Laman

Rabu, 06 Juni 2012

Beda KH Hasyim dan Said Aqil Soal Lady Gaga, Siapa Ulama Sesungguhnya?

Al-Hamdulillah, segala puji untuk Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada baginda Rasulillah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya.

Ulama mendapat posisi mulia dalam Islam. Karena mereka menjadi pewaris Nabi, yakni mewarisi ilmu Islam yang telah disampaikan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam.  Sesudah wafatnya beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam maka tanggungjawab penyampaian ajaran Islam terpikul di pundak mereka. 

Melalui mereka, umat bisa menemukan kebenaran Islam.
Namun di sisi lain, ada yang mengatasnamakan ulama. Tapi yang dia sampaikan bukan dari warisan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Bahkan dia menyerukan sesuatu yang bertentangan dengan Islam. Dia tidak mengajak manusia ke surga, tapi sebaliknya menjerumuskan mereka ke dalam neraka. Ulama model ini disebut dengan ulama su' (ulama buruk) yang menyesatkan.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam sangat khawatir dengan kemunculan ulama su' ini. Ini seperti sabda beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam,
 إِنَّمَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِى الأَئِمَّةَ الْمُضِلِّينَ
"Sesungguhnya aku sangat menghawatirkan terhadap umatku akan kemunculan para imam penyesat." (Hadits Shahih riwayat Abu Dawud, Ahmad dan lainnya)

Diriwayatkan dari Ziyad bin Hudair, ia berkata: Umar bin al-Khathab pernah berkata kepadaku,
هَلْ تَعْرِفُ مَا يَهْدِمُ الإِسْلاَمَ؟ قَالَ قُلْتُ : لاَ. قَالَ : يَهْدِمُهُ زَلَّةُ الْعَالِمِ وَجِدَالُ الْمُنَافِقِ بِالْكِتَابِ وَحُكْمُ الأَئِمَّةِ الْمُضِلِّينَ
"Tahukah engkau apa yang menghancurkan Islam?" Ia (Ziyad) berkata, aku menjawab, "Tidak tahu." Umar berkata, "Yang menghancurkan Islam adalah penyimpangan orang berilmu, bantahan orang munafik terhadap Al-Qur’an, dan hukum para pemimpin yang menyesatkan." (Riwayat Ad-Darimi, dan berkata Syaikh Husain Asad: isnadnya shahih)

Ulama yang sebenarnya mengajak umat kepada kebaikan. Sebaliknya terhadap kemungkaran dan hal merusak, ulama pewaris Nabi berusaha menyadarkan mereka dan menyelamatkan mereka daripadanya. Ia juga terus mengajak umat kepada Islam dan mengamalkan ajarannya. Karena ajaran Islam diturunkan oleh Allah dan dijadikan sebagai jalan yang sah menuju kepada-Nya. Karena posisi ulama menggantikan tugas Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam untuk mengajarkan Islam dan membimbing umat kepada shirathal mustaqim.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman tentang peran Rasul-Nya,
يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالْأَغْلَالَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ
"(Rasul itu) yang menyuruh mereka mengerjakan yang makruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka." (QS. al-A'raf: 157)
"Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (Yaitu) jalan Allah yang kepunyaan-Nya segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Ingatlah, bahwa kepada Allah-lah kembali semua urusan." (QS. Al-Syuura: 52-53)

Contoh Perbandingan Ulama Pewaris Nabi dan Ulama Penyesat
Beberapa hari lalu ramai dibincangkan rencana konser Lady Gaga yang akhirnya gagal. Sebagian orang yang disebut ulama berkomentar yang sangat nyleneh. Salah satunya, Said Aqil Siraj. Ketua Umum PBNU ini tidak memiliki upaya penolakan konser penyanyi dari negeri kafir Amerika Serikat yang senantiasa tampil terbuka. Bahkan seolah memberi jalan lapang kepadanya dan kepada para pendukungnya. Anehnya, sikap sebaliknya (kebencian) ia tunjukkan terhadap umat Islam yang tergabung dalam beberapa organisasi yang menolaknya.

Berikut ini pernyataan Said Aqil yang dimuat Tribunnews.com - Sabtu, 19 Mei 2012 dengan judul "Said Agil: Lady Gaga Takkan Goyahkan Iman Orang NU". Pada dua paragraph terakhir dari ulasan Tribunnews.com ditulis:
"Terkait rencana konser Lady Gaga, Said menyatakan bahwa iman orang NU tak akan goyang hanya karena kedatangan Lady Gaga.

"Kalau kita mau jahat, enggak usah lihat Lady Gaga kok. Buka internet saja, segala macam ada. Bagi NU, mau ada seribu Lady Gaga, enggak akan mengubah keimanan orang NU," paparnya."

Komentar yang berseberangan disampaikan Mantan Ketua Umum PBNU, KH. Hasyim Muzadi. Dengan bijak untuk melindungi umat dari pengaruh buruk kemungkaran, beliau mendukung umat Islam yang anti kemungkaran untuk mendesak pemerintah agar konser perempuan yang berjuluk "Mother Monster" -yang tejemahan bebasnya "Emaknya monster"- dilarang.

