Laman

Minggu, 29 April 2012

Pendidikan Agama Islam Dinilai Gagal Bentuk Karakter Siswa

JAKARTA  – Jam mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) yang hanya seminggu sekali dinilai kurang untuk membentuk karakter siswa. Itulah sebabnya Pendidikan Karakter dimasukkan ke dalam semua mata pelajaran. Namun demikian, Maarif Institute menilai Pendidikan Agama Islam (PAI) dan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) kurang berkontribusi terhadap proses penguatan karakter bangsa pada peserta didik.

Menurut Maarif Institute,  salah satu persoalan sosial yang melatar belakangi agenda pendidikan karakter adalah rendahnya wawasan kebangsaan, tumbuh suburnya budaya kekerasan, dan meningkatnya gejala fundamentalisme agama di lingkungan sekolah.

Dalam penelitian Maarif Institute di 50 SMAN di empat kota (Pandeglang, Cianjur, Yogjakarta, dan Surakarta) pada akhir tahun 2011 mendapati Pendidikan Agama Islam (PAI) dan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) kurang berkontribusi terhadap proses penguatan karakter bangsa pada peserta didik. Ada gejala kuat bahwa semangat dan identitas nasionalisme di bawah bayang-bayang identitas dan fanatisme keagamaan.

Dalam kaitan itu, kehadiran materi pengayaan pendidikan karakter untuk mata pelajaran PAI, menurut Maarif Institute, merupakan salah satu jawaban terhadap tantangan wacana pendidikan karakter tersebut.
Materi pengayaan ini merupakan bagian tak terpisahkan dari “Program Pendidikan Karakter: Mengarusutamakan Nilai-nilai Toleransi, Anti Kekerasan, dan Inklusivitas”. 
Program ini difasilitasi oleh Maarif Institute atas dukungan Kemendikbud, Dina Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga Kota Surakarta, Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta, Dinas Pendidikan Kabupaten Cianjur, dan Dinas Pendidikan Kabupaten Pandeglang.

Definisi Pendidikan Karakter
Pada peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun 2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan pendidikan karakter. Kemendiknas – kini Kemendikbud – berkomitmen untuk menerapkan pendidikan karakter secara integratif pada semua mata pelajaran mulai tahun ajaran 2011-2012. Melalui pendidikan karakter, pemerintah berkepentingan untuk mencetak peserta didik yang berakhlak mulia, jujur, kreatif, demokratis dan bertanggungjawab.

Mendiknas Muhammad Nuh mengingatkan agar proses pendidikan karakter di sekolah harus menyentuh nilai-nilai ketuhanan, keelmuan, kebangsaan, dan anti kekerasan. Pihak Kementerian melalui Pusat Kurikulum dan Perbukuan telah melakukan pilot project pendidikan karakter di beberapa provinsi.
Beberapa lembaga non pemerintah juga turut berperan dalam mengkampanyekan wacana dan praktek pendidikan karakter seperti yang dilakukan oleh Heritage Foudation, Yayasan Jati Diri Bangsa, dan Sekolah Plus Muthahari, Bandung.

Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa (2010), Kemendikbud telah memberikan penjelasan beberapa kata kunci guna memahami tujuan pendidikan karakter bangsa.
  • Karakter adalah nilai yang khas-baik (tahu nilai kebaikan, mau berbuat baik, nyata berkehidupan baik, dan berdampak baik terhadap lingkungan) yang terpatri dalam diri dan terjewantahkan dalam perilaku.
  • Karakter bangsa adalah kualitas perilaku kolektif kebangsaan yang khas-baik yang tercermin dalam kesadaran, pemahaman, rasa karsa, dan perilaku berbangsa dan bernegara sebagai hasil dari olah pikir, olah hati, olah rasa dan karsa, serta olah raga seseorang atau sekelompok orang.
  • Pendidikan karakter adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana serta proses pemberdayaan potensi dan pembudayaan peserta didik guna membangun karakter pribadi dan atau kelompok yang unik-baik sebagai warga negara.
  • Pendidikan karakter tidak semata mengajarkan mana yang baik dan mana yang salah, namun yang terpenting adalah menanamkan kebiasaan tentang mana yang baik, shingga peserta didik menjadi paham (kognitif) mana yang baik dan tidak, mampu merasakan (afektif) nilai yang baik, dan biasa melakukannya (psikomotorik).
  • Pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah dilakukan secara integratif pada 3 ranah, yaitu kegiatan belajhar mengajar (KBM) pada setiap mata pelajaran, budaya sekolah dalam kehidupan di satuan pendidikan, dan kegiatan ekstra kurikuler.
  • Nilai-nilai karakter yang perlu ditanamkan kepada peserta didik adalah nilai universal yang dijunjung tinggi oleh seluruh agama, tradisi, dan budaya. Nilai-nilai ini harus dapat menjadi perekat bagi seluruh anggota masyarakat walaupun berbeda latar berlakang budaya, suku dan agama.
Berdasarkan rumusan Kemendikbud (2010), ada 18 nilai-nilai yang menjadi pilar pendidikan budaya dan karakter bangsa, yaitu: religius, toleransi, cinta damai, bersahabat/komunikatif, demokratis, jujur, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, rasa ingin tahu, gemar membaca, menghargai prestasi, peduli lingkungan, peduli social, semangat kebangsaan, cinta tanah air, dan bertanggungjawab.

Buku Materi Pengayaan Pendidikan Karakter yang disusun tim Maarif Institute, memiliki tematik berdasarkan penerjemahan terhadap kurikulum PAI dalam korelasinya dengan penguatan nilai-nilai terhadap: toleransi, anti kekerasan, dan inklusif/keterbukaan.

Istilah inklusif  biasa dipakai dalam kajian-kajian keislaman dan hubungan antar agama seperti yang dipopolerkan, salahsatunya oleh Alwi Shihab. Adapun karakter inklusif yang ingin dituju buku ini adalah kesediaan peserta didik untuk membuka diri terhadap hal-hal baru yang positif, keaktifan untuk berdialog dengan pihak lain guna mencari kebenaran dan kemaslahatan bersama, dan menenggang kelompok lain untuk menjalankan kewajiban sesuai keyakinan dan agamanya. 


Kutipan :
Desastian / VoA-Islam
Ahad, 29 Apr 2012

Laksanakan Proyek Asing Narcoterrorism, BNPT Pengkhianat Bangsa!

JAKARTA – Propanda narcoterrorism yang dilancarkan Kepala BNPT, Ansyaad Mbai ternyata turut membuat membuat aktivis kemanusiaan, Joserizal Jurnalis geram.

Ia menyatakan bahwa propaganda narcoterrorism yang dilancarkan BNPT tersebut adalah proyek asing. Dengan demikian BNPT telah mengkhianati bangsa ini karena telah menjalankan proyek asing.
“BNPT kurang kerjaan, melaksanakan proyek asing, pengkhianat bangsa!” tegas pendiri organisasi kemanusiaan Mer-C (Medical Emergency Rescue Committe), kepada voa-islam.com, Kamis (26/4/2012).

Ia juga mengungkapkan BNPT turut bertanggung jawab atas proyek adu domba antar umat Islam dan ia mensinyalir adanya pengiriman mahasiswa ke luar negeri dengan biaya gratis sebagai bagian proyek tersebut.
“BNPT juga bertanggung jawab mengadu domba umat Islam diantaranya dengan proyek-proyek pengiriman mahasiswa ke luar negeri,” ungkap alumnus Fakultas Kedokteran UI tersebut.

Selain itu Joserizal juga menyoroti aksi pembunuhan oleh Densus 88 yang tak terbendung seperti di Bali dan Tangerang Selatan baru-baru ini. Menurutnya penanganan terorisme yang dilakukan Densus 88 telah melanggar semua hukum; baik hukum postif apalagi hukum Islam.
“Apa yang dilakukan oleh perang melawan teror itu melanggar semua hukum; asas praduga tak bersalah,” tuturnya.

