Laman

Rabu, 09 Mei 2012

Diserang Massa Saat Diskusi di Yogya, Irshad Manji Sempat Histeris

Yogyakarta Diskusi Irshad Manji di Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) diserang ratusan orang. Penulis buku "Allah, Liberty, dan Love" itu sempat histeris.

Informasi di lokasi, diskusi mulai digelar sekitar pukul 19.00 WIB, Rabu (9/5/2012). Tak berapa lama, dari luar ratusan orang datang dengan mengendarai sepeda motor. Sebagian besar mengenakan pakaian hitam-hitam dengan penutup kepala dan helm.

Perwakilan panitia keluar dan bernegosiasi dengan massa. Namun negosiasi buntu. Massa ngotot diskusi harus bubar. Mereka langsung menerobos masuk ke ruang diskusi yang berada di bagian belakang kantor penerbit yang beralamat di Jalan Pura Sorowajan Banguntapan, Yogyakarta itu.

"Sempat terlihat ada yang melempar batu ke arah ruangan diskusi," kata salah satu saksi mata, Andri.

Meski tidak menyerang langsung secara fisik, peserta diskusi langsung berhamburan. Irshad Manji histeris. Semuanya berlarian keluar.

Saat ini, sekitar pukul 21.00 WIB, lokasi diskusi sudah steril. Baik peserta maupun massa tidak terlihat lagi. Polisi sudah membarikade jalan tersebut dan menggelar olah TKP. Sejumlah warga terlihat menyaksikan kegiatan itu.

Di lokasi, beberapa lembaran kertas yang mengatasnamakan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) tersebar. Dalam selebaran itu tertulis yang intinya, siapapun yang melindungi Irshad Manji akan berhadapan dengan umat Islam dan MMI.

Belum diperoleh kepastian nasib Irshad Manji. Manajemen LKiS juga tidak terlihat.

Kutipan : 

Bagus Kurniawan - detikNews
Rabu, 09/05/2012 21:07 WIB
(bgs/try) /

Majelis Mujahidin menolak kehadiran propagandis Lesbianis Irshad Manji di Indonesia

YOGYAKARTA  - Maraknya perilaku mungkar komunitas antiagama di Indonesia, mendapat energi baru dengan kehadiran para Homo dan Lesbi Asing seperti Irshad Manji, yang masuk ke Indonesia melalui jalur Liberalisasi Agama dan budaya. Mereka mengintervensi budaya unggul dan kemuliaan agama di Indonesia dengan bantuan antek-antek Asing (Yayasan dan LSM Liberal-Kapitalis).

Sebagai negara yang menjunjung tinggi agama dan adab sosial kemasyarakatan, maka bangsa Indonesia yang masih memiliki martabat dan jati diri wajib menolak eksploitasi moral bejat berupa penyimpangan gender. Alhamdulillah, hari ini Rabu 9 Mei 2012, Irshad Manji yang berbangga dengan Lesbinya gagal melakukan propaganda Lesbianisme Agama di Pasca Sarjana UGM dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, setelah diprotes aktivis Muslim. Sebagai kota intelektual dan budaya, kota Yogyakarta tidak memerlukan kehadiran para pemuja kebejatan moral homoseks: gay, bisek dan lesbi. Apalagi dikaitkan dengan agama dan cinta.

Oleh karena itu, Majelis Mujahidin menyikapi kedatangan propagandis Lesbi Irshad Manji di Indonesia sebagai berikut:
  1. Propaganda kebebasan dan Lesbianisme Irshad Manji merupakan penistaan dan penodaan terhadap Islam serta propaganda atheisme terselubung. Dalam salah satu bukunya Irshad Manji mengolok-olok Nabi Muhammad SAW:
”Sebagai seorang pedagang buta huruf, Muhammad bergantung pada para pencatat untuk mencatat kata-kata yang didengarnya dari Allah. Kadang-kadang Nabi sendiri mengalami penderitaan yang luar biasa untuk menguraikan apa yang ia dengar. Itulah bagaimana ”ayat-ayat setan” – ayat-ayat yang memuja berhala – dilaporkan pernah diterima oleh Muhammad dan dicatat sebagai ayat otentik untuk al-Quran. Nabi kemudian mencoret ayat-ayat tersebut, menyalahkan tipu daya setan sebagai penyebab kesalahan catat tersebut. Namun, kenyataan bahwa para filosof muslim selama berabad-abad telah mengisahkan cerita ini sungguh telah memperlihatkan keraguan yang sudah lama ada terhadap kesempurnaan al-Quran.” (Beriman Tanpa Rasa Takut: Tantangan Umat Islam Saat Ini, hal. 96-97).
  1. Sikap toleran terhadap misi Lesbianis Irshad Manji yang secara terus terang melecehkan Islam, sebagaimana tajuk seminarnya “Menggugat Normativitas Tubuh dan Seksualitas: Iman, Cinta dan Kebebasan” merupakan sikap biadab dan tidak tahu malu, yang akan merusak adab orang-orang beradab dibalik isu penyimpangan gender.
  2. Liberalisme dan pergaulan bebas yang dianut Manji dan mereka yang sepaham dengannya merupakan paham antiagama, yang eksistensinya diharamkan oleh semua agama.
  3. Siapa saja yang memfasilitasi acara-acara Irshad Manji di Indonesia, berarti mereka memfasilitasi aktivitas musuh agama dan musuh negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, karena itu mereka juga musuh umat beragama.
Demikianlah rilis yang dikirimkan kepada arrahmah.com  pada Rabu, 9 Mei 2012 oleh Laskar Mujahidin - Majelis Mujahidin Indonesia. 

