Laman

Rabu, 06 Juni 2012

Said Aqil, Kiai yang Anti Simbol Islam dan Formalisasi Syariat Islam

JAKARTA  – Berikut ini Voa-Islam akan membeberkan bukti-bukti ketidaksukaan seorang Said Aqil Siroj (SAS) terhadap simbol-simbol Islam, di dalam buku yang ditulisnya “Tasawuf Sebagai Kritik Sosial”: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi, Bukan Aspirasi”.

Said Aqil menjelaskan, “Tuntutan sekelompok umat Islam yang menghendaki penerapan syariat Islam sering justru mengabaikan dimensi batiniah dan etis Islam itu, yaitu aspek tasawuf. Dalam pandangan Aswaja, hal itu dianggap melanggar sunnatullah, yang menghendaki manusia di bumi ini hidup secara harmonis dan berkeseimbangan…” (hal 19).

Sikap tendensius Said Aqil terhadap perda-perda yang bernuansakan syariat Islam juga bisa disimak dari tulisannya: “Singkatnya, semangat dasar dari syariat Islam adalah moralitas, dan bukan syariat yang identik dengan perda-perda (peraturan daerah) di era otonomi daerah seperti sekarang ini.” (hal 30).

Said berpandangan, “Pada masa Nabi Muhammad Saw, syariat menampilkan dua aspek dalam dirinya, aspek eksoterik dan esoterik. Sisi eksoterik syariat Islam seperti kewajban shalat, puasa, zakat, haji, dan jihad fi sabilillah, baru sempurna ketika kondisi sosial politik serta ekonomi masyarakat Madinah sudah sampai ke situasi stabil dan kukuh. Kondisi masyarakat yang cukup plural dan tuntutan pemberlakuan syariat-moral Islam, memberikan inspirasi bagi Nabi Muhammad Saw, untuk mendirikan apa yang kemudian dikenal dengan “Negara Madinah”. Konsep Negara Madinah kemudian menjadi “Piagam Madinah”.

Selanjutnya, tulis Said, “Yang menarik, dalam Piagam Madinah ini tidak ditemukan teks-teks apapun yang menunjukkan superioritas simbol-simbol Islam. Seperti kata “Islam”, “ayat Al-Qur’an”, “Syariat Islam”, atau sesuatu yang menunjukkan perlakuan khusus terhadap umat Islam….” (hal 31).

Said pun membuat analisa yang salah: “Khalifah Umar memegang satu prinsip yang diajarkan oleh Rasulullah Saw, yakni bahwa amar maruf (mendorong berbuat baik) haruslah lebih diutamakan daripada  nahi munkar (melarang berbuat kemungkaran).”

Said menyimpulkan, “melalui pengalaman Nabi Muhammad di Madinah ini, syariat Islam lebih bermakna sebagai upaya untuk saling menghormati dan menghargai, tolong-menolong, cinta tanah air, mewujudkan keadilan dan kemakmuran. Dari pengertian inilah, Islam pun dikenal dengan penegakan syariat secara kaffah.” (hal 32).

Kelirunya lagi, menurut Said Aqil, Abu Bakar Ash-Shiddiq, khalifah pertama penganti Nabi Muhammad Saw, selama masa pemerintahannya, hanya memerankan diri sebagai pemimpin negara, bukan pemimpin keagamaan….Semenjak itu agama pun telah terpisah dari negara.” (hal 138).

Semenjak kepemimpinan spiritual di tangan para pemuka agama terpisah dari negara, formulasi relasi agama dan negara menjadi perdebatan sepanjang masa. Menurut Said Aqil, hal ini dianggap wajar, mengingat Islam (Al-Qur’an) tidak mempunyai sistem politik yang baku.  Islam tidak menggariskan sebuah konsep bernegara dan tidak mempunyai konsep bernegara.

Sebaliknya, lanjut Said, Islam hanya mengandung norma-norma bernegara secara baik dan benar, tanpa mengatur secara teknis sebuah sistem politik dan pemerintahan. Pasang surut relasi agama dan negara dalam sejarah umat Islam menempatkan ulama sebagai figur sentral di luar khilafah atau raja. Dengan posisi demikian, ulama melakukan peran-peran yang tidak dapat dilakukan oleh negara. Maka ditengah masyarakat pun muncul pemimpin informal yang didominasi oleh para ulama.” (hal 146).

Phobi Simbol Islam
Begitu phobia-nya, dengan sadis Said  Aqil menuding, “Upaya memolitisasi “agama” dengan menonjolkan simbol atau jargon formalitas suatu agama, haruslah diminimalisasi, bahkan kalau perlu dikikis habis, karena fenomena semacam itu justru melemparkan nilai-nilai spiritualitas seseorang pada titik terendah…” (hal 150-151).

