Laman

Rabu, 04 April 2012

Habib Hasan akan diperiksa kembali Minggu depan

JAKARTA - Polda Metro Jaya akan kembali melakukan pemeriksaan kepada Habib Hasan Djafar Assegaf terkait dugaan pencabulan kepada beberapa muridnya, pemanggilan akan dilakukan minggu depan.

Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Rikwanto menyatakan, pihaknya akan melakukan pemeriksaan lanjutan kepada Hasan."Minggu depan akan dipanggil penyidik kembali untuk pemeriksaan lanjutan," kata Rikwanto di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Selasa (3/4).

Dijelaskannya, Habib Hasan juga akan dikonfrontir dengan para korbannya.Dikatakan Rikwanto, pada penyidik Habib mengatakan ingin pergi ke luar kota namun benar tidaknya tidak tahu."Dia bilangnya mau pergi keluar kota, tapi tidak tahu juga. Makanya mau kita panggil dulu minggu depan," ujar Rikwanto.

Seperti diketahui, terkait kasus dugaan pencabulan anak dibawah umur, Habib Hasan sudah menjalani pemeriksaan tiga kali di Polda Metro Jaya. Dan setiap kali dilakukan pemeriksaan, dikatakan penyidik, Habib Hasan kooperatif.

Namun, polisi mengaku kesulitan menyelidiki kasus tersebut. Pasalnya, kejadian pencabulan ini sudah terjadi beberapa tahun ke belakang. Saat kejadian, para korban juga masih remaja, Habib Hasan sendiri juga membantah berkali-kali terlibat dalam kasus ini.

Kutipan :
Bilal / arrahmah
Rabu, 4 April 2012 11:49:52

Adian Husaini: Tokoh Pendidikan Nasional Bukan Ki Hajar Dewantoro

DEPOK  – Dalam bidang pemikiran, ada kesan, telah terjadi dua kutub yang berbeda, yakni kelompok yang mengagungkan akal, dan yang menafikan akal. Padahal Imam Ghazali meletakkan wahyu dan akal seperti mata dan cahaya. Begitu juga Ibnu Qayyim al-Jauziyyah yang mengatakan, untuk mencari kebenaran, wahyu harus diikuti dengan akal sehat.

“Menolak akal adalah sikap yang tidak benar. Untuk memahami Al-Qur’an secara benar, tentu dengan menggunakan metode berpikir. Akal dan wahyu harus seiring sejalan. Kita tak harus membenci Barat, tapi kita perlu memahami Barat. Naqib al Al Atas pernah mengatakan, bila ingin jadi muslim yang baik, maka harus memahami Barat. Hal inilah yang sekarang dirusak di perguruan tinggi umum maupun Islam,” kata Adian Husaini dalam sebuah diskusi pemikiran di Depok.

Diakui Adian, saat ini kaum sepilis (secular, plural dan liberal) semakin cerdik. Suatu ketika, peneliti INSIST itu pernah diundang oleh Asosiasi Guru Agama sebagai pembicara untuk membedah buku pendidikan nilai multikultur dalam kurimkulum Pendidikan Agama Islam (PAI) -- diterbitkan oleh Kementerian Agama bekerjsama dengan Yayasan Tifa  dan Rohima Foundation, sebuah yayasan liberal.

Cerdiknya, buku agama itu melampirkan fatwa MUI tantang Haramnya Sepilis, sehingga para guru agama itu merasa aman. Namun dalam buku itu tetap saja sesat, karena telah menjabarkan konsep multikultural.  Buku itu tidak menjelaskan mana kultur yang halal dan mana yang haram. Yang jelas, telah melepas Islamic viewnya (sudut pandang Islamnya). “Mereka sangat lihai untuk menipu umat Islam. Karena memang, setan tak akan berhenti untuk menyesatkan manusia.”

Dari Cak Nur ke Gus Hamid
Dikatakan Adian Husaini, era sekularisasi Nurcholish Madjid alias Cak Nur kini  telah memasuki senja, meski belum dikatakan berakhir. Kini adalah eranya Islamisasi Gus Hamid – sapaan akrab Direktur INSIST Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi.“Gus Hamid ini anaknya kyai, sayang kalau tidak dimanfaatkan.  Inilah momemtum bersejarah. Sebuah peralihan dari Cak Nur ke Gus Hamid, “ kata Adian.