Kutipan :
Bilal / Arrahmah
Rabu, 18 Jumadil Akhir 1433 H / 9 Mei 2012 / 19:45:07

Ormas-ormas Jogja tolak acara Irshad Manji sang penista nabi

JOGJAKARTA - Ormas-ormas di kota Jogja pada hari Rabu, 9 Mei 2012 melakukan aksi Menolak acara Irshad Manji yang sedianya akan dilangsungkan di Kampus UGM dan UIN Yogyakarta. Hal ini didasari mengingat Jogja sebagai Kota Budaya dan Religius, jangan sampai dikotori dengan kehadiran dan kampanye Irshad Manji yang berasal dari Kanada ini. Kita ketahui Irshad Manji adalah seorang Lesbian dan dengan terang-terangan mengkampanyekan kelesbianannya. Selain itu dalam beberapa tulisannya banyak yang melecehkan Nabi Muhammad saw.

Hal inilah yang mendasari ormas-ormas di Jogja menolak Irshad Manji untuk mengisi acara di UGM dan UIN.  Kita tidak mau, kota Jogja tercemar dan mengurangi keharmonisan kota Jogja yang sudah bagus, gara-gara kehadiran Irshad Manji ini. Aksi ini dimulai dengan mendatangi tempat acara, dan juga hotel-hotel yang sekiranya akan digunakan untuk acara Irsha Manji tersebut. Dan Alhamdulillah banyak hotel yang sudah tahu dan tidak mau tempatnya dipakai untuk acara tersebut, misalnya University Hotel.

Ormas-ormas Islam juga sangat mendukung pihak Pasca Sarjana UGM dan UIN yang melarang acara Irshad Manji di kampus mereka. Seperti pihak Pasca Sarjana UGM, melarang acara yang digagas oleh CRCS. Keistimewaan Kota Jogja jangan sampai hilang ruhnya dengan pemikiran dan perilaku yang akan dibawa oleh tokoh Kontroversial ini. Dan dikedepannya kami berharap agar keharmonisan warga Jogja terus terjaga dan perlu mewaspadai masuknya budaya buruk yang dibawa orang barat.

Ormas-ormas Yogyakarta yang turut dalam aksi ini:                                                                     
Forum Jogja Istimewa, 
Paguyuban Warga Peduli Jogja, 
Pesantren Masyarakat Jogja, 
Forum Silaturrohim Remaja Masjid Yogyakarta (FSRMY), 
BKPRMI DIY, 
Brigade Masjid DIY, 
Majlis Mujahidin, 
Gerakan Pemuda Ka’bah, 
Gerakan Anti Maksiat, 
KOKAM DIY,  
HI, 
FJI,  
Al-Misbah, 
Jamaah Shalahuddin UGM, 
Kammi DIY, 
FSLDK DIY.

Sekretariat : Masjid Jogokariyan, Jl. Jogokariyan 36 Yogyakartacp. 085 228 44 6666
Fanni Rahman

Kutipan :
Saif Al Battar / Arrahmah
Rabu, 18 Jumadil Akhir 1433 H / 9 Mei 2012 / 15:54:38
 

 

Qunut Nazilah Untuk Irshad Manji

Kedatangan lesbi Irshad Manji memicu beragam reaksi umat Islam. Pondok Pesantren Mahasiswa dan Sarjana (PPMS) Ulil Albab Bogor, Selasa (8/5/2012) malam menggelar doa qunut nazilah atas kehadiran pegiat lesbi Irshad Manji. Qunut Nazilah dipimpin oleh Imam Masjid al-Hijri Universitas Ibn Khaldun Bogor, KH Dr. Ahmad Alim, MA.
Usai shalat Maghrib dan pembacaan Qunut Nazilah, 

Ahmad Alim menjelaskan sejumlah musibah dan fitnah yang menimpa umat Islam Indonesia, seperti usaha legalisasi paham Kesetaraan Gender di DPR, dan juga didatangkannya tokoh lesbi Irshad Manji yang mendukung aktivitas Salman Rushdie, penulis novel The Satanic Verses yang menghujat Nabi Muhammad SAW.

