Laman

Minggu, 01 April 2012

Heiiii Cantik, Ngapain Kamu Berjilbab?

Pernah ga sobat denger pertanyaan “ngapain sih pake jilbab, masih muda khan jadi  ga keliatan cantiknya?”, atau pernyataan “aku mau pake tapi jika dah nikah nanti”, atau kalimat sejenisnya yang menyatakan keberatan berjilbab. 

Mungkin kalimat di atas tidak menimpa diri kita, tetapi temen deket atau kerabat. Semua tahu dan sepakat, tidak ada pertentangan bahwa berjilbab itu wajib bagi wanita balig, yang mengaku muslimah tidak ada alasan untuk mencari-cari alibi menghindari menutup aurat.

Allah Azza Wa Jalla yang menciptakan manusia, paling Mengetahui perkara yang mendatangkan maslahat (perkara yang membawa pada kebaikan) dibanding  manusia itu sendiri. Allah Maha Mengetahui, Maha Kasih Sayang dan Maha Bijaksana kepada hamba-hamba-Nya.
“Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan kamu rahasiakan), dan Dia Maha Halus dan Maha Mengetahui?” (Qs Al Mulk 14).
...Menutup aurat itu mengandung banyak kebaikan bagi wanita, meski banyak yang menyelewengkannya sehingga muncul sejuta alasan untuk menolaknya...
Menutup aurat itu sendiri juga mengandung banyak kebaikan bagi wanita, hanya saja banyak yang menyelewengkan perintah ini sehingga muncul aneka ragam alasan untuk menolaknya. Masih segar dalam ingatan masyarakat, tahun 90an banyak statement sesat untuk menolak berjilbab. Pelajar akan dikatakan sulit mencari kerja jika belajar pada sekolah yang mewajibkan dirinya memakai jilbab.

Imbas dari rumor sesat ini akhirnya berkembang pada khalayak luas bahwasanya jilbab identik dengan kekolotan dan kemunduran. Kini kita hidup di era 2000an, era manusia semakin cerdas dan kritis menilai segala sesuatu, termasuk mengenai jilbab, muncul kesadaran masyarakat Indonesia  untuk mengenakan jilbab.

Jika suatu waktu nanti akan ada yang bertanya pada anda “Hei cantik ngapain berjilbab?” jawabnya cukup sederhana :

1. Sebagai bentuk ketaatan pada Allah Sang Pemberi hidayah, sebagaimana tercantum dalam surat An-Nur  31dan Al-Ahzab 59.

2. Sebagai bentuk ketaatan pada apa yang dicontohkan Rasulullah dan istri-istrinya dalam menjaga diri agar terhindar dari fitnah, sebagaimana yang termaktub dalam surat Al-Ahzab 53.

3. Sebagai identitas pembeda antara muslimah dan non muslimah. Jika wanita mengenakan jilbab, maka semua manusia akan tahu jika dia muslimah, tetapi jika wanita ditempat umum tidak menutup aurat, agama dan keimanannya masih diragukan.

4. Sebagai pelindung diri dari laki-laki tidak baik. Jika wanita itu mengenakan jilbab, sangat kecil kemungkinan untuk diganggu atau dilecehkan, berbeda dengan wanita yang mengenakan pakaian seksi. Ketika wanita mengenakan pakaian seksi ditempat umum, ada sepucuk pesan dibalik pesonanya, yang kurang lebih begini “hei cowok, gangguin kita dunk!” ^_^

5. Sebagai pelindung kulit. Ketika siang hari mengharuskan wanita beraktivitas diluar rumah, sangat rentan kulitnya cepat rusak dan terlihat tua sebelum waktunya, padahal kulit sehat merupakan dambaan setiap wanita, pemakaian jilbab secara benar akan melindungi dan menjaga kulit wanita dari ganasnya sinar matahari. Bukan hanya matahari, sebagian manusia yang menempati bumi juga mengalami musim dingin di banyak negara. Bagi wanita, jilbab merupakan pelindung ampuh dari dinginnya cuaca.

