Laman

Senin, 07 Mei 2012

Ribuan Muslim Yogya tolak wisata rohani berbau pemurtadan

YOGYAKARTA  - Ribuan umat muslim dari berbagai Ormas Islam dan warga setempat berkumpul dalam acara Tabligh Akbar di Masjid At-Taqwa Bedoyo Sampang, Gunung Kidul, Yogyakarta guna menolak keberadaan tempat ibadah serta wisata religi bagi kaum Salibis yang berada di tengah pemukiman penduduk desa Sampang, Gunung Kidul, Yogyakarta Ahad (6/5/2012).

Sedangkan Tabligh Akbar ini sendiri di isi oleh Ustadzah Maria Anastasia Dwi Eny Widiastuti dari Jogja dan Ustadzah Dewi Purnamawati dari Solo. Kedua ustadzah ini adalah mantan aktivis Katholik.
Aksi ini berawal dari keresahan masyarakat sekitar yang merasa terganggu dengan keberadaan wisata religi tersebut yang ternyata telah berdiri selama dua tahun tanpa sepengetahuan mayoritas warga setempat.
Dalam proses pemenuhan syarat dukungan dari warga setempat, pihak pengelola tempat wisata tersebut hanya mendapat persetujuan dari 60 warga, itupun dengan cara yang terkesan sembunyi-sembunyi dan memanipulasi tanda tangan warga. Keresahan warga tersebut mengundang simpati umat islam lainya yang datang dari berbagai wilayah Yogyakarta, Klaten Solo dan sekitarnya.
Tempat wisata yang proses pembangunanya telah mencapai 90 % tersebut sebenarnya belum mendapatkan IMB (Izin Mendirikan Bangunan) meskipun sudah dibangun sejak bulan September 2010, dengan kata lain tempat tersebut dibangun tanpa ijin atau ilegal.

Penduduk keseluruhan Desa Sampang berjumlah 500 orang, dan dari jumlah tesebut hanya tercatat 50 orang yang non muslim, sehingga pendirian wisata rohani ini menyalahi aturan. Hal ini jelas bertentangan dengan SKB (Surat Keputusan Bersama) Dua Menteri tahun 2006 Tentang Pendirian Rumah Ibadah, yakni pada BAB IV pasal 13 ayat 1 yang berbunyi,
 “Pendirian tempat ibadah didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan atau desa”, Serta menimbulkan keresahan warga yang juga bertentangan dengan pasal 13 ayat 3 yang berbunyi “ Pendirian rumah ibadat sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan dengan tetap menjaga kerukunan umat beragama, tidak mengganggu kententraman dan ketertiban umum, serta mematuhi perundang-undangan”.
 
Dari berbagai fakta di atas, berbagai elemen masyarakat dan Ormas Islam yang hadir seperti HTI, Banser, KOKAM, JAT, HI, FUI, HTI, MMI, FKAM, Jamaah Hizbullah dan warga setempat menyatakan menolak keberadaan Goa Maria Wahyu Ibuku Giri Wening di Desa Sampang dan mendesak pemerintah Kabupaten Gunung Kidul untuk menghentikan proses pembangunan wisata rohani tersebut dan menutupnya untuk selama-lamanya karena adanya kekhawatiran akan digunaka untuk program-program kristenisasi di wilayah Gunung Kidul.

Apalagi proses pembuatan bangunan tersebut sangat provokatif sekali dengan memalsukan tanda tangan para warga dan ijinnya-pun tidak ada. Maka dengan adanya data dan fakta tersebut seluruh elemen umat islam seperti HTI, Banser, KOKAM, JAT, HI, FUI, HTI, MMI, FKAM, Jamaah Hizbullah yang ada di Klaten, Jogja, Solo dan warga setempat mendesak kepada pemerintah setempat untuk tidak meneruskan proyek pembangunan agar apa yang terjadi di Goa Maria Sendang Sriningsih terulang ditempat mereka. (bilal/FAI/arrahmah.com)

Kutipan :
Bilal / FAI / Arrahmah
Senin, 16 Jumadil Akhir 1433 H / 7 Mei 2012 / 18:40:50

Latar belakang ribuan Muslim Jejalen Jaya blokade akses jalan Jemaat gereja liar HKBP Bilal

BEKASI - Ribuan warga muslim Jejalen Jaya menutup akses jalan menuju lokasi tempat beribadatan HKBP Philadelfia (6/5) tepat dipertigaan Rt. 003/08.  Didepan barisan warga puluhan aparat Kepolisian, Koramil dan Satpol PP Kabupaten Bekasi berjaga-jaga mengamankan situasi dan kondisi. Selain dipertigaan jalan tersebut, warga juga berkosentrasi dilokasi bakal gereja dan jalan tembusan Graha-Jejalen dan atau Kintamani-Jejalen.

Sekitar jam 08.40 WIB puluhan Jemaat HKBP yang bergerak dari titik kumpul di Perumahan Villa 2 dan sekitarnya (Kintamani, Graha, Villa 1) mulai memadati titik blokade warga dan aparat keamanan. Pimpinan Satpol PP Kab. Bekasi (Bpk. Agus) didampingi aparat Kepolisian segera melakukan negosiasi dengan Pdt. Pelti Panjaitan dan Pengacara HKBP (D.Tampubolon), agar mengurungkan niatnya melaksanakan kebaktian dilokasi bakal gereja di Rt. 001/09 yang berada tepat didepan jalan utama jalur menuju Gabus-Jejalen, bersebelahan persis dengan Perumahan Bekasi Elok 1.