Dengan bahasa yang sangat apik dan argumentative, Kiai Hasyim menyampaikan pandangannya yang dipublikasikan Tribunnews.com - Senin, 21 Mei 2012 17:13 WIB, dengan judul "KH Hasyim Muzadi: Atas Nama HAM Tolak Lady Gaga Konser".

Berikut ini ulasannya:
"Hak asasi manusia (HAM) dan kebebasan berekpresi menjadi alasan yang dikemukakan para pendukung konser Lady Gaga di Indonesia. Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi mengatakan, HAM di Indonesia belum jelas 'kelaminnya'.
"Apakah dia humanisme seperti yang dianut Gandhi, yaitu my nationality is my humanity. Atau, westernisme, artinya semua yang dari barat harus diterima dan yang menolak dicap melanggar HAM," kata Hasyim Muzadi di Jakarta, Senin (21/5/2012).

Menurut Hasyim, banyak kalangan selalu bicara kebebasan atas nama HAM. Termasuk, soal konser Lady Gaga. Namun, dalam kasus tertentu mereka tak berani menyebut orang melanggar HAM.
"Kelompok ini tidak mungkin mencap Israel melanggar HAM sekalipun ngebom dimana-mana. Atau Indonesianisme, yakni HAM untuk membela kepentingan kebangsaan. Atau HAM merupakan monster yang justru akan digunakan melindas norma kebangsaan Indonesia," katanya.

Pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikam Malang dan Depok ini menegaskan kembali, kenyataan di lapangan, kelompok yang paling getol menggunakan HAM adalah neolib dan neokom yang menggunting norma-norma agama.

"Inilah yang tercermin dari polemik Lady Gaga. Sebagian yang merasa tokoh agama pun bergaya western untuk memastikan keintelekannya dan humanismenya," katanya.

Lebih lanjut, ia mengatakan, masalah konser Lady Gaga di Indonesia yang kini menjadi perdebatan banyak kalangan, adalah ujian nyata pemerintah. Polisi, katanya, bisa saja berubah pikiran karena tak kuat menahan serangan pihak-pihak yang sepakat terhadap konser Lady Gaga.

"Dari sini diuji 'kelamin' pemerintah via polri. Mau ngambil kelamin yang mana. Buat saya, sebaiknya polri melarang. Toh yang teriak-teriak berselancar, akhirnya tidak tanggungjawab," ungkapnya.

Ditegaskan kembali, jika kelompok pendukung konser Lady Gaga di Indonesia mengatas namakan HAM, maka kelompok yang menolak Lady Gaga juga bisa mengatas namakan HAM.

"Kalau yang membela Lady Gaga berdasarkan HAM, bagaimana kalau yang menentang juga berdasarkan HAM untuk menentang? Karena menentang pun juga HAM kan ? Ingat, membela normapun punya HAM," tandas KH Hasyim Muzadi."

Kontan pandangan beliau ini mendapatkan dukungan dari umat, berikut ini beberapa komentar yang mendukung beliau:

Sastro.Guru, 4 Juni 2012:
"Betul sekali pak Hasyim Muzadi..... Apa keuntungan kita mendatangkan lady gaga? Hanya akan merusak moral generasi bangsa kita. Selama ini kita tdk sadar, peradaban bangsa kita yg sopan & santun dirusak oleh budaya2 barat. Kita lihat bagaimana Kota Bali?? Atas dasar pariwisata, mereka org2 barat dgn leluasa mempertontonkan aurat mereka. Jauh dgn kebudayaan Bali yg asli.... Sekarang kita tinggal menunggu kehancuran bangsa ini karena budaya2 luar yg telah merusak generasi penerus kita....."
Andy_Gondrong, 4 Juni 2012:
"ini dia salah satu Kyai NU yg berjalan selalu di atas rel....bukan spt kyai yg lain asal bisa membuat pernyataan kontroversial & pengen terkenal....semoga Said Agil Siroj segera sembuh :peace"
Nababan, 25 Mei 2012:
"bagus, ini masalah tanggung jawab moral kita sebagai bangsa, bukan masalah ras ataupun agama...sy sebagai kristiani juga menolak konser lady gaga ini...TOLAK LADY GAGA...."

Penutup
Dari dua tokoh besar di tubuh Nahdlatul Ulama (NU) umat dapat menilai siapa yang layak disebut sebagai ulama yang sesungguhnya. Apakah yang pandangannya selalu bertentangan dengan ajaran Islam dan tidak membentengi umat muslim dari kerusakan moral ataukah yang berusaha mengajak umat kepada Islam dan kemuliaan akhlak dengan membentengi umat dari unsur-unsur perusak? Wallahu Ta'ala A'lam.

source:
Badrul Tamam/PurWD/VoA-Islam
Rabu, 06 Jun 2012
 

Rame-rame Membongkar Pemikiran Sesat Said Agil Siraj

JAKARTA  – Tongkat estafet kepemimpinan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) setelah Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, sepertinya tak pernah habis mewariskan figur kontroversial. Adalah KH. Said Aqil Siroj (SAS), yang kini diamanahkan sebagai Ketua Umum PBNU, rupanya mendekati pemikiran yang sama dengan Gus Dur, sama-sama “nyeleneh” dan distorsi.