Menurut Said, simbol-simbol seperti sorban, jubah, peci, kubah dan sebagainya, bukanlah standar Islam. Esensi simbol-simbol itu hanyalah sekadar syiar. (hal 158). 

Lalu Said pun mengutip dalil (Al Qur’an) dengan penafsiran yang keliru, seolah Islam bukan satu-satunya agama yang diridhoi Tuhan.
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabi’in (penyembah berhala), dan orang-orang Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, maka tidak aka nada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (QS. Al-Maidah: 69).

Ketidaksukaan Said terhadap simbol Islam juga disertai dengan mengutip hadits Nabi Saw yang ia maksudkan untuk menyindir kelompok Islam yang kerap menggunakan simbol-simbol Islam. “Sesungguhnya Allah tidak akan melihat pada tampilan lahiriah kamu sekalian atau bentuk tubuh kamu, namun Dia hanya melihat hati dan bukti amal perbuatan kalian.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah).

Kebencian Said Aqil pada simbol –simbol Islam, ia tunjukkan dengan mendefinisikan kata Menara dan bentuk Kubah. Menurutnya, menara itu berasal dari kata manara, yang berarti ‘tempat perapian”, yaitu sebuah tradisi budaya umat penganut Zoroaster masa Persia Kuno. Sedangkan kubah adalah tradisi budaya Kristen di Romawi (Konstantinopel). (hal 19-191).

Jihad versi Said
Ketika para ilmuwan belum menemukan definisi yang pas terhadap istilah radikal, Said Aqil malah membuat definisi dan penafsiran sendiri. Menurutnya, radikalisme dalam bahasa Arab disebut “syiddah at-tanatu”. Artinya keras, eksklusifm berpikiran sempit, rigid, serta memonopoli kebenaran. Muslim radikal adalah orang Islam yang berpikiran sempit, kaku dalam memahami Islam, serta bersifat eksklusif dalam memandang agama-agama lainnya…. (hal 102).

Said Aqil mencoba menafsirkan jihad sebagai bela tanah air, bukan semata bela agama. Ia mengurai sejarah Resolusi Jihad yang dicetuskan oleh Rais Akbar Nahdlatul Ulama, KH. Hasyim Asy’ari.  Dikatakan, KH. Hasyim Asy’ari pernah menerjemahkan makna jihad ini secara kontekstual di bumi Indonesia, yakni pada tahun 1945. Tatkala serdadu sekutu yang dipelopori Inggris datang ke Surabaya pada bulan November 1945, beliau secara tegas mengeluarkan resolusi jihad guna memerangi sekutu. Perang yang dimaksud beliau sama sekali tidak dimaksudkan untuk membela agama semata, tetapi juga untuk membela Tanah Air dan bangsa.

Pasalnya, dalam pandangan NU, seperti ditegaskan dalam muktamarnya di Banjarmasin pada 1936, membela Tanah Air dan bangsa berarti juga melindungi semua komunitas, baik Muslim, Kristen, Hindu, Budha, aliran kepercayaan maupun komunitas adat lainnya.  (Hal 109).

“…Oleh karena itu, jika saat ini muncul gelombang massa “Islam” yang ingin berjihad ke suatu daerah, seperti dulu ke wilayah Maluku dan Poso, sebenarnya usaha tersebut justru bertolak belakang dengan esensi jihad itu sendiri. 
Adalah benar, kalau yang dimaksud jihad itu adalah mempersatukan warga Maluku dan Poso, misalnya, secara keseluruhan dalam pangkuan NKRI, sehingga setiap elemen separatism bisa segera lenyap. Atau jihad diarahkan untuk memaksimalkan kemampuan warga setempat untuk membangun kekuatan bersama untuk mengatasi konflik atau membangun rekonsiliasi bersama pasca konflik.” (hal 109).

Persoalannya, PBNU tidak pernah turun ketika terjadi konflik berdarah seperti Muslim dan Poso. Bahkan membangun rekonsiliasi pun tidak. Ingat! Pada masa Gus Dur, PBNU lebih condong kepada tirani minoritas, sementara umat Islam yang menjadi korban kekejian tidak pernah mendapatkan advokasi secara adil. 

Dalam beberapa kasus yang lain, PBNU lebih memilih diam atau lebih tepatnya mencari aman saja. Sehingga kontribusi dan peran PBNU dalam menyelesaikan konflik hanya slogan dan sebatas papan nama saja. Menyedihkan!

source:
Desastian / Arrahmah
Selasa, 05 Jun 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar