Laman

Rabu, 05 Desember 2012

Tuduhan Islam Pemicu Terorisme Sarat Kepentingan Peguasa

SOLO – Banyak kasus-kasus yang terkait dengan aksi terorisme mulai dari tahun 2000 sampai sekarang ini selalu dikait-kaitkan dengan kegiatan ke-Islaman. Bahkan tak jarang para pemimpin dan pejabat yang berada dibidang penindakan kasus terorisme tersebut langsung menunjukkan jari telunjuknya kepada kelompok dan aktivis Islam tatkala ada sebuah aksi terorisme.

Menurut Burhanuddin Harahap, SH. MH. M.Si Ph.D selaku Ahli Hukum Islam Fakultas Hukum Universitas Negeri Solo (FH UNS), apa yang dilakukan selama ini oleh para penguasa yang langsung mengarahkan telunjuknya kepada kelompok dan aktivis Islam ketika terjadi sebuah kasus terorisme dalam pandangan dan sudut pandang para penguasa tersebut merupakan cara dan pola pikir seorang penguasa yang mempunyai sebuah kepentingan.
“Mengalamatkan terorisme kepada Islam adalah sebuah bukti cara berfikir penguasa yang dipenuhi dengan kepentingan,” ujarnya saat memberikan materi dalam acara Seminar Hukum Islam bertajuk “Teror Is (NOT) Me” yang bertempat di Aula Gedung 3 FH UNS Solo pada Sabtu 1/12/2012.

Dalam makalah yang disampaikannya dengan judul “Terorisme Dalam Perspektif Hukum Islam” tersebut, Burhanuddin menjelaskan bahwa kepentingan tersebut muncul karena para penguasa sudah terkontaminasi cara berpikir orang-orang Barat yang punya anggapan bahwa urusan mengurus negara harus dilepaskan dengan urusan agama.
“Ini terjadi karena para penguasa itu sudah dipengaruhi cara berfikir orang Barat yang menganggap bahwa urusan pengelolaan negara harus dipisahkan dan bukanlah termasuk urusan agama,” katanya.

Pria kelahiran Boyolali 52 tahun silam ini menambahkan bahwa penguasa sekarang ini yang memimpin negara-negara yang mayoritas berpenduduk muslim beranggapan bahwa agama sudah tidak layak lagi untuk mengatur sebuah negara. Padahal, Islam sejatinya telah mengatur seluruh aspek kehidupan manusia.
“Hal ini karena agama dianggap sudah tidak layak lagi mengurus negara.  Sementara itu, Islam mengatur semua aspek kehidupan manusia. Oleh karena itu, penguasa selalu curiga terhadap orang-orang yang memperjuangkan Islam untuk ditegakkan di dalam kehidupan,” cetusnya.

Lanjutnya, apa yang selama ini menjadi istilah-istilah yang terkesan membuat Islam keras, sangar dan kejam adalah buatan orang-orang yang tidak suka dan tidak memahami Islam dengan benar. Lebih dari itu, stigma-stigma negatif seperti kata Islam fundamental, Islam radikal dan terorisme Islam selalu diulang-ulang oleh penguasa untuk mendiskreditkan Islam.
“Salah satu cara penggiringan opini negatif kepada Islam adalah dengan stigmatisasi Islam fundamental, Islam radikal dan terorisme Islam,” tandasnya.

Terakhir beliau mengingatkan bahwa selama umat Islam secara bertubi-tubi dilecehkan, dihina, diperlakukan tidak adil dan realitas kehidupan juga sangat bertentangan sekali dengan ajaran Islam, maka selama itu pula umat Islam tidak akan tinggal diam.
“Ketika umat Islam secara bertubi-tubi mengalami pelecehan, hinaan dan melihta realita keidupan yang bertentangan dengan ajaran Islam, sementara Negara dirasakan membiarkan dan tidak menindak tegas terhadap berbagai macam kemaksiatan yang bertentangan dengan ajara Islam, maka sebagian reaksi untuk melakukan teror akan tetap ada. Jadi, terorisme itu akan selalu ada selama pemerintah tidak adil kepada umat Islam,” tegasnya.
 
source
voaislam/rabu,05dec2012 

Program BNPT Dianggap Tak Selesaikan Terorisme

SOLO – Di tengah upaya penanggulangan terorisme oleh pemerintah Republik Indonesia melalui program deradikalisasi yang dijalankan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), berbagai kritik muncul ke permukaan karena deradikalisasi dianggap merupakan upaya Deislamisasi.