Relawan kemanusiaan yang sering keluar-masuk daerah konflik ini juga menyampaikan bahwa, para mujahidin yang ditangkap dan dibunuh itulah yang dulu sebenarnya telah berjasa menyelamatkan Maluku dari RMS.
“Saya sudah bilang dulu dengan pak Sutanto (mantan Kapolri) bahwa proyek ini adalah adu domba anak bangsa. Padahal yang menyelamatkan Maluku dari perpecahan, dicaplok oleh masyarakat yang menginginkan Maluku berpisah dari NKRI (RMS) adalah mereka-mereka itu (mujahidin). Saya saksi hidupnya karena saya bersama mereka di lapangan!” pungkasnya.  


Kutipan :
Ahmed Widad / VoA-Islam
Jum'at, 27 Apr 2012

Dewan Masjid Indonesia Tidak Boleh Jadi Corong Propaganda Syiah

JAKARTA  Beberapa kali segelintir oknum DMI bertindak sendiri dalam menjalankan programnya, tanpa arahan dan koordinaasi Ketua Umum DMI. Oknum DMI yang “bermain” di badan-badan otonom dan kerap membantu penyebaran propaganda Syiah tersebut harus ditindak tegas, sehingga tidak menodai perjuangan organsiasi.

 Seperti diketahui, DMI yang berasaskan Islam itu harus steril dari paham Syiah dan sempalan-sempalan keagamaan lainnya. Mengingat DMI punya tanggungjawab besar dalam membina akidah dan moral umat. Masjid yang seharusnya menjadi basis DMI, seyogianya membentengi umat dari paham-paham aliran keagamaan yang menyesatkan.

Seperti diberitakan sebelumnya, oknum di kepengurusan Pimpinan Pusat Dewan Masjid Indonesia (PP DMI) pernah pernah mendeklarasikan Muhsin (Majelis Ukhuwah Sunni-Syiah Indonesia) yang berlangsung di Masjid Akbar, Kemayoran, Jakarta, Jum'at (20 Mei 2011) lalu.

Ketua Majelis Ukhuwah Sunni-Syiah Indonesia (Muhsin) Daud Poliraja saat menjadi narasumber Seminar Internasional Syiah di Jakarta (11/2) pernah menyebut Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI) KH. Tarmidzi Taher belum insaf saat ia diklarifikasi soal dibentuknya Muhsin.
 “Saya diminta klarifikasi oleh Pimpinan Pusat DMI. Saya sudah jelaskan, tapi ternyata masih ada yang belum insaf atau belum puas. Saya ditanya lagi, hai  Daud, sebetulnya apa sih madzhabmu? Sunni atau Syiah? Lalu saya jawab, madzhab saya adalah madzhab akhlakul karimah. Begitu saya jawab seperti itu, Pimpinan Pusat DMI tidak bisa menjawab. Bukankah Nabi Saw diutus dengan akhlakul karimah. Dengan akhlakul karimah, banyak masalah bisa diselesaikan,” kata Daud membangkang.

Bahkan tabloid Jum’at, sebuah media internal milik DMI pernah disusupi propaganda Syiah. Wakil Pemimpin Redaksi Tabloid Jum’at H. Ramlan Marjoned yang juga aktif di DDII (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia) Pusat mendapat protes oleh kalangan aktivis Islam, sehubungan dengan isi Tabloid Jum’at yang mendukung Syi’ah.

Sekjen DMI Nasir Zubaidi yang juga anggota MUI , mengaku sudah menyurati Pemred dan Wakil Pemred Tabloid Jumat secara resmi agar tidak menjadikan Syiah sebagai corong di tabloid milik DMI. Bahkan Ketua Umum DMI KH. Tarmidzi Tahir tegas menyatakan penolakannya terhadap Syiah.

