Laman

Minggu, 20 Januari 2013

Komnas HAM Nyatakan Densus 88 Melanggar HAM, Polri pun Berkilah

JAKARTA - Ada pernyataan yang cukup mencengangkan dari Karopenmas, Brigjen Pol. Boy Rafli Amar saat merespon hasil evaluasi Komnas HAM. Ketika itu Komnas HAM mendesak pemerintah mengevaluasi kinerja Densus dalam operasi di Poso akhir-akhir ini. 

Komnas menilai Densus melakukan tindakan pelanggaran HAM dengan menggunakan kekerasan dan tidak menghargai HAM, baik terhadap masyarakat atau terduga teroris itu sendiri.

"Dalam penanganan tindak pidana terorisme, terdapat dugaan kuat penembakan mati secara tidak prosedural terhadap tersangka teroris serta kekerasan terhadap sejumlah korban salah tangkap," kata Ketua Tim Penanganan Tindak Terorisme Poso, Siane Indriani, dalam siaran pers seperti dikutip detik, Selasa (15/1/2013).

Polri pun berkilah dan balik menuding teroris pun melanggar HAM. "Kita menghormati hasil evaluasi tersebut, tapi teroris yang membunuh orang juga melanggar HAM," kata Karopenmas Polri Brigjen Pol Boy Rafli Amar, Selasa (15/1/2013).

Menanggapi hal tersebut, aktivis kemanusiaan, Dr. Joserizal Jurnalis, SpOT mengungkapkan bahwa pernyataan Boy Rafli Amar itu amat tidak tepat.
“Posisi Polri dengan teroris sangat jauh berbeda. Polri adalah alat negara yang bekerja dengan aturan negara. Fungsinya adalah penegak hukum bukan untuk berperang. Kalau menegakkan hukum tidak boleh melanggar hukum, bahkan dalam berperang pun ada aturannya seperti tidak boleh menyiksa tawanan, membunuh masyarakat sipil yang tidak bersenjata atau ikut perang. Jadi pendapat pak Boy Rafli Amar sangat tidak tepat,” kata Joserizal kepada voa-islam.com, Selasa (15/1/2013).

Ia pun mempertanyakan kinerja polisi dalam hal ini Densus 88 yang telah menembak mati seseorang namun tak tahu identitasnya.
“Persoalan berikutnya adalah apakah orang yang ditembak sampai terbunuh, benar-benar teroris atau tidak? Kenapa sampai timbul pertanyaan demikian? Karena polisi kadang tidak tahu identitas orang yang ditembak lalu dicari identitasnya dengan tracing DNA,” ujar pendiri MER-C (Medical Emergency Rescue Committee) ini.

Sebab menurut Joserizal, identitas orang yang ditembak boleh tidak diketahui jika di medan perang, namun hal ini berbeda dengan proses penegakkan hukum.
“Identitas orang yang ditembak boleh tidak diketahui kalau hal ini terjadi di medan perang dan berada dalam posisi musuh. Kalau dalam proses penegakkan hukum tidak boleh kecuali kalau nyawa petugas terancam. Posisi terancam inilah yang harus jelas dan jangan direkayasa,” jelasnya.
 
Joserizal pun meminta agar pemerintah segera mengevaluasi Densus 88, jangan sampai pemerintah Indonesia mendapat predikat sebagai penjahat kemanusiaan.
 
source
voaislam/rabu,16jan2013 

Wawancara Eksklusif CIIA Mengungkap Kejanggalan Operasi Densus 88

JAKARTA - Direktur The Community Of Islamic Ideology Analyst (CIIA) dan pemerhati kontra terorisme Harits Abu Ulya, membeberkan sejumlah bukti dan analisa kritis terkait penindakan kasus terorisme oleh aparat kepolisian baik itu Brimob maupun Densus 88.

Dari mulai kasus salah tangkap terhadap 14 orang di Poso dan penembakan di teras masjid Nur Al Afiah, Makassar serta di Dompu dan Bima, menjadi fokus pembicaraan wawancara eksklusif voa-islam.com bersama Harits Abu Ulya, Kamis (10/1/2013). Berikut ini kutipan lengkap wawancara tersebut.