Kritik lainya dari program tersebut adalah karena pemerintah dinilai telah dikuasai oleh cara-cara berfikir yang sistematis untuk melakukan stigmatisasi negatif terhadap umat Islam. Sehingga, masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim merasa perlu untuk melakukan pengamatan dalam program Deradikalisasi tersebut.

Namun pemerintah abai dengan realitas sosial yang dipenuhi dengan ketidakadilan, berjalanya pemerintahan yang korup, serta berbagai kemungkaran dan kerusakan sosial lainnya yang melekat pada masyarakat Indonesia. Dan yang lebih ironi lagi, penanganan terorisme sarat dengan kepentingan politik.
“Yang menjadi permasalahan sekarang ini, ranah penanganan terorisme sekarang ini sarat dengan kepentingan politik. Jadi tindak pidana terorisme harus dilepaskan dari kepentingan dan tindak politik,” kata Budhi Kuswanto, SH. anggota TPM Jawa Tengah saat menjadi pemateri dalam Seminar Hukum Islam bertajuk “Terror Is (NOT) Me: Terorisme Dipandang dari Hukum Islam” yang bertempat di Aula Gedung 3 Fakultas Hukum Universitas Negri Surakarta (FH UNS), pad Minggu 1/12/2012.

Pada acara seminar yang juga dihadiri oleh Ansyad Mbai selaku Kepala BNPT, Budhi menyatakan kepada para peserta bahwa dalam realita yang ada disaat proses penyelidikan dan persidangan kasus terorisme muncul dua hal yang berbeda.
“Yang terjadi, proses penanganan yang dilakukan oleh Densus atau BNPT memakai cara-cara UU Terorisme, tapi pada saat di persidangan faktanya yang diajukan adalah UU Penggunaan Senjata Api dan Bahan Peledak,” ungkapnya.

Lebih lanjut, diapun memberi contoh dengan kasus ledakan tabung gas di sebuah sawah di Boyolali yang dilakukan oleh bocah SMP beberapa bulan silam.
“Masih ingat kasus ledakan tabung gas elpiji di Boyolali? Densus menerapkan UU Terorisme pada saat penyelidikan, yang kemudian disebarkan oleh media-media sedemikian rupa. Tapi nyatanya, UU yang dikenakan pada bocah tersebut saat persidangan adalah UU Penggunaan Senjata Api dan Bahan Peledak. Nah ini kan bentuk teror tersendiri kepada keluarga dalam ranah sosial,” ucap Budhi kepada para peserta yang kebanyakan adalah mahasiswa dan dosen UNS.

Sementara itu, Pakar Hukum Islam FH UNS Burhanudin Harahap menilai bahwa persoalan terorisme di Indonesia tidak akan selesai selama pemerintahan masih diwarnai kemungkaran.
“Masalah terorisme tidak bisa diselesaikan melalui program-program BIN dan BNPT, selama pemerintah tidak menjalankan sistem pemerintahan yang adil,” ujarnya.

Menurut Burhanudin, pemerintah sangat dipengaruhi oleh logika-logika berfikir orang Barat, oleh karenanya pemerintah selalu curiga terhadap setiap upaya untuk memperjuangkan Islam untuk ditegakkan di dalam kehidupan. “Hukum Indonesia banyak mendapat tekanan dari Barat,” ungkapnya.