Ketua Umum DMI KH. Tarmidzi Tahir kepada Voa-Islam menegaskan, secara akidah, Sunni tidak bisa didekatkan dengan Syiah. Karena sejak awal, lahirnya syiah itu untuk melawan Sunni. Namun secara politis, bisa saja ada jalinan persahabatan antara Syiah dan Sunni.
 “Yang jelas, saya tidak merestui kegiatan deklarasi tersebut. Dan saya juga tidak ikut dan menghadiri acara itu. Bagi saya, orang boleh saja bicara ilmiah untuk membahas paham syiah dan sunni. Tapi upaya untuk menyatukannya rumit. Konflik Sunni-Syiah itu sudah ratusan tahun. Deklarasi kemarin adalah gagasan Jalaludin Rahmat, bukan DMI.  Kang Jalal berupaya untuk mendekatkan Syiah dengan Sunni Indonesia.”
Diakui Tarmizi, sejak Muhsin dideklarasi atas nama Ijabi dan PP DMI, banyak telepon berdering yang ia terima untuk mengkonfirmasi dan menanyakan langsung tentang kebenaran informasi tersebut. Bahka  ada yang protes, kenapa DMI mendukung keberadaan Syiah di Indonesia.

Menurut Tarmizi, syiah itu paham yang sangat keras. Jika melihat performance-nya yang hitam-hitam, itu simbol dari sebuah dendam. Di Iran, Islam Sunni sulit untuk membangun masjid di sana. Itu kenyataan yang tak bisa dipungkiri. “Biarlah keduanya berkembang di dunia. Dalam rangka perdamaian, tak perlu menutup jalan diplomasi dengan menggunakan pendekatan politis, bukan akidah,” jelasnya.

Tarmizi tidak mempersoalkan jika Sunni-Syiah dibahas dengan pendekatan ilmiah, tapi sulit jika dipaksakan dengan menggunakan pendekatan akidah.  “Yang membuat acara deklarasi itu kan anak muda, Daud namanya. Sejak awal, DMI tidak merestui kegiatan tersebut. Jika ada yang mengatasnamakan DMI, jelas itu menyalahi aturan organisasi. Karena itu bisa saja diberi sanksi administrasi. Bahka, bisa saya keluarkan orang itu dari keanggotaan,” tandas Tarmizi yang  membantah, jika ada anggotanya yang berpaham Syiah.

Seharusnya DMI lebih konsen terhadap persoalan kemasjidan, bukan mencampuradukkan dengan politik praktis, apalagi sampai bekerjasama dengan kelompok Syiah.  

Kutipan :
desastian / VoA-Islam
Sabtu, 28 Apr 2012

Muktamar VI DMI: Masih AdaJarak DMI dengan Organisasi Kemasjidan

JAKARTA – Selama empat hari, sejak 26-29 April 2012, Dewan Masjid Indonesia (DMI) menggelar Muktamar VI di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur. Salah satu agenda mukmatar DMI adalah pemilihan Pimpinan Pusat DMI untuk lima tahun ke depan untuk masa bakti 2011-2016.

Menurut Ketua Panitia Muktamar VII DMI, DR. H. Machfud Sidik, Muktamar merupakan pemegang kekuasaan tertinggi merupakan amanah Anggaran Dasar DMI yang dilaksanakan lima tahun sekali oleh Pimpinan Pusat DMI untuk memutuskan dan menetapkan AD/ART, Program Kerja, dan memilih Pimpinan Pusat DMI untuk lima tahun ke depan.

Terbetik kabar, ada beberapa nama yang menjadi kandidat atau calon Pimpinan DMI yang baru, diantaranya: Natsir Zubaidi, Goodwil Zubeir, bahkan Jusuf Kalla (mantan Wapres RI). Hingga berita ini diturunkan, belum diputuskan siapa Ketua Umum PP DMI yang baru.
Dikatakan Mahfud, Muktamar VI DMI seyogianya diselenggarakan pada bulan Juli 2011sesuai masa periode kepengurusan, namun mengingat satu hal, muktamar ditunda, dan baru terlaksana saat ini. Muktamar dihadiri  oleh Pimpinan Pusat, wilayah, daerah, wakil organisasi pendiri, wakil takmir masjid, badan otonom, serta para peninjau.

Ada beberapa agenda penting yang mengemuka dalam muktamar ini, antara lain: Laporan Pertanggungjawaban Ketua Umum PP DMI masa bakti 2006-2011, Launching TV Syariah DMI, dan Pemilihan Ketua UMum PP DMI Masa Bakti 2011-2016.

