Laman

Jumat, 23 Maret 2012

Buku 'Ya Mereka Memang Thaghut' itu Menyerang Negara, kata Anggota DPR

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) kini memiliki mitra kerja baru di DPR. Bila sebelumnya BNPT bermitra dengan Komisi VIII yang membidangi agama, kali ini BNPT ‘dipasangkan’ dengan Komisi III yang membidangi masalah hukum, keamanan dan HAM. Kemarin, Senin (19/3), rapat dengar pendapat (RDP) perdana antara Komisi III dan BNPT digelar.

Anggota Komisi III dari PDIP M Nurdin mengatakan pemberantasan terorisme tak bisa hanya dilakukan oleh satu pihak, melainkan harus melibatkan seluruh komponen bangsa. Karenanya, ia berharap BNPT tak hanya bekerja sama dengan aparatur pemerintah yang terkait penegakan hukum, tetapi juga dengan petugas Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) tempat narapidana terorisme dibina.

Nurdin menyoroti penempatan napi teroris yang dicampur dengan narapidana kasus kejahatan lain. Ia berharap napi teroris ditempatkan di blok khusus sesama napi teroris sehingga tak ada penyebaran ideologi kepada napi-napi lain non-kasus teroris. “Sebaiknya tak digabung,” ujarnya di ruang rapat Komisi III.

Napi Teroris Menulis Buku
Selain itu, Nurdin juga menyayangkan longgarnya pengawasan di Lapas sehingga membuat napi teroris dengan mudah menulis buku untuk menyebarkan ideologi radikal yang dianutnya. “Ada napi yang bernama Abdurrahman (Aman Abdurrahman_red) yang masih dipenjara, tapi di luar muncul bukunya ‘Mereka Memang Thagut’. Buku ini isinya menyerang negara. Ini harus diperhatikan,” jelasnya sambil menunjukan buku karya Aman Abdurrahman yang divonis sembilan tahun penjara dalam kasus pelatihan militer di Aceh.

Aman Abdurrahman bukan saja terpidana kasus terorisme pertama yang menulis buku dari jeruji besi. Sebelumnya, dua terpidana kasus Bom Bali Imam Samudra dan Amrozi juga menulis buku terkait ‘jalan’ yang mereka pilih. Imam menulis buku ‘Aku Melawan Teroris’ dan Amrozi menulis buku ‘Senyum Terakhir Sang Mujahid’.

Ansyad Mbai Serba Salah
Kepala BNPT Ansyaad Mbai mengaku serba salah memperlakukan terpidana teroris. Apabila para napi teroris dikumpulkan dalam satu blok di Lapas maka dikhawatirkan akan terjadi 'reuni' dan mereka akan merencanakan aksi baru dari balik penjara. Namun, bila napi teroris dicampur dengan napi kasus lain, maka napi tersebut dikhawatirkan akan didoktrin menjadi teroris baru ketika keluar dari penjara.

“Ini terjadi di Poso dan Medan. Kasus Penyerangan di Bank CIMB Niaga Medan itu terjadi karena pelakunya dicuci otaknya di Lapas hanya dalam waktu beberapa jam,” jelas Ansyaad.

Terkait penulisan buku, Ansyaad menuturkan bahwa sekarang sedang terjadi ‘perang buku’ antara pelaku teroris dengan eks teroris. Ia menjelaskan buku karya Aman Abdurrahman yang disebut Nurdin itu merupakan bantahan terhadap buku yang ditulis oleh eks teroris yang telah tobat.

“Awalnya, Ustadz Khairul Ghazali menulis dua buku. Yakni, Perampokan bukan fa’i dan Mereka Bukan Thagut. Buku yang bapak pegang itu merupakan jawabannya. Kami berharap para mantan teroris menulis buku-buku sebanyak mungkin untuk menderadikalisasi teman-temannya yang lain,” jelasnya.

Sementara, Anggota Komisi III dari PPP Ahmad Yani meminta agar pemberantasan teroris harus dilakukan secara hati-hati. Ia mengatakan BNPT jangan langsung mencap seseorang sebagai teroris dengan penafsiran keagamaan yang dianut oleh seseorang.