Burhanudin menyimpulkan bahwa sebab utama persoalan terorisme adalah keadaan umat Islam yang terus bertubi-tubi mengalami pelecehan, penghinaan dan realitas kehidupan masyarakat yang bertengtangan dengan ajaran Islam, sementara di satu sisi, negara dianggap membiarkan keadaan dan tidak mengambil tindakan terhadap kemaksiyatan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Maka sebagaian orang mengambil reaksi dengan melakukan tindakan yang dianggap sebagai terror.
“Persoalan ini tidak akan berakhir tanpa adanya upaya negara untuk menghilangkan sebab-sebab yang ada di dalam realitas bernegara,” kesimpulanya di hadapan para panelis dan audien.
 
source
voaislam/rabu,05dec2012 

Beberapa Kejanggalan Seminar Terorisme di Solo

SOLO Diskusi dan perbincangan seputar aksi maupun definisi terorisme sepertinya tidak akan pernah habis dan tidak pernah ada ujungnya.  Hal ini bisa dimaklumi bersama karena definisi terorisme sendiri yang diterapkan dan ditetapkan oleh para penegak hukum dalam memberantas aksi tindak pidana terorisme masih sangat kabur dan terkesan tebang milih serta sarat muatan politis.

Untuk mencari solusi alternatif dan penanganan yang tepat dan jitu dalam mengurai berbagai masalah tentang kasus terorisme yang terjadi di Indonesia, Forum Silaturahmi Mahasiswa Islam Fakultas Hukum Universitas Negeri Solo (FOSMI FH UNS) mengadakan Seminar Hukum Islam bertajuk “Teror Is (NOT) Me” yang bertempat di Aula Gedung 3 FH UNS Solo.

Menurut panitia pelaksana, tema tersebut dipilih karena sampai saat ini, pemberantasan tindak pidana terorisme yang ditangani oleh aparat penegak hukum seperti BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) dan Densus 88 hanya berkutat pada kegiatan-kegiatan yang berbau Islam dan para pelakunya semuanya yang dituduh sebagai teroris notabenya adalam seorang muslim.
“Kan sudah menjadi rahasia umum lagi bahwa sekarang ini masyarakat beranggapan bahwa setiap kali ada kasus terorisme mesti dikaitkan dengan Islam, dan setiap teroris pasti muslim. Nah ini kan sebuah anggapan yang tidak kita inginkan bersama,” kata salah satu panitia kepada voa-Islam.com seusai seminar berlangsung.

Maka dari itu, seminar ini diadakan sebagai upaya untuk meniadakan pikiran-pikiran bahwa teroris itu adalah seorang muslim dan terorisme adalah kegiatan yang terkait dengan Islam. Sebab, aksi-aksi teror yang terjadi belakangan ini jika dilihat dalam konteks yang lebih luas lagi, baik dari segi sosial masyarakat maupun dari segi hukum, bisa dilakukan oleh berbagai kalangan.

Aksi teror dan penyerangan kepada polisi misalnya, tidak hanya dilakukan oleh kalangan aktivis Islam, namun kalangan dan kelompok-kelompok kristen semisal OPM maupun RMS juga melakukan hal yang sama sebagaimana yang terjadi di Maluku dan Papua beberapa hari yang lalu.

Kalangan pejabat yang melakukan korupsi, secara tidak langung juga telah melakukan aksi teror dan meresahkan masyarakat. Aksi tawuran pelajar, juga telah meresahkan warga masyarakat. Buktinya, masyarakat yang ebrada disekitar lokasi terjadinya tawuran biasanya marah dan ikut membubarkan aksi tawuran pelajar tersebut.
“Harapannya seperti itu, bahwa teroris itu bukan kita (muslim-red). Sebab, banyak juga kalangan dan kelompok lain diluar Islam maupun aktivis Islam yang melakukan tindakan teror dan meresahkan masyarakat. Jadi kalau pemerintah konsisten dengan undang-undang terorisme, mereka kan ditindak,” tambahnya.

Seminar yang diselenggarakan pada Sabtu (1/12/2012) pagi menjelang siang itu menghadirkan 4 narasumber antara lain, Irjen Pol. (Purn) Ansyad Mbai Kepala BNPT, Budhi Kuswanto, SH. anggota Tim Pengacara Muslim (TPM) Jawa Tengah, Noor Huda Ismail, S.Kom. Direktur Yayasan Prasasti Perdamaian dan Burhanuddin Harahap, SH. MH. M.Si Ph.D Ahli Hukum Islam FH UNS Solo.