Dr. Ahmad Alim menjelaskan, “Qunut secara bahasa adalah suatu doa di dalam shalat pada tempat yang khusus dalam keadaan berdiri. 
Sedangkan Nazilah artinya malapetaka atau musibah yang turun menimpa kaum muslimin dalam bentuk gempa, banjir, peperangan, penganiayaan, fitnah perusakan aqidah dan sebagainya. 
Jadi Qunut Nazilah adalah qunut yang dipanjatkan pada saat terjadi musibah. Musibah di sini mencakup segala bentuk musibah yang menimpa kaum Muslimin baik musibah fisik maupun non fisik seperti musibah berupa tersebaranya pemikiran menyimpang yang merusak umat.

Secara fiqih, qunut nazilah adalah suatu hal yang disyariatkan dan amat disunnahkan ketika terjadi musibah. Sunnah qunut nazilah ini merupakan pendapat para ulama dari madzhab Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi'iyyah, Hanabilah,  dan lain-lainnya. 
Imam Syafi'i rahimahullah berkata, "Apabila turun musibah kepada kaum muslimin disyariatkan membaca qunut nazilah pada seluruh shalat wajib." (Syarhus Sunnah karya Al-Baghawi 2/279).

Tidak ada lafadz khusus yang harus dibaca dalam Qunut Nazilah, tetapi doa yang dibaca disesuaikan dengan musibah yang  sedang menimpa kaum Muslimin. Ibn Taimiyah mengatakan, “Dianjurkan seseorang yang melakukan Qunut Nazilah berdoa sesuai dengan mussibah yang terjadi saat itu. Dan jika dalam doanya ia menyebutkan kaum mu’minin yang diperangi atau mendoakan kehancuran bagi orang-orang kafir yang memerangi mereka, maka itu adalah sebuah kebaikan” (Majmu’ Fatawa, 271/22).

Berikut ini doa yang dibaca Dr. Ahmad Alim:

اللَّهُمَّ إنَّا نَسْتَعِينُكَ وَنَسْتَغْفِرُكَ وَلاَ نَكْفُرُكَ، وَنُؤْمِنُ بِكَ وَنَخْلَعُ مَنْ يَفْجُرُكَ، اللَّهُمَّ إيَّاكَ نَعْبُد، ولَكَ نُصَلِّي 
وَنَسْجُد، وَإِلَيْكَ نَسْعَى وَنحْفِدُ، نَرْجُو رَحْمَتَكَ وَنَخْشَى عَذَابَكَ، إنَّ عَذَابَكَ الجِدَّ بالكُفَّارِ مُلْحِقٌ
اللهم أعزّ الإسلام والمسلمين وأذلّ الشرك والمشركين و دمّر أعدائك أعداء الدين من اليهود والنصارى ومن عاونهم من المنافقين والعملمانيين واللبراليين.
اللهم انصر إخواننا في كلّ مكان, وارفع عنهم البلاء والحرب والإعتداء
اللهم اصلح أحوال المسلمين, اللهم اصلح شباب المسلمين وقهم من الأفكار الهدامة التي تنشرها اللبراليين والعلمانيين الضالين الحاقدين.
اللَّهُمَّ اهْدِنا فِيمَنْ هَدَيْتَ، وعَافِنا فِيمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلّنا فِيمَن تَوَلَّيْتَ، وبَارِكْ لِنا فِيما أَعْطَيْتَ، وَقِنا برحمتك شَرَّ ما قَضَيْتَ، فإنَّكَ تَقْضِي وَلا يُقْضَى عَلَيْكَ، وَإِنَّهُ لا يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ ولا يعز من عاديت تَبَارَكْتَ رَبَّنا وَتَعالَيْتَ
وَصَلىَّ اللهُ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

