIDS, pernyataan tersebut dari Muhammad Azmudeh, Dirjen Departemen Penyakit Menular, Kementerian, Kesehatan Iran juga mengatakan bahwa 283 orang termasuk 35 wanita diketahui telah terinfeksi virus yang mematikan itu. Bahkan pada bulan November tahun 1991 warga Iran yang sudah positif terserang penyakit HIV sudah sampai 5000 orang. Kata wakil Menteri Kesehatan Iran, Husein Malik Afzall.


Dalam rangka untuk mengetahui hakekat Syi'ah, LPPI (Lembaga Penelitian dan Pengkajian) mengadakan seminar sehari, pada hari Ahad tanggal 21 September 1997/ 19 Jumadil Awal 1418. yang di antaranya dalam rangka menjaga stabilitas masyarakat bangsa dan negara Indonesia, seminar merekomendasikan:

1. Mendesak Pemerintah Republik Indonesia cq. Kejaksaan Agung RI. Agar segera melarang paham Syi'ah di wilayah Indonesia. Karena selain telah meresahkan masyarakat, juga merupakan suatu sumber destabilisasi kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Karena tidak mungkin Syi'ah akan loyal pada pemerintah karena pada ajaran Syi'ah tidak ada konsep musyawarah melainkan keputusan mutlak dari Imam, dan karena Syi'ah berkeyakinan bahwa kekuasaan selain Imam-imam mereka adalah ilegal.

2. Memohon Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan seluruh jajaran pemerintah yang terkait agar bekerjasama dengan MUI dan Balitbang Depag RI agar segera meneliti buku-buku yang berisi paham dan melarang peredarannya di Indonesia.

3. Mendesak kepada pemerintah Indonesia cq. Menteri Kehakiman RI agar segera mencabut kembali izin semua yayasan Syi'ah atau yang mengembangkan ajaran Syi'ah di Indonesia, seperti:

  • Yayasan Muthahhari Bandung.
  • Yayasan Al-Muntazhar Jakarta.
  • Yayasan Al-Jawad Bandung.
  • Yayasan Mulla Shadra Bogor.
  • Yayasan Pesantren YAPI Bangil.
  • Yayasan Al-Muhibbin Probolinggo.
  • Yayasan Pesantren Al-Hadi Pekalongan.
  • Yayasan Pesantren Asshodiq Bondowoso.

4. Mengajak kepada seluruh masyarakat Islam Indonesia agar senantiasa waspada terhadap aliran Syi'ah, karena paham Syi'ah kufur serta sesat menyesatkan.

5. Menghimbau kepada segenap kaum wanita agar menghindarkan diri dari praktek nikah mut'ah (kawin kontrak) yang dilakukan dan dipropaganda-kan oleh pengikut Syi'ah.

 Bagaimana masyarakat tidak resah, kalau anak-anak gadisnya, mahasiswi-mahasiswi di berbagai kota dan bahkan wanita secara umum terancam bahaya penyakit kelamin bahkan AIDS yang sangat berbahaya gara-gara ajaran yang menurut Islam adalah ajaran kufur yang bejat dan binatang.

(Disadur dari buku “Membuka Kedok Tokoh-Tokoh Liberal dalam Tubuh NU: Informasi, Penyimpangan dan Jawabannya” karya H. Muhammad Najih Maimoen, penerbit Toko Kitab Al-Anwar, Pondok Pesantren Al-Anwar Rembang, cet. III, Januari 2011/Shafar 1432, halaman 67-101).




Kutipan :
VOA
Sabtu, 07 Jan 2012











Benarkah Syiah Indonesia Tak Merisaukan? (Tanggapan terhadap Rektor IAIN Sunan Ampel)

Beberapa kalangan menyebut penganut Syi’ah di Indonesia berbeda dengan di Iran dan Irak. Salah satu di antaranya Prof. Dr. Nur Syam, Rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya, di harian Surya, Sabtu (31/12/2011) mengatakan bahwa Syi’ah di Indonesia telah ‘mengindonesia.’ Syiah  telah beradaptasi dengan kultur Indoensia, sehingga Syi’ah Indonesia tidak perlu dirisaukan. Benarkah demikian?