Adian menjelaskan,  Cak Nur telah mewarisi buku-buku dan pemikiran sekularnya di kalangan akademis. Bahkan setiap tahunnya diperingati untuk mengenang kontribusi beliau di bidang pemikiran, hingga dibuat Jurnal khusus: Nurcholish Society. Cak Nur boleh dikatakan sudah disakralkan

Dalam sebuah workshop, Adian pernah diundang  sebagai pembicara untuk mengkritik pemikiran liberal Cak Nur. Namun di tengah acara, ia diinterupsi peserta yang hadir dan diminta berhenti mengkritik Cak Nur. Hingga saat ini ketokohan Cak Nur menjadi besar karena pengaruh media. Sampai-sampai ia dilekatkan sebagai tokoh nasional dan tokoh Islam di Tanah Air.

Adian Husaini tak habis pikir, kenapa anak-anak pelajar sekarang, jika ditanya, siapa tokoh pendidikan nasional? Mereka biasanya akan menjawab, Ki Hajar Dewantoro. Padahal itu jawaban yang menyesatkan. Seharusnya yang menjadi tokoh pendidikan nasional adalah Sunan Ampel, mengingat beliau adalah tokoh Islam pertama yang menjadikan madarasah sebagai ladang ilmu bagi kaum terpelajar.  Atau para pendiri Gontor, atau pendiri Hidayatullah.  Ini akibat cara berpikir yang tidak Islamic View.  

Kutipan :
Desastian / VoA-Islam
Rabu, 04 Apr 2012

Gus Hamid Bantah Jebolan Gontor Hasilkan Sosok Liberal Seperti Cak Nur

DEPOK - Kok bisa seseorang menjadi liberal? Padahal orang itu lulusan Pesantren Gontor.  Ketika menjadi liberal, lalu serta merta menyalahkan Gontor. Lembaga pendidikan Islam itu dituding telah mencetak tokoh liberal sekaliber Nurcholish Madjid alias Cak Nur.

Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi yang menamatkan pendidikan menengahnya di Kulliyatul Mu’allimin al-Islamiyah Pondok Modern Darussalam Gontor dan S1 di pondok yang sama, mengatakan, awalnya Nurcholish adalah lulusan terbaik di Gontor. Setelah itu ia melanjutkan studinya di IAIN Ciputat. Nilai Dasar Islam (NDI) nya pun bagus. Cak Nur kemudian menjadi Ketua PB HMI.Nah setelah keluar dari Gontor, IAIN Ciputat, ia belajar Islam ke Amerika dan mendapat gelar doktornya.

“Lulus dari Gontor ngerti apa. Kita tahu, bahwa Cak Nur itu bukan Muhammadiyah, juga bukan NU. Sementara itu, Barat tidak akan tinggal diam, bila bicara soal calon pemimpin di masa depan,” tandas Hamid.
Gus Hamid – begitu ia disapa oleh rekan-rekan di INSIST – membantah jika Gontor mengajarkan kebebasan kepada santri-santrinya. Kebebasan yang dimaksud disini adalah terbebasnya dari ikatan golongan atau kelompok yang fanatik.

“Jadi, bukan salah pendidikan Islam. Jika kita putus asa dengan perguruan tinggi yang ada karena telah menghasilkan seseorang menjadi liberal, maka carilah perguruan tinggi yang merujuk pada Islamisasi pengeahuan, berlandaskan syariah , berpaham Aswaja (Ahli Sunnah wal Jamaah), dan peduli dengan urusan umat Islam,” tandas Gus Hamid yang kini menghabiskan waktunya untuk mengajar dan memimpin Program Kaderisasi Ulama dan Pascasarjana Institut Studi Islam Darussalam, Gontor.