Ya Allah kami memohon pertolongan kepada-Mu, beristighfar pada-Mu dan tidak kufur pada-Mu, kami beriman pada-Mu dan berlepas dari orang yang bermaksiat kepada-Mu. 
Ya Allah hanya pada-Mu lah kami beribadah, shalat dan sujud, kepada Engkau kami beramal dan berusaha, kami mengharap rahmat-Mu dan takut akan adzab-Mu. Sesungguhnya adzab-Mu pasti sampai pada orang kafir.
Ya Allah, muliakanlah Islam dan kaum Muslimin, hinakanlah musuhmu dan musuh agama-Mu dari kalangan Yahudi dan Nasrani serta penolong-penolong mereka dari kalangan sekuler dan liberal.
Ya Allah tolonglah saudara-saudara kami di setiap tempat, hilangkanlah bala, peperangan dan musibah yang menimpa mereka.
Ya Allah perbaikilah keadaan kaum Muslimin, 
Ya Allah perbaikilah keadaan pemuda kaum Muslimin, lindungi mereka dari pemikiran merusak yang disebarkan kaum liberal dan sekuler sesat.
Ya Allah berilah keteguhan pada kami bersama orang yang mendapat hidayah, berikanlah pada kami afiyah (kesehatan dan keselamatan) bersama orang yang engkau beri afiyah, jadikanlah pada kami pelindung bersama orang yang Engkau lindungi, berkanlah kepada kami keberkahan dari apa yang Engkau berikan kepada kami, selamatkanlah kami dari keburukan yang Engkau telah tetapkan. Sesungguhnya Engkaulah yang memutuskan dan bukan yang diputuskan, sesungguhnya Engkau tidak menghinakan orang yang berlindung pada-Mu, Mahasuci Engkau dan Mahaagung”. (Humas PP Ulil Albab, Irfan Habibie, ST, )

Tuesday, 08 May 2012 22:29
Written by Eko Heru Prayitno 
 
Kutipan :
INSISTS. Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations


Promo Lesbi, Hina Nabi, Lecehkan Al-Qur’an


Sebagian pegiat legalisasi homoseksual dan lesbianisme, tampaknya menjadikan Nabi Luth a.s. sebagai sasaran kebencian dan umpatan mereka. Al-Quran memang menggambarkan perjuangan Nabi Luth a.s. yang begitu berat dalam menghadapi kemunkaran yang dikerjakan kaumnya, sehingga Nabi Luth diusir dari kampungnya.

Al-Quran menggambarkan perjuangan Nabi Luth sebagai berikut: “Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya: “Mengapa kalian mengerjakan perbuatan keji, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun sebelum kalian. Sesungguhnya kalian mendatangi laki-laki untuk melepaskan syahwat, bukan kepada wanita; malah kalian ini kaum yang melampaui batas. Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: “Usirlah mereka dari kotamu ini, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri. Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali istrinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu.” (QS Al-A’raf:80-84).

Di dalam Surat Hud ayat 82 dikisahkan: “Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah-tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi.”

Kerusakan perilaku seksual kaum Luth ini juga ditegaskan oleh Rasulullah saw:
“Sesungguhnya hal yang paling aku takutkan menimpa umatku adalah perbuatan kaum Luth.” (HR at-Tirmidzi, al-Hakim, Ibn Majah).

Dalam Tafsir Al-Azhar, Prof. Hamka menjelaskan, bagaimana sangat merusaknya penyakit ’kaum Luth’, sehingga mereka diazab dengan sangat keras oleh Allah SWT. Hamka sampai menyebut bahwa perilaku seksual antar sesama jenis ini lebih rendah martabatnya dibandingkan binatang.
Binatang saja, kata Hamka, masih tahu mana lawan jenisnya. Hamka mengutip sebuah hadits Rasulullah saw.: “… dan apabila telah banyak kejadian laki-laki ’mendatangi’ laki-laki, maka Allah akan mencabut tangan-Nya dari makhluk, sehingga Allah tidak mempedulikan di lembah mana mereka akan binasa.” (HR at-Tirmidzi, al-Hakim, dan at-Tabhrani).

Hamka menulis dalam Tafsirnya tentang pasangan homoseksual yang tertangkap tangan: “Sahabat-sahabat Rasulullah saw. yang diminta pertimbangannya oleh Sayyidina Abu Bakar seketika beliau jadi Khalifah, apa hukuman bagi kedua orang yang ’mendatangi’ dan ’didatangi’ itu, karena pernah ada yang tertangkap basah, semuanya memutuskan kedua orang itu wajib dijatuhi hukuman mati.” (Lihat, Tafsir al-Azhar, Juzu’ 8).

Bisa digambarkan, betapa gundah dan marahnya kaum homo dan lesbi beserta para pendukungnya, terhadap sosok Nabi Luth yang mencoba menghentikan budaya syahwat merdeka pada kaum liberal di masa itu. Sebuah situs http://www.savethe males.ca, pada 16 Oktober 2004, menulis berita tentang Irshad Manji dengan judul ”Lesbian Muslim Reformer is a New World Orderly.” Ditulis: ”Muslim ”reformer” and lesbian activist Irshad Manji, 35, symbolizes the globalist push to extinguish true religion and enslave humanity.”

