JAKARTA – Gus Dur juga manusia. Ia
bisa melakukan kesalahan, bahkan yang paling fatal sekalipun. Ia bukan
wali, apalagi “malaikat”. Ia juga bukan jimat warga NU. Bila menyimak
pemikiran dan ucapan Gus Dur, menunjukkan ia adalah tokoh kontroversial
yang berjuang keras mewujudkan sebuah negara `impian' sekuler bernama
Indonesia.
Berikut ini adalah ucapan-ucapan Gus Dur yang terekam dalam setiap moment:
20 November 1998, para tokoh berbagai agama
berkumpul di rumah Gus Dur, Ciganjur, dan mengeluarkan penyataan sikap,
“Kami sepakat tidak akan menggunakan agama sebagai kekuatan politik.”
24 Mei 1999, dalam acara “Partai-Partai“ di TPI, Gus
Dur menegaskan cita-citanya untuk membuka hubungan diplomatik dengan
Israel dan mempertegas penolakannya terhadap gagasan dimasukkannya hukum
Islam ke dalam hukum nasional. “Ini negara kebangsaan. Karena itu Islam
boleh dominan sebagai kekuatan moral, bukan sebagai kekuatan fisik atau
sebagai perangkat hukum. Hukum (Islam) dijalankan oleh ummat, bukan
oleh negara,” kata Gus Dur.
Awal November 1999, saat melakukan
lawatan ke sejumlah negara ASEAN, Gus Dur menegaskan lagi, “Indonesia
tidak akan menjadi negara agama dan hukum Islam tidak akan dijadikan
hukum nasional.”
24 Oktober 1999, Gus Dur berkata, “Kalau kita
benar-benar beragama, maka akan menolak kebenaran satu-satunya di pihak
kita dan mengakui kebenaran semua pihak.”
27 Desember 1999, dalam Peringatan Natal Bersama di
Balai Sidang Jakarta, Gus Dur membuat pernyataan, “Karena itu, bagi
saya, peringatan Natal adalah peringatan kaum Muslimin juga. Kalau kita
konsekuen sebagai seorang Muslim (yang) merayakan hari kelahiran Nabi
Muhammad saw, juga adalah harus konsekuen merayakan malam Natal.”
21 Maret 2000, Gus Dur berucap, “Seperti Masjid
Istiqlal, bahwa itu hanya diurusi ummat Islam saja, itu namanya salah
kaprah. Mestinya semua orang boleh ngurusi kalau benar-benar seperti di
Washington ada National Cathedral”.
27 Maret 2000, di Semarang, Gus Dur menegaskan lagi
usulannya soal pencabutan Tap MPRS XXV/1966. “Demokrasi tidak mengenal
komunis atau bukan komunis”, ujarnya.
1 Februari 2000, dalam pertemuan dengan sekitar 300
masyarakat Indonesia di London, Gus Dur menyatakan, “Ingat, identitas
keislaman itu datangnya dari akhlaq pribadi kita, moralitas kita, maupun
keyakinan kita, bukan dari institusi apapun. Kalau institusi apapun
yang pakai nama Islam harus kita curigai. Itu saja”.
Dalam salah satu tulisannya di Media Indonesia, Gus Dur menulis,
“Tetapi, di Indonesia, keinginan untuk meninggalkan ideologi Islam
justru datang dari gerakan Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU). Ini
membuat perkembangan Islam di Asia Tenggara memerlukan perhatian
tersendiri.” (Wahid, 1999:26)
Wawancara Gus Dur dengan JIL
Dalam sebuah wawancara dengan komunitas Jaringan Islam Liberal (JIL),
Gus Dur menjawab pertanyaan-pertanyaan aktivis muda JIL yang membuat
umat Islam tersakiti. Berikut tanya jawab aktvis JIL dengan Gus Dur:
Bagaimana kalau otonomi daerah juga hendak mengatur persoalan agama?
Gus
Dur: Otonomi daerah itu perlu dipahami sebagai kebebasan untuk
melaksanakan aturan yang sudah ada, bukan kebebasan untuk menetapkan
undang-undang sendiri. Pengertian otonomi daerah itu bukan seperti yang
terjadi sekarang ini; daerah mau merdeka di mana-mana dan dalam segala
hal. Sikap itu tidak benar.
Apakah beberapa daerah
yang mayoritas non-muslim seperti NTT, Papua, Bali, dan lain-lain,
dibolehkan menerapkan aturan agama mereka masing-masing dengan alasan
otonomi daerah?