Negosiasi berjalan alot. Pendeta Pelti Panjaitan tetap ngotot ingin membawa jamaatnya kelokasi dan bahkan Pengacara HKBP, D.Tampubolon, ngotot pula minta dihadirkan Bupati Bekasi, karena kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Bekasi untuk mengevakuasi jemaat HKBP ke lokasi sementara tempat peribadatan yang ditetapkan Pemda Bekasi dianggap telah membenturkan jemaat HKBP dengan warga dan aparat katanya.
Saat negosiasi berlangsung, warga muslim Jejalen Jaya semakin banyak berdatangan terutama dari kaum ibu-ibu. Demikian pula halnya dilokasi bakal gereja HKBP, ibu-ibu dari Perumahan Bekasi Elok 1 & 2, Bumi Sentosa Asri, Villa Permata, Panorama dan Rt. 01/09 yang berlokasi dibelakang Elok 1, kian menyemut dan bertahan dilokasi bakal gereja HKBP.

“Kami akan bertahan disini sesuai amanat yang disampaikan oleh Pak RW (Rw 10, Irwan Taufik) untuk berjaga-jaga jangan sampai mereka menyelinap dan melaksanakan peribadatan disini,” ujar Korlap Ibu-ibu dari Bekasi Elok 1.

Negosiasi yang dilakukan Pamong Praja dan Kepolisian akhirnya membuahkan hasil, sekitar pkl. 08.54 WIB, Pendeta dan Jemaat HKBP berbalik arah tidak melanjutkan menuju lokasi diiringi langkah dan sorak sorai warga yang membuntuti jemaat HKBP hingga Villa Bekasi 2. Dan bahkan kebiasaan mereka menggelar peribadatan dijalanan tidak bisa dilaksanakan karema warga muslim dan para tokoh agama serta tokoh masyarakat terus mendesak dan dengan tegas tidak akan mengijinkan HKBP melaksanakan peribadatan semau-maunya selama proses hukum dan ketentuan perundang-undangan belum selesai atau tidak terpenuhi. Meskipun demikian dititik tertentu warga masih terus berjaga-jaga, seperti dijalan tembusan Villa2-Jejalen, jalan tembusan Kintamani-Jejalen dan bahkan dilokasi bakal gereja. Warga khawatir jemaat HKBP berputar dari jalan-jalan tersebut dan menyusup masuk lokasi bakal gereja.

Didepan Villa 2 sempat terjadi insiden kecil karena pemantau dari salah satu Ormas Islam menagkap seseorang yang dicurigai sebagai provokator, mengenakan kaos putih dengan tulisan warnah merah “Perangi Tirani Mayoritas Terhadap Minoritas” yang selanjutnya diamankan oleh aparat Kepolisian. Dari beberapa informasi, yang bersangkutan merupakan wartawan freelance yang tiggal di Villa 2 dengan alamat KTP di wilayah Jakarta Selatan.
Dan ada juga yang menyatakan bahwa wartawan freelance tersebut ditengarai sering membuat opini atau berita-berita yang memojokkan umat Islam warga Jejalen Jaya dibeberapa media online.

Setidaknya 2 SSK aparat keamanan baik dari Polresta Bekasi, dibawah pimpinan Kapolresta, Kombes Wahyu maupun dari Kodim Bekasi dibawah pimpinan Wa.Dandim, Mayor Alfa Gani, dikerahkan untuk menjaga keamanan dan ketertiban di wilayah Jejalen Jaya, yang Alhamdulillah hingga akhir kegiatan tidak ada tindakan anarkis, bahkan antara warga dan aparat keamanan terkesan dekat dan akrab .

Kutipan :
Bilal / Arrahmah
Senin, 16 Jumadil Akhir 1433 H / 7 Mei 2012 / 17:57:57

Laporan Tim Pencari Fakta Laskar Umat Islam Surakarta (TPF LUIS) terkait pembakaran motor dan penganiyaan

SOLO  - Menyikapi opini yang berkembang di media-media nasional yang masih jauh dari fakta yang ada terkait bentrokan antara laskar islam Solo dengan gerombolan preman kafir. Laskar Umat Islam Solo berinisiatif membentuk Tim Pencari Fakta ( TPF) yang diberi nama Tim Pencari Fakta Laskar Umat Islam Surakarta (TPF LUIS)  untuk mengungkap kebenaran peristiwa tersebut sesuai apa adanya.
TPF LUIS pun, melakukan investigasi lapangan, dah hasilnya mereka membuat laporan disertai rekomendasi kepada pihak berwenang terkai peristiwa tersebut. Berikut laporan tersebut.