Masih segar dalam ingatan, ketika underbouw NU menyatakan penolakannya terhadap Lady Gaga dan Irshad Manji, Ketua Umum PBNU itu malah bersikap tidak jelas, bahkan terkesan mendukung kemungkaran. “Sejuta Lady Gaga, iman warga NU tidak akan berubah,” begitulah statemen seorang kiai yang ternyata tidak dipatuhi oleh warganya sendiri.

Jika mencermati jalan pikirannya, baik secara lisan maupun tulisan (buku),  ternyata Said Aqil adalah seorang yang sekuler dan liberal. Betapa ia begitu anti dengan simbol-silmbol Islam, terjangkit syariat Islam Phobia, dan mengagung-agungkan sosok seperti al-Hallaj, Ibn Arabi, hingga Syekh Siti Jenar. Pemikirannya dibingkai atas nama tasawuf.

Saat mendeklarasikan Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI) di Gedung PBNU, sejumlah wartawan dan peserta yang hadir mendapat hadiah buku yang ditulis KH. Said Aqil Siroj berjudul “ Tasawuf Sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi, Bukan Aspirasi”. Buku setebal 472 halaman tersebut diterbitkan oleh SAS Foundation bekerjasama dengan LTN PBNU.

Setelah membaca dan membedah buku tersebut, tanpa diduga, banyak terjadi distorsi (penyimpangan) dan aroma tendensius terhadap kelompok Islam yang mendambakan syariat Islam sebagai aturan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Salah satu contoh, betapa bangganya Said Aqil Siraj ketika PBNU tidak ikut-ikutan membuat fatwa sesat Ahmadiyah, seperti yang difatwakan oleh MUI Pusat. Sungguh aneh, jika Said justru berempati pada Ahmadiyah. Ia justru melempar tuduhan, kelompok Islam yang mengawal fatwa MUI tentang sesatnya Ahmadiyah, dengan ungkapan:

“Islam, dengan kata lain, sudah menjadi agama pembenaran bagi segenap tindakan yang tidak bermoral dan tidak beradab, dan bukan lagi sebagai sebuah “hikmah” atau moralitas..” (hal 28).
Tentu sangat tidak adil, Ahmadiyah yang mengklaim Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi ini justru tidak dikritisi oleh seorang kiai NU yang satu ini, tapi justru mengecam keras umat Islam yang mendukung fatwa MUI sebagai kelompok yang melakukan kekerasan.

Pada bagian lain (Bab 18) dalam pembahasan Problem Lokalisasi Judi: Perspektif Fiqih Sosial, Said Aqil memberi jalan penyelesaiannya yang sebetulnya menyesatkan. Menurut Said, adalah :
“wajar bila tuntutan sentralisasi lokalisasi judi perlu diperhatikan. Yang terpenting, meletakkan kebijakan tersebut agar aman dan terhindar dari ekses negatif. Tuntutan lainnya adalah komitmen law enforcement serta pembinaan mentalitas jujur, disiplin dan bertanggungjawab. Jaminan kesejahteraan dan kenyamanan bagi rakyat adalah tujuan utama syariat Islam (maqashid asy-syari’ah). (Hal 404).

Bagi Said, nampaknya kemungkaran dan kesejahteraan harus berjalan seiring.  Lokalisasi judi dianggap wajar, di sisi lain berharap terhindar dari ekses negatif. Bagaimana mungkin hak dan batil bercampur aduk? Bagaimana mungkin air yang jernih dan minyak menyatu? Sungguh kiai yang menyesatkan.

Latar Belakang SAS
Sebelum membedah pemikiran ngawurnya, perlu diketahui lebih jauh dan latar belakang Prof.Dr. Said Aqil Siroj. Ia lahir di Cirebon, 3 Juli 1953. Lulus S1 dari Universitas King Abdul Aziz cabang Makkah, Fakultas Syariah, tahun 1982. Lulus S2 dari Universitas Umm Al-Qura Makkah, Fakultas Ushuluddin, tahun 1987, dan S3 diperoleh dari Universitas dan fakultas yang sama, Umm Al Qura, tahun 1994 dengan predikat Summa Cumlaude.

Pendidikan agama diperoleh dari ayahnya di Madrasah Tolabul Mubtadi’in, Kempek, Palimanan, Cirebon, kemudian dilanjutkan ke Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri dan di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Kini, Said mengajar di Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1995-sekarang). Ia juga pernah menjabat sebagai Direktur Pascasarjana Universitas Islam Malang (Unisma). Pernah menjadi anggota Komnas HAM periode 1998-1999, dan anggota MPR-RI Fraksi Utusan Golongan tahun 1999-2004.
Pengalamannya berorganisasi, Said mengawalinya sebagai aktivis IPNU cabang Palimanan Cirebon, PMII Yogyakarta, Ketua KMNU (Keluarga Mahasiswa NU) Makkah,Wakil Katib ‘Am PBNU (1994-1998), Katib ‘Am PBNU (1998-1999), Rais Syuriah PBNU (1999-2004), dan Ketua PBNU (2004-2009). Kini ia menjabat sebagai Ketua Umum PBNU periode 2010-2014.
Sang Kiai kerap mengutip hadits yang berbunyi:
“Suatu saat nanti akan muncul sekelompok kecil dari umatku yang membaca Al-Qur’an, tetapi tidak mendapatkan substansinya. Mereka itu adalah sejelek-jeleknya makhluk di dunia ini.”