Iya nggak apa-apa. Itu
konsekuensinya kan? Makanya, kita tidak usah ribut-ribut soal perda dan
aturan yang berasal dari satu agama. Dulu di tahun 1935, kakek saya dari
ayah, Almarhum KH. Hasyim Asy’ari, sudah ngotot-ngotot berpendapat
bahwa kita tidak butuh negara Islam untuk menerapkan syariat Islam. Biar
masyarakat yang melaksanakan (ajaran Islam, Red), bukan karena diatur
oleh negara. Alasan kakek saya berpulang pada perbedaan-perbedaan
kepenganutan agama dalam masyarakat kita. Kita ini bukan negara Islam,
jadi jangan bikin aturan-aturan yang berdasarkan pada agama Islam saja.
Gus,
ada yang berpendapat dengan adanya RUU APP dan sejumlah perda-perda
syariat, Indonesia akan “diarabkan”. Apa Gus Dur setuju dengan pendapat
itu?
Iya betul, saya setuju dengan pendapat itu.
Ada apa sih sekarang ini? Ngapain kita ngelakuin gituan. Saya juga
bingung; mereka menyamakan Islam dengan Arab. Padahal menurut saya,
Islam itu beda dengan Arab. Tidak setiap yang Arab itu mesti Islam.
Contohnya tidak usah jauh-jauh. Semua orang tahu bahwa pesantren itu
lembaga Islam, tapi kata pesantren itu sendiri bukan dari Arab kan? Ia
berasal dari bahasa Pali, bahasa Tripitaka, dari kitab agama Buddha.
Kalau syariat Islam diterapkan di Indonesia secara penuh, bagaimana kira-kira nasib masyarakat non-muslim?
Ya
itulah… Kita tidak bisa menerapkan syariat Islam di Indonesia kalau
bertentangan dengan UUD 45. Dan pihak yang berhak menetapkan aturan ini
adalah Mahkamah Agung. Hal ini menjadi prinsip yang harus kita jaga
bersama-sama. Tujuannya agar negeri kita aman. Jangan sampai kita ini,
dalam istilah bahasa Jawa, usrek (Red: ribut) terus. Kalau kita usrek,
gimana mau membangun bangsa? Ribut mulu sih... Dan persoalannya itu-itu
saja.
Bagaimana dengan barang dan tayangan erotis yang kini dianggap sudah akrab dalam masyarakat kita?
Erotisme
merupakan sesuatu yang selalu mendampingi manusia, dari dulu hingga
sekarang. Untuk mewaspadai dampak dari erotisme itu dibuatlah pandangan
tentang moral. Dan moralitas berganti dari waktu ke waktu. Dulu pada
zaman ibu saya, perempuan yang pakai rok pendek itu dianggap cabul.
Perempuan mesti pakai kain sarung panjang yang menutupi hingga matakaki.
Sekarang standar moralitas memang sudah berubah. Memakai rok pendek
bukan cabul lagi. Oleh karena itu, kalau kita mau menerapkan suatu
ukuran atau standar untuk semua, itu sudah merupakan pemaksaan. Sikap
ini harus ditolak. Sebab, ukuran satu pihak bisa tidak cocok untuk pihak
yang lain. Contoh lain adalah tradisi tari perut di Mesir yang tentu
saja perutnya terbuka lebar dan bahkan kelihatan puser. Mungkin bagi
sebagian orang, tari perut itu cabul. Tapi di Mesir, itu adalah tarian
rakyat; tidak ada sangkut-pautnya dengan kecabulan.
Jadi erotisme itu tidak mesti cabul, Gus?
Iya,
tidak bisa. Anda tahu, kitab Rawdlatul Mu`aththar (The Perfumed Garden,
Kebun Wewangian) itu merupakan kitab bahasa Arab yang isinya tatacara
bersetubuh dengan 189 gaya, ha-ha-ha.. Kalau gitu, kitab itu cabul,
dong? ha-ha-ha… Kemudian juga ada kitab Kamasutra. Masak semua
kitab-kitab itu dibilang cabul? Kadang-kadang saya geli, mengapa
kiai-kiai kita, kalau dengerin lagu-lagu Ummi Kultsum—penyanyi
legendaris Mesir—bisa sambil teriak-teriak “Allah… Allah…” Padahal isi
lagunya kadang ngajak orang minum arak, ha-ha-ha.. Sangat saya
sayangkan, kita mudah sekali menuding dan memberi cap sana-sini; kitab
ini cabul dan tidak sesuai dengan Islam serta tidak boleh dibaca.