 “Kasus Pembakaran Sepeda Motor dan Penganiayaan di Kampung Gandekan Jebres Solo
                                                      Kamis, 3 Mei 2012

  1. Hari Kamis, 3 Mei 2012
    1. I.          Warga Semanggi ada yang meninggal dunia akan dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Purwoloyo Pucang Sawit Jebres yang melewati Jl RE Martadinata dan melintasi Tanggul Pasar Kampung Sewu. Beberapa warga termasuk Yunianto, pulangnya melewati Tanggul Pasar Kampung Sewu dengan pertimbangan jaraknya lebih dekat.  Saat baru berbelok ke kiri tiba-tiba ia dipukul bahunya dengan bambu oleh dua orang yang nongkrong di cucian motor milik Iwan Walet. Karena tidak bisa menahan diri, akhirnya Yunianto terjatuh berikut motor yang ditungganginya, sedangkan tiga temanya langsung lari menyelamatkan diri. Karena merasa tak bersalah, Yunianto pun bertanya pada orang yang memukul tersebut ”Mas salah saya apa kok dipukul ?” bukan jawaban malah pukulan lagi yang diterima. Yunianto pun lantas lari menyelamatkan diri, berjalan diatas tanggul ke arah selatan. Namun, saat menjauh ia ingin kembali untuk mengambil sepeda motor, namun saat mendekat orang yang membawa bambu memanggil ke teman-temannya yang berjumlah kurang lebih 40 an. ”Karena saya takut dikeroyok ya sudah mas, saya lari saja menyelamatkan diri” Ujar Yunianto. Sepeda motor Yunianto  Honda Supra dengan nopol AD 5432 BZ kemudian dibakar di perempatan tanggul. 
    2. Karena sepeda motor dibakar di tengah jalan maka masyarakat sekitar ikut berkerumun menyaksikan dan semua bertanya, “Motor miliki siapa ?”, “Kenapa dibakar?” dan sebagainya. Begitu pula korban yang bernama Agus Pamuji, dia adalah pedagang Onde-Onde yang biasa berdagang di Pasar Gedhe. Siang itu ia Sholat Dhuhur dan istirahat di masjid yang tak jauh dari lokasi pembakaran. Seperti halnya masyarakat pada umumnya, ia pun penasaran ada apa ramai-ramai di tengah jalan. Ia pun lantas ikut melihat juga. Saat mendekat ke motor yang dibakar tadi, ia langsung dipukul rahangnya dengan potongan besi dan dikeroyok oleh beberapa orang yang ada disitu dengan menggunakan senjata tajam dan pentungan tanpa sebab yang jelas, akhirnya ia pun tersungkur tidak sadarkan diri dan akhirnya dibawa ke Rumah Sakit Dr. Moewardi Solo. Menurut penuturan seorang Hansip (Linmas) yang saat itu menyaksikan penganiayaan menjelaskan bahwa Agus Pamuji dihajar karena ia dicurigai sebagai intel (informan) nya Laskar, karena ia berjenggot. Ia luka dibagian rahang kiri.
    3. Nasib yang tak jauh beda juga dialami oleh Shandy jamaah Masjid Muhajirin yang ikut melayat, ia termasuk rombongan pelayat yang pulang terakhir. Karena di jalan ada pembakaran, ia pun lantas ingin melihat. Saat mendekat itulah iapun langsung dipukul dan disiksa oleh para preman  bertubi-tubi  dan terjatuh hingga ia dibawa ke rumah Sakit Islam Kustati, Ia luka di kepala dengan 6 jahitan.
    4. Solidaritas Umat Islam Surakarta baik jamaah masjid maupun warga sekitar masjid secara spontan berdatangan seusai Sholat Ashar berjalan kaki bersama bermaksud mencari tahu pelaku pembakaran sepeda motor dan penganiaya Jamaah Masjid Muhajirin yang terjadi di TKP dekat Cucian Motor milik Iwan Walet.
    5. Mayoritas Laskar Islam Solo menduga Pelaku Pembakaran dan Penganiayaan ini dilakukan oleh Iwan Walet dan kelompoknya ” Young Indonesia “, karena TKP didekat Tempat Cucian Motor milik Iwan Walet. Hingga Kamis malam, belum ada kejelasan keberadaan Iwan Walet.