“Itu tergantung kondisi ketika dia menafsirkan,” ujarnya. Ia mencontohkan orang atau ustadz yang dekat dengan istana cenderung menafsirkan ayat lebih moderat dibanding ustadz yang bertentangan dengan penguasa.

“Dulu, sejak zaman kemerdekaan juga begitu. Ulama besar seperti Sayyid Quthb (asal Mesir) menafsirkan Al Quran dari penjara ketika ditahan oleh rezim di Mesir. Buya Hamka juga menulis tafsir Al Quran juga dari balik penjara. Mungkin isinya agak keras, karena kondisinya memang seperti itu, tetapi tak serta-merta mencap mereka sebagai teroris,” pungkasnya.


Kutipan :
hukumonline (VoA-Islam)
Diposting Selasa, 20-03-2012 | 15:50:44 WIB

RUU Kesetaraan Gender: Untuk Siapa?

Kontroversi gagasan “Kesetaraan Gender” mencuat kembali sejalan dengan pembahasan RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG) di DPR RI. Pembaca yang akrab dengan wacana feminisme dan gender, akan memahami, bahwa RUU ini cenderung seksis, yakni hanya mengutamakan salah satu jenis kelamin saja. Yang dikedepankan adalah isu ketertindasan kaum perempuan. RUU ini sangat kental dengan ideologi feminisme yang tidak ada hubungannya dengan pembangunan bangsa Indonesia yang bermartabat. Bahkan sebagiannya hanyalah terjemahan dari Convention on the Elimination of all forms of Discrimination Against Women (CEDAW). Misalnya tentang definisi diskriminasi terhadap perempuan.

Dalam Bab I pasal 1 ayat 4 Draft RUU KKG menyebutkan: Diskriminasi adalah segala bentuk pembedaan, pengucilan, atau pembatasan, dan segala bentuk kekerasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin tertentu, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan manfaat atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang lainnya terlepas dari status perkawinan, atas dasar persamaan antara perempuan dan laki-laki.

Definisi ini tidak jauh berbeda dengan part I article I CEDAW yang berbunyi: …discrimination against women shall mean any distinction, exclusion or restriction made on the basis of sex which has the effect or purpose of impairing or nullifying the recognition, enjoyment or exercise by women, irrespective of their marital status, on a basis of equality of men and women, of human rights and fundamental freedoms in the political, economic, social, cultural, civil or any other field.”

Definisi di atas, dalam batasan tertentu, mengesankan muatan spirit dekonstruksi dan provokasi sekaligus. Sebab dalam ilmu sosial, aturan maupun undang-undang biasanya dibuat untuk menyikapi dan mengantisipasi gejala sosial yang ada atau mungkin akan terjadi. 

Lalu apakah selama ini di Indonesia secara umum telah berlangsung pemasungan dan perampasan hak-hak perempuan di segala bidang kehidupan sehingga RUU ini sangat mendesak untuk disahkan? Apakah perempuan menginginkannya? Dan apakah perempuan juga harus menginginkannya? Ataukah hal ini karena sebagai konsekwensi logis dari keikutsertaan Indonesia menandatangani konvensi CEDAW pada tahun 1980, sehingga tidak diperlukan kontekstualisasi keindonesiaan dalam mengimplementasikan butir-butir yang termaktub dalam CEDAW?

Redaksi pengertian diskriminasi dalam RUU di atas bisa diinterpretasikan untuk membuka perlindungan terhadap segala bentuk kebebasan yang dikehendaki perempuan dan mengesampingkan batasan-batasan agama, keluarga dan ikatan perkawinan. Termasuk hak perempuan untuk memiliki dan mengelola tubuhnya sendiri tanpa diintervensi oleh undang-undang dan kitab suci, seperti yang selalu didendangkan kaum feminis: My body, my choice, my pleasure.

Konsekuensinya,  negara harus melegalkan undang-undang tentang hak melakukan aborsi bagi perempuan yang berusia 18 tahun keatas, pernikahan beda agama dan pernikahan sesama jenis. Termasuk juga hak istri mengadukan suaminya kepada pihak berwajib atas tuduhan pemerkosaan. Dalam wacana gender, isu ini dikenal dengan istilah marital rape, yaitu hubungan seksual yang tidak dikehendaki atau tanpa persetujuan sang istri.