Dalam konteks ini, menarik jika kita membaca hasil penelitian disertasi Prof. Dr. Mohammad Baharun, M.Ag di IAIN Surabaya tentang karakter Syi’ah Indonesia. Menurut Rektor Universitas Nasional Pasim Bandung ini, Syi’ah di Indonesia itu tidak monolitik. Meski begitu, penelitian Prof. Baharun selama bertahun-tahun itu menyimpulkan, bahwa mereka disatukan oleh satu doktrin esensial, yakni doktrin Imamah.

Ternyata, faktor perbedaan karakter Syi’ah di Indonesia itu bukan karena budaya, kultur keindonesiaan. Akan tetapi, tingkat pemahaman penganut Syi’ah terhadap doktrin Imamah itu yang melahirkan tipologi yang berbeda. Adapun faktor budaya dan kultur Indonesia hanya mewarnai kulitnya saja, tidak sampai kepada mengubah pandangan akidah, atau doktrin-doktrin utamanya. Kesimpulannya, pada dasarnya Syi’ah di Indonesia itu menurut Prof. Baharun sama dengan Syi’ah di Iran yakni Syi’ah ‘Istna Asyariyah. Apalagi, penyebarannya dibawa oleh orang-orang Indonesia alumni Universitas Qom Iran.


Doktrin Utama

Akidah yang paling sentral dan sifatnya mutlak dalam Syi’ah Itsna ‘Asyariyah adalah akidah Imamah. Mengimani dua belas Imam yang disebutnya ma’shum (bebas dari kesalahan), sebagaimana kema’shuman para Nabi. Dalam pengertian Syi’ah, Imammah ini bukan seperti Imamah dalam konsep Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Akan tetapi imamah adalah doktrin primer  dalam ideologi dan teologi.


Dalam pemahaman Ahlus Sunnah Imamah disebut pula khalifah, yaitu penguasa dan pemimpin tertinggi rakyat sesudah Nabi SAW. Kata imam pun disebut dalam al-Qur’an dengan berbagai bentuk, selain berarti pemimpin juga bermakna lain, misalnya yang disebut dalam QS. Al-Ahqaf Imam bermakna al-Qur’an. Kata imam juga memiliki arti pemimpin pasukan dan pengatur kemaslahatan (QS. Al-Baqarah: 24). Imam dalam pengertian di sini bukan pemimpin pengganti Nabi SAW.

Dalam hadis Nabi SAW, dapat ditemukan istilah-istilah imamah, khilafah, dan imarah yang semuanya bermakna pemimpin. Baik pemimpin shalat, atau pemimpin kenegaraan. seperti hadis Nabi SAW yang menyuruh Abu Bakar r.a mempimpin shalat ketika Nabi SAW sedang sakit. “Dari Abdullah ia berkata: Ketika Rasulullah SAW wafat, maka kaum Anshar berkata: “Sebaiknya dari kami dipilih seorang pemimpin dan dari kalian seorang pemimpin.” Umar ra bertanya;” Apakah kalian tidak tahu bahwa Rasulullah SAW memilih Abu Bakar untuk menjadi imam dalam shalat?” Karena itu jika salah satu dari kalian yang lebih afdhal dari Abu Bakar, maka belakangilah (tinggalkan) Abu Bakar. Mereka menjawab: “Kami berlindung dari Allah untuk membelakangi Abu Bakar”.


Bagi Syi’ah Imamiyah, memahami hadis-hadis doktrin imamah bukan saja harus bersumber dari Rasulullah SAW, namun juga dari para imam dua belas sebagai manusia-manusia suci (ma’shum). Kemutlakan imam sebagai pemimpin yang bebas dari dosa berimplikasi kepada konsep hadis. Ucapan-ucapan para imam disebut hadis. Seperti yang ditulis dalam al-Kafi Jilid I halaman 52 hadis no. 14: “Abu Abdillah as (Imam Ja’far al-Shadiq) berkata, bahwa hadisku adalah hadis ayahku (imam Muhammad al-Baqir), hadis ayahku adalah hadis kakekku (Imam Ali Zainal Abidin), hadis kakekku adalah hadis al-Husein (imam ke-3), hadis al-Husein adalah hadis al-Hasan (imam ke-2) dan hadis al-Hasan adalah Hadis Amir al-Mu’minin (Imam pertama), dan hadis Amir al-Mu’minin adalah hadis Rasulullah SAW sedang hadis Rasulullah SAW adalah firman Allah SWT”.