6. Sebagai pengontrol. Jika wanita tidak berjilbab, cenderung merasa bebas dan tidak terikat dengan pakaian yang dikenakannya. Berbeda dengan wanita berjilbab, jika ingin berbuat sesuatu yang melanggar norma-norma agama, maka ia akan berpikir matang, jilbab menjadi alat pengontrol dan pengingatnya.
So,  cantik, ngapain ga berjilbab jika sudah tahu banyak manfaat dari berjilbab ?  ^_^

By: Yulianna PS
Penulis Kumcer “Hidayah Pelipur Cinta”

Kutipan :
VoA-Islam
Ahad, 01 Apr 2012

RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender: Ekspresi Kemarahan Kaum Feminis

Anggota pendiri Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI), saat ini sedang menulis desertasi tentang gender di Akademi Pengajian Islam Universiti Malaya Kuala Lumpur

Dalam sejarahnya, kaum feminis berjuang melawan sistem dan konstruk sosial yang dilandasi seksisme dan patriarkhisme. Namun perlawanan itu bukan untuk menetralkan keberpihakan tatanan sosial kepada kaum Adam. 
Sebaliknya, arah perjuangan mereka lebih ditujukan untuk mengambil alih peran publik yang selama ini dimiliki laki-laki. Dalam ambisinya ini, perjuangan yang ditempuh para elit feminis adalah jalur konstitusi.

Joan Wallach Scott, seorang sejarawan Amerika berkewarganegaraan Prancis yang dikenal melalui kontribusinya di bidang sejarah feminis dan teori gender, menguraikan bahwa gender adalah unsur konstitutif dari hubungan sosial yang berdasarkan perbedaan-perbedaan antara kedua jenis kelamin. Gender juga berarti cara utama yang menandakan hubungan kekuasaan. (Joanne Meyerowitz, A History of “Gender”, dalam The American Historical Review, vol. 113, no. 5, December 2008, hal. 1355)

Para filsuf, psikoanalis, dan kritikus sastra menyimpulkan bahwa bahasa perbedaan jenis kelamin telah menguatkan struktur sosial dan politik di Barat. Oleh karena itu, untuk merombak struktur sosial dan politik yang berprespektif jenis kelamin (sexist), Scott membangun konsep gender melalui konstitusi. (Joanne Meyerowitz, hal. 1355-1356).

Dalam konteks keindonesiaan, perjuangan membangun struktur sosial berbasis gender tidak langsung diwujudkan melalui konstitusi. 
Sejak tahun 1990, feminis Indonesia telah aktif mendirikan kelompok studi wanita di beberapa universitas ternama yang kemudian berkembang menjadi Pusat Studi Wanita (PSW). Melalui kerjasama dengan beberapa pihak asing, di antaranya seperti McGill CIDA (Kanada), The Ford Foundation, The Asia Foundation, AusAID, DANIDA The Royal Danish Embassy dan didukung beberapa kementerian, khususnya kementerian agama dan pemberdayaan perempuan, proses feminisasi pendidikan berkembang pesat di tingkat perguruan tinggi, terutama di PTAIN.

Setelah meraup kesuksesan di bidang pendidikan, perjuangan kaum feminis kemudian berlanjut di dunia politik. Perjuangan mereka kembali menuai sukses dengan disahkannya Undang-Undang yang mempersyaratkan keterwakilan perempuan minimal 30% dalam hal-hal berikut :

a. kepengurusan partai politik di tingkat pusat hingga tingkat kabupaten/kota
b. pengajuan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD
c. komposisi keanggotaan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota
d. penetapan nomor urut bakal calon perempuan harus diletakkan pada nomor urut 1, 2, atau 3

Untuk mengawal terlaksananya angka 30% tersebut, UU mengharuskan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota untuk mengumumkan persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon tetap partai politik masing-masing pada media massa cetak harian nasional dan media massa elektronik nasional.

Tidak puas dengan pencapaian di atas, kini kaum feminis kembali berjuang untuk mewujudkan ambisinya berperan di ranah publik dan merombak struktur sosial melalui pengesahan RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender. 

Dalam RUU ini, kemarahan terhadap struktur sosial yang didominasi laki-laki diekspresikan melalui hal-hal sebagaimana berikut :

1. Memarjinalkan nilai-nilai dan filosofi agama sebagai dasar yang menjiwai undang-undang. Sebab ajaran agama sering dipandang menghambat konsep persamaan dan kesamaan antara laki-laki dan perempuan.