Tentang akitivitas Irshad Manji dalam mendukung dan mempromosikan lesbianisme bisa dilihat dalam situsnya: www.irshadmanji.com. Kaum liberal pun membanggakannya sebagai sosok ”lesbian” yang – katanya – gigih melakukan ijtihad. Seorang aktivis liberal membanggakan Irshad Manji dengan menulis judul artikel dalam Jurnal Perempuan (edisi khusus Lesbian, 2008) berjudul: Irshad Manji, Muslimah Lesbian yang Gigih Menyerukan Ijtihad. Ditulis di jurnal ini: ”Manji sangat layak menjadi inspirasi kalangan Islam khususnya perempuan di Indonesia.”

Sebuah contoh gugatan terhadap sosok Nabi Luth a.s. ditunjukkan oleh sekumpulan mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Semarang yang menerbitkan Jurnal JUSTISIA. Pada Edisi 25, Th XI, 2004, diturunkan laporan utama berjudul ”Indahnya Kawin Sesama Jenis”. Dengan gagahnya, redaksi menulis pengantar: “Hanya orang primitif saja yang melihat perkawinan sejenis sebagai sesuatu yang abnormal dan berbahaya. Bagi kami, tiada alasan kuat bagi siapapun dengan dalih apapun, untuk melarang perkawinan sejenis. Sebab, Tuhan pun sudah maklum, bahwa proyeknya menciptakan manusia sudah berhasil bahkan kebablasan.”

Selanjutnya, artikel-artikel di Jurnal itu diterbitkan dalam sebuah buku berjudul “Indahnya Kawin Sesama Jenis: Demokratisasi dan Perlindungan Hak-hak Kaum Homoseksual”, (Semarang:Lembaga Studi Sosial dan Agama/eLSA, 2005). Disebutkanlah strategi ke arah legalisasi perkawinan sesame jenis (homo dan lesbi), yaitu: (1) mengorganisir kaum homoseksual untuk bersatu dan berjuang merebut hak-haknya yang telah dirampas oleh negara, (2) memberi pemahaman kepada masyarakat bahwa apa yang terjadi pada diri kaum homoseksual adalah sesuatu yang normal dan fithrah, sehingga masyarakat tidak mengucilkannya bahkan sebaliknya, masyarakat ikut terlibat mendukung setiap gerakan kaum homoseksual dalam menuntut hak-haknya, (3) melakukan kritik dan reaktualisasi tafsir keagamaan (tafsir kisah Luth dan konsep pernikahan) yang tidak memihak kaum homoseksual, (4) menyuarakan perubahan UU Perkawinan No 1/1974 yang mendefinisikan perkawinan harus antara laki-laki dan wanita.” (hal. 15).

Hina Nabi lecehkan al-Quran
Para penyokong gerakan legalisasi homoseksual ini berani membuat tafsir baru atas ayat-ayat al-Quran, dengan membuat tuduhan-tuduhan keji terhadap Nabi Luth. Seorang penulis dalam buku ini, misalnya, menyatakan, bahwa pengharaman nikah sejenis adalah bentuk kebodohan umat Islam generasi sekarang karena ia hanya memahami doktrin agamanya secara given, taken for granted, tanpa ada pembacaan ulang secara kritis atas doktrin tersebut. Si penulis kemudian mengaku bersikap kritis dan curiga terhadap motif Nabi Luth dalam mengharamkan homoseksual, sebagaimana diceritakan dalam al-Quran surat al-A’raf :80-84 dan Hud :77-82). Semua itu, katanya, tidak lepas dari faktor kepentingan Luth itu sendiri, yang gagal menikahkan anaknya dengan dua laki-laki, yang kebetulan homoseks.

Ditulis dalam buku ini sebagai berikut : ‘’Karena keinginan untuk menikahkan putrinya tidak kesampaian, tentu Luth amat kecewa. Luth kemudian menganggap kedua laki-laki tadi tidak normal. Istri Luth bisa memahami keadaan laki-laki tersebut dan berusaha menyadarkan Luth. Tapi, oleh Luth, malah dianggap istri yang melawan suami dan dianggap mendukung kedua laki-laki yang dinilai Luth tidak normal. Kenapa Luth menilai buruk terhadap kedua laki-laki yang kebetulan homo tersebut? Sejauh yang saya tahu, al-Quran tidak memberi jawaban yang jelas. Tetapi kebencian Luth terhadap kaum homo disamping karena faktor kecewa karena tidak berhasil menikahkan kedua putrinya juga karena anggapan Luth yang salah terhadap kaum homo.” (hal. 39).