Tapi sepertinya Said Aqil Siroj tidak sadar bahwa hadits itu sesungguhnya ditujukan untuk menyindir dirinya sendiri. Ia lebih suka hadits itu diarahkan kepada lawan-lawan ideologinya. Nampaknya untaian kata yang benar, namun tendensius dan mengarah pada yang batil, ada pada diri seorang Said Aqil.

Untuk membedah pemikiran Said Aqil Siroj, Voa-Islam akan mengurainya dalam beberapa tulisan. Banyak bukti-bukti kesesatan berpikir sang kiai yang pernah aktif sebagai penasihat persahabatan Indonesia-Libya ini. Kita khawatir “Sejuta Said Aqil Siroj, iman Warga NU bisa Luntur”.  


source:
Desastian VoA-Islam
Selasa, 05 Jun 2012

Berpikir Amburadul Ala Ketua Umum PBNU Said Aqil soal Tauhid

JAKARTA  – Berdalih rahmatan lil’alamin, tawassuth (moderat), tawazun (keseimbangan), I’tidal (jalan tengah) dan tasamuh (toleran), Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj, membiarkan warganya beragama dengan akidah yang menggoyahkan. Alih-alih jalan tengah, justru membuat akidah warga NU bercampur dengan kebatilan, bahkan kemusyrikan.  

Dikatakan Said Aqil, Dengan kata lain, memeluk agama Islam adalah berarti “ber-Islam”, dan bukan memutlakkan Islam sebagai satu-satunya nama agama. Tidak mustahil, seseorang  mengaku secara formal sebagai pemeluk agama Yahudi, Nasrani, Hindu, Budha, Khonghucu ataupun lainnya, namun pada hakekatnya ia “ber-Islam”. Sekali-kali, Allah tidaklah menuntut manusia untuk memeluk Islam secara formal, atau mengikrarkan syahadat, tetapi justru hatinya bertolak belakang dengan pengakuan lisannya itu. (hal 158).

Bicara soal Tuhan, Said Aqil menyatakan, agama manapun di muka bumi, pasti meyakini dan mengimani adanya Zat Mahakuasa yang menciptakan alam semesta dan seisinya. Perbedaan penyebutan nama Tuhan, apakah itu Allah, Sang Hyang Widi, Dewa, Thian ataupun lainnya, bukanlah penghalang bagi keimanan seseorang. Substansi Tuhan, sungguh pun disebut dengan beribu-ribu nama, hakikatnya satu, yaitu Zat Pencipta alam semesta dan seisinya, yang mengatur roda kehidupan segala makhluk di dunia hingga di akhirat kelak.” (hal 263).

“Tuhan pun tidak akan marah seandainya tidak dipanggil Allah, seperti halnya orang Jawa yang memanggil “Pangeran” atau “Gusti Allah”. Semua symbol dan realitas lahiriah bukanlah tujuan beribadah dan beragama. Terminal akhir dalam beragama dan beribadah adalah komitmen seseorang untuk menghambakan diri kepada Tuhan. Tidak sedikit orang yang mengatasnamakan agama, tapi hakikatnya justru mentuhankan diriny dan melalaikan Allah.” (hal 310)

Menurut Said, umat beriman, bukanlah monopoli segolongan komunitas penganut agama tertentu saja. Semua orang yang tak mengingkari eksistensi Tuhan tercakup dalam bingkai “umat beriman” . Komunitas yang berada di luar pagar umat beriman – meminjam istilah theologi Islam – akan disebut gologan musyrik, munafiq, dan kafir… (hal 263).

Said juga menegaskan, aliran kepercayaan –Pangestu, sejauh yang ia ketahui, memiliki beberapa kesamaan pandangan dengan Islam, dan dengan agama-agama lainnya. (hal 297). Sebuah toleransi yang kebablasan menurut otak Kiai NU yang satu ini. 

Ukhuwah Islamiyah Eksklusif?
Kata Said, Allah sebagai Rabbul ‘alamin, penguasa alam semesta dan seisinya mengajarkan umat-Nya untuk menjadi umat yang inklusif, toleran dan terbuka. Distorsi lainnya adalah ketika ia lebih suka menggunakan istilah persaudaraan seiman, ketimbang ukhuwah Islamiyah. (hal  310).

Bahkan kata Said Aqil, Al Qur’an sekalipun tidak menyinggung soal menganjurkan ukhuwah Islamiyah. Justru yang ditekankan adalah persaudaraan seiman.” Ia mengutip QS. Al Hujurat:10
 Said menyebut kata ukhuwah Islamiyah cenderung eksklusif. “Oleh karena itu, patut dipertanyakan seandainya ada sebagian umat Islam saat ini yang mengembangkan visi eksklusif ukhuwah Islamiyah ini, sehingga bisa mengganggu semangat kerukunan dan interaksu harmonis diantara umat beragama…” (hal 310). 

Said bahkan menyebut kata ukhuwah Islamiyah sebagai “benturan teologi” antar umat beragama. Benturan itu ujung-ujungnya, kata Said, hanyalah soal perut, politik, atau kepentingan sectarian masing-masing pemeluk agama. (Hal 310).