  1. Jumat, 4 Mei 2012
    1. Solidaritas Umat Islam Surakarta kembali turun jalan Longmarch dengan jumlah massa lebih banyak dan tidak hanya di Karisidenan Surakarta, namun sudah melibatkan Umat Islam di DIY, Jatim dan Jabar. Massa ada yang terkonsentrasi di Masjid Muhajirin Semanggi, Masjid Al Fatih Kepatihan, Masjid Jagalan, serta beberapa titik lainnya dalam Status Standby dan Siaga 1 yang diperkirakan mencapai Seribuan lebih.
    2. Laskar Islam dari Masjid Muhajirin bergerak menuju Kampung Gandekan dengan pengawalan ketat dan lengkap dari aparat Polres Solo. Sebelum berangkat Walikota Solo Joko Widodo, Ketua MUI Prof. Dr. dr. Zaenal Arifin Adnan menyempatkan hadir di Masjid Muhajirin menanyakan kronologi kejadian sebenarnya. Ustadz Supriyanto selaku Imam Masjid Muhajirin mengarahkan para peserta Longmarcah bahwa tujuan ke Kampung Gandekan semata untuk menunjukan Izzul Islam Wal Muslimin, tidak untuk merusak fasilitas ataupun tidak pula melukai siapapun, kecuali jika ada pihak-pihak yang mengganggu dan menghalangi agenda Longmarch dalam rangka Solidaritas Sesama Muslim yang telah dianiaya di kampung itu.
    3. Dalam perjalanan Longmarch di sebuah gang, di jalan RE Martadinata, ada lemparan dari Preman mengarah ke peserta Longmarch. Lemparan itu berupa batu dan Bom Molotov. Gang tersebut pada awalnya sudah diblokade Polisi. Karena ada lemparan batu dan Molotov lemparan batu tersebut menganai aparat kepolisian dan berdarah akhirnya polisi menyingkir, blokade polisi terbuka. Salah satu yang melempar adalah Ngatiman 62 tahun dengan tutup wajah dan kata kata kotor menantang peserta longmarch sambil mengacung acungkan  sepotong besi yang ujungnya tajam sempat duel dengan salah satu peserta .
    4. Polres Solo memberi keterangan resmi bahwa 2 orang sudah dinyatakan sebagai tersangka dalam kasus Pembakaran Sepeda Motor dan Penganiayaan di Kampung Gandekan. Kedua orang ini adalah I dan C. Dua orang tersebut sudah ditetapkan sebagai tersangka, dan ditahan di Mapolresta Solo. I dan C dinyatakan cukup bukti melanggar pasal 170 KUHP, dengan barang bukti yang disita adalah Sepotong besi (LINGGIS), Batu, Jaket, Supra X 125 AD 5423 HZ.
    5. Pemkot Solo menggelar Rapar Koordinasi di Rumah Dinas Walikota Solo merespon situasi Kamtibmas terkini. Hadir dalam acara dalam acara ini KH. Sholihan (FKUB), Prof. Dr. dr. Zaenal Arifin Adnan (MUI), Joko Widodo, Dandim, Danrem, Ketua DPRD Solo, Beberapa Camat, Tokoh Gandekan, sedangkan hadir dalam elemen Islam adalah MTA, JAT, FPIS, LUIS, HTI dan NU. Salah satu agenda dalam pertemuan ini adalah memberi santuan kepada semua korban baik biaya rumah sakit maupun kendaraan yang dibakar
C. Rekomendasi dan Harapan:
  1. Aparat kepolisian agar memproses kasus ini secara professional dan menangkap semua pelaku penganiayaan secara bersama-sama dan melakukan pembakaran sepeda motor.
  2. Aparat kepolisian diharap dapat membongkar data siapa saja preman yang terlibat dari HP yang dimilki Iwan wallet melalui server telkomsel
  3.  Memerangi Pekat dan Premanisme perlu dibentuk GARNESUN yang terdiri dari unsur TNI, POLRI dan LSM. Aspirasi ini sudah ada respon dari DAREM Surakarta dan akan ditindaklanjuti.
Demikianlah laporan TPF LUIS yang ditanda tangani oleh ketua LUIS Edi Lukito dan Sektretaris LUSI Drs.Yusuf Suparno pada Senin (7/5/2012) di Surakarta , agar menjadi perhatian dan menyingkap kebenaran. 

Kutipan :
Bilal / Arrahmah
Senin, 7 Mei 2012 17:21:03

Benarkah acara diskusi Irshad Manji di markas AJI berhasil?

JAKARTA  - Sejumlah media, termasuk media online mewartakan bahwa acara diskusi yang menghadirkan Irshad “lesbi” Manji di markas Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Sabtu (5/5/2012), itu berhasil.
Mungkin, jika yang dimaksud tak terjadi pembubaran paksa dan pengusiran atas Manji seperti peristiwa malam sebelumnya di Komunitas Salihara, itu bisalah disebut berhasil.

Ya, berhasil tidak dibubarkan secara paksa. Tapi secara halus, sesungguhnya acara diskusi ini berhasil dipercepat oleh aparat. Artinya, Manji tak diperkenan kan berlama-lama di tempat acara.   Jadi, siapa bilang acara diskusi AJI dengan Manji berhasil? Jika tidak berhasil, berarti gagal?  Jika gagal, apa indikasinya?
Pertama, sejak awal ada rasa takut dari pihak penyelenggara bahwa acara ini akan mengalami nasib yang sama seperti malam sebelumnya di Komunitas Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Benar saja, di tengah guyuran hujan deras warga dan massa Islam mendatangi  kantor AJI di Kalibata, Jakarta Selatan. Mereka  mendesak penghentian acara diskusi buku “Allah, Liberty, and Love”, karya feminis lesbi asal Kanada, 
Irshad  Manji.

Pihak panitia rupanya sudah mengantisipasi kedatangan warga masyarakat tersebut. Pasalnya, 50-an anggota Barisan Anshor Serbaguna (Banser) NU berseragam dan bersenjata sudah disiapkan untuk menjaga, menghadang dan membuat pagar betis. Situasi memanas, lantaran warga tak diperkenankan masuk. Suasana seperti mau bentrok.
Pihak Polres Jakarta Selatan dibantu Polsek Pancoran dan Polsek Pasar Minggu menengahi. Sempat terjadi negosiasi antara kepolisian, warga dan panitia acara. Tak ada titik temu. Sementara acara tengah berlangsung, meski warga protes keras. Selain Manji, diskusi dengan tema ‘seputar profesionalisme jurnalis dalam meliput hal-hal yang berkaitan dengan keagamaan’ itu juga  menghadirkan pembicara lain, Novrianto Kahar dari Universitas Paramadina dan Endi Bayuri, wartawan senior Jakarta Post.
 