Gerakan Ilmiah
Gus Hamid yang pendidikan S2 nya (M.Phil) d University Birmingham United Kingdom (1998) mengajak umat Islam untuk bergabung dalam gerakan ilmiah. Tidak ada cara lain untuk mengembangkan Islam, selain dengan komunitas. Di Barat, berawal dari komunitas ilmuwan saja. Ada komunitas yang hanya berkutat dengan mempelajari tafsir saja, atau hadits saja, bahkan fiqih saja. Tapi ternyata dari situ peradaban Islam berkembang.

“Mari kita bergabung dalam komunitas untuk mewujudkan pemikrian bersama,dan cita-cita bersama. Intinya, kita harus peduli terhadap Islam. Kata Nabi Saw, siapa yang tidak peduli dengan urusan orang Islam, dia bukan termasuk orang Islam.”

Selain pemikiran Islam, Gus Hamid mengaku memikirkan ekonomi syariah dan  politik. Ia ingin mempersatukan semua lini untuk menuju peradaban Islam yang betul-betul syariah. Karena itu, umat Islam harus membekali diri dengan ilmu.

Hamid sangat menyesalkan jika ada pihak yang mengatakan, Tuhan dan Nabi Muhammad Saw tak perlu dibela, karena dianggapnya Tuhan dan Nabi Saw sudah besar. Ada juga yang mengatakan,  Islam tak perlu dibela, karena Islam sudah mulia. Inilah pemikiran yang rancu. “Pemikiran harus dilawan dengan pemikiran.  Terpenting, kemajuan ilmu pengetahuan harus disertai dengan iman dan amal,” imbuh Gus Hamid yang menyelesaikan studi S3 nya (bidang pemikiran) di ISTAC, Malaysia.  

Kutipan :
Desastian / VoA-Islam
Rabu, 04 Apr 2012

Tidak Ada Terminologi Islam Radikal & Moderat, Sebut Saja Saya Muslim

DEPOK – Dalam Islam, tak dikenal terminologi atau istilah radikal. Kata radikal adalah wacana Barat sebagai bentuk stigma yang ditujukan kepada umat Islam. Karenanya, umat Islam tidak perlu mengikuti istilah itu. Sebab, jika kita mencoba mendefinisikan istilah radikal menurut kacamata Islam, maka akan terkesan dipaksakan.

“Umat Islam yang punya akidah kuat itu adalah muslim yang baik. Tapi Barat menyebutnya sebagai Islam fundamentalis. Bilang saja, saya seorang Muslim yang  mencoba untuk kaffah. Meski sebagai manusia, kita tidak akan pernah sempurna,” kata Direktur INSIST Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi alias Gus Hamid menjawab pertanyaan peserta yang hadir dalam Peluncuran buku terbarunya “MISYKAT: Islam, Westernisasi, dan Liberalisasi” di Masjid Darussalam, Komplek Griya Tugu Asri, Depok, Ahad (1/4) lalu.

Sementara itu dikatakan Adian Husaini, juga peneliti dari INSIST, istilah Islam radikal dan Kristen orthodox adalah istilah dari Barat. “Memang sering, orang bertanya, kamu ini Islam yang mana? Fundamental atau moderat? Saya katakan, tak perlu lah kita membuat embel-embel di belakang kata Islam. Sebut saja Islam.”
Dikatakan Adian, kalau ada orang Islam suka menyebut dirinya Islam moderat, bisa-bisa kita direpotkan untuk mengubah plang atau papan nama di setiap perguruan tinggi atau rumah sakit Islam. “Bisa-bisa nanti, plang UIN (Universitas Islam Negeri) diganti menjadi Universitas Islam Moderat Negeri (UIMN). Atau rumah sakit Islam menjadi rumah sakit Islam moderat,” ungkap Adian guyon.

Sebagai orang tua, Adian hanya berharap anak-anaknya kelak menjadi anak yang shaleh. Tidak mengatakan, kamu jangan radikal, jadilah Islam moderat. “Orang yang bertanya, kamu ini Islam yang mana, adalah pertanyaan orang-orang bingung. Orang seperti ini patut dikasihani,” tukas Adian.  