Cercaan terhadap Nabi Luth dan al-Quran terus dilanjutkan berikut ini: “Luth yang mengecam orientasi seksual sesama jenis mengajak orang-orang di kampungnya untuk tidak mencintai sesama jenis. Tetapi ajakan Luth ini tak digubris mereka. Berangkat dari kekecewaan inilah kemudian kisah bencana alam itu direkayasa. Istri Luth, seperti cerita al-Quran, ikut jadi korban. Dalam al-Quran maupun Injil, homoseksual dianggap sebagai faktor utama penyebab dihancurkannya kaum Luth, tapi ini perlu dikritisi… saya menilai bencana alam tersebut ya bencana alam biasa sebagaimana gempa yang terjadi di beberapa wilayah sekarang. Namun karena pola pikir masyarakat dulu sangat tradisional dan mistis lantas bencana alam tadi dihubung-hubungkan dengan kaum Luth…. ini tidak rasional dan terkesan mengada-ada. Masa’, hanya faktor ada orang yang homo, kemudian terjadi bencana alam. Sementara kita lihat sekarang, di Belanda dan Belgia misalnya, banyak orang homo nikah formal… tapi kok tidak ada bencana apa-apa.” (hal. 41-42).
****
Para mahasiswa tersebut – saat itu – sedang menimba ilmu di sebuah Perguruan Tinggi yang menyandang nama Islam, juga nama “Walisongo” (IAIN Walisongo Semarang). Para Wali itu adalah penyebar dan pendakwah Islam yang sangat gigih di Tanah Jawa. Wali Songo tidak bermain-main dalam masalah agama. Para Wali Songo bersikap tegas terhadap penyelewengan aqidah yang dilakukan oleh Syekh Siti Jenar.
Di dalam tradisi keilmuan Islam, sangat ditekankan masalah adab, bukan hanya kebebasan berpikir dan berbicara. Tiap manusia harus memahami adab bicara. Pemain bola di Eropa ada yang dihukum karena bicara bernada rasis. Seorang anak juga tidak bebas bicara kepada orang tuanya dengan – misalnya – bertanya kepada ayahnya: “Ayah, benarkah saya anak ayah? Tolong buktikan secara ilmiah!”

Adab juga menekankan sikap “tahu diri”. Tidak gampang bicara dan menulis sesuka hati, tanpa merujuk kepada pendapat para ulama yang punya otoritas tafsir ilmu al-Quran. Di dalam tiap bidang keilmuan, kita mengakui adanya otoritas. Tidak semua manusia bebas bicara dalam soal keilmuan. Contohnya, pelawak Thukul dan Prof. Mahfud MD sama-sama manusia. Tetapi, nilai kata-kata keduanya tidaklah sama saat bicara tentang arti pasal-pasal dalam UUD 1945. Dalam bidang ekonomi, begitu juga. Kita mengakui ada otoritas keilmuan dari para pakar ekonomi yang sudah diakui tingkat keilmuannya oleh komunitas ilmuwan internasional di bidang tersebut. Dalam bidang Fisika, kita akan tertawa geli jika ada mahasiswa baru belajar rumus-rumus dasar fisika lalu berterak-teriak, bahwa Newton, Einstein, Stephan Hawking, Habibie, ternyata bodoh semua!

Adalah suatu kehancuran besar, jika adab keilmuan ini tidak ditegakkan dalam bidang Ulumuddin. Jika kita mengakui al-Quran adalah Kitab wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, maka logikanya pasti kita mengakui, bahwa manusia yang paling memahami al-Quran adalah Nabi Muhammad SAW. Kemudian, Nabi SAW menunjuk sejumlah sahabatnya yang beliau sebut sangat ahli dalam Tafsir al-Quran, seperti Ibnu Abbas dan Abdullah bin Mas’ud. Berikutnya, muncul para ahli tafsir al-Quran dari kalangan Tabi’in, Tabi’it Tabi’in, dan seterusnya.