Dengan munculnya RUU KKG  ini semakin memperjelas bahwa istilah "gender" tidak lagi bersifat netral. Gender hanya digunakan untuk perempuan dan "membela" kepentingan kalangan elitis perempuan. Gender bukanlah konsep keadilan yang ditegakkan terhadap laki-laki dan perempuan secara setara. Kesetaraan gender hanya digunakan untuk memerangi ketidakadilan yang menimpa perempuan. Maka tidak mengherankan dengan digulirkannya RUU ini, nuansa seksisme dalam perundang-undangan di Indonesia semakin menguat. 
Simak saja misalnya berjubelnya ungkapan dalam RUU ini yang hanya terfokus pada hak-hak perempuan, perlindungan terhadap perempuan, peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan perempuan, peningkatan keterlibatan dan partisipasi aktif perempuan dalam semua bidang kehidupan terutama dalam proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan publik di semua tingkat kelembagaan, dan lain-lain.

Daripada merombak konsep-konsep dasar dalam hubungan laki-laki dan perempuan yang telah ditetapkan dalam Islam, para aktivis KKG sebaiknya lebih menfokuskan kepada pembelaan terhadap masalah-masalah riil yang dihadapi kaum perempuan dan semua pihak saat ini.   
Misalnya, masalah pemberantasan human trafficking dan rehabilitasi kesehatan mental para korban, memperbanyak tersedianya ruang menyusui di mal-mal, terminal, tempat kerja dan fasilitas publik lainnya (nursing room for breastfeeding mothers), memberikan masa cuti bergaji bagi yang hamil dan melahirkan minimal selama setahun, cuti haid, menerapkan masa kerja yang lebih fleksibel bagi ibu-ibu yang berkarier, memperjuangkan subsidi bulanan bagi ibu kurang mampu yang mempunyai bayi hingga usia lima tahun atau lebih, menyediakan persalinan yang mudah, aman, sehat dan murah, dan lain sebagainya.

Jika demikian, anggapan bahwa RUU KKG ini disusun untuk memenuhi ambisi perempuan dari kalangan elitis tertentu otomatis akan terbantahkan. Dalam masalah cuti bersalin (maternity leave) kita bisa meniru beberapa negara di Eropa Tengah. Mereka tidak tunduk dengan kepentingan perusahaan-perusahaan internasional yang beroperasi di negaranya.

Di Republik Ceko dan Slovakia, standar cuti hamil yang diberikan selama tiga tahun untuk setiap anak. Ibu-ibu bisa memilih masa cuti hamil selama 2, 3 atau 4 tahun. Gaji selama masa cuti dibayar oleh negara. Di Slovakia masa cuti hamil standar adalah 3 tahun. Tapi bisa diperpanjang hingga 6 tahun jika anaknya cacat. Negara membayar gaji cuti hamil sebesar EUR. 256 (sekitar Rp. 3.051.520) per bulan selama dua tahun pertama. Setelah periode ini tunjangan yang diberikan sebesar EUR. 164,22 (sekitar Rp. 1.957.502) per bulan. Demikian halnya di Austria. Sedangkan Swedia memberi masa cuti hamil selama 16 bulan untuk setiap anak. Gaji selama cuti ditanggung antara majikan dan negara.  (lihat: http://en.wikipedia.org/wiki/Parental_leave)
 
Kita berharap, para para anggota dewan yang terhormat – apalagi yang Muslim -- tidak akan mengesahkan segala bentuk Undang-undang yang tidak berpihak pada pembangunan masyarakat yang adil dan beradab. Sebab, kata Iwan Fals, “Saudara dipilih bukan dilotre.” (***

Kutipan :
INSISTS. Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations
Thursday, 22 March 2012 10:17
Written by Henri Shalahuddin

RUU Kesetaraan Gender: Perspektif Islam

Rancangan Undang-undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG) sudah mulai dibahas secara terbuka di DPR. Suara pro-kontra mulai bermunculan. (Republika (Jumat, 16/3/2012).            

