JAKARTA – Dua tahun yang lalu
(2010), RUU Nikah Siri menjadi polemik dan buah bibir di masyarakat.
Ada upaya dari kaum feminism dan kelompok liberal untuk memidanakan
pelaku nikah siri. Jika RUU ini disahkan menjadi UU, maka pelaku nikah
siri (nikah di bawah tangan) bisa dijerat secara hukum pidana. Berbagai
pendapat pun bermunculan, baik yang pro maupun yang kontra.
Ketika Patrialis Akbar menjabat sebagai Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia (Menkum HAM), Pemerintah bersikukuh memperjuangkan draf RUU
Nikah Siri yang sudah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Dia
menegaskan, nikah siri perlu diatur agar ada kepastian hukum dalam
pernikahan dan kepastian hukum anak-anak mereka.
Untuk diketahui, draf usulan RUU Nikah Siri Hukum Materiil Peradilan
Agama Bidang Perkawinan menampung pasal tentang nikah siri atau nikah
yang tidak tercatat di kantor urusan agama (KUA). Pasal tersebut
menyebutkan, jika seseorang melakukan nikah siri atau melakukan kawin
kontrak, ia dapat diancam dengan pidana penjara.
Pasal 143 RUU
UU yang hanya diperuntukkan bagi pemeluk Islam ini menggariskan, setiap
orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan
pejabat pencatat nikah dipidana dengan ancaman hukuman bervariasi, mulai
dari enam bulan hingga tiga tahun dan denda mulai dari Rp 6 juta hingga
Rp12 juta. Selain kawin siri, draf RUU juga menyinggung kawin mut’ah
atau kawin kontrak.
Pasal 144 menyebut, setiap orang yang
melakukan perkawinan mut’ah dihukum penjara selama-lamanya 3 tahun dan
perkawinannya batal karena hukum. RUU itu juga mengatur soal perkawinan
campur (antardua orang yang berbeda kewarganegaraan). Pasal 142 ayat 3
menyebutkan, calon suami yang berkewarga negaraan asing harus membayar
uang jaminan kepada calon istri melalui bank syariah sebesar Rp500 juta.
Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama Nasarudin Umar menjelaskan,
maksud draf RUU tersebut tiada lain hanya untuk menjadikan kewibawaan
perkawinan terjaga karena dalam Islam perkawinan adalah hal yang suci.
Selain itu, RUU ini diajukan terkait masalah kemanusiaan. Dia berharap,
adanya UU ini nantinya akan mempermudah anak mendapatkan haknya seperti
dapat warisan, hak perwalian, pembuatan KTP, paspor, serta tunjangan
kesehatan dan sebagainya.
Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menyatakan dukungannya terhadap
draf RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan.Dalam
pandangannya, nikah siri itu lebih banyak merugikan anak-anak dan kaum
perempuan. "Anak-anak yang lahir dari kawin siri itu tidak diakui hukum
dan tidak mendapatkan hak waris," jelasnya di Gedung MK kemarin.
Mahfud menyatakan, perempuan yang dinikahi secara siri tidak diakui
oleh hukum sehingga jika seseorang mempunyai dua istri, kemudian istri
pertama adalah hasil pernikahan yang tercatat dan istri kedua adalah
hasil nikah siri, maka istri pertama sangat kuat di hadapan hukum.
Sejumlah aktivis perempuan, termasuk Komisi Nasional (Komnas)
Perempuan mendukung atas RUU Nikah Siri. Menurut mereka, tak ada
keuntungan bagi perempuan dalam pernikahan siri. Misalnya, jika
laki-laki melepaskan diri dari pernikahan, bagaimana dengan hak anak
yang dilahirkan nantinya? Perempuan dan anaknya tak bisa menuntut
tanggungjawab dari laki-laki atau ayah si anak. Padahal, jika dalam
perkawinan sah, perempuan dan sang anak bisa menggugat secara hukum.
Ulama Menolak
Front Pembela Islam (FPI) Kota Depok sempat menentang keras adanya
Rancangan Undang-undang (RUU) tentang nikah siri. Menurut FPI, menikah
secara siri adalah sah dalam hukum Islam dan tidak perlu
dipermasalahkan.
Ketua FPI Depok Habib Idrus Al Gadri
mengatakan, anggota DPR seharusnya membuat aturan mengenai perzinahan
dan pelacuran, sehingga tidak perlu mempersulit nikah siri. Habib Idrus
memandang masalah ini dari kacamata hukum syariat Islam yang seharusnya
tidak bermasalah jika nikah siri dilakukan berdasarkan keinginan
bersama.
"Jelas saya enggak setuju DPR itu lucu. Kenapa yang
seperti ini dibahas? Banyak yang berzina tapi tidak diatur dalam
undang-undang, kalau mau sama mau kan enggak masalah," tegasnya,
(21/02/10).
Habib Idrus juga mendesak DPR segera mencabut draft
RUU tentang nikah siri tersebut. Apalagi, kata Idrus, pidana disusun
dengan dalih melindungi perempuan. "Ini RUU yang mengada-ada, saya juga
sangat keberatan dengan pidananya, kalau mau sama mau tidak perlu ada
dalih melindungi perempuan," jelasnya.