2. Menghapus otoritas agama dalam kehidupan pribadi dan sosial, khususnya dalam masalah perkawinan, perwalian, waris (sebagaimana diatur dalam RUU ini pasal 12), kewajiban setiap warga negara untuk menanamkan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan gender kepada anak sejak usia dini dalam keluarga (pasal 15, huruf d), larangan melakukan perbuatan yang memiliki unsur pembedaan, pembatasan, dan/atau pengucilan atas dasar jenis kelamin tertentu (Bab VIII, pasal 67)

3. Lebih mengedepankan ideologi seksisme sebagai pijakan dasar pembuatan RUU. Hal ini tercermin baik secara eksplisit maupun implisit dengan banyaknya pasal yang memihak perempuan.

4. Menghapus keberagaman definisi “gender” yang masih menjadi isu kontroversial di kalangan akademisi dan menjadikannya sebagai definisi tunggal dan mengikat.

5. Memaksakan pemahaman empiris ala Marxis dalam merumuskan makna istilah “kesetaraan” dan “keadilan” dengan “kesamaan” dan “persamaan”. Sehingga segala bentuk “ketidaksamaan” bisa disebut sebagai “diskriminasi”, utamanya terhadap perempuan. Hal ini diperkuat lagi dengan penjelasan “asas dan tujuan” dalam bab II, pasal 2 dan 3.

6. Merombak landasan dan filosofi pembangunan sehingga lebih berorientasi pada ideologi jenis kelamin melalui konsep “Pengarusutamaan Gender” (PUG) dan Anggaran Responsif Gender (ARG), serta mengawalnya dengan konsep “analisis gender”.

7. Memaksa pemerintah dan instansi terkait untuk melakukan intervensi dalam kehidupan keluarga dan hak-hak sipil melalui pembentukan Focal Point PUG dan Pokja PUG.

8. Menyeragamkan atau paling tidak mengajak perempuan untuk memprioritaskan pilihan hidup dan keinginannya seperti apa yang dimaksud dalam RUU KKG ini. Sehingga RUU ini hanya memfasilitasi ambisi kaum elit feminis.

9. Mengabaikan beberapa hal pokok yang menjadi hajat hidup setiap perempuan, misalnya di bidang ketenagakerjaan, tidak ada pembahasan tentang waktu kerja yang lebih fleksibel bagi wanita yang berkeluarga atau memiliki anak balita, pemberlakuan masa cuti bergaji minimal setahun bagi wanita hamil/bersalin, dan lain-lain. 

Maka berdasarkan uraian di atas, sudah sepantasnya jika RUU KKG ini ditolak. Namun jika sekiranya UU tentang gender memang wajib dimiliki oleh RI, maka perombakan mendasar harus dilakukan terutama terhadap semua bab dan pasal yang bertentangan dengan hak dan kebebasan setiap warga negara untuk menjalankan nilai-nilai agama, baik dalam ranah domestik maupun publik. Di samping itu, diharapkan UU tentang gender tidak menjadi komoditas politik yang hanya mengutamakan kalangan elit perempuan saja.

Semoga isu tentang pembahasan RUU KKG yang sarat masalah ini tidak memperparah tsunami krisis kepercayaan terhadap komisi VIII DPR. Cukuplah peristiwa memalukan yang menimpa Tim Panja komisi VIII tentang fakir miskin saat mengunjungi Australia pada 26 April-2 Mei 2011 lalu menjadi pelajaran berharga bagi anggota dewan yang semestinya kita hormati bersama.

Oleh: Henri Shalahuddin, MIRKH.

Kutipan :
VoA-Islam
Sabtu, 31 Mar 2012

Inilah Empat Alasan KMKI Menolak RUU Kesetaraan Gender

JAKARTA – Komunitas Muslimah untuk Kajian Islam (KMKI) menolak secara keseluruhan pasal demi pasal dalam RUU Kesetaraan Gender, karena dinilai sebagai produk sekuler yang bertentangan dengan Islam dan fitrah manusia.


“RUU Kesetaraan Gender adalah produk sekuler yang tidak diperlukan sama sekali oleh para muslimah,” tegas Sekretaris KMKI, Rita Soebagio dalam rilis yang diterima voa-islam.com, Sabtu (31/3/2012).


KMKI,  jelas Rita, menolak seluruh pasal dalam RUU Kesetaraan Gender karena empat alasan.