Menyimak naskah Draf RUU KKG/Timja/24/agustus/2011, maka sepatutnya umat Muslim  MENOLAK draf RUU ini. Sebab, secara mendasar berbagai konsep dalam RUU tersebut bertentangan dengan konsep-konsep dasar ajaran Islam.

Kesalahan mendasar itu berawal dari definisi “gender” itu sendiri.  RUU ini  mendefinisikan gender sebagai berikut: Gender adalah pembedaan peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya yang sifatnya tidak tetap dan dapat dipelajari, serta dapat dipertukarkan menurut waktu, tempat, dan budaya tertentu dari satu jenis kelamin ke jenis kelamin lainnya.”

Definisi “Gender”  seperti itu  adalah  keliru, tidak sesuai dengan pandangan Islam.  Sebab, menurut konsep Islam, tugas, peran, dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki baik dalam keluarga (ruang domestik) maupun di masyarakat (ruang publik) didasarkan pada wahyu Allah, dan tidak semuanya merupakan produk budaya. Ada peran yang berubah, dan ada yang tidak berubah. Yang menentukan peran bukanlah budaya, tetapi wahyu Allah, yang telah dicontohkan pelaksanaannya  oleh Nabi Muhammad SAW. Ini karena memang Islam adalah agama wahyu, yang ajaran-ajarannya ditentukan berdasarkan wahyu Allah, bukan berdasarkan konsensus sosial atau budaya masyarakat tertentu.

Sebagai contoh, dalam Islam, laki-laki diamanahi sebagai pemimpin dan kepala keluarga serta berkewajiban mencari nafkah keluarga. Ini ditentukan berdasarkan wahyu.  Islam tidak melarang perempuan bekerja, dengan syarat, mendapatkan izin dari suami. Dalam hal ini, kedudukan laki-laki dan perempuan memang tidak sama. Tetapi, keduanya – di mata Allah – adalah setara. Jika mereka menjalankan kewajibannya dengan baik, akan mendapatkan pahala, dan jika sebaliknya, maka akan mendapatkan dosa.

Konsep “kesetaraan” versi Islam semacam ini bertentangan dengan rumusan “kesetaraan” versi  RUU KKG: “Kesetaraan Gender adalah kesamaan kondisi dan posisi bagi perempuan dan laki-laki untuk mendapatkan kesempatan mengakses, berpartisipasi, mengontrol, dan memperoleh manfaat pembangunan di semua bidang kehidupan.” (pasal 1, ayat 2).

Bahkan, RUU KKG ini juga mendefinisikan makna “adil” dalam Keadilan Gender, sebagai: “suatu keadaan dan perlakuan yang menggambarkan adanya persamaan hak dan kewajiban perempuan dan laki-laki sebagai individu, anggota keluarga, masyarakat, dan warga negara.” (pasal 1, ayat 3).

Karena target aktivis KKG adalah kesetaraan secara kuantitatif atara laki-laki dan perempuan, terutama di ruang publik, maka pada  pasal 4, perempuan Indonesia dipaksa untuk aktif di lapangan politik dan pemerintahan, dengan mendapatkan porsi minimal 30 persen:  “…perempuan berhak memperoleh tindakan khusus sementara paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) dalam hal keterwakilan di legislatif, eksekutif, yudikatif, dan berbagai lembaga pemerintahan non-kementerian, lembaga politik, dan lembaga non-pemerintah, lembaga masyarakat di tingkat daerah, nasional, regional dan internasional.” (pasal 4, ayat 2).

Itulah contoh kesalahpahaman yang luar biasa dari cara berpikir perumus naskah RUU KKG ini. Bahwa, makna menikmati dan berpartisipasi dalam pembangunan haruslah dilakukan oleh perempuan dalam bentuk aktif di luar rumah. Aktivitas perempuan sebagai istri pendamping suami dan pendidik anak-anaknya di rumah, tidak dinilai sebagai bentuk partisipasi dalam pembangunan. 