Mantan Ketua Umum
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi menilai
pemidanaan nikah siri yang diatur dalam Draf RUU Nikah Siri adalah
sebagai langkah tidak benar. "Saya kira ini tidak benar. Nikah siri
cukup diadministrasikan saja. Harusnya yang lebih dulu dipidanakan itu
yang tidak nikah (berhubungan seks di luar nikah). Saya yakin ini ada
agenda tersembunyi untuk melegalkan yang melakukan seks bebas (free sex)
dan menyalahkan yang nikah," kata Hasyim.
Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
(UMY), Homaidi Hamid, S.Ag., M.Ag juga menanggapi polemik nikah siri.
Menurutnya, RUU Peradilan Agama bidang Perkawinan dinilai tidak
komprehensif jika perbuatan zina atau kumpul kebo juga tidak dipidanakan.
Lebih lanjut Homaidi menjelaskan, adanya RUU yang mengatur sanksi
bagi nikah siri pada awalnya dilakukan dengan alasan atau bertujuan
untuk melindungi status anak dan istri yang banyak dirugikan pada kasus
nikah siri. “Dengan melihat tujuan dari RUU tersebut, jelas bagus.
Karena selama ini anak-anak maupun istri-istri hasil nikah siri tidak
memiliki kekuatan hukum,” urainya.
Hanya saja kalau orang menikah siri kemudian memiliki anak
dipidanakan akan menjadi tidak adil karena perbuatan zina yang memiliki
anak juga tidak dipidana. Padahal anak hasil berzina tersebut tidak
mempunyai kekuatan hukum. “Jika orang menikah siri dipidana seharusnya
orang berzina juga dihukum,” tambahnya.
Nikah siri dipahami sebagai pernikahan yang dilakukan berdasarkan
ketentuan hukum Islam. “Pernikahan dilakukan dengan memenuhi syarat
nikah, rukun nikah serta ada wali pernikahan juga. Namun pernikahan ini
belum dicatat di pengadilan sehingga tidak memiliki akta perkawinan.
Walaupun sebenarnya akta tersebut bukan yang menentukan sah tidaknya
pernikahan melainkan bukti terjadinya pernikahan. Tidak ada bukti inilah
yang menyebabkan anak maupun istri dari pernikahan siri tidak memiliki
payung hukum.” tuturnya.
Namun menurut Homaidi, masyarakat yang sudah menjalankan nikah siri
tidak perlu risau karena nikah siri dapat disahkan melalui pengadilan
agama. “Nikah siri dapat diresmikan di pengadilan agama dengan nama
isbat nikah. Isbat nikah merupakan penetapan pengadilan bahwa pernikahan
yang dilakukan sebelumnya adalah sah.” tuturnya.
Masalah Perdata
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU) Arwani
Faishal mengingatkan bahwa pernikahan adalah masalah perdata. Karena itu
akan menjadi kezaliman pemerintah jika memenjarakan pelakunya. Dia
kemudian membandingkan dengan pelaku kumpul kebo yang jelas-jelas
bertentangan dengan agama mana pun, tapi tidak pernah dikenai sangsi
pidana oleh negara.
"Lho, orang-orang yang menjalankan ajaran
agama justru diancam dengan hukuman penjara? Jika ini terjadi justru
negara malah bertindak zalim,"kata Arwani. Menurutnya, pernikahan siri
atau pernikahan yang tidak didaftarkan secara administratif kepada
negara adalah perkara perdata yang tidak tepat jika diancam dengan
hukuman penjara. Bahkan sanksi material (denda) juga tetap memiliki
dampak sangat buruk bagi masyarakat.
"Bila mengenakan denda
dalam jumlah tertentu untuk orang-orang yang melakukan nikah siri, tentu
hal ini dapat menimbulkan ketidakadilan. Bukan masalah bagi mereka yang
punya uang banyak. Namun tidak adil bagi mereka yang secara ekonomi
hidupnya pas-pasan,"kata Arwani. Dalam pandangannya, nikah siri memiliki
berbagai dampak positif (maslahah) dan dampak negatif (mafsadah) yang
sama-sama besar.
Jika dilegalkan, akan sangat rawan
disalahgunakan dan jika tidak diakui akan bertentangan dengan syariat
Islam. "Untuk itu dampak negatif dan positif pernikahan siri harus
dikaji dan disikapi bersama,"katanya.
Sepertinya kaum feminis dan liberal tetap ngotot untuk terus
melanjutkan gagasannya yang tertunda untu mengkriminalisasi para pelaku
pernikahan siri.
Umat Islam tentu saja harus menghormati martabat kaum
perempuan, namun juga tidak mentolerir perzinahan. Upaya Departemen
Agama, untuk memasukkan draft ini dalam RUU tentang Hukum Materiil
Peradilan Agama Bidang Perkawinan, harus ditolak secara tegas.
Maka jangan memplintir kasus Bupati Garut Aceng Fikri, untuk
mengusung agenda terselubung untuk membiarkan perzinahan, dan menggugat
nikah sirri.
source
voaislam/kamis,06dec2012