Kategorisasi dan parameter pengukuran hadis disebut shahih atau tidak juga berbeda dengan hadis dalam konsep Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Menurut Syi’ah, hadis disebut shahih dengan syarat; Pertama, karena hadis itu diriwayatkan dari sumber yang dipercaya. Kedua, karena hadis itu sejalan dengan dalil lain yang bersifat pasti (qat’i) dan sejalan pula dengan konteks yang dipercaya. Dari pemahaman seperti ini (hadis Nabi identik dengan hadis para Imam), maka doktrin imamah dalam Syi’ah Itsna ‘Asyariyah adalah satu keniscayaan. Dimananpun Syi’ah dua belas berada, pasti mengamalkan doktrin esensial ini.

Saya pernah mengonfirmasi doktrin ini ke sejumlah orang-orang dan lembaga pendidikan Syi’ah di Jawa Timur. Mereka jujur meyakini bahwa perkataan Imam itu disebut hadis, dan katanya tidak mungkin salah. Perkataan imam menjadi hukum yang pasti.


Dalam pandangan mereka, imamah itu penerus nubuwwah yang ditunjuk berdasarkan nash  Ilahi, karena ucapan-ucapan para Imam itu adalah identik dengan hadis Nabi yang bersumber dari wahyu Allah SWT.

Sejumlah kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah di daerah Jawa Timur menilai ajaran ini aneh. Seringkali perdebatan-perdebatan mewarnai di daerah ini. Menurut mereka ajaran aneh ini bertentangan dengan ajaran para pendahulu. Lebih menghawatirkan lagi jika perdebatan mereka sampai kepada debat tentang keadilan sahabat. Saya mendapat informasi dari beberapa orang di Pasuruan, Jember dan Bondowoso, kalangan Sunni merasa gerah dengan ajaran Syi’ah yang merendah-rendahkan sahabat Abu Bakar, Umar dan ‘Aisyah istri Rasulullah SAW. Sebelum isu bentrok Syi’ah merebak, ada pengikut Syi’ah yang terang-terangan mengucapkan penistaan. Bahkan penistaan blak-blakan ditulis aktivis Syi’ah di jejaring sosial.

Pengikut Syi’ah memang ada yang terang-terangan ada pula yang mengajarkan secara tertutup untuk kalangan mereka sendiri. Ragam respon penganut Syi’ah itu juga dipengaruhi oleh tingkat pemahaman mereka terhadap doktrin kemutlakan imamah.


Model penghayatan terhadap akidah imamah yang bertingkat-tingkat itu melahirkan model perilaku pengikut Syi’ah yang berbeda pula. Selain itu pola adaptasi Syi’ah di tengah mayoritas Sunni juga mempengaruhi perilaku pengikut Syi’ah Imamiyah. Umumnya, Syi’ah enggan berterus terang kepada kelompok lain, kecuali kepada sesama ikhwan Syi’ah.

Seperti dalam kesimpulan Prof. Dr. Mohammad Baharun dalam penelitian Syi’ah di Jawa Timur,  bahwa lahirnya tipe-tipe Syi’ah itu tergantung seberapa banyak mereka menyerap doktrin imamah yang diajarkan. 

Ada tiga tipe yang ditemukan Prof. Baharun:

1. Syi’ah ideologis. Jama’ah Syi’ah imamah ini dididik secara sistematis, intens, serius melalui program kaderisasi. Ada yang dikader melalui pesantren ada pula di lembaga pendidikan formal. Materi-materinya meliputi mantiq, filsafat dan akidah-akidah penopang seperti konsep imamah. Kader ini ini biasanya menjadi pengikut yang militant yang tidak saja memahami teologi namun sekaligus ideology yang bersumber dari imamah. Banyak dari kader tipe ini yang disekolahkan ke pusat Syi’ah di kota Qom Iran.