Kutipan :
Desastian / VoA-Islam
Rabu, 04 Apr 2012

Kitab Suci Melanggar RUU Gender

Jika kita sepakat bahwa semua kitab suci adalah Karya Tuhan, berarti tak lama lagi di Indonesia Kekuasaan-Nya segera dibatasi dengan undang-undang. Keadilan-Nya kian dipertanyakan. Bahkan pengikut-Nya bisa dipidanakan gara-gara melanggar UU Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG). Itu jika komisi VIII DPR RI tetap nekad mengesahkan RUU KKG.

Keadilan Tuhan seperti yang termaktub dalam lembaran-lembaran kitab suci dianggap tidak lagi setara untuk laki-laki dan perempuan, alias bias gender! Apalagi Bab VIII, pasal 67 RUU KKG secara tegas menyebutkan: “Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang memiliki unsur pembedaan, pembatasan, dan/atau pengucilan atas dasar jenis kelamin tertentu”.

Karena Tuhan tidak termasuk dalam kategori “setiap orang”, maka sebagai gantinya adalah semua orang yang mengikuti ajaran Tuhan. Maka siapa saja yang masih saja melaksanakan Ketentuan Tuhan dalam masalah waris, aqiqah, kesaksian, melarang perempuan menjadi khatib jumat, wali nikah, imam shalat bagi makmum laki-laki, dan melarang nikah beda agama maupun sesama jenis berarti telah melanggar Bab VIII, pasal 67 dan Bab III pasal 12, khususnya huruf a dan e yang menyatakan: “Dalam perkawinan, setiap orang berhak: (a) memasuki jenjang perkawinan dan memilih suami atau isteri secara bebas. (e) atas perwalian, pemeliharaan, pengawasan, dan pengangkatan anak”.

Apa yang menjadi Kehendak Tuhan secara umum dinilai telah melenceng dari dasar filosofi,  karakteristik, arah dan target RUU KKG seperti yang digariskan dalam Ketentuan Umum, Bab I, pasal 1.

Dalam ketentuan umum, kesetaraan dan keadilan diartikan dengan kesamaan dan persamaan. “Kesetaraan Gender adalah kesamaan kondisi dan posisi bagi perempuan dan laki-laki untuk mendapatkan kesempatan mengakses, berpartisipasi, mengontrol dan memperoleh manfaat pembangunan di semua bidang kehidupan. Sedangkan “Keadilan Gender adalah suatu keadaan dan perlakuan yang menggambarkan adanya persamaan hak dan kewajiban perempuan dan laki-laki sebagai individu, anggota keluarga, masyarakat dan warga negara”. (cetak miring untuk kata kesamaan dan persamaan oleh penulis) 

Apa saja bentuk “ketidakadilan” dalam kitab suci menurut RUU KKG? Dalam Bibel terdapat banyak sekali ayat-ayat yang secara tekstual cenderung bertentangan dengan RUU ini. Di antaranya adalah sebagai berikut :  '
1.    “Demikian juga hendaknya perempuan. Hendaklah ia berdandan dengan pantas, dengan sopan dan sederhana, rambutnya jangan berkepang-kepang, jangan memakai emas atau mutiara ataupun pakaian yang mahal-mahal”. (I Timotius 2:9)
 
2.    “Aku tidak mengizinkan perempuan mengajar dan juga tidak mengizinkannya memerintah laki-laki; hendaklah ia berdiam diri”. (I Timotius 2:12)
 
3.    Lagipula bukan Adam yang tergoda, melainkan perempuan itulah yang tergoda dan jatuh ke dalam dosa”. (I Timotius 2:14)
 
4.    Wujud kutukan Tuhan terhadap perempuan. “Firman-Nya kepada perempuan itu: "Susah payahmu waktu mengandung akan Kubuat sangat banyak; dengan kesakitan engkau akan melahirkan anakmu; namun engkau akan berahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu”. (Kejadian 3:16)
 
5.    Sama seperti dalam semua Jemaat orang-orang kudus, perempuan-perempuan harus berdiam diri dalam pertemuan-pertemuan Jemaat. Sebab mereka tidak diperbolehkan untuk berbicara. Mereka harus menundukkan diri, seperti yang dikatakan juga oleh hukum Taurat. Jika mereka ingin mengetahui sesuatu, baiklah mereka menanyakannya kepada suaminya di rumah. Sebab tidak sopan bagi perempuan untuk berbicara dalam pertemuan Jemaat. (I Korintus 14:34-35);
 