Pertama, RUU ini bersifat sekular dan tidak berlandaskan nilai-nilai agama sehingga bertentangan dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa, yakni pengakuan kepada Allah Yang Mahakuasa sebagai penganugerah nikmat kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Padahal Pembukaan UUD 1945 menyatakan, bahwa bangsa Indonesia telah mengakui Allah SWT sebagai Tuhan mereka, dan seharusnya juga mengakui kedaulatan Allah Yang Maha Kuasa untuk mengatur kehidupan mereka.

Kedua, RUU ini terlalu memaksakan nilai-nilai lokal peradaban Barat yang sekular,  liberal, dan materialistik,  tentang konsep dan kedudukan perempuan,  menjadi nilai-nilai universal yang harus dipeluk oleh semua bangsa di dunia.
Padahal, berbagai bangsa memiliki nilai-nilai yang khas. Bangsa Indonesia yang telah mengakui kedaulatan Allah Yang Maha Kuasa, dalam pembukaan konstitusinya, seharusnya tidak mudah terseret arus globalisasi dan westernisasi yang terbukti telah menjerumuskan umat manusia ke jurang kehampaan dan ketidakpatian nilai, sehingga menjauhkan mereka dari kehidupan yang bahagia.

Ketiga, RUU ini telah menafikan dan mengecilkan arti dan peran perempuan sebagai Ibu Rumah Tangga, sebagai pendamping suami dan pendidik anak-anaknya. Partisipasi perempuan dalam pembangunan hanya diukur berdasarkan keaktifannya di ruang publik.  Sangat ironis, jika pandangan semacam ini diterapkan hanya untuk mengejar peringkat Human Development Index.
Padahal, konsep dan cara pandang seperti ini akan memunculkan ketidakharmonisan dan bahkan penderitaan bagi perempuan itu sendiri, karena peran yang dijalankannya didapat melalui belas kasih dan pemaksaan porsi gender dan bukan karena kapabilitas dan kehormatan pribadinya.

Keempat, RUU ini bertentangan fitrah manusia yang telah dikaruniakan Allah Yang Maha Kuasa,  di mana laki-laki dan perempuan diciptakan dengan potensi masing-masing untuk saling melengkapi dan bekerjasama dalam berbagai aspek kehidupan.  Allah Yang Maha Kuasa telah menempatkan laki-laki sebagai pemimpin dan penganggung jawab keluarga yang wajib berlaku adil, beradab, dan penuh  kasih sayang,  dalam ber-mu’asyarah dengan perempuan.


Untuk menghindari bahaya RUU Kesetaraan Gender itu, KMKI mendesak DPR dan pemerintah agar menganulirnya dan segera menyusun RUU Keluarga Bahagia dan Sejahtera sebagai alternatifnya.

“KMKI dan aktivis organisasi perempuan mengusulkan kepada DPR dan pemerintah untuk menyusun RUU tentang Keluarga Bahagia dan Sejahtera sebagai alternatif pengganti RUU Kesetaraan Gender. Sebab, keluarga adalah pilar tegaknya kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,” tegas Rita. 

Kutipan :
taz / VoA-Islam
Sabtu, 31 Mar 2012

KMKI: Tolak RUU Kesetaraan Gender, Ganti dengan RUU Keluarga Bahagia

JAKARTA  – Komunitas Muslimah untuk Kajian Islam (KMKI) menolak RUU Kesetaraan Gender, karena dinilai sebagai produk sekuler yang bertentangan dengan Islam. Sebagai gantinya, KMKI mendesak DPR menyusun RUU Keluarga Bahagia dan Sejahtera.

“RUU Kesetaraan Gender adalah produk sekuler yang tidak diperlukan sama sekali oleh para muslimah,” tegas Sekretaris KMKI, Rita Soebagio dalam rilis yang diterima voa-islam.com, Sabtu (31/3/2012).

KMKI menilai, RUU Kesetaraan Gender ini bersifat sekular dan tidak berlandaskan nilai-nilai agama. Selain itu, RUU ini bertentangan fitrah manusia yang telah dikaruniakan Allah Yang Maha Kuasa,  di mana laki-laki dan perempuan diciptakan dengan potensi masing-masing untuk saling melengkapi dan bekerjasama dalam berbagai aspek kehidupan. 
"Allah Yang Maha Kuasa telah menempatkan laki-laki sebagai pemimpin dan penganggung jawab keluarga yang wajib berlaku adil, beradab, dan penuh  kasih sayang,  dalam ber-mu’asyarah dengan perempuan," ujar Rita.