2. Syi’ah “Su-Si”. Jama’ah Syi’ah model ini diperkenalkan melalui pengajian dan selebaran. Sasarannya biasanya para santri di pondok pesantren. Ada pula yang semula bersimpatik kepada Syi’ah. Model pendekatannya tidak terlalu intensif bahkan kadang setengah-setengah. Rata-rata mereka tidak memahami referensi-referensi penting Syi’ah. Pemahamannya setengah-setengah. Saya pernah menjumpai tipe ini di sebuah daerah di Pasuruan. Orang tersebut mengaku Sunni, akan tetapi ia juga mengikuti ritual-ritual yang diadakan oleh Syi’ah, seperti karbala, menghormati para dua belas Imam, dan mengkultuskan Khomeini. Ketika shalat orang itu mengikuti cara ala Sunni. “Syi’ah sama saja, yang berbeda kulitnya. Maka saya ambil yang sekiranya baik dari Syi’ah dan Sunni”, begitu alasan tipe Su-Si. Namun tetap orang tersebut mengimani dua belas Imam sebagai pemimpin pengganti Nabi SAW. Ada pula tipe ini adalah calon kader militan. Seperti sebuah tahapan untuk meningkat ke jenjang berikutnya.


3. Syi’ah Simpatisan. Biasanya mereka pemuda yang gemar pemikiran filsafat Syi’ah. Jama’ah ini mengenal Syiah imamah melalui buku-buku, seminar yang diadakan di kampus-kampus dan pendekatan individual. Mereka juga mengagumi Revolusi Iran yang dipelopori Khomeini tahun 1979. Mereka memahami pemikiran aja. Mereka juga disebut Syi’ah pemikiran. Mereka bersifat lebih adaptif dengan Sunni tapi mereka elaboratif dalam memahami Syi’ah dua belas.

Syi’ah Imamiyah di Indonesia khususnya di Jawa Timur pada dasarnya memiliki rujukan-rujukan yang sama. Yang berbeda itu tingkat memahami rujukan-rujukan tersebut. Boleh jadi Syi’ah Simpatisan atau Syi’ah ‘Su-Si’ meningkat menjadi Syi’ah Ideologis, setelah mereka memahami dan memasuki kader intensif.

Syi’ah Ideologis yang militan pun bisa sangat adaptif, meski keyakinannya termasuk fundamental. Alasannya mereka itu untuk berdakwah lebih dekat dengan Sunni, sebagai sebuah strategi merekrut anggota.

Pola adaptif di tengah mayoritas Sunni di Indonesia dipraktikkan sejak awal dari strategi seoranttokoh senior Syi’ah di kota Bangil Pasuruan. 
Majalah AULA – majalah milik Nahdlatul Ulama– pada edisi November 1993 pernah menurunkan berita tentang strategi Syi’ah berdakwah di Indonesia. AULA mengutip sebuah surat rahasia dari seorang di Iran. Berikut sebagaian isi surat tersebut:

“Saya ucapkan terima kasih kepada tuan atas usulan yang benar terhadap saya dan sudah lama menjadi pemikiran saya. Yaitu sejak kemenangan Imam atas Syi’ah. Walaupun saya tangguhkan hal itu, namun saya tidak ragu sedikitpun tentang kebenaran Ahlul Bait dan bukan karena takut kepada orang-orang atau jika saya tinggalkan taqiyah maka bukan supaya dipuji orang-orang. Sama sekali tidak! Akan tetapi saya sekarang mempertimbangkan situasi disekitar saya. Fanatisme Sunni secara umum masih kuat. Untuk mendekatkan mereka (kaum Sunni), saya ingin nampak dengan membuka kedok, kemudian membela serangan ulama mereka yang Nawasib (anti Syi’ah) mereka akan mengatakan: Syi’i membela Syi’ah. Saya telah berhasil merangkul sejumlah ulama mereka yang lumayan banyaknya, sehingga mereka memahami jutaan madzhab Ahlul Bait atas lainnya. Saya anggap ini sebagai kemajuan dalam langkah-langkah perjuangan kita”.