6.    Sebagai simbol kejahatan "Dan pada dahinya tertulis suatu nama, suatu rahasia: "Babel besar, ibu dari wanita-wanita pelacur dan dari kekejian bumi. Dan aku melihat perempuan itu mabuk oleh darah orang-orang kudus dan darah saksi-saksi Yesus". (Wahyu 17:5-6)
 
7.    “Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan. Karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu”. (Efesus 5:22-24)
 
8.    Anak perempuan tidak mendapatkan waris kecuali jika tidak ada pewaris lagi dari laki-laki. “Dan kepada orang Israel engkau harus berkata: Apabila seseorang mati dengan tidak mempunyai anak laki-laki, maka haruslah kamu memindahkan hak atas milik pusakanya kepada anaknya yang perempuan”. (Bilangan 27:8)
 
9.    Seorang istri tidak punya hak waris dari suaminya (bilangan 27:8-11)
 
10.    Anak perempuan boleh dijual sebagai budak: "Apabila ada seorang menjual anaknya yang perempuan sebagai budak, maka perempuan itu tidak boleh keluar seperti cara budak-budak lelaki keluar" (Keluaran 21:7)
 
11.    ”Dan aku menemukan sesuatu yang lebih pahit dari pada maut: perempuan yang adalah jala, yang hatinya adalah jerat dan tangannya adalah belenggu”. (pengkhotbah 7:26)

Demikian seperti yang dikuatkan juga oleh P. Hendrik Njiolah, Pr., seorang Penasihat Rohani WKRI DPD Propinsi Sulawesi Selatan dan alumnus Pontificium Institutum Biblicum (Institut Kitab Suci Kepausan) Roma (1987-1991), dalam bukunya "Ideologi Jender dalam Kitab Suci (Suatu Penggalian)".
 
Tidak hanya Bibel, bahkan al-Qur'an pun akan dipandang sama. Karena banyak ayat-ayat al-Qur'an tidak sejalan dengan RUU ini. Di antaranya seperti berikut: 
1.    Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya (QS. Al-Baqarah 228)
 
2.    Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan (QS. An-Nisa’ 11)
 
3.    Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS. An-Nisa’ 34)

Lalu apakah dengan banyaknya ketidaksesuaian dengan RUU ini, teks-teks kitab suci itu harus dirombak? Ataukah DPR RI dan Menneg PP akan mempromotori proyek pembuatan tafsir kitab suci versi baru yang sehaluan dengan RUU ini? Kita tunggu bagaimana akal kolektif anggota dewan menghadang Wahyu Tuhan.

RUU KKG Memasung PerempuanSebenarnya banyak sekali pasal-pasal dalam RUU KKG ini bertentangan dengan kodrat perempuan. Bahkan mereka juga tidak terlalu membutuhkannya. Biarlah keinginan perempuan berkembang secara alami dan beragam. Pemerintah tidak perlu mengintervensi keinginan perempuan dengan memaksa mereka minimal 30% harus duduk di legislatif, eksekutif, yudikatif dan lembaga pemerintahan lainnya. Pemerintah juga tidak terlalu perlu untuk mengistimewakan keinginan sekelompok perempuan tertentu yang bersifat kasuistik untuk dibuat aturan umum yang mengikat semua warga negara. RUU KKG adalah wujud pemaksaan perempuan untuk tidak menjadi seperti yang mereka kehendaki.

Para pembuat RUU ini seharusnya lebih akomodatif terhadap pilihan wanita, termasuk memperhatikan ambisi para ibu untuk mendidik anak-anaknya. Kata-kata seorang ibu di Melbourne sungguh patut direnungkan bagi kita semua: “Saya mempunyai mimpi untuk diri saya sendiri, tapi saya mempunyai mimpi yang lebih besar untuk anak-anak saya”. Kepada isteri saya, seorang ibu guru juga menceritakan pengalamannya ketika ditanya muridnya: “What is your ambition?” Lalu dia menjawab: “My ambition is to guide my children reach their ambition”.