Sebagaimana dalam bidang Ilmu Ekonomi, Ilmu Fisika, dan sebagainya, Ilmu Tafsir juga merupakan ilmu yang sudah sangat matang perkembangannya dalam tradisi keilmuan Islam. Begitu juga Ilmu Ushul Fiqih, Ilmu Fiqih, Ilmu Nahwu, Ilmu Sharaf, Ilmu Kalam. Jika hendak belajar Tafsir al-Quran, seharusnya orang mau merujuk kepada ilmuwan atau ulama yang memahami Ilmu Tafsir al-Quran.
Jika ditelaah dengan sedikit cermat saja, tampak bahwa Irshad Manji bukanlah orang yang punya otoritas memadai dalam pemahaman al-Quran. Itu bisa dilihat dalam bukunya, ”Beriman Tanpa Rasa Takut: Tantangan Umat Islam Saat Ini”, yang bisa di-unduh di situsnya. Dalam buku ini, Irshad Manji, menyandarkan keraguannya terhadap al-Quran pada pendapat Christoph Luxenberg (seorang pendeta Kristen asal Lebanon yang menyembunyikan nama aslinya). Kata Manji: ”Jika al-Quran dipengaruhi budaya Yahudi-Kristen – yang sejalan dengan klaim bahwa al-Quran meneruskan wahyu-wahyu sebelumnya – maka bahasa Aramaik mungkin telah diterjemahkan oleh manusia ke dalam bahasa Arab. Atau, salah diterjemahkan dalam kasus hur, dan tak ada yang tahu berapa banyak lagi kata yang diterjemahkan secara kurang tepat. Bagaimana jika semua ayat salah dipahami?” (hal. 96).

Pendapat Christoph Luxenberg menyatakan bahwa selama ini umat Islam salah memahami al-Quran, yang seharusnya dipahami dalam bahasa Syriac. Tentang surga, dengan nada sinis Manji menyatakan, bahwa ada human error yang masuk ke dalam al-Quran. Menurut riset yang baru, tulis Manji, yang diperoleh para martir atas pengorbanan mereka adalah kismis, dan bukan perawan. “Nah, bagaimana bisa Al-Quran begitu tidak akurat?” tulisnya.

Pendapat Luxenberg yang dicomot begitu saja oleh Irshad Manji bahwa bahasa al-Quran harus dipahami dalam bahasa Aramaik telah ditulis dalam buku “Die syro-aramaeische Lesart des Koran: Ein Beitrag zur Entschluesselung der Koransprache”. Pendapat Luxenberg pun sangat lemah dan sudah banyak artikel ilmiah yang menanggapinya. Dr. Syamsuddin Arif telah mengupas masalah ini secara tajam dalam bukunya, “Orientalis dan Diabolisme Intelektual”.

Menurut Syamsuddin, Professor Hans Daiber, misalnya, memberikan seminar terbuka tentang karya Luxeberg itu selama satu semester penuh di Departemen Orientalistik Universitas Frankfurt, dimana ia ungkapkan sejumlah kelemahan-kelemahan buku itu secara metodologi dan filologi. Salah satu kelemahan Luxenberg, misalnya, untuk mendukung analisis dan argumen-argumennya, mestinya Luxenberg merujuk pada kamus bahasa Syriac atau Aramaic yang ditulis pada abad ke-7 atau 8 Masehi (zaman Islam), dan bukan menggunakan kamus bahasa Chaldean abad ke-20 karangan Jacques E. Manna terbitan tahun 1.900!
Jadi, penghormatan berlebihan terhadap Irshad Manji, merusak dua hal sekaligus: otoritas keilmuan Islam dan juga asas-asas akhlak Islam.

Kita yakin, masih banyak ulama, cendekiawan, dan kalangan umat Islam yang sadar dan cinta akan agamanya. Kita cinta negeri kita, sehingga kita berharap, negeri Muslim terbesar ini tidak menjadi tong sampah pemikiran! Wallaahu a’lam bil-shawab. (Depok, 5 Mei 2012).

Last Updated on  
Saturday, 05 May 2012 13:32  
Saturday, 05 May 2012 13:05
Written by Adian Husaini

Kutipan ;
INSISTS. Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations

Irshad Manji: Sepatutnya Diobati!

Irshad Manji, seorang tokoh penggerak dan praktisi lesbianisme datang lagi ke Indonesia, di bulan Mei 2012 ini. Berbagai rencana penyambutan kedatangannya sudah disiapkan di sejumlah kota. Kabarnya, ia akan meluncurkan buku terbarunya, Allah, Liberty & Love, dalam edisi Indonesia.

Irshad Manji memang lesbian ”nekad”. Logikanya, lesbian tidak bangga dengan kelainan seksual yang dideritanya.
Tapi, aktivis liberal Nong Darol Mahmada pernah menulis artikel di Jurnal Perempuan (edisi khusus Lesbian, 2008) berjudul:Irshad Manji, Muslimah Lesbian yang Gigih Menyerukan Ijtihad. Katanya: ”Manji sangat layak menjadi inspirasi kalangan Islam khususnya perempuan di Indonesia.”