Di tengah desakan agar diskusi dihentikan atau Manji segera angkat kaki, aparat kepolisian kemudian meneruskan permintaan ini ke pihak panitia. Sebab, ada kekhawatiran jika massa tak sabar, suasana akan berubah menjadi lebih tidak kondusif. Itu belum lagi massa dan ormas Islam berdatangan. Tugas aparat adalah menjaga ketertiban agar jangan sampai ada pihak yang bertindak anarkis.

Kedua, karena rasa takut terjadinya sesuatu yang tak diinginkan, pihak panitia menjadi kurang begitu konsen, meskipun sudah menghadirkan pihak Banser untuk mengamankan acara.

Ketiga, atas dasar itu, pihak AJI memaklumi saja ketika pihak keamanan—dalam hal ini aparat kepolisian—meminta untuk mempercepat acara, karena polisi sudah melakukan koordinasi dengan ormas Islam, sebut saja FPI,  untuk segera mengevakuasi Manji supaya tidak berlama-lama ngecap di markas AJI.

Keempat, kehadiran salah satu ormas Islam, FPI, untuk memantau, tepatnya adalah  lebih memastikan bahwa Manji segera dievakuasi dari tempat acara. Pemantauan yang dilakukan sekitar 50-an anggota FPI adalah untuk memastikan bahwa pihak aparat kepolisian akan melakukan tindakan untuk mempercepat menjemput Manji dan segera keluar dari tempat acara. Jika tidak, FPI, sebagaimana ultimatum yang sudah mereka nyatakan, akan membubarkan acara itu–sesuatu yang tak diinginkan, baik oleh pihak AJI maupun aparat kepolisian.

Kelima, karena itulah, pemunculan Kapolres Jakarta Selatan Kombes Pol Imam Sugianto yang ceritanya menjemput Irshad Manji, dimana keduanya berada dalam satu mobil, justru lebih disebabkan untuk menghindari situasi buruk karena pihak FPI sudah mendekat. Manji mungkin dibawa atau “dipulangkan” ke suatu tempat atau hotel, dimana rekan-rekan panitia yang mengurus sederet acaranya di sini sudah menunggu.

Keenam, skenario penjemputan yang dilakukan oleh pihak aparat kepolisian ini sebenarnya adalah “cara halus”—berbeda saat “pengusiran” malam sebelumnya di Komunitas Salihara. Aparat kepolisian melakukan “cara halus” ini lantaran pihak panitia sudah berkoordinasi sebelumnya, ormas Islam seperti FPI pun melakukan hal serupa.

Ketujuh, pernyataan Umar Idris  dari AJI bahwa “Manji tidak dijemput paksa, namun karena memang acaranya sudah selesai”, itu hanya untuk menghibur dan menyenangkan diri saja. Simak saja pernyataan lanjutannya, “Lagipula ada kelompok yang menentang kehadiran Manji semakin dekat.” Ini menunjukkan, memang ada rasa takut akan situasi menjadi buruk. Jadi, pihak penyelenggara lebih ‘aman’ bilang, “… acaranya sudah selesai.”  Padahal saat itu waktu baru menunjukkan  kurang lebih pukul 20.00.  Itu menunjukkan memang ada “penjemputan paksa”, hanya skenario dan suasananya berbeda dengan di Komunitas Salihara.
 
Skenario seperti ini ditempuh untuk menghindari rasa malu dan takut seperti terjadi di Salihara. Pihak AJI sangat takut kejadian di Salihara terulang di Kalibata. Sebab, jika sampai terjadi kasus seperti di Salihara, selain akan muncul anggapan dari dunia luar (sponsor liberalis) bahwa para pengasong liberal di Indonesia bekerja tidak becus, juga “pihak sponsor” semakin yakin lagi bahwa “proyek liberal” benar-benar gagal di republik ini. Bukankah salah seorang tokoh pengasong liberal sudah mengakui akan kegagalan itu?

Kedelapan, juga pernyataan Ketua AJI Indonesia Eko Maryadi, bahwa dia puas dengan acara diskusi yang berjalan lancar, semua kompak dan Banser sudah mengamankan dengan baik, itu juga untuk menghibur dan menyenangkan diri saja. Kalau memang benar acara berjalan lancar, tak perlu Manji cepat-cepat angkat kaki dan “dievakuasi” (kata halusnya dijemput) oleh Kapolres Jaksel. Sebab, Manji sendiri juga tentu punya rasa was-was, apalagi dikabarkan FPI sudah mendekat. Dengan situasi seperti ini, itu menunjukkan acara tidak berjalan dengan lancar, tapi serba diliputi rasa was-was, terutama saat aparat mendesak untuk segera mempercepat acara. Manji pun tentu khawatir, lebih-lebih lagi pihak panitia (AJI). Ini sebelumnya diakui sendiri oleh panitia: takut kejadian di Salihara berulang di markas AJI.

Di sisi lain, “tekanan”  dari pihak aparat—sebab kepolisian pun tidak mau ambil risiko jika terjadi aksi anarkis—untuk tidak lama-lama menghadirkan Manji di tempat acara, cukup dimaklumi. Koordinasi aparat keamanan dengan ormas Islam, sebut saja dengan FPI, menunjukkan percepatan “pengusiran” Manji, dimana skenario ini pun mau tak mau harus diikuti AJI, dengan konsekuensi Manji tidak bisa berlama-lama mengikuti acara.