DMI Evaluasi Diri
Dalam Laporan pertanggungjawaban Pimpinan Pusat DMI Masa Bakti 2006-2011, yang ditandatangani oleh Ketua Umum PP DMI, KH. Dr. Tarmizi Taher dan Sekjen H. Tabrani Syabirin, Lc, MA, diakui, selama lima tahun masa bakti PP DMI 2006-2011, ada program yang ditangani dan berhasil, tetapi ada program yang tidak bisa ditangani dan gagal.

Dikatakan, PP DMI sebagai organisasi tingkat pusat berupaya semaksimal mungkin melakukan reformasi dan revitalisasi organisasi kemasjidan. “Kita tetap konsisten dan komitmen bahwa DMI adalah organisasi Kemasjidan yang berbasis masjid. Oleh karena itum pengurus DMI hendaknya memahami dan memiliki wawasan Keislaman, Kemasjidan, dan Keindonesiaan.
DMI yang memasuki usia 35 tahun (1977-2012) mengakui, tantangan dan ujian berat terkait dengan penyelematan eksistensi akidah Islamiyah yang terus terusik  dengan kehadiran berbagai ajaran sempalan di dalam Islam yang terus menyebar secara massif di berbagai daerah di Indonesia.

KH. Tarmizi Taher mengungkapkan, ada beberapa hal pokok yang perlu menjadi perhatian bersama, diantaranya: DMI tidak boleh jauh dan ada jarak dengan Organisasi Kemasjidan. DMI harus membina, menumbuhkan dan mengoptimalkan peran serta masjid dalam mewujudkan persatuan umat Islam Indonesia. Semua program dan amal usaha DMI harus disusun dan dilakukan berorientasi pada dakwah.

Sikap independensi DMI yang berasaskan Islam, kata mantan Menteri Agama RI itu, hedaknya kembali ke jati diri semula, bebas dan tidak tergantung kepada siapapun, memiliki kemandirian dan merdeka dalam menentukan sikap, jangan sampai ikut menjadi korban dari sebuah “kebijakan” penguasa.
Dengan jujur, Ketua Umum Masa Bakti 2006-2011 ini menegaskan, secara riel, masjid belum sepenuhnya menjadi basis DMI. Hubungan DMI dengan Pengurus Masjid Indonesia di beberapa tempat masih ada jarak, bimbingan dan pembinaan yang dilakukan oleh DMI terhadap pengurus masjid belum berjalan sebagaimana mestinya.

Lebih lanjut, Tarmizi menyayangkan, fungsi dan peranan semua perangkat organisasi belum optimal, fungsionalisasi pengurus dan mekanisme organisasi belum berjalan secara sinergis. Sebagian pengurus bukan merupakan kader-kader yang dihasilkan dari sistem pengkaderan yang dilaukan secara formal oleh organisasi. Hubungan-hubungan yang terjadi masih bersifat semu, kurang sentuhan emosi keagamaan. Hal ini karena kaderisasi belum berjalan selayaknya.

Selain itu, program kerja masih terbatas pada bidang-bidang tertentu, pelaksanaan program belum merata. Tindak lanjut setiap program yang dilaksanakan terkadang kurangberkesinambungan.
Bahkan, ukhuwah dan kemitraan, jaringan social, baik individu maupun kelembagaan, terutama dengan ulama, umaro, ormas-ormas Islam, lembaga-lembaga Islam masih terbatas. Sementara keberadaan 33 Pimpinan Wilayah DMI dan skitar 35 Pimpinan Daerah DMI dengan jumlah aktivis DMI tidak kurang dari satu juta orang, merupakan kekuatan yang masih perlu dikongkritkan.
Tak kalah penting, strategi pendanaan juga diakui masih lemah, belum ada sumber sdana yang jelas, sistem pencarian dana masih konvensional, sementara berbagai usaha yang dirintis belum membuahkan hasil yang berarti.

Ke depan, kata Tarmizi, harus mengambil langkah-langkah strategis, seperti: Restrukturisasi (penataan ulang) organisasi, membuat panduan pelatihan dan kaderisasi. Juga peru adanya pengaturan status, tata laksana dan tata hubungan antara DMI dengan badan dan lembaga-lembaga yangada di DMI. Disamping perlunya usaha untuk mewujudkan terbentuknya Dana Abadi Organisasi.  