Jalannya Seminar Diwarnai Kejadian Tidak “Sportif” dari BNPT
Meski secara global acara seminar berjalan lancar, namun ada beberapa kejadian yang seharusnya tidak patut terjadi dalam forum diskusi yang diklaim sebagai tempat para intelektual dan akademisi untuk mengadakan tukar fikiran dan tempat mengemukakan perbedaan pendapat serta tempat mencari solusi dari sebuah masalah.

Beberapa kejadian tidak “Sportif” itu antara lain,  
pertama, ketika pemateri kedua yakni Budhi Kuswanto sedang memaparkan materinya, pengawal Ansyad Mbai membisiki panitia. Ternyata bisikan kepada salah seorang panitia tersebut diteruskan kepada moderator. Setelah sampai kepada moderator, para peserta kemudian baru tau kalau Budhi diminta untuk segera mengakhiri pemaparannya.

Padahal Budhi baru menyampaikan materinya sekitar 20 menit, sedangkan waktu yang diberikan kepda masing-masing pemateri yakni 25 menit sampai 30 menit. Hal ini tidak aneh karena dalam pemaparannya, Budhi memang mengetengahkan beberapa fakta terkait ketidak konsistenan Densus 88 maupun BNPT dalam menangani aksi dan kasus terorisme khususnya dalam segi hukum.

Banyak undang-undang tindak pidana terorisme menurut Budhi yang tidak diindahkan oleh Densus 88 maupun BNPT. Diapun memberikan contoh bagaimana Jaksa Penuntut Umum (JPU) ada yang sama sekali tidak memahami kasus terorisme.
“Pernah dalam sebuah persidangan, Jaksa itu salah menyebutkan sebuah istilah, ini kan fatal. Dalam Islam ada istilah Gamis (baju gamis-re). Tapi Jaksa waktu itu malah mengucapkan kata Gamis dengan Games. Ini kan membuktikan kalau aparat yang menyidangkan kasus terorisme tidak menguasai bahan dakwaan yang ia dakwakan kepada tersangka,” ucapnya dengan nada sedikit menyindir Ansyad Mbai.

Kedua, waktu sesi tanya jawab, listrik diruangan yang ber-AC tersebut tiba-tiba padam hampir 15 menit. Hal ini terjadi setelah 2 penanya menyampaikan pertanyaannya yang sangat memojokkan Densus 88 dan BNPT dan pada saat penanya ke-3 sedang menggebu-gebu “menghabisi” pemaparan Ansyad Mbai yang dianggap tidak akan menyelesaikan permasalahan terorisme.

Ketiga, yakni ketika Budhi hendak memberikan kata penutupnya, tiba-tiba Ansyad Mbai menyela pemaparan Budhi. Padahal setiap pemateri sudah diberi waktu sendiri-sendiri oleh moderator dalam menyampaikan closing statemen.

Keempat, dalam kesepakatan awal bahwa termin tanya jawab akan dibagi menjadi 2 bagian. Bagian pertama 3 penanya, dan bagian 3 penanya. Tapi, melihat para peserta yang harusnya dalam skenario BNPT diharapkan dan harusnya mendukung aksi-aksi brutal Densus 88 dalam memberantas tindak pidana terorisme malah berbalik 180 derajat. Akhirnya moderator mengakhiri seminar hanya dengan 1 termin tanya jawab.

Kelima, kejadian tidak sportif yang dilakukan Ansyad Mbai pada seminar tersebut adalah tidak dijawabnya pertanyaan para penanya yang mungkin menurut Ansyad Mbai bisa menguliti dan membuka topeng busuk Densus 88 dan BNPT.
“Ya, terus terang saya kecewa lah. Katanya forum diskusi dan tukar fikiran, tapi pertanyaan kita tidak dijawab semua dan terkesan pak Ansyad tadi ada yang ditutup-tutupi. Dan yang paling penting tadi, apa yang dia katakan tadi tidak konsisten sekali dengan apa yang dia ucapkan dan realita yang ada,” ujar Ika, salah satu aktivis Islam UNS yang merupakan penanya kedua dalam tanya jawab tersebut. 
 
source
voaislam/rabu,05dec2012