Surat ini juga sempat menjadi berita heboh di Pasuruan dan membuka pikiran sejumlah orang. Banyak yang kemudian menyadari bahwa selama ini akidah Syi’ah diajarkan secara sembunyi-sembunyi. Beberapa ulama’ kemudian tertarik untuk mempelajari kitab-kitab rujukan Syi’ah yang asli, terutama kitab al-Kafi. Dari pendekatan pustaka ini banyak yang sudah mengenal apa dan bagaimana Syi’ah di Indonesia.


Memang mengkaji Syi’ah secara proprosional haruslah dengan mendekati kepada litelatur-litelatur yang diajarkan oleh Syi’ah di Indonesia. Mengkaji Syi’ah dari pernyataan tokoh-tokoh Indonesia dipastikan tidak mampu mendapatkan hakikat yang sebenarnya. Sebab, mereka mengamalkan doktrin taqiyyah (pura-pura/menyembunyikan keyakinan) untuk mengelabuhi mayoritas sunni. Yang tepat, mempelajari kitab-kitab yang menjadi rujukan mereka. Tanpa itu, pengetahuan kita tentang Syi’ah remang-remang dan kabur. [voa-islam.com]

Kutipan :
Oleh: Kholili Hasib, M.A
Alumnus Program Pasca Sarjana Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor Ponorogo
Sabtu, 07 Jan 2012

Syekh Umar Bakri Muhammad jelaskan kesesatan Syi’ah Rafidhoh

 
Syekh Umar Bakri Muhammad

Syekh Umar Bakri Muhammad, dalam bukunya Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Keimanan, Sifat, dan Kualitasnya (Gema Insani, Jakarta 2005) menjelaskan perbedaan antara Ahlus Sunnah dengan Ahlus Syi’ah. Dalam bukunya yang lain, Islam Standar, Melacak Jejak Salafusshaleh (Cicero, Jakarta, 2010), beliau juga menjelaskan pandangan ulama terhadap Syi’ah Rafidhoh. Berikut penjelasannya.

Siapakah Syi’ah Rafidhoh?
Dalam penggunaan di bidang politik, sunnah atau Ahlus Sunnah berarti sekelompok masyarakat (komunitas) yang berlawanan dengan Syi’ah (kita tidak bicara tentang Syi’ah di masa Imam Ali r.a., mereka dari kalangan Ahlus Sunnah. Kita bicara tentang kelompok Syi’ah Rafidhoh yang ada sekarang ini). Sehingga ketika dikatakan Ahlus Sunnah, kita mengartikannya seseorang yang percaya bahwa khalifah pertama adalah Abu Bakar, kemudian Umar, Utsman, dan Ali r.a. Sedangkan kelompok Syi’ah Rafidhoh berbicara tentang 12 imam dan pengetahuan mereka tentang hal gaib serta kesempurnaan mereka.
Untuk alasan persoalan ini, sesungguhnya ada persoalan yang sangat penting yang membedakan antara Ahlus Sunnah dan Syi’ah Rafidhoh selain keduanya berada dalam jalan yang berbeda. Lalu siapakah yang dimaksud dengan golongan Syi’ah Rafidhoh?

Syekh Umar Bakri menjelaskan hakikat Syiah Rafidhoh secara terperinci di dalam bukunya Ahlus Sunnah wal Jama’ah di halaman 73. Menurut beliau, As Syi’ah Ar –Raafidiyah dewasa ini dikenal juga dengan nama kaum Ja’fari, Imamiyah, dan Istna Asy’ariyyah (imam 12), yang tidak sama dengan kaum Syi’ah di masa Imam Ali. Mereka sesungguhnya mengikuti ide dan ajaran seseorang bernama Abdullah bin Saba.
Abdullah bin Saba adalah seorang Yahudi dari San’a di Yaman. Ibunya bernama Sauda. 