Perbedaan diantara agama-agama yang ada sebenarnya, lanjut Said, merupakan kehendak Tuhan. Ini seharusnya dijadikan sebagai potensi untuk menciptakan sebuah kehidupan yang menjunjung tinggi budaya toleransi. “….Keragaman formal dan nama agama-agama di dunia ini tak luput dari “rekayasa” Tuhan bagi kemaslahatan umat manusia.” (hal 311).Dalam bukunya, Said juga meyakini Alkitab Perjanjian Baru untuk menjadi kutipan.

Atas nama pendekatan tasawuf, Said mengklaim, aspek pluralism bisa digali melalui dialog spiritual yang digunakan sebagai paradigm pelibatan yang intens di antara berbagai komunitas penganut agama. Yang dimaksud adalah forum lintas agama di sejulah daerah. (Hal 313 )
Masya Allah!! Semakin jelaslah, siapa yang memimpin warga NU saat ini dengan pemikiran sekuler dan liberalnya. 

source:
Desastian / Arrahmah
Selasa, 05 Jun 2012

Said Aqil Betul-betul Sekuler,Tolak Fatwa Haram MUI soal Sepilis

JAKARTA - Lagi-lagi Said Aqil menunjukkan ketidaksukaannya kepada kelompok Islam yang menolak sekularisme. “Anehnya, kebanyakan orang yang mempersoalkan paham itu muncul dari para politisi yang mengaku berasal dari partai-partai Islam. 

Menurut mereka, negara dan agama laksana sekeping dua mata uang tak adapat dipisah-pisahkan. Jika keduanya dipisahkan, maka dianggap sangat berlawanan dengan ajaran agama,” tukas Said.

Gairah formalisasi Islam, yang mengangkat wacana kesatuan agama dan institusi negara, belakangan ini semakin meningkat. Ini seiring dengan maraknya arus reformasi. Berdirinya partai-partai ber”asas Islam”, munculnya ide pembentukan fraksi Islam di DPR/MPR, serta terangkatnya kembali isu Piagam Jakarta, merupakan indikasi kuat atas upaya menyeret Islam dalam wilayah pemerintahan dan kenegaraan. Untuk menguji validitas gagasan para pelaku “politik Islam” tersebut, diperlukan tabayun atau klarifikasi berkaitan soal relasi Islam dan politik ini. Benarkah Islam memandang agama dan negara dalam satu wadah? (hal 169-170)

Kini, terbukti sudah, bahwa Said Aqil betul-betul sekuler dan berpaham liberal. Ia katakan, “…Islam sejak semula memang memberikan ruang atau sekulerisme. Bahkan bisa dikatakan bahwa sekulerisme merupakan karakteristik Islam. Corak kehidupan masyarakat Madinah yang dibangun Nabi Muhammad Saw menjadi saksi sejarah untuk itu.

Saat itu, Nabi Muhammad membedakan antara posisinya sebagai Nabi di satu sisi, , dan sebagai kepala negara di sisi lain. Piagam Madinah yang menjadi landasan bangunan etika pemerintahan saat itu, sama sekali tak menyebutkan asas Islam. Bahkan dalam suatu hadits secara tegas dikatakan Kalian lebih tahi soal urusan duniawi kalian.” (hal 170).

Lanjutnya, Tak satu pun dari prinsip-prinsip keagamaan ini yang dirancang untuk menghantam hukum positif negara. Berdirinya sebuah negara – meskipun tidak memakai asas Islam secara formal – tidak lepas dari upaya mengimplementasikan kelima prinsip tadi.

Mengapa Tidak Perlu Asas Formal Islam? Ini pertanyaan yang akan dijawab oleh Said Aqil dengan otak sekulernya: “Perlu kami tekankan bahwa esensi Islam bukanlah terletak pada dimensi legal-formal symbol-simbolnya. Justru perilaku dan moralitas manusialah yang menjadi prioritas utama agar manusia bisa berakhlak mulia. “ (hal 171).

Formalitas Islam, kata Said, hanyalah sebatas syiar keagamaan yang kualifikasinya hanya berada di penghujung ayat. Sementara yang diprioritaskan adalah berseru kepada Allah dan beramal saleh. Seruan Tuhan tersebut memang sangat beralasan. Apabila prioritas formalitas Islam diletakkan pada peringkat pertama, tentu sangat berbahaya… (hal 172).

Said Aqil lalu menyimpulkan, “Islam tidak dirancang untuk menjadi sebuah institusi negara. Upaya menarik Islam dalam sebuah formalitas politik praktis dan urusan kenegaraan justru semakin membawa Islam pada arena kepentingan yang sangat instan serta memerosokannya dalam lembah distorsi doktrinal. Dan karena itu pula, pemisahan agama dan negara atau sekularisme mutlak bukanlah suatu keniscayaan. Memang, sungguh tidak mudah memahami Islam secara benar.” (hal 172)

Tolak Fatwa Haram Sepilis
Pluralisme juga diusung Said: “Sejarah panjang umat beragama telah menunjukkan bahwa manusia mampu mengelola pluralism dengan baik. Sebenarnya jika kita teliti lebih jauh, pluralisme juga mencapai puncak harmoni ketika manusia berbicara tentang “pintu-pintu menuju Tuhan”. (hal 288)

Lalu bagaimana dengan sebutan pluralism itu sendiri? Bukankah itu dianggap problematic? Apalagi setelah MUI mengeluarkan fatwa haramnya pluralisme (Juli 2005)? Pertanyaan ini dijawab Said Aqil sebagai berikut:

Wacana pluralism, humanism, demokrasi dan universalisme, merupakan konsep-konsep yang bersifat universal dengan setting sosial yang sifatnya lokal. Berbagai konsep tersebut kemudian mengalami sosialisasi menembus batas negara hingga merasuk ke semua lapisan masyarakat di belahan dunia. Konsep-konsep tersebut dengan cepat mengglobal karena isu-isu kemanusiaan menjadi acuan bersama. Lahirnya konsep-konsep tersebut di negara-negara maju ikut pula mendorong proses ekspansinya ke negara-negara yang lebih terbelakang.