Karenanya, KMKI mendesak DPR agar membuang RUU Kesetaraan Gender dan menggantinya dengan menyusun RUU Keluarga Bahagia dan Sejahtera.
“KMKI dan aktivis organisasi perempuan mengusulkan kepada DPR dan pemerintah untuk menyusun RUU tentang Keluarga Bahagia dan Sejahtera sebagai alternatif pengganti RUU Kesetaraan Gender. Sebab, keluarga adalah pilar tegaknya kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,” tegas Rita.

Sebagaimana diketahui, beberapa ormas Islam seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Aisyiah PP Muhammadiyah, Musliat Nahdhatul Ulama, Majelis Ulama Islam (MUI) telah melakukan dengar pendapat dengan DPR beberapa waktu lalu. Pada prinsipnya semua ormas Islam menolak dengan catatan. Sedangkan HTI menolak sepenuhnya. 

Kutipan :
taz / VoA-Islam
Sabtu, 31 Mar 2012

Akmal Sjafril: Jaringan Islam Liberal (JIL) 'Halalkan' Berbohong

BEKASI – Para pengikut agama Liberal terjangkit kesesatan akidah dan kerusakan moral sehingga dengan mudahnya berbohong dan melanggar kaidah yang ditetapkannya sendiri.

Data-data itu dipaparkan Akmal Sjafril di hadapan ratusan peserta Kajian Islam Akhir Pekan (KISLAP) bertajuk "Islam Liberal atau Agama Liberal?" di Masjid Jami' Al-Azhar Kalimalang Bekasi, Sabtu (31/3/2012).
 
Salah satu bukti kesesatan akidah liberal, papar Sjafril, dituangkan para aktivis liberal di akun twitter. Misalnya, Saidiman, seorang aktivis liberal dengan terang-terangan menyukai pendapat Pendeta Iohanes Rahmat yang menyatakan bahwa menyembah tiga Tuhan itu lebih asyik demokratis, sedangkan menyembat satu Tuhan (tauhid) itu tidak asyik karena berarti Tuhan Otoriten.
“Kata Pak Iohanes, percaya kepada banyak Tuhan itu lebih asyik, demokratis. Tuhan yang satu itu otoriter,” ujar Sjafril menirukan twitter Saidiman.

Kerusakan akidah itu, jelas Sjafril, karena landasan nomor satu dalam credo Islam Liberal adalah membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam.
“Islam Liberal adalah suatu bentuk penafsiran tertentu atas Islam dengan landasan membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam. Islam Liberal percaya bahwa ijtihad bisa diselenggarakan dalam semua segi, baik segi muamalat (interaksi sosial), ubudiyyat (ritual), dan ilahiyyat (teologi),” ujar Sjafril mengutip situs resmi JIL.

Anehnya, kaidah JIL ini kerap dilanggar dan dikhianati para tokoh JIL sendiri, karena para aktivis JIL terjangkit penyakit dusta.
...Bagi tokoh liberal selevel Ulil, berbohong itu sudah biasa. Memang bagi kaum Liberal bohong itu biasa, gak aneh...
Sjafril menceritakan, suatu ketika Ulil Abshar Abdalla berbuka puasa bersama bersama umat Islam di Boston, Amerika. Seorang peserta bertanya, “Pak Ulil, kenapa anda puasa? Anda kan Islam Liberal? Mengapa Anda puasa?”
Mendapat pertanyaan kritis itu, Ulil pun menjawab, “Inilah yang tidak dipahami orang tentang Islam Liberal. Islam Liberal ibu bukan berarti semua-muanya bisa diubah, karena kita percaya ada hal-hal yang tidak bisa diubah dalam Islam.”

Pernyataan Ulil ini, menurut Sjafril adalah kebohongan besar. “Bagi tokoh liberal selevel Ulil, berbohong itu sudah biasa. Memang bagi kaum Liberal bohong itu biasa, gak aneh!” tegas penulis buku “Islam Liberal 101” itu.

Kutipan :
taz / VoA-Islam
Ahad, 01 Apr 2012