Abdul Hasan Asy’ari member komentar tentang Abdullah bin Saba:
“Abdullah bin Saba adalah seorang Yahudi. Dia menyimpan kemarahan yang hebat di hatinya terhadap keyakinan baru (Islam) yang menghancurkan dominasi kaum Yahudi dan kekuasaan terhadap kaum Arab di Madinah dan Hijaz. Dia memeluk Islam pada masa khalifah Utsman. Dia berpergian ke kota-kota seperti Hijaz, Basra, Kufah, dan Syria. Ke manapun dia pergi dia akan mencoba sebisa mungkin untuk meminta pandangan setengah penduduk kota tersebut. Akan tetapi, dia tidak dapat mewujudkan maksud baiknya.

Kemudian dia pergi ke Mesir dan menetap di sana. Dia mulai berjuang untuk merendahkan dan mengejek keyakinan masyarakat dengan mempercantik rencana jahatnya menjadi sesuatu yang elegan dan kenyataan yang bagus. Dia mendapati bahwa iklim opini di Mesir sangat menyenangkan untuk mewujudkan maksud jahatnya. Dia membuat jalan bagi kelancaran rencananya dengan pernyataannya, “Aku sungguh terkejut dengan sifat kalian. Kalian menyatakan tentang kebangkitan Kristus anak laki-laki Maryam ke dunia. Akan tetapi kalian mengingkari kebangkitan Muhammad ke dunia ini!”

Dia terus menghujamkan pendapatnya ke benak masyarakat, sehingga beberapa minggu kemudian orang-orang terperangkap pendapatnya dan mulai percaya bahwa Rasulullah akan bangkit kembali. Penyakit kedua yang dia sebarkan adalah bahwa masing-masing rasul punya seorang pelaksana yang menjalankan keinginannya. Dia akan mengatakan ‘Hai orang-orang, Ustman merebut kekuasaan dari Ali dan menyiksanya. Oleh karena itu, bangkitlah untuk berjuang dan mengembalikan pemerintahan kepada yang berhak. Kritiklah penguasa kalian dan ingkari apa yang mereka katakan dan yang mereka bangun. Dengan jalan ini kalian akan memenangkan hati masyarakat. Ibnu Saba juga mengorganisasi s ebuah brigade yang terdiri dari teman-teman dan sahabatnya untuk menyebarkan faham Mu’tazilah yang dia anut ke beberapa kota. Mereka saling berhubungan lewat surat untuk memantau perkembangan opini publik dan rencana jahat mereka yang pada akhirnya menuntut hidup khilafah sebelum pemilik halaman-halaman Kitabullah tergeletak di saat syahidnya.”

Waspada kepada Syi’ah Rafidhoh!
Syekh Umar Bakri menjelaskan dalam bukunya Ahlus Sunnah wal Jama’ah bahwa tidaklah cukup tempat dalam buku ini untuk memaparkan akidah kelompok yang menyimpang ini. Akan tetapi, untuk tujuan menjawab perselisihan di antara umat karena kelompok muslim Sunni ingin mengadakan rekonsiliasi dengan kelompok Syi’ah, kami menyarankan agar berhati-hati dan mengingat bahwa 
Allah SWT., berfirman,
 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang tersembunyi di hati mereka lebih jahat. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu mengerti.” (QS Ali Imran : 118)

Juga firman Allah SWT.,
 “Jika (mereka berangkat bersamamu), niscaya mereka tidak akan menambah (kekuatan)mu, malah hanya akan membuat kekacauan, dan mereka tentu bergegas maju ke depan di celah-celah barisanmu untuk mengadakan kekacauan (di barisanmu) ; sedang di antara kamu ada orang-orang yang sangat suka mendengarkan (perkataan) mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang dzalim.” (QS At Taubah : 47)

Syekh Umar Bakri mengakhiri penjelasan tentang Syi’ah Rafidhah dengan mencuplik ulama Syi’ah yang terkenal dan masyhur, Nimatullah al-Jazairi, yang menulis dalam kitabnya “al Anwar an-Nimaniyyah,
“Kami tidak bersepakat dengan mereka (as-Sunnah) tentang Allah, Rasul, atau para Imam, karena mereka berkata, “Tuhan mereka mengutus Muhammad SAW., sebagai seorang Rasul dan penggantinya adalah Abu Bakar.” Sementara kita, kaum Syi’ah, tidak meyakini terhadap Tuhan yang mengirim pengganti dari Rasul-Nya yaitu Abu Bakar. Tuhan itu bukanlah Tuhan kami dan Rasul-Nya bukan Rasul kami.”