Apakah salah tangkap 14 orang di Poso itu murni salah tangkap atau pura-pura salah tangkap? Alasannya?
Saya bicara dari fakta empiriknya; 14 orang itu salah tangkap. Setelah 7x24 jam mereka diinterograsi dengan dilakban (tutup mata/kepala) disertai dengan tindak kekerasan yang sangat tidak manusiawi kemudian mereka dilepas.
Dan pihak kepolisian bisa jadi punya argumentasi yang berbeda. Tapi menurut saya bukti kekerasan dan salah tangkap ini sangat mencolok mata. Sekarang oknum masih diproses di Polda setempat, cuma hasilnya belum disampaikan secara transparan ke publik. Justru yang terlihat pihak aparat kepolisian terkesan ingin menutupi kasus ini, dengan dalih yang tidak logis.

Misalkan mereka masih butuh saksi lengkap sejumlah 14 orang yang mengaku ditangkap dan disiksa. Apakah tidak cukup dengan 9 atau sepuluh orang yang babak belur menjadi bukti adanya tindak pidana yang sangat serius oleh aparat (oknum)?

Dan lebih anehnya lagi, ketika mereka di introgasi dengan mata tertutup  dan menerima kekerasan fisik yang tidak manusiawi tersebut dianggap tidak bisa menunjukkan orang-perorang yang melakukan penganiayaan.
Ya jelas saja, tapi naïf kalau alasan ini dibuat kemudian pihak Polda tidak mampu memproses, kecuali memang aparat itu bukanlah penegak hukum melainkan gerombolan penjahat yang terorganisir.
Artinya proses operasi aparat dengan alasan memburu “teroris” kan semua ada kontrol dan komandan, provost bisa teliti dan saya rasa tidak sulit untuk menemukan siapa saja yang terlibat tindakan tidak manusiawi ini. Jadi ini bukan kasus pura-pura salah tangkap, ini kasus serius yang kesekian kalinya dalam drama kontra terorisme.

Ekstra Judicial Killing yang dilakukan di Makassar, Dompu dan Bima serta kasus sebelumnya di Poso itu karena korban menyerang atau Densus 88 paranoid?
Hampir semua cerita itu dari satu sumber, yakni pihak kepolisian (Densus 88). Setiap paska operasi kemudian tim Densus 88 membuat laporan dan laporan ini yang dijadikan acuan pihak Mabes melalui humasnya untuk menyampaikan kronologi dan sebagainya. Tidak ada informasi pembanding atau sangat minim munculnya informasi penyeimbang yang bisa menjelaskan kebenaran obyektif apa yang terjadi dilapangan.

Kasus di Poso, Kholid dieksekusi tanpa perlawanan sepulang solat subuh. Dan semua saksi melihat kejadiannya seperti itu. Kasus di Makassar juga sama, dua guru tahfizh Qur’an masjid Ar Ridla Sudiang Makassar di eksekusi paska shalat dhuha di teras masjid Nur Al Afiah RS Wahidin Makassar.
Saksi mata banyak menuturkan tidak ada baku tembak. Yang ada adalah 2 orang ditembak oleh aparat Densus 88 tanpa perlawanan. Dan yang penting, masalah BB (barang bukti) adanya pistol dan sebuah granat nanas kebenaranya tidak bisa lagi secara obyektif dibuktikan. Karenanya pemiliknya juga sudah meninggal.
Bukan tidak mungkin bahwa BB tersebut adalah direkayasa (diadakan oleh Densus 88). Seperti halnya sejauh mana kebenaran tuduhan bahwa mereka “teroris” dan terlibat aksi di Pos? Semua jadi kabur karena orang yang dituduh sudah meninggal.

Bahkan jikapun benar mereka terlibat, maka sejauh mana level keterlibatan mereka tidak bisa juga diverifikasi. Namun faktanya tetap saja mereka tewas dibawah undang-undang “Terduga Teroris”.
Yang Dompu juga demikian, sekarang musim berkebun di bukit atau gunung. Mereka yang dieksekusi bukan turun gunung setelah latihan, tapi mereka berkebun. Yang lebih dahsyat adalah dari 5 orang yang tewas, 2 orang belum jelas identitasnya.

Jadi logika sehatnya; bagaimana bisa Densus 88 bunuh orang dengan alasan terduga teroris, sementara kenal saja tidak. Sampai mereka tewas pun juga belum jelas identitasnya siapa merek?
Sangat naïf sekali dan ini kedzaliman yang luar biasa.Orang bisa di bunuh kapan saja, baik kenal atau tidak asal ada alasan terduga teroris. Ini menunjukkan kegagalan operasi intelijen Densus 88 dilapangan.