Itu juga cara berpikir kaum feminis ekstrim yang melihat posisi istri di dalam rumah tangga sebagai posisi kaum tertindas. Tidak berlebihan, jika Dr. Ratna Megawangi – pakar gizi dan kesehatan keluarga dari IPB -- menelusuri, ide “gender equality” (kesetaraan gender) yang dianut oleh banyak kaum feminis lainnya, bersumber dari ideologi Marxis, yang menempatkan wanita sebagai kelas tertindas dan laki-laki sebagai kelas penindas. Paradigma Marxis melihat institusi keluarga sebagai “musuh” yang pertama-tama harus dihilangkan atau diperkecil perannya apabila masyarakat komunis ingin ditegakkan, yaitu masyarakat yang tidak ada kaya-miskin, dan tidak ada perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan.
Keluarga dianggap sebagai cikal-bakal segala ketimpangan sosial yang ada, terutama berawal dari hubungan yang timpang antara suami dan istri. Sehingga bahasa yang dipakai dalam gerakan feminisme mainstream adalah bahasa baku yang mirip dengan gerakan kekiri-kirian lainnya. Yaitu, bagaimana mewujudkan kesetaraan gender melalui proses penyadaran bagi yang tertindas, pemberdayaan kiaum tertindas, dan sebagainya. (Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda? 1999:11).

Menurut Ratna, agenda feminis mainstream, semenjak awal abad ke-20, adalah bagaimana mewujudkan kesetaraan gender secara kuantitatif, yaitu pria dan wanita harus sama-sama (fifty-fifty) berperan baik di luar maupun di dalam rumah. Untuk mewujudkan kesetaraan seperti itu, para feminis sampai sekarang masih percaya bahwa perbedaan peran berdasarkan gender adalah karena produk budaya, bukan karena adanya perbedaan biologis, atau perbedaan nature, atau genetis. Para feminis yakin dapat mewujudkannya melalui perubahan budaya, legislasi, atau pun praktik-praktik pengasuhan anak. (Ibid, hal. 9-10).

Rumusan definisi Gender, Kesetaraan dan Keadilan Gender, serta pemaksaan peran perempuan dalam porsi tertentu di ruang publik, dalam RUU KKG ini, sejalan dengan gagasan kaum Marxian yang memandang keluarga – dimana laki-laki sebagai pemimpinnya -- sebagai bentuk penindasan terhadap kaum perempuan. 

Tidak ada di benak kaum Marxis ini, bahwa ketaatan seorang istri terhadap suami adalah suatu bentuk ibadah kepada Allah SWT. Tidak terlintas di benak mereka, betapa bahagianya seorang Muslimah saat mentaati suami, sebagai bentuk ketaatan kepada Allah SWT.

Setara: Lesbian
Sebagian pegiat KKG di Indonesia bahkan sudah berpikir dan melangkah lebih jauh.  Jurnal Perempuan (Maret 2008),  memperjuangkan legalisasi perkawinan sesama jenis perempuan (lesbianisme), karena lesbian dianggap sebagai bentuk kesetaraan laki-laki dan perempuan yang tertinggi. 

Salah satu tuntutan para pegiat KKG dan lesbianisme adalah agar perkawinan sesama jenis juga mendapatkan legalitas di Indonesia. ”Pasal 23 Kovenan Hak Sipil dan Politik juga secara terbuka mencantumkan tentang hak membentuk keluarga dan melakukan perkawinan, tanpa membedakan bahwa pernikahan tersebut hanya berlaku atas kelompok heteroseksual,” tulis Jurnal yang mencantumkan semboyan ”untuk pencerahan dan kesetaraan”. 

Seorang pegiat KKG, dalam artikelnya yang berjudul ”Etika Lesbian” di Jurnal Perempuan ini menulis: ”Etika lesbian merupakan konsep perjalanan kebebasan yang datang dari pengalaman merasakan penindasan. Etika lesbian menghadirkan posibilitas-posibilitas baru. Etika ini hendak melakukan perubahan moral atau lebih tepat revolusi moral.” 
Lebih jauh, ia menulis tentang keindahan hubungan pasangan sesama perempuan:  ”Cinta antar perempuan tidak mengikuti kaidah atau norma laki-laki. Percintaan antar perempuan membebaskan karena tidak ada kategori ”laki-laki” dan kategori ”perempuan”, atau adanya pembagian peran dalam bercinta. Dengan demikian, tidak ada konsep ”other” (lian) karena penyatuan tubuh perempuan dengan perempuan merupakan penyatuan yang kedua-keduanya menjadi subyek dan berperan menuruti kehendak masing-masing. Dengan melihat kehidupan lesbian, kita menemukan perempuan sebagai subyek dan memiliki komunitas yang tidak ditekan oleh kebiasaan-kebiasaan heteroseksual yang memaksa perempuan berlaku tertentu dan laki-laki berlaku tertentu pula.”