“Walhasil, indegenisasi pluralism dalam konteks umat Islam tidak akan membahayakan sepanjang tetap mempertahankan spesifikasi ajaran Islam dn tetap berpijak pada prinsip-prinsip universal. Jadi, tidak perlu misalnya dengan mengeluarkan fatwa-fatwa halal-haram, yang justru kian membuat bingung umat,” ungkap Said. (hal 291).

Pada halaman 363, Said mengatakan, sekulerisasi dalam Islam lebih dekat dengan pengertian “islahuddin” atau pembaharuan agama. (hal 363). 




source:
Desastian / Arrahmah

Selasa, 05 Jun 2012

Said Aqil, Kiai yang Anti Simbol Islam dan Formalisasi Syariat Islam

JAKARTA  – Berikut ini Voa-Islam akan membeberkan bukti-bukti ketidaksukaan seorang Said Aqil Siroj (SAS) terhadap simbol-simbol Islam, di dalam buku yang ditulisnya “Tasawuf Sebagai Kritik Sosial”: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi, Bukan Aspirasi”.

Said Aqil menjelaskan, “Tuntutan sekelompok umat Islam yang menghendaki penerapan syariat Islam sering justru mengabaikan dimensi batiniah dan etis Islam itu, yaitu aspek tasawuf. Dalam pandangan Aswaja, hal itu dianggap melanggar sunnatullah, yang menghendaki manusia di bumi ini hidup secara harmonis dan berkeseimbangan…” (hal 19).

Sikap tendensius Said Aqil terhadap perda-perda yang bernuansakan syariat Islam juga bisa disimak dari tulisannya: “Singkatnya, semangat dasar dari syariat Islam adalah moralitas, dan bukan syariat yang identik dengan perda-perda (peraturan daerah) di era otonomi daerah seperti sekarang ini.” (hal 30).

Said berpandangan, “Pada masa Nabi Muhammad Saw, syariat menampilkan dua aspek dalam dirinya, aspek eksoterik dan esoterik. Sisi eksoterik syariat Islam seperti kewajban shalat, puasa, zakat, haji, dan jihad fi sabilillah, baru sempurna ketika kondisi sosial politik serta ekonomi masyarakat Madinah sudah sampai ke situasi stabil dan kukuh. Kondisi masyarakat yang cukup plural dan tuntutan pemberlakuan syariat-moral Islam, memberikan inspirasi bagi Nabi Muhammad Saw, untuk mendirikan apa yang kemudian dikenal dengan “Negara Madinah”. Konsep Negara Madinah kemudian menjadi “Piagam Madinah”.

Selanjutnya, tulis Said, “Yang menarik, dalam Piagam Madinah ini tidak ditemukan teks-teks apapun yang menunjukkan superioritas simbol-simbol Islam. Seperti kata “Islam”, “ayat Al-Qur’an”, “Syariat Islam”, atau sesuatu yang menunjukkan perlakuan khusus terhadap umat Islam….” (hal 31).

Said pun membuat analisa yang salah: “Khalifah Umar memegang satu prinsip yang diajarkan oleh Rasulullah Saw, yakni bahwa amar maruf (mendorong berbuat baik) haruslah lebih diutamakan daripada  nahi munkar (melarang berbuat kemungkaran).”

Said menyimpulkan, “melalui pengalaman Nabi Muhammad di Madinah ini, syariat Islam lebih bermakna sebagai upaya untuk saling menghormati dan menghargai, tolong-menolong, cinta tanah air, mewujudkan keadilan dan kemakmuran. Dari pengertian inilah, Islam pun dikenal dengan penegakan syariat secara kaffah.” (hal 32).

Kelirunya lagi, menurut Said Aqil, Abu Bakar Ash-Shiddiq, khalifah pertama penganti Nabi Muhammad Saw, selama masa pemerintahannya, hanya memerankan diri sebagai pemimpin negara, bukan pemimpin keagamaan….Semenjak itu agama pun telah terpisah dari negara.” (hal 138).

Semenjak kepemimpinan spiritual di tangan para pemuka agama terpisah dari negara, formulasi relasi agama dan negara menjadi perdebatan sepanjang masa. Menurut Said Aqil, hal ini dianggap wajar, mengingat Islam (Al-Qur’an) tidak mempunyai sistem politik yang baku.  Islam tidak menggariskan sebuah konsep bernegara dan tidak mempunyai konsep bernegara.