Kutipan :
Desastian / VoA-Islam
Sabtu, 28 Apr 2012

MUI: Azan Sayup itu Wacana Wapres Saja dan Tak Sesuai Syariat Islam

JAKARTA - Pernyataan Wapres Boediono tentang pelafalan azan dengan sayup-sayup dinilai Majelis Ulama Indonesia (MUI) sekadar wacana belaka dan tak sesuai syariat Islam.

"Azan sayup-sayup itu hanya wacana wapres saja dan tidak sesuai dengan syariat Islam," jelas Wasekjen MUI, Tengku Zulkarnaen, Jumat (27/4/2012).
Azan dalam Islam, ditegaskannya, justru harus disuarakan dengan tinggi dan keras. Berbeda dengan iqamat yamg lebih rendah suaranya dan tidak setinggi dan sekeras suara azan.
Azan sayup-sayup itu hanya wacana wapres saja dan tidak sesuai dengan syariat Islam
Hanya saja, sebut Tengku, yang bisa diatur adalah watt loudspeaker-nya agar tidak terlalu besar dan membuat pekak telinga. "Memang tidak boleh jika kerasnya berlebihan dan menimbulkan mudharat. Bukankah menimbulkan mudharat juga dilarang dalam Islam? Sebaik-baiknya sikap adalah yang tengah-tengah. Jadi, speaker-nya pada tahap wajar saja," papar Tengku.
Yang membawa kemudharatan seperti memutar kaset membaca Alquran keras-keras satu jam sebelum Subuh. Ataupun disertai shalawatan yang mengganggu orang yang tengah beristirahat atau tidur dini hari. "Hal itu jelas tak disyariatkan dalam Islam. Maka yang seperti ini boleh dilarang orang pemerintah atau instansi terkait," ungkap Tengku.
Walhasil, azan sayup-sayup malah membuat masjid-masjid semakin kosong dari jamaahnya
Namun kalau hanya sekedar ingin mengatur agar seluruh masjid membuat suara speaker-nya memperdengarkan azan sayup-sayup, ulama humoris ini tetap menilainya menyalahi aturan syariat. Justru ia khawatir kaum Muslimin malah akan tambah terlena dalam tidur dini hari yang sejuk dan syahdu. "Walhasil, azan sayup-sayup malah membuat masjid-masjid semakin kosong dari jamaahnya," ulas Tengku.

Seperti diberitakan sebelumnya, Wakil Presiden Boediono meminta Dewan Masjid Indonesia dapat membahas soal pengaturan pengeras suara di masjid. "Dewan Masjid Indonesia kiranya juga dapat mulai membahas, umpamanya, tentang pengaturan penggunaan pengeras suara di masjid-masjid," ujar Boediono dalam sambutannya pada pembukaan Muktamar VI Dewan Masjid Indonesia di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur, Jumat (27/4/2012).

Menurutnya suara azan yang sayup-sayup lebih merasuk ke sanubari. "Namun demikian, apa yang saya rasakan barangkali juga dirasakan oleh orang lain, yaitu bahwa suara azan yang terdengar sayup-sayup dari jauh terasa lebih merasuk ke sanubari kita dibanding suara yang terlalu keras, menyentak, dan terlalu dekat ke telinga kita," imbuhnya. 


Kutipan :
Widad/rpb, dtk / VoA-Islam
Sabtu, 28 Apr 2012

Boediono: Masjid Jangan Jatuh Ketangan Kaum Radikal

Wakil Presiden Boediono mengingatkan bahwa Masjid jangan menjadi tempat berkembangnya radikalisme. Pernyataan Boeidono itu sudah berulang kali disampaikan, khusus terhadap tumbuhnya apa yang ditakutinya yaitu bahaya radikalisme Islam.