Zalim
Jika RUU KKG ini disahkan dalam bentuknya seperti ini, akan terjadi suatu bentuk penindasan atau kezaliman terhadap kaum Muslim, yang mentaati ajaran agamanya. Sebab, pasal 67 RUU KKG menyebutkan: “Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang memiliki unsur pembedaan, pembatasan, dan/atau pengucilan atas dasar jenis kelamin tertentu.”

Lalu, Pasal 70 RUU KKG  merumuskan adanya hukuman pidana bagi pelanggar UU KKG: “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang memiliki unsur pembedaan, pembatasan, dan/atau pengucilan atas dasar jenis kelamin tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 67, dipidana dengan pidana penjara paling lama …. (….) tahun dan pidana denda paling banyak Rp … (….).”

Jadi, siap-siaplah penjara akan makin dipenuhi orang Muslim, yang karena mentaati ajaran agamanya, dia – misalnya --  melarang perempuan menjadi khatib jumat; membatasi wali dan saksi nikah hanya untuk kaum laki-laki; melarang anak perempuannya menikah dengan laki-laki non-Muslim; membeda-bedakan pembagian waris untuk anak laki-laki dan perempuan; membedakan jumlah kambing yang disembelih untuk aqiqah anak laki-laki dan perempuan. Sebab, memang pada pasal 2 RUU KKG, sama sekali tidak dimasukkan asas agama. Yang ada hanya asas: Kemanusiaan, persamaan substantif, non-diskriminatif, manfaat, partisipatif, dan transparansi dan akuntabilitas.

Kita berdoa, mudah-mudahan orang Muslim, khususnya yang di legislatif dan pemerintahan, sadar benar  akan kekeliruan RUU KKG ini. Tentu, kita semua tidak ingin menyamai prestasi Iblis; makhluk Allah yang hanya mau mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa, tetapi menolak diatur oleh-Nya. Wallahu a’lam bil-shawab. (***)

Thursday, 22 March 2012 10:15
Written by Adian Husaini 
Kutipan :
INSISTS. Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations

Thursday, 22 March 2012 10:15

BERPEGANG PADA ULAMA SALAF ASLI: PARA IMAM MAZHAB

Para Imam Mazhab seperti Imam Hanafi, Malik, Syafi'ie, dan Hambali. Kitab Fiqih mereka saat ini masih asli. Sahabat tentu lebih baik, tapi boleh dikata tulisan mereka yg lengkap tentang Fiqih tak kita temukan. 
 
Kalau kita berusaha menggali langsung dari Al Qur'an dan Hadits, pada dasarnya kita sdh membuat Mazhab sendiri. Para Imam Mazhab itu hafal Al Qur'an pada usia anak2 dan menguasai hingga 1 juta hadits yg saat itu masih murni bahkan Imam Malik melihat langsung praktek ibadah dari anak2 sahabat di Madinah. Sedang kita, selain hadits2 sudah banyak yg tak murni, banyak aliran sesat, tidak hafal Al Qur'an, dan kita adalah Khalaf. Bukan Salaf.

Ilmu agama itu makin lama makin berkurang sejalan dgn wafatnya ulama. Jadi tetaplah berpegang pada ulama Salaf seperti Imam Mazhab. Bukan ulama Khalaf yg kontroversial.