Dengan pernyataan acara sudah selesai, meskipun waktu baru menunjukkan sekitar pukul 20.00 WIB, setidaknya untuk menutupi keadaan yang sebenarnya. Faktanya, pada sekitar pukul 20.00 itu Irshad Manji sudah siap “dijemput”. Apalagi FPI sudah menyatakan, jika acara diskusi denganManji tak segera distop, FPI-lah yang membubarkan.

Maka, sejumlah wartawan pun tak puas, karena tak kebagian dialog untuk mengkritisi Manji. Pasalnya acara sudah ditutup pada pukul 20.00 WIB. Panitia dengan terburu-buru menutup acara. Tentu saja, sebab jika berlama-lama, dikhawatirkan situasi jadi berubah makin tak kondusif.

Tak ada waktu berleha atau berlama-lama, karena dikhawatirkan massa akan melakukan tindakan. Aparat tak mau mengambil risiko jika situasi tak kondusif. Tugas mereka adalah menjaga ketertiban. Salah satu upaya ke arah itu adalah dengan mempercepat selesainya acara atau “mengevakuasi” Manji segera.
Jadi boleh dibilang, acara AJI – Manji itu tidak konsen karena diliputi ketakutan, sehingga tak banyak pesan dan kesan yang dapat disimpan dalam diskusi yang dihadiri tak banyak peserta ini–AJI beralasan peserta diskusi memang dibatasi.

Ya, bagi AJI, skenario seperti ini jauh lebih baik, ketimbang peristiwa buruk seperti di Salihara terjadi juga di markasnya, meskipun akhirnya tidak memuaskan, untuk tak mengatakan mengecewakan!
FPI, massa dan warga pun membubarkan diri saat mengetahui Irshad Manji sudah “dievakuasi” dan acara dinyatakan selesai. Jadi, jika dikatakan berhasil dan berjalan lancar, itu tidak tepat. Sebab, acara berlangsung di tengah situasi yang tidak kondusif, dan bahkan akhirnya mendapat desakan dari aparat kepolisian untuk segera dipercepat.

Kita tunggu episode Irshad Manji berikutnya, terutama di Solo dan Yogya. Berjalan muluskah? Atau seperti kejadian di Komunitas Salihara? (salam-online.com/bilal/arrahmah.com)

Keterangan Foto (atas ke bawah): Irshad Manji di Komunitas Salihara (abcidia.com), Manji dievakuasi saat di Salihara (watnyus.com), logo AJI (baltyra.com), Banser NU, Ketum AJI Eko Maryadi (suaraborneo.com), dan Kapolres Jaksel Kombes Pol Imam Sugianto (seruu.com)

Kutipan :
Salam-Online / Bilal / Arrahmah
Senin, 16 Jumadil Akhir 1433 H / 7 Mei 2012 / 16:10:22

Warga Jejalen Jaya Bekasi kembali hadang Jemaat Gereja liar HKBP

BEKASI  - Warga masyarakat Muslim Jejalen Jaya, Tambun, Bekasi, kembali menolak aktifitas gereja liar yang didirikan Jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia. Gereja tersebut  terletak di Kampung Jalen, Desa Jejalen, Kecamatan Tambun Utara, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Minggu 6 Mei 2012.

Awalnya, Sekitar 20 jemaat HKBP Filadelfia datang pada pukul 08.30 WIB dengan mengendarai motor. Mereka berencana melakukan peribadatan di gereja ilegal tersebut. Di lokasi itu juga, ratusan warga yang kebanyakan ibu-ibu memblokade jalan lingkungan tersebut. Yel-yel penolakan diteriakkan warga. Para jemaat sempat terlibat ketegangan dengan warga Jejalen itu. Mereka memaksa masuk ke lokasi pembangunan gereja.

Aparat gabungan dari unsur TNI-Polri diturunkan untuk memperketat penjagaan. Sejak pukul 08.00 WIB, sebanyak 305 aparat gabungan dari Polresta Bekasi, Polsek Tambun Selatan, ditambah Satuan Brimob Polda Metrojaya berjaga-jaga di lingkungan RT 02 RW 04 Kampung Jalen itu. Aparat melakukan blokade di lokasi yang berjarak 100 meter dari gereja HKBP Filadelfia.

Ketegangan mulai terhenti saat Kapolresta Kabupaten Bekasi Kombes Wahyu Hadiningrat bersama Kabid Trantib Pol PP Kabupaten Bekasi, Agus Krisyanto, menenangkan jemaat HKBP yang diwakili pendeta dan kuasa hukumnya. Proses negosiasi terjadi antara aparat dan jemaat Filadelfia.
Dari hasil negosiasi, jemaat Filadelfia tetap tidak diperbolehkan memasuki lokasi gereja yang sedang dibangun itu. Sehingga, mereka melakukan doa bersama. Para jemaat itu hanya berdiri di depan barikade polisi. Mereka kemudian membubarkan diri sekitar pukul 09.00 WIB.