Pandangan ulama terhadap Syi’ah Rafidhoh
Di dalam bukunya yang lain, Islam Standar, Melacak Jejak Salafusshaleh (Cicero, Jakarta, 2010), Syekh Umar Bakri Muhammad menjelaskan pandangan ulama terhadap Syi’ah Rafidhoh, yakni di halaman 100.
Pertama kali diawali oleh peristiwa yang sempat menarik perhatian, yaitu dari Muhammad Yusuf bin Yusuf yang berada di Kuffah. Ketika Muhammad Yusuf melihat sekelompok orang menghina sahabat, dia memerintahkan sekelompok orang tersebut untuk dibunuh. Ketika dia ditanya tentang seseorang yang menghina Abu Bakar r.a., dia menjawab agar tidak menshalatkan (shalat jenazah) orang tersebut dan tidak menyentuh jenazah penghina sahabat dengan tangan, melainkan mendorongnya dengan kayu hingga masuk ke dalam liang kubur.

Ketika ditanya tentang Syi’ah Rafidhoh, 
Imam Malik berpendapat, “Jangan berbicara kepada mereka atau meriwayatkan dari mereka, sungguh mereka adalah pembohong.”

Dalam satu kesempatan 
Imam Syafi’i berkomentar tentang Syi’ah, “Saya tidak melihat di antara golongan ahli bid’ah yang lebih terkenal kedustaannya melebihi golongan Syi’ah Rafidhoh.”
Dalam kesempatan yang lain dia berkata, “Riwayatkan ilmu yang kamu jumpai dari siapa pun kecuali dari Syi’ah Rafidhoh, sebab mereka membuat hadits-hadits palsu dan menjadikannya sebagai bagian dari agama mereka.”

Disebutkan bahwa  
Ahmad bin Yunus berkata, “Jika seseorang Yahudi menyembelih seekor domba dan seorang dari golongan Rafidhoh menyembelih seekor domba, maka aku akan makan daging hasil sembelihan dari orang Yahudi sebab Rafidhoh adalah orang yang telah keluar dari Islam (murtad).”
Demikian juga, 
Imam Abu Bakar bin Haani memutuskan haram atas kaum Muslimin untuk memakan daging hasil sembelihan dari golongan Rafidhoh dan Mu’tazilah karena mereka telah kafir, tapi seseorang dapat makan daging dari orang-orang ahli kitab (sepanjang daging tersebut disembelih). Telah disebutkan bahwa Abdullah bin Idris berkata, “Golongan Rafidhoh (Syi’ah) tidak akan memiliki pembenaran dari perantara pada hari pengadilan nanti.”

Disumberkan dari Fudail bin Marzouk bahwa pertama kali dia mendengar dari hasan Ibnu Hassan berkata kepada seorang laki-laki dari golongan Rafidhoh, “Demi Allah, membunuhmu adalah suatu perbuatan/amal yang baik, yang maka aku beribadah kepada Allah dengannya! Hanya saja aku tidak melakukannya karena kamu adalah tetangga dekatku.”

Dalam sumber yang lain, percakapan itu berlanjut dan tetangganya merespon, “Semoga Allah memberkahimu. Aku tahu bahwa kamu sedang bergurau.” Hassan bin Hassan menimpali, “Aku tidak sedang bergurau! Demi Allah, jika Allah memberikan kekuasaan kepada kami, maka kami akan memotong tangan dan kakimu karena keingkaranmu pada petunjuk (Islam).”
Wallahu’alam bis showab!

Kutipan :
(M Fachry/almuhajirun.net/arrahmah.com)
Ahad, 14 Safar 1433 H / 8 Januari 2012