Sebaliknya, lanjut Said, Islam hanya mengandung norma-norma bernegara secara baik dan benar, tanpa mengatur secara teknis sebuah sistem politik dan pemerintahan. Pasang surut relasi agama dan negara dalam sejarah umat Islam menempatkan ulama sebagai figur sentral di luar khilafah atau raja. Dengan posisi demikian, ulama melakukan peran-peran yang tidak dapat dilakukan oleh negara. Maka ditengah masyarakat pun muncul pemimpin informal yang didominasi oleh para ulama.” (hal 146).

Phobi Simbol Islam
Begitu phobia-nya, dengan sadis Said  Aqil menuding, “Upaya memolitisasi “agama” dengan menonjolkan simbol atau jargon formalitas suatu agama, haruslah diminimalisasi, bahkan kalau perlu dikikis habis, karena fenomena semacam itu justru melemparkan nilai-nilai spiritualitas seseorang pada titik terendah…” (hal 150-151).

Menurut Said, simbol-simbol seperti sorban, jubah, peci, kubah dan sebagainya, bukanlah standar Islam. Esensi simbol-simbol itu hanyalah sekadar syiar. (hal 158). 

Lalu Said pun mengutip dalil (Al Qur’an) dengan penafsiran yang keliru, seolah Islam bukan satu-satunya agama yang diridhoi Tuhan.
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabi’in (penyembah berhala), dan orang-orang Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, maka tidak aka nada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (QS. Al-Maidah: 69).

Ketidaksukaan Said terhadap simbol Islam juga disertai dengan mengutip hadits Nabi Saw yang ia maksudkan untuk menyindir kelompok Islam yang kerap menggunakan simbol-simbol Islam. “Sesungguhnya Allah tidak akan melihat pada tampilan lahiriah kamu sekalian atau bentuk tubuh kamu, namun Dia hanya melihat hati dan bukti amal perbuatan kalian.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah).

Kebencian Said Aqil pada simbol –simbol Islam, ia tunjukkan dengan mendefinisikan kata Menara dan bentuk Kubah. Menurutnya, menara itu berasal dari kata manara, yang berarti ‘tempat perapian”, yaitu sebuah tradisi budaya umat penganut Zoroaster masa Persia Kuno. Sedangkan kubah adalah tradisi budaya Kristen di Romawi (Konstantinopel). (hal 19-191).

Jihad versi Said
Ketika para ilmuwan belum menemukan definisi yang pas terhadap istilah radikal, Said Aqil malah membuat definisi dan penafsiran sendiri. Menurutnya, radikalisme dalam bahasa Arab disebut “syiddah at-tanatu”. Artinya keras, eksklusifm berpikiran sempit, rigid, serta memonopoli kebenaran. Muslim radikal adalah orang Islam yang berpikiran sempit, kaku dalam memahami Islam, serta bersifat eksklusif dalam memandang agama-agama lainnya…. (hal 102).

Said Aqil mencoba menafsirkan jihad sebagai bela tanah air, bukan semata bela agama. Ia mengurai sejarah Resolusi Jihad yang dicetuskan oleh Rais Akbar Nahdlatul Ulama, KH. Hasyim Asy’ari.  Dikatakan, KH. Hasyim Asy’ari pernah menerjemahkan makna jihad ini secara kontekstual di bumi Indonesia, yakni pada tahun 1945. Tatkala serdadu sekutu yang dipelopori Inggris datang ke Surabaya pada bulan November 1945, beliau secara tegas mengeluarkan resolusi jihad guna memerangi sekutu. Perang yang dimaksud beliau sama sekali tidak dimaksudkan untuk membela agama semata, tetapi juga untuk membela Tanah Air dan bangsa.

Pasalnya, dalam pandangan NU, seperti ditegaskan dalam muktamarnya di Banjarmasin pada 1936, membela Tanah Air dan bangsa berarti juga melindungi semua komunitas, baik Muslim, Kristen, Hindu, Budha, aliran kepercayaan maupun komunitas adat lainnya.  (Hal 109).

“…Oleh karena itu, jika saat ini muncul gelombang massa “Islam” yang ingin berjihad ke suatu daerah, seperti dulu ke wilayah Maluku dan Poso, sebenarnya usaha tersebut justru bertolak belakang dengan esensi jihad itu sendiri. 
Adalah benar, kalau yang dimaksud jihad itu adalah mempersatukan warga Maluku dan Poso, misalnya, secara keseluruhan dalam pangkuan NKRI, sehingga setiap elemen separatism bisa segera lenyap. Atau jihad diarahkan untuk memaksimalkan kemampuan warga setempat untuk membangun kekuatan bersama untuk mengatasi konflik atau membangun rekonsiliasi bersama pasca konflik.” (hal 109).

Persoalannya, PBNU tidak pernah turun ketika terjadi konflik berdarah seperti Muslim dan Poso. Bahkan membangun rekonsiliasi pun tidak. Ingat! Pada masa Gus Dur, PBNU lebih condong kepada tirani minoritas, sementara umat Islam yang menjadi korban kekejian tidak pernah mendapatkan advokasi secara adil. 