Sebagaimana diketahui, Sejak tahun 2009, warga Muslim Desa Jejalen Jaya terus berjuang menolak berdirinya Gereja HKBP Philadelfia, baik dengan menggelar demo maupun melalui jalur hukum. Namun hasilnya terbentur pada keputusan PTUN Bandung dan Jakarta No. 42/G/210/PTUN-BDG JO No. 255/B/20/10/PT.TUN-JKT yang disosialisasikan pada hari Kamis, 3 Mei 2012, pkl. 10.00 WIB di Aula Desa Jejalen Jaya, yang memenangkan posisi HKBP.

Sosialisasi disampaikan oleh Kabag Hukum Kab. Bekasi. Hadir Ka Kesbangpol mewakili dan menyampaikan sambutan tertulis Sekda Kab. Bekasi, Camat Tambun Utara, Suharto Ariyanto, S.Pd.MM, Muspika Tambun, Sekdes & Staf Desa Jejalen Jaya, Ketua & Anggota BPD Jejalen Jaya, Kepala Dusun I, II, III Desa jejalen Jaya, Ketua RT dan RW, Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat, Tokoh Wanita serta Tokoh Pemuda Warga Jejalen Jaya.

Dalam dengar pendapat para tokoh Agama, Masyarakat, Wanita dan pemuda desa Jejalen Jaya dengan tegas menolak hasil keputusan PTUN Bandung dan PT TUN Jakarta serta meminta Pemerintahan Kabupaten Bekasi tidak mencabut segel ditembok lahan Gereja HKBP Philadelpia yang berlokasi di Rt.001 Rw. 09 Desa Jejalen Jaya.

Sementara diluar aksi masa terus menyuarakan aspirasi penolakkan Gereja HKBP (yang baru sekedar bedeng) dan pelaksanaan peribadatannya yang semau-maunya. Bahkan tokoh dan warga desa Sumber Jaya/Perum Villa 2, Kampung Gondrong/Perum Kintamani dan Kampung Kebon/Perum Villa 1, akan turut mengerahkan warga guna penolakan yang sama.

Selama menggelar demo-demo dari tahun 2009 hingga kini warga muslim Jejalen Jaya berlangsung kondusif dan bahkan lebih cenderung mengambil jalan kompromistis. Tapi sayangnya, menurut tokoh setempat, dari pihak HKBP tidak pernah mematuhi hasil musyawarah mufakat tersebut. Bila permasalahan ini tidak juga menemui titik temu dikhawatirkan akan menimbulkan tindak anarkis. Hal ini terlihat jelas dengan kian memanasnya situasi dan kondisi diwilayah Jejalen Jaya akhir-akhir ini. 

Kutipan :
Bilal / Arrahmah
Ahad, 6 Mei 2012 15:23:02

Ternyata kelompok liberal dan Feminis tidak berani berdialog

JAKARTA- Penolakan terhadap kehadiran Feminis lesbi Irshad Manji di Indonesia tentu saja membuat  sebagian kalangan yang pro terhadap feminisme angkat suara, sebut saja  Ulil Absar Abdallah yang juga hadir pada saat dalam acara bedah buku “Allah Liberty And Love” karya Irshad Mandji tersebut (04/05/2012) yang dibubarkan massa menyatakan keprihatinannya. Terlebih vonis kafir yang dilontarkan pihak warga yang tidak setuju dengan kajian ini.

“Kami selalu membuka ruang dialog dengan siapa saja, tapi kalau sudah mengedepankan kekerasan dengan mengatakan orang yang berbeda pendapat dengan mereka adalah kafir ini bukanlah sikap yang intelektual,” jelas aktivis Islam Liberal yang juga anggota dari Partai Demokrat ini.

Tidak jauh berbeda dengan Ulil, Goenawan Muhammad salah satu tokoh yang hadir mengaku kecewa atas batalnya acara diskusi setelah mendapat protes dari warga Pasar Minggu. Menurut Dia, banyak orang kehilangan hak untuk berbicara, hak untuk mendengarkan orang dan hak untuk berkumpul yang tidak dilindungi oleh polisi yang seharusnya melindungi hak asasi manusia di Indonesia.

“Menurut saya biasa saja, karena ini cuma kegiatan peluncuran buku. Seharusnya kalau mau dilarang dilihat dulu apa yang dibicarakan. Bahwa kita tidak setuju dengan Irshad ya biasa saja, sebetulnya perdebatan itu hal biasa, kan sejarah pemikiran Islam perdebatan itu sudah ada sejak abad ke-7 dan perbedaan pendapat itu adalah rahmat. Tapi dalam hal berbicara, kita belum mendengar apa yang dia omongkan, jangan jangan ada yang menarik?,” jelas Gunawan.

Irshad Yang Lebih Dulu Menolak Dialog
Namun, sebelumnya usaha untuk membuka ruang dialog antara Irshad dengan aktivis Islam yang hadir dalam peristiwa Salihara justru ditolak oleh Irshad Manji sendiri. Hal ini terlihat saat Irshad coba melanjutkan kegiatan tanpa pengeras suara. Selain tidak menghargai kondisi yang sedang sensitif, Irshad bukan hanya memancing emosi warga dengan memaksa meneruskan acara disaat negosiasi sedang berlangsung antara warga, pihak kepolisian dan panitia. Tapi Irshad juga menolak usulan seorang audiens yang merasa perlu membuka ruang dialog di kajian tersebut dengan perwakilan aktivis yang menentang kegiatan tersebut.