Densus 88/Brimob sering sekali salah tangkap dan melakukan ekstra Judicial killing tetapi tidak pernah dihukum. Mengapa?
Mereka jumawa karena merasa mendapatkan mandat UU dan dukungan luas baik masyarakat maupun negara Barat (Amerika CS). Mereka merasa diatas angin, ada dalam sebuah arus besar yang tidak ada yang bisa membendung atau menghentikan.

Dan yang paling penting ini karena persoalan politik, bukan murni bicara tentang sebuah tindakan kejahatan (crime). Terorisme adalah sebuah “crime” dengan definisi dan kepentingan politik dari negara yang mengusungnya.
 
Dan orang-orang yang terzalimi tidak punya daya, terpuruk dalam ketidak adilan hukum yang secara politik dan sosial tidak berempati kepada dirinya. Saya tetap optimis, kejahatan Densus 88 tetap saja akan menemukan garis demarkasinya. Dan tidak ada kejahatan kecuali ada balasan dan catatannya. Wallahu a’alam
 
source
vpaislam/sabtu,12jan2013 

Operasi Intelijen Gagal, Densus 88 Salah Sasaran

JAKARTA - Pemerhati kontra-terorisme, Harits Abu Ulya menyatakan jika Densus 88 telah salah sasaran dalam penindakan kasus terorisme di sejumlah tempat, seperti Makassar, Dompu dan Bima.
Menurutnya, operasi Densus 88 yang berujung pada penembakan 7 orang di beberapa daerah tersebut adalah bentuk kegagalan operasi Intelijen.

“Densus 88 sangat mungkin salah tembak orang, ini salah satu bentuk kegagalan operasi intelijen aparat plus kecerobohan tindakan aparat dilapangan. Seorang Bahtiar Abdullah hanyalah seorang penjual ayam dan krupuk dan dalam 6 tahun terakhir tidak pernah keluar pulau apalagi Poso,” kata Direktur The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), kepada voa-islam.com, Senin (14/1/2013).
...Densus 88 sangat mungkin salah tembak orang, ini salah satu bentuk kegagalan operasi intelijen aparat plus kecerobohan tindakan aparat dilapangan
Ia pun sepakat dengan temuan investigasi lapangan Tim Pencari Fakta dan Rehabilitasi (TPFR) Bima yang mengungkapkan bahwa Bahtiar Abdullah yang ditembak mati Densus 88 pada Sabtu (5/1/2013) tidak pernah pergi ke Poso.

Lebih lanjut, Harit melihat aparat Densus 88 telah bertindak konyol dan over acting dengan menembak mati orang yang katanya terduga teroris tapi justru tak diketahui identitasnya.
“Kegagalan indentifikasi aparat atas obyek atau target sasaran oleh aparat Densus bukan kali ini saja terjadi, dua orang lain yang tewas di Bima, aparat juga belum tahu identitas mereka siapa. Artinya, aparat sendiri tidak tahu siapa yang ditembak. Apakah benar mereka ‘teroris’ atau tidak? jadi ini sangat konyol. Bagaimana bisa seorang dieksekusi dengan alasan mereka terduga teroris padahal tidak tahu persis siapa mereka, dan ini bukti Densus kurang profesional dan over acting,” paparnya.
...aparat juga belum tahu identitas mereka siapa. Artinya, aparat sendiri tidak tahu siapa yang ditembak. Apakah benar mereka ‘teroris’ atau tidak? jadi ini sangat konyol
Kemudian, mengenai barang bukti berupa sejumlah bahan peledak yang dirilis aparat, kata Harits semua itu diduga sebagai rekayasa aparat sendiri.
“Masalah barang bukti yang dirilis aparat dan dipublish media massa dan elektronik tampak adanya inkonsistensi data. Itu merupakan indikasi bahwa barang bukti tersebut dugaan saya adalah rekayasa. Mereka yang diduga terlibat aksi kekerasan di Poso kemudian mereka turun gunung keluar meninggalkan Poso via Makassar dengan jalur laut atau kapal dengan membawa bahan peledak atau bom itu sangat naif dan bodoh sekali jika itu benar,” jelasnya.
...Itu merupakan indikasi bahwa barang bukti tersebut dugaan saya adalah rekayasa
Ia menegaskan bahwa sejumlah barang bukti yang diduga rekayasa aparat tersebut hanya untuk melegitimasi perburuan orang-orang yang dicap teroris di Bima dan sekitarnya.
Di sisi lain, Harits mensinyalir jika orang-orang yang lari ke Bima dari Poso tidaklah banyak dan aparat juga sedikit banyak sudah tahu karena telah memantau pergerakan mereka.
 
source
voaislam/senin,14jan2013