Dalam beberapa kasus yang lain, PBNU lebih memilih diam atau lebih tepatnya mencari aman saja. Sehingga kontribusi dan peran PBNU dalam menyelesaikan konflik hanya slogan dan sebatas papan nama saja. Menyedihkan!

source:
Desastian / Arrahmah
Selasa, 05 Jun 2012

Said Aqill: Indonesia Idealnya Negara Darussalam, Bukan Darul Islam

JAKARTA  – Dalam bukunya “Tasawuf Sebagai Kritik Sosial”, Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj menegaskan, umat Islam dalam perjalanan hidupnya haruslah mencita-citakan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat sebagai terminal akhir. Kebahagaiaan dan kedamaian itulah yang kemudian diwujudkan dalam sebuah ruang yang bernama “Darussalam”, negeri yang damai dan sentosa. Sementara sebutan Darul Islam, negeri Islam, hanyalah merupakan kulit atau tampilan luarnya semata.

Menurut Said, memimpikan sebuah Darul Islam, selain menguras tenaga dengan percuma, juga akan konyol, dan pasti menemui jalan buntu. Dalam lintasan sejarah umat di Indonesia, membangun Darul Islam tak akan pernah berhasil diwujudkan. Oleh karena itu, sangatlah strategis langkah para ulama pada Muktamar NU di Banjarmasin pada tahun 1936, yang menghasilkan keputusan penting, yakni mereka menempatkan negara Indonesia sebagai Darussalam, dan bukan Darul Islam.

Dikatakan Strategis karena hingga saat ini konstruksi tersebut sangat relevan dan konsisten dengan berdirinya NKRI dibawah payung Pancasila dan UUD 45, yang didalangi diantaranya oleh tokoh NU sendiri, yakni KH. Wahid Hasyim. Kemunculan Khiththath Nahdliyah 1926 kemudian dikukuhkan dalam Muktamar NU di Situbondo 1984, menunjukkan komitmen tersebut. Dengan kata lain, cara berpolitik NU tetap dalam kerangka Negara Kesatuan RI sebagai wadah Darussalam. (hal 159)

Dengan mudahnya kiai NU ini menjust kelompok Islam yang tulus mendambakan Darul Islam atau setidaknya melahirkan perda-perda “syariah” sebagai pihak yang memperalat atau mem-politisasi agama. “Jadi, politisasi agama berarti melakukan segala aktivitas dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakannya dengan menggunakan legitimasi agama. Proses politisasi agama secara otomatis menimbulkan proses desakralisasi agama itu sendiri hingga ke titik nadir,” ungkap Said tendensius.

Said Aqil lalu memberi contoh politisasi agama yang menorehkan sejarah kelam peradaban manusia. Ia menyebut peristiwa eksekusi mati sufi besar Al-Hallaj, genocide sekte Syiah di masa kekuasaan Bani Umayah hingga pembumihangusan ajaran Mu’tazilah di akhir pemerintahan Dinasti Abbasiyah seabagi bentuk politisasi agama. (hal 168).

Dengan sangat beraninya, Said Aqil bahkan mencibir pencetus Pan-Islamisme yang dirintis Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh, termasuk gerakan Ikhwanul Muslimin yang dipelopori Hasan Al-Banna. “Sejak awal abad ke-20 hingga kini  ada desakan sebagian orang Islam yang mengaku sebagai pembaharu atau modernis, untuk mendirikan negara Islam atau Pan-Islamisme. Termasuk tuntutan Islamisasi di berbagai sektor kehidupan berbangsa dan bernegara. Sayangnya, yang terlihat mulia tersebut, belum satu pun terwujud di muka bumi ini.” (hal 271)

Kenapa tidak terwujud? Said mengatakan, “Menurut saya, selain kerancuan mereka dalam membedakan “institusi Islam” dan “Fungsi dan misi Islam”, juga karena diselubungi oleh kepentingan kekuasaan dengan dalih perjuangan Islam…memperalat Islam sebagai tunggangan politik yang merendahkan nilai-nilai luhur agama tersebut.” (Hal 271)

Said juga mengekspresikan ketidaksukaannya dengan pengibaran bendera Islam, saat dibentuk MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) yang kemudian berubah menjadi Masyumi. Disusul hadirnya sejumlah konstestan dalam Pemilu 1955 dari partai-partai yang memakai label “Islam”. 

Bukan hanya itu, Said begitu gembira ketika para founding father mencoret kata “dengan kewajiban melaksanakan syariat bagi para pemeluknya” dalam Piagam Jakarta. Kandasnya Piagam Jakarta, yang ia sebut sebagai kepentingan politik, telah disyukuri Said dalam buku yang ditulisnya secara berulang-ulang. (hal 272)
…Indonesia bukanlah negara agama, juga bukan negara sekuler. Peluang tampilnya formalitas identitas agama dalam percaturan politik akhirnya tertutup rapat melalui kesepakatan asas tunggal Pancasila (Hal. 273),” tulis Said.

Secara kasar, Said menyebut tokoh Islam yang mengganti Pancasila sebagai pemikir yang dangkal. “Salah satu contoh kedangkalan tersebut nampak dari upaya beberpa orang yang mengaku cendekiawan yang ingin mengganti Pancasila dengan asas Islam, sehingga baginya negara Islam itu haruslah diwujudkan.”

Ketika agama menjadi ruh untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara, Said malah menuduh agama sebagai alat kepentingan. Lalu dengan bodoh, Said mengatakan, seharusnya agama sebagai inspirasi, bukan aspirasi. Padahal keduanya, inspirasi dan aspirasi adalah hal yang tidak bisa dipisahkan. 

source:
Desastian / VoA-Islam
Selasa, 05 Jun 2012