“Posisi kita sebagai orang yang menghargai kebebasan, mengapa kita tidak mengundang mereka (para pendemo) untuk berdialog secara terbuka, agar mereka juga tercerdaskan dan bisa dewasa dalam memahami kebebasan berpendapat” Jelas salah satu peserta yang tidak diketahui identitasnya mengkritisi Irshad.
Namun usulan tersebut ditolak oleh Irshad, beliau justru mengatakan bahwa pihak yang tidak setuju dengannya bahwa kelompok yang ingin membubarkan acaranya adalah kelompok yang tidak bisa dirubah cara berpikirnya.

“Saya tidak percaya bahwa dialog kita dengan mereka akan merubah cara berpikir mereka. Pikiran mereka telah tercipta seperti itu, pikiran mereka telah terdogma untuk tidak berubah,” bantah Irshad kepada pengusul tersebut.
Irshad justru lebih ingin fokus kepada doktrinasi mengenai motivasi kekuatan ‘cinta’, yang sebenarnya isi dari orasi ‘cinta’nya tidak lebih dari mengajak para peserta untuk berani melawan nilai nilai agama yang murni menuju keberanian hidup yang liberal.

“Kita harus menciptakan keberanian teman – teman kita ini, terutama bagi mereka yang merasakan pertarungan batin dan ingin sekali mengeluarkan kenyakinan dan kebebasan mereka. Tapi mereka tidak tahu caranya, kita perlu menanamkan keberanian, “ begitu ajaknya.

Iqbal, atau yang lebih dikenal dengan panggilan Aqse Syahid salah satu perwakilan masyarakat ketika dikonfirmasi pada saat kejadian Salihara mengenai kesiapan untuk membuka forum dialog dengan Irshad Manji menyatakan tidak ada masalah untuk berdialog dengan tenang dan terbuka dengan Irshad saat itu.
“Ya nggak ada masalah, kalau mau dialog ayo” Jelas Aqse.

Sehari sesudah kejadian Salihara, di Kantor Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) sendiri, wartawan – wartawan dari Jurnalis Islam Bersatu (JITU) yang hadir menyayangkan sikap panitia yang menutup acara tergesa – gesa, padahal waktu belum menunjukkan pukul 21.00 WIB.

Di Kalibata, diakhir acara terdapat dua penanya yang mengajukan pertanyaan ke Irshad dan para pembicara. Salah satunya adalah Indra Bujana dari JITU. Indra Bujana yang hendak mengkritisi beberapa pemikiran Irshad di kajian tersebut, termasuk beberapa statemen pembicara mengenai kehadiran media – media Islam seperti Sabili, Arrahmah.com, Voa-Islam.com dengan sebutan media propagandis yang fundamental dan mengajarkan doktrin terorisme terpaksa terbatalkan, karena moderator yang sudah mengiyakan tiba – tiba menyatakan acara sudah kehabisan waktu dan ruang diskusi ditutup.

“Ya Saya bingung juga, padahal tadi ketika saya tunjuk tangan, saya sudah di iyakan moderator masuk dalam list antrian penanya, tapi pas giliran saya kenapa tiba tiba dibatalkan dengan alasan waktu sudah habis, padahal waktu masih belum jam sembilan malam” Jelas Indra.

Bukan Umat Yang Tidak Mau Berdialog
Jadi mengatakan Umat Islam tidak mau berdialog dengan Irshad Manji adalah kesalahan besar. Justru sebelumnya harus dipertanyakan kehadiran para promotor yang membawa Irshad Manji ke Indonesia.

Mengapa mereka tidak menghadirkan sosok seperti Adian Husaini, Adnin Armas atau tokoh tokoh intelektual muslim untuk bisa jadi cover both side untuk menilai pemikiran Irshad yang selalu mengakui dirinya Islam namun sering mengajarkan hal – hal yang semaunya dan justru bertolak belakang dengan Islam seperti Lesbian dan keberanian mentafsirkan iman tanpa dasar keilmuan dan logika semata.

Kelompok INSIST, JITU, FPI dan Ormas – Ormas Islam lainnyapun siap jika memang dari awal pihak penyelenggara kehadiran Irshad Manji sudah memfasilitasi cover both side para pembicara tidak hanya mengundang pembicara dari kelompok Islam Liberal saja, tapi juga dari kelompok – kelompok yang dicap fundamentalis oleh Irshad Manji untuk berdiskusi terbuka mengenai Keislaman. Jika pada akhirnya fasilitas komunikasi umat untuk berdialog dengan Irshad saja sudah ditutup dari awal, seyogyanya jangan pernah menyalahkan akselerasi akar rumput umat Islam untuk menolak Irshad Manji dengan frontal, ketika dari awal memang ruangan intelektual yang dihadirkan tidak pernah melibatkan wakil – wakil dari apa yang disebut kelompok pendukung Irshad sebagai kaum fundamental.

Padahal kenyataannya bukan Umat yang tidak mau berdialog, tapi Irshad memang tidak mau melakukan itu, karena dia tahu ‘ajaran Islam’ yang dia sebarkan adalah penyesatan semata. Sekali lagi tolong jaga perasaan umat.
Foto : Di lingkari Jurnalis Islam Indra Bujana

Kutipan :
Bilal / Arrahmah
6 Mei 2012 21:18:23