Memang sungguh tidak mudah mewujudkan mimpi dan ambisi semua perempuan. Karena hal itu memerlukan integritas, kapasitas dan kapabilitas yang sempurna. Namun merupakan suatu kebodohan kaaffah jika pembuat kebijakan hanya mengakomodir kepentingan sebagian kecil kelompok yang tidak mendasarkan pada nilai-nilai kemuliaan perempuan. 

Sebab kata Ibn al-Qayyim kebodohan adalah memandang baik sesuatu yang mestinya buruk dan menganggap sempurna sesuatu yang mestinya kurang. Sedangkan kebodohan dan keras kepala jika berakumulasi pada diri seseorang akan berakibat jahil murakkab (bodoh kuadrat). 

Abu Talib al-Makki menjelaskan bahwa mereka inilah “orang-orang yang tidak tahu dan tidak tahu kalau dirinya tidak tahu”. Pastinya kita tidak sedang mengharap bahwa kejahilan kolektif yang murakkab bakal menimpa dewan yang sama-sama kita hormati. Wallahu a’lam bi l-sawab. 

Kutipan :

INSISTS. Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations
Monday, 02 April 2012 23:33

Banyaknya Pemimpin Islam Palsu

Mungkin ini merupakan lembaran hitam bagi sejarah para pemimpin Islam di Indonesia. Ketika mereka kehilangan saja’ah (keberanian) menegaskan dirinya sebagai seorang mukmin dan muslim secara terang (jahr) di depan umum.

Mereka ramai-ramai menyembunyikan indentitasnya sebagai mukmin dan muslim. Mereka bukan hanya malu, tetapi mereka dihinggapi rasa takut, dan tidak adanya saja’ah. Sehingga umat menjadi ragu dan sangsi terhadap mereka. Siapa sejatinya mereka ini?

Mereka bukan hanya berpirau, ketika seharusnya menegaskan jati dirinya, tetapi mereka melepaskan semua keterkaitannya dengan Islam. Seakan mereka bukan seorang mukmin, muslim, dan pemimpin Islam. Mereka benar-benar menyembunyikan jati dirinya, identitasnya, dan segala keterkaitannya dengan Islam.

Para pemimin dan tokoh Islam itu, lebih senang dan bangga, bila dirinya dikenal atau difahami oleh kalayak sebagai tokoh atau pemimpin yang sama sekali tidak memiliki keterkaitan dengan Islam. Mereka lebih senang bila disebut sebagai tokoh yang tasamuh (toleran) atau sebagai pemimpin nasionalis, pluralis, demokratis, dan liberalis.

Para pemimpin dan tokoh Islam itu, mereka sangat takut bila dirinya dicap atau diberi lebel sebagai "ushulliyyun" (fundamentalis). Karena  dengan lebelling seperti itu, mengakibatkan tidak dapat diterimanya  mereka oleh berbagai kalangan. Bahkan, ada seorang pemimpin dan tokoh yang  menyatakan "baju Islam" sebagai "baju yang sempit", karena itu ditinggalkannya segala yang memiliki konotasi dengan Islam.

Para pemimpin dan tokoh Islam itu, sering membuat pernyataan yang menolak dan menentang nilai-nilai Islam, sebagai sistem kehidupan yang bersifat asas dengan terang-terangan. Mereka memilih sistem dan hukum kufur buatan manusia. Sepertinya mereka tidak pernah mengenal Islam. Mereka dengan terbuka menapikan prinsip-prinsip (mabda’) Islami. Memuji dan mengagungkan hukum dan prinsip-prinsip buatan manusia yang bersifat kufur dan bathil.  

Para pemimpin dan tokoh Islam itu, mereka tak berani lagi melakukan nahi munkar. Membiarkan kemunkaran berjalan di mana-mana. Karena mereka menolak syariah Islam, dan hanya mengacu hukum dan  aturan buatan manusia, yang terang-terangan memberontak terhadap hukum yang diciptakan Allah Azza Wa Jalla.
Hilangnya panutan dan tauladan dari para pemimpin dan tokoh Islam, yang benar-benar komit dan berpegang teguh pada asas dan prinsip-prinsip (mabda’) Islam, mengakibatkan semakin jauhnya umat dari Islam. Umat Islam seperti anak ayam yang kehilangan induk semangnya.

Pemimpin dan tokoh Islam yang mula-mula dianggap lurus, dan memiliki saja’ah dalam membela dan menegakkan Islam dan melakukan amar ma’ruf nahi munkar, tiba-tiba berubah sikap dan menjadi “anshorut thogut”, bukan menjadi pembela diennullah (agama Allah), tetapi menjadi pembela kemunkaran dan kebathilan, serta menjauhi hukum-hukum dan aturan Allah Rabbul Alamin.

Padahal, Islam adalah dien yang di wahyukan oleh Allah Ta’ala kepada para utusan-Nya yang tidak ada campur tangan sedikitpun dari manusia. Ia tegak diatas ajaran tauhid murni, maka Islam merupakan dien yang lurus dan bersih dari kebathilan dan kekurangan.
Para Rasul diutus kepada umat manusia oleh Allah Ta’ala, hanya mempunyai dua misi yang agung, yaitu mengajak seluruh manusia beribadah semata kepada Allah Rabbul Alamin, dan menjauhi thogut. Konsekwensi beribadah kepada Allah Ta’ala semata, maka secara aksiomatik akan menjauhi thogut.

Hari ini kita menyaksikan banyaknya pemimpin dan tokoh Islam palsu. Mereka mendeklarasikan dirinya sebagai pemimpin dan tokoh umat, tetapi disisi lainnya, mereka justru memberikan wala’nya (loyalitas) kepada musuh-musuh Allah, kepada thogut, dan menolak segala Keagungan dan Kemahakuasaan Allah, serta hukum-hukum-Nya.

Mereka berlindung, meminta pertolongan, dan meminta rezeki kepada thogut. Karena itu, mereka tak memiliki kemuliaan sedikitpun dihadapan manusia, dan dihadapan Allah Rabbul Alamin. Mereka tidak memiliki izzah, dan menjadi sangat hina dihadapan musuh-musuhnya. Musuh-musuh Islam dicabut rasa takutnya, dan rasa takut itu ditimpakan kepada para pemimpin dan tokoh Islam.

Bukti sejarah sampai hari ini, menunjukkan bahwa sejak manusia hidup dibawah sistem buatan manusia, seperti kapitalis, sosialis, komunis, liberalis, dan lainnya, mereka tak henti-hentinya ditimpa kemalangan, kesengsaraan, kenestapaan, serta penderitaan. Mereka menyangka sistem dan nilai buatan manusia itu dapat membahagiakan mereka, tetapi justru menghancurkan kehidupan mereka.

Para pemimpin dan tokoh Islam, seharusnya memahami kondisi sekarang ini secara global. Di mana seluruh ideologi dan sistem yang ada telah gagal, dan tidak lagi berpikir tentang ideologi ciptaan manusia, yang nyata-nyata bathil, syirik, dan meninggalkannya. Serta tidak perlu lagi takut menyatakan komitmennya dan ketundukkan terhadap nilai-nilai dan prinsip (mabda') Islam.
Firman Allah :

“Wahai orang-orang yang beriman, barangsiapa yang menolong agama Allah, pasti Allah akan menolongnya, dan akan mengokohkan kedudukannya dimuka bumi”.

Jadi, kewajiban setiap pemimpin, tokoh, dan orang-orang mukmin, hanyalah membela agama Allah, dan pasti Allah akan membela mereka. Bukan justru takut dan malu, atau sudah tidak ada lagi jiwa saja’ah, ketika Allah Azza Wa Jalla, memberikan kenikmatan berupa kekuasaan, kemudian menjauh dari dienullah.

Kewajiban orang-orang mukmin dan muslim, ketika menjumpai para pemimin dan tokoh Islam palsu, maka jauhi dan tinggalkanlah, jangan lagi hiraukan ucapan dan seruannya. Karena hanya akan membawa kemudharatan belaka. Wallahu’alam.

Kutipan :
VoA-Islam
Rabu, 04 Apr 2012