Tokoh neo-lib  dan  kepercayaan Amerika Serikat yang bertanggung jawab dalam bidang ekonomi, yang pernah menjadi Menkue dan Menko Ekuin  di zaman pemerintahan Mega dan SBY, berulangkali di depan berbagai forum dan pimpinan ormas Islam, selalu mengingatkan tentang bahaya dan ancaman radikalisme terhadap bangsa Indonesia.
"Masjid sejatinya merupakan basis ideologi dan spiritual umat Islam serta wahana untuk memfasilitasi berbagai pemberdayaan dan penguatan kapasitas umat. Masjid juga menjadi institusi sentral dalam peradaban Islam. Oleh karena itu, masjid harus dijaga agar tidak jatuh ke tangan radikalis yang menyebarkan permusuhan", ujar Boedono.

Wakil Presiden Boediono menyampaikan hal itu saat membuka Muktamar VI Dewan Masjid Indonesia (DMI), Jumat (27/4), di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur. Muktamar bertema ”Revitalisasi dan Reaktualisasi Peranan Masjid Sesuai Sunnah Rasul” itu diikuti sekitar 1.000 peserta dari seluruh Indonesia. Hadir mendampingi Wapres, Menteri Sosial Salim Segaf Al-Jufrie.
”Kita semua berkepentingan agar masjid dijaga jangan sampai jatuh ke tangan mereka yang menyebarkan gagasan yang tidak Islami, seperti radikalisme, fanatisme sektarian, permusuhan terhadap agama dan kepercayaan orang lain, dan anjuran-anjuran provokatif yang bisa berujung pada tindak kekerasan dan teroris- me. Islam adalah agama yang sangat toleran,” kata Boediono.

Menurut Boediono, masjid juga ditantang untuk menyebarkan Islam sebagai agama yang damai dan penuh rahmat Ilahi. Dengan jumlah masjid dan mushala di seluruh Indonesia saat ini hampir mencapai satu juta, masjid diharapkan turut berperan dalam membangun karakter bangsa, tambahnya.
”Pemerintah mengharapkan agar Dewan Masjid Indonesia terus-menerus menjaga persatuan dan kebersamaan dalam perbedaan di antara berbagai agama yang ada di Indonesia dan sekaligus menjauhkan umat dari sikap tidak toleran, apalagi sikap sesat yang menyesatkan di antara umat Islam sendiri,” katanya.
Selain itu, Boediono menganjurkan kepada Dewan Masjid mengatur suara azan. Ini persis yang berlaku di negara Barat dan Israel. Di mana suara azan dibatasi.
"Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia dapat memberikan contoh yang baik bagi dunia Islam, khususnya dalam mensyiarkan Islam dan memberikan citra positif bagi umat Islam", ucapnya.
Selanjutnya, ia juga menganjurkan DMI membahas pengaturan penggunaan pengeras suara di masjid-masjid. ”Al Quran pun mengajarkan kepada kita untuk merendahkan suara kita sambil merendahkan hati ketika berdoa memohon bimbingan dan petunjuk-Nya,” ujarnya.

Pernyataan Boediono sejalan dengan langkah-langkah dan kebijakan pemerintah Amerika Serikat yang terus-menerus memerangi apa yang disebut kaum "radikal" dan "teroris". Ini sudah merupakan kebijakan umum pemerintah Amerika Seirkat. Sejak zamannya Presiden George Bush.
Justeru sikap "paranoid" dan "phobia" terhadap umat Islam, dan dengan memberikan berbagai lebel dan stempel, tidak menyelesaikan masalah. Sebaliknya telah menimbulkan kegoncangan dan perpecahan bangsa Indoesia.

Pemerintah Indonesia melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), melakukan kebijakan "de-radikalisasi", dan yang menjadi objek umat Islam, yang ingin menegakkan cita-cita syariah Islam.
Ketua BNPT Amsad Bay, secara terang-terangan menjelaskan bahwa mereka yang memiliki cita-cita menegakkan syariah Islam, masuk kategori "teroris". Pernyataan Amsad itu, bukan hanya menimbulkan kontroversi dikalangan Islam, tetapi akan menimbulkan perpecahan dikalangan bangsa Indonesia.
Indonesia menjadi negara yang berdaulat sejak tahun 1945, semestinya tidak memposisikan negaranya menjadi "abdi dalem" Amerika Serikat. Sekarang Amerika Serikat sudah tidak dapat menjadi kiblat, sebagai adi daya (super power) sudah bangkrut.
Amerika Serikat sudah kalah perang di Irak, dan sebentar di Afghanistan. Amerika Serikat sudah bukan lagi negara adi daya. Indonesia mestinya memposisikan dengan Amerika Serikat sejajar. Bukan dengan posisi yang rendah.

Umat Islam tidak perlu menanggapi pernyataan Wakil Presiden Boeidono secara serius. Umat Islam dan para tokohnya, sebaliknya harus memposisikan sebagai kekuatan yang independen. Umat Islam dan tokoh umat Islam hendaknya menjadikann Masjid sebagai pusat perubahan.
Perubahan dari jahiliyah kepada iman dan Islam. Mengembalikan umat Islam kepada nilai-nilai tauhid, yang hanya mengesakan Allah Azza Wa Jalla semata. Serta mengajak umat menolak semua bentuk  thogut yang nembawa umat kepada jalan kekufuran dan kesesatan. Dengan cara itu, bangsa Indonesia mendapatkan kejayaan.  Wallahu'alam.


Kutipan :
VoA-Islam
Sabtu, 28 Apr 2012

Said Aqil: Penentang Pancasila Tak Boleh Hidup di Negeri ini

JAKARTA - Selasa, (24/4/2012) yang lalu, diselenggarakan pelantikan Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU), periode 2012-2017. Acara yang digelar di Balai Kartini tersebut dihadiri para pengurus PBNU seperti Rais 'Am Syuriyah PBNU KH MA Sahal Mahfudz, Wakil Rais 'Am PBNU KH Mustofa Bisri, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj dan yang lainnya.

Sementara para undangan lain yang hadir antara lain Ketua DPR RI Marzuki Alie, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Purnomo dan mantan Ketua BPK Taufiqurrahman Ruki.
Usai mengukuhkan Ali Masykur Musa sebagai ketua umum ISNU oleh Rais 'Am Syuriyah PBNU KH MA Sahal Mahfudz, tak ketinggalan Ketua Umum PBNU, Said Aqil Siradj turut menyampaikan taushiyah.
Di sisi lain muncul kekuatan Islam fundamentalis yang melihat pancasila sebagai thaghut dan UUD 45 sebagai UUD sekuler dan kafir dengan ini NU menyarankan siapa saja yang menentang Pancasila dan UUD 45 atau 4 pilar digolongkan menjadi kelompok kriminal bahkan subversif yang tidak boleh hidup di negeri Republik Indonesia
Seperti ditayangkan ulang TVRI, Kamis malam (26/4/2012), diantara isi  taushiyahnya Ketua Umum PBNU tersebut menyatakan bahwa siapa pun yang menentang pancasila dan UUD 45 maka mereka adalah kelompok kriminal yang tak boleh hidup di Indonesia.
“Di sisi lain muncul kekuatan Islam fundamentalis yang melihat pancasila sebagai thaghut dan UUD 45 sebagai UUD sekuler dan kafir dengan ini NU menyarankan siapa saja yang menentang Pancasila dan UUD 45 atau 4 pilar digolongkan menjadi kelompok kriminal bahkan subversif yang tidak boleh hidup di negeri Republik Indonesia,” ujarnya.

Padahal seperti diketahui melalui reformasi 1998, pemberlakukan asas tunggal Pancasila yang begitu banyak memakan korban di era orde baru telah dicabut melalui TAP NO. XVIII/MPR/1998 tentang pencabutan TAP NO. II/MPR/1978.
Sehingga dengan keluarnya TAP MPR ini, maka pudarlah kedudukan Pancasila sebagai asas tunggal dan dengan demikian seluruh organisasi sosial dan politik tidak lagi wajib menjadikan pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi. Selain itu UUD 45 pasal 28 juga telah mengatur kebebasan berpendapat. 


Kutipan :
Ahmed Widad / VoA-Islam
Jum'at, 27 Apr 2012