Gus,
ada yang bilang kalau kelompok-kelompok penentang RUU APP ini bukan
kelompok Islam, karena katanya kelompok ini memiliki kitab suci yang
porno?
Sebaliknya menurut saya. Kitab suci yang
paling porno di dunia adalah Alqur’an, ha-ha-ha.. (tertawa
terkekeh-kekeh)…Jelas kelihatan sekali. Di Alqur’an itu ada ayat tentang
menyusui anak dua tahun berturut-turut. Cari dalam Injil kalau ada ayat
seperti itu. Namanya menyusui, ya mengeluarkan tetek kan?! Cabul dong
ini. Banyaklah contoh lain, ha-ha-ha…
Bagaimana
dengan soal tak boleh membuka dan melihat aurat dan karena itu orang
bikin aturan soal aurat perempuan lewat perda-perda?
Menutup
aurat dalam arti semua tubuh tertutup itu baik saja. Namun belum tentu
kalau yang disebut aurat itu kelihatan, hal itu tidak baik. Aurat
memiliki batasan maksimal dan minimal. Nah bukan berarti batasan minimal
itu salah. Kesalahan RUU yang ingin mengatur itu adalah: menyamakan
batasan maksimal dan minimal dalam persoalan aurat. Sikap itu merupakan
cara pandang yang salah. Kemudian, yang disebut aurat itu juga perlu
dirumuskan dulu sebagai apa. Cara pandang seorang sufi berbeda dengan
ahli syara’ tentang aurat, demikian juga dengan cara pandang seorang
budayawan. Tukang pakaian melihatnya beda lagi; kalau dia tak bisa
meraba-raba, bagaimana bisa jadi pakaian… ha-ha-ha.. Batasan dokter beda
lagi. Kerjanya kan ngutak-ngutik, dan buka-buka aurat, itu, he-he-he.
Kita
kembali ke persoalan negeri kita. Sekarang ada kelompok-kelompok yang
sangat rajin melakukan tindak kekerasan, ancaman, intimidasi, dan
lain-lain terhadap kelompok yang mereka tuding melakukan penodaan atau
penyimpangan agama. Gus Dur menanggapinya bagaimana?
Tidak
bisa begitu. Cara itu tidak benar dan melanggar ajaran Islam. Tidak
bisa melakukan penghakiman dan kekerasan terhadap kelompok lain atas
dasar perbedaan keyakinan. Siapa yang tahu hati dan niat orang. Tidak
ada itu yang namanya pengadilan terhadap keyakinan. Keyakinan itu soal
batin manusia, sementara kita hanya mampu melihat sisi lahirnya. Nabi
saja bersabda, nahnu nahkum bil dlawâhir walLâh yatawalla al-sarâ’ir
(kami hanya melihat sisi lahiriah saja, dan Allah saja yang berhak atas
apa yang ada di batin orang, Red).
Sejak dulu,
kelompok yang suka dengan cara kekerasan itu memang mengklaim diri
sedang membela Islam, membela Tuhan. Bagi saya, Tuhan itu tidak perlu
dibela!
Kalau orang muslim tidak melaksanakan syariat Islam seperti salat atau ibadah wajib lain, diapakan, Gus?
Begini
ya… Saya sudah lama mengenalkan beberapa istilah penting dalam melihat
persoalan keberagamaan dalam masyarakat kita. Golongan muslim yang taat
pada masalah ritual, biasanya kita sebut golongan santri. Namun ada
golongan lain yang kurang, bahkan tidak menjalankan ritual agama. Mereka
ini biasanya disebut kaum abangan, atau penganut agama Kejawen. Lantas,
kita mau menyebut golongan kedua ini kafir? Tidak benar itu!
Saya baru saja yakin bahwa Kejawen itu Islam. Baru setengah tahun
ini. Saya baru yakin ketika mendengarkan lagu-lagunya Slamet Gundono
(seorang dalang wayang suket kondang, Red). Saya baru paham betul; ooh,
begitu toh Kejawen. Inti ajarannya sama saja dengan Islam. Bedanya ada
pada pelaksanaan ritual keagamaan. Kesimpulannya begini: Kejawen dan
Islam itu akidahnya sama, tapi syariatnya berbeda. Penganut Kejawen itu
Islam juga, cuma bukan Islam santri. Gitu loh… selesai, kan? Gitu aja
repot.
source
voaislam/kamis,29nov2012