Sebetulnya salaf yg asli itu ya para Imam Madzhab. Imam Malik “tidak memakai” Hadits Bukhari, Muslim, dsb karena beliau lahir 100 tahun lebih dulu dari para Imam Hadits seperti Bukhari. Imam Malik lahir di Madinah pada tahun 714 (93 H), dan meninggal pada tahun 800 (179 H). Sementara Imam Bukhari (Lahir 196 H/810 M – Wafat 256 H/870 M) di kota Bukhara, Uzbekistan. Ribuan km dari Madinah tempat Nabi dan banyak sahabat tinggal.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku (sahabat), kemudian orang-orang sesudah mereka (tabi’in), kemudian orang-orang sesudah mereka (tabi’ut tabi’in).”
dalam lafazh lain disebutkan bahwa,
“Sebaik-baik zaman adalah zamanku (zaman para sahabat), kemudian yang setelahnya (zaman tabi’in), kemudian yang setelahnya (zaman tabi’ut tabi’in).” (HR. Bukhari no. 6429 dan Muslim no. 2533 hadits ini adalah Mutawatir)

Imam Malik adalah dari golongan Tabi’it Tabi’in yang menurut sabda Nabi adalah satu dari golongan yang terbaik. Guru-guru Imam Malik berasal dari Tabi’in (anak para sahabat Nabi) dan Tabi’it Tabi’in (cucu dari sahabat Nabi). Sementara Imam Bukhari mau pun ahli hadits lainnya seperti Muslim sudah bukan tergolong kelompok Tabi’it Tabi’in.

sumber : http://agusnizami.wordpress.com
Posted: 21-Mar-2012 - 0 comment(s) [ Comment ] - 0 trackback(s) [ Trackback ]
Category: Blog Islami

Kutipan :
pencerahan hati
21-Mar-2012

Pemimpin Al-Qaeda Fatwakan Bunuh Demonstran Syiah Arab Saudi

ARAB SAUDI  - Seorang pemimpin Al-Qaeda telah mengeluarkan fatwa yang memerintahkan para pengikutnya untuk membunuh kaum Syiah yang mengambil bagian dalam protes anti-rezim di Arab Saudi, Press TV melaporkan.

Dalam pesan audio, Said al-Shihri, yang memimpin Al-Qaeda di Semenanjung Arab, telah memerintahkan pembunuhan para demonstran Syiah dan mengambilalih properti mereka.
Dia berargumen bahwa Syiah Saudi telah mengumpulkan kekayaan melalui berbagai fasilitas di kerajaan, dan dengan demikian merebut harta mereka adalah diperlukan.

Shihri juga menyerang pemerintah Saudi karena 'penanganan lunak' mereka terhadap para demonstran anti-rezim dan mengecam para ulama karena gagal untuk mengeluarkan fatwa (keputusan) terhadap warga Syiah.
Revolusi musim semi yang melanda beberapa negara Arab dalam setahun terakhir, membuat kaum Syiah di Arab Saudi juga mengambil keuntungan dengan melancarkan protes yang menyuarakan tuntutan keadilan dan mengecam ketidakadilan dan diskriminasi yang dilakukan di antara para pengikut agama yang berbeda.

Kutipan :
(an/ptv) / VoA-Islam
Jum'at, 16 Mar 2012

Pemberontak Syiah Houthi Yaman Tutup 20 Masjid dan Bakar 3.000 Al-Quran

Sebuah tim hukum dan media pemantau yang melakukan kunjungan ke wilayah konflik di provinsi Hajjah Yaman khususnya konflik dengan pemberontak Syiah Houthi, menyebutkan bahwa kelompok pemberontak Syiah Houthi telah melakukan banyak pelanggaran HAM.

Dalam laporan statistik terbaru untuk kerusakan dan kerugian jiwa serta material yang diderita sebagai akibat pemberontakan Syiah Houthi di Yaman, tim melaporkan bahwa sedikitnya 94 warga tewas dan 154 terluka.

Tidak hanya itu, kelompok pemberontak Syiah Houthi juga melakukan penutupan terhadap 9 sekolah serta 7 klinik. Tindakan brutal pemberontak Syiah Houthi diperparah dengan aksi mereka menutup 20 masjid serta membakar 3.000 Al-Quran, dan memaksa hampir 15.000 warga meninggalkan rumah yang mereka tempati selama ini.

Statistik laporan juga menunjukkan bahwa 2.750 pekerja terpaksa kehilangan pekerjaan mereka karena pemboman terhadap pasar serta tembakan artileri yang dilakukan oleh militan Syiah Houthi yang ditempatkan di pegunungan dan di daerah Ab Modaour.

Kutipan :
(fq/imo) / VoA-Islam
Senin, 19/03/2012 15:52 WIB

Promotor Konser Lady Gaga Dipanggil MUI, Siap Untuk Dicekal

JAKARTA - President Director Big Daddy Live Concert, Michael Rusli,  mengatakan, pihaknya bersedia dipanggil atau diajak diskusi oleh MUI sebagai pihak yang menilai konser Lady Gaga haram. Namun, sampai saat ini, lembaga MUI belum resmi mengeluarkan surat edaran pencekalan terhadap pelantun Poker Face itu.

“Saya menerima dengan terbuka semua pendapat orang lain. Kalau memang masalah ini benar diperpanjang, saya bersedia dipanggil. Dengan tangan terbuka saya mau berdiskusi dengan mereka. Karena kalau sampai diharamkan, apa permasalahannya, apa yang membuat dia haram,” ujar Michael,  Senin (19/3/2012).

Dasar bandel, Michael Rusli, President Director Big Daddy Live Concert kepada wartawan, menjelaskan bahwa Big Daddy akan tetap melaksanakan konser yang rencananya digelar pada 3 Juni 2012 di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Senayan, Jakarta.

Sang promotor, Michael Rusli mengaku sudah memprediksi akan adanya larangan tersebut. "Ya kalau soal haram enggak haram itu kan opini satu orang saja. Saya juga enggak bisa melarang pendapat orang, karena semua bebas berpendapat. Nggak ada masalah. Konser Lady Gaga akan tetap dilaksanakan,” tegas Michael, Senin (19/3/2012).

Michael juga mengatakan bahwa sampai saat ini tidak ada informasi apapun dari pihak MUI yang melarang adanya konser biduan asal AS itu di Indonesia. Menurutnya, kejadian seperti ini pasti ada disetiap negara yang akan didatangi oleh Lady Gaga.
“Ini bagian dari Lady Gaga yang merupakan artis sensasional dan fenomenal. Jadi pasti ada cerita di balik kedatangannya. Di Indonesia mungkin ini konsernya dianggap haram, di negara lain juga akan ada,” paparnya.

Siap-siap Dicekal
Mengenai penampilan Gaga yang kerap kali menuai kontroversi, Big Daddy Live Concert selaku promotor memastikan, bahwa Gaga akan tetap tampil di panggung Stadion Utama Gelora Bung Karno, dengan kostum yang berbeda. Tidak seperti di Eropa.

"Lady Gaga memang artis yang fenomenal. Enggak mungkin dia manggung pakai sarung. Karena fenomenalnya itulah dia bisa seperti sekarang. Yang pasti kostumnya di seluruh negara Asia akan lebih konservatif,"ujarnya.

Michael juga mengungkapkan jika konser Gaga nantinya dicekal, ia siap menghadapinya, "Asal harus jelas alasannya kenapa. sampai sekarang belum ada yang minta penjelasan baik dari promotor maupun artis management. Jadi jangan alasan enggak jelas terus dicekal."tuturnya.

Sebelumnya ramai diberitakan media massa, salah seorang pimpinan MUI menyatakan penampilan Gaga di atas panggung dengan segala atraksinya haram ditonton oleh umat muslim. Alasannya, karena dinilai mengumbar aurat dan gerakannya yang merangsang lawan jenis dan bisa merusak moral bangsa.

Menanggapi hal ini Michael kembali menambahkan, tak ada pengaruh mengenai kabar itu terhadap antusias dari para Little Monster (sebutan penggemar Lady Gaga). "Enggak ada ya pengaruhnya, 44 ribu tiket kita jual semuanya ludes. Masih banyak yang nyari sampai sekarang," tambahnya.

Sudah seharusnya MUI bersama ormas Islam lainnya, segenap komponen umat dan bangsa  mempunyai sikap yang sama, mengapa konser Gaga  haram dan dilarang di negeri ini. Berikan pencerahan kepada promotor, baik dari segi akidah, fikrah, akhlak, budaya, di dalam republik yang mayoritas penduduknya Muslim ini.  

Kutipan :
Desastian
Jum'at, 23 Mar 2012