Jika disimak dari kualitas dan prestasi akademik serta kualitas bukunya, Irshad Manji tampak dengan sengaja dibesar-besarkan namanya. Majalah Ms. menobatkan dia sebagai “Feminis Abad ke-21”. Maclean’s memberinya penghargaan Honor Roll di tahun 2004 sebagai “Orang Kanada yang Sangat Berpengaruh”.

Dalam bukunya (edisi Indonesia), Beriman Tanpa Rasa Takut: Tantangan Umat Islam Saat Ini, dicantumkan pujian pada sampul depan:”Satu dari Tiga Muslimah Dunia yang Menciptakan Perubahan Positif dalam Islam.” Dalam buku ini, bisa ditemukan nada-nada penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW dan keraguan terhadap al-Quran.

”Sebagai seorang pedagang buta huruf, Muhammad bergantung pada para pencatat untuk mencatat kata-kata yang didengarnya dari Allah. Kadang-kadang Nabi sendiri mengalami penderitaan yang luar biasa untuk menguraikan apa yang ia dengar. Itulah bagaimana ”ayat-ayat setan” – ayat-ayat yang memuja berhala – dilaporkan pernah diterima oleh Muhammad dan dicatat sebagai ayat otentik untuk al-Quran. Nabi kemudian mencoret ayat-ayat tersebut, menyalahkan tipu daya setan sebagai penyebab kesalahan catat tersebut. Namun, kenyataan bahwa para filosof muslim selama berabad-abad telah mengisahkan cerita ini sungguh telah memperlihatkan keraguan yang sudah lama ada terhadap kesempurnaan al-Quran.” (hal. 96-97). 

Cerita yang diungkap oleh Manji itu memang favorit kaum orientalis untuk menyerang al-Quran dan Nabi Muhammad saw. Cerita itu populer dikenal sebagai kisah gharanik. Riwayat cerita ini sangat lemah dan palsu. Haekal, dalam buku biografi Nabi Muhammad saw, menyebut cerita tersebut tidak punya dasar, dan merupakan bikinan satu kelompok yang melakukan tipu muslihat terhadap Islam. Karen Armstrong, dalam bukunya, Muhammad: A Biography of the Prophet juga membahas masalah ini dalam satu bab khusus.
Kisah ”ayat-ayat setan” itu kemudian diangkat juga oleh Salman Rushdie menjadi judul novelnya: The Satanic Verses (Ayat-ayat Setan)

Novel yang terbit pertama tahun 1988 ini memang sangat biadab dalam menghina Nabi Muhammad saw, para sahabat, dan istri-istri beliau. Menurut Armstrong, cerita dalam novel Salman Rushdi ini mengulang semua mitos Barat tentang Nabi Muhammad saw sebagai sosok penipu, ambisius, yang menggunakan wahyu-wahyunya untuk mendapatkan sebanyak-banyak perempuan yang dia inginkan. Para sahabat nabi juga digambarkan dalam novel ini sebagai manusia-manusia tidak berguna dan tidak manusiawi. Tentu saja, judul Novel itu sendiri sudah bertendensi melecehkan al-Quran.

Umat Islam yang sangat menghormati dan mencintai Nabi Muhammad saw, tentu saja sangat tersinggung dengan penerbitan Novel Salman Rushdie yang sangat tidak beradab ini. Rushdie diantaranya menggambarkan perempuan-perempuan dengan nama-nama istri-istri Nabi Muhammad saw sebagai penghuni rumah pelacuran bernama ”Hijab”. Rushdie juga menyebut Nabi Muhammad – yang dinamainya ”Mahound” -- sebagai “the most pragmatic of prophets.” Penulis novel yang menghina Nabi Muhammad saw seperti Salman Rushdie inilah yang dijadikan rujukan oleh Irshad Manji dalam memunculkan isu tentang “ayat-ayat setan”.

Buku lain yang ditulis Irshad Manji berjudul The Trouble with Islam, mendapatkan sorotan tajam dari berbagai pihak. Editorial Palestine Solidarity Review menulis judul kritiknya: “The Trouble with Irshad Manji”. Diantara kritiknya adalah kerancuan pemikiran Irshad Manji yang berlebihan dalam memuji kebebasan Barat, di mana ia menulis, bahwa hanya di Barat, Muslim mendapatkan kebebasan untuk berpikir, berekspresi, dan sebagainya (enjoy precious freedoms to think, express, challenge and be challenged without fear of state reprisal).

Palestine Solidarity Review menulis kritiknya, bahwa Irshad Manji tampaknya buta terhadap berbagai jenis intimidasi dan diskriminasi yang diderita Muslim di Negara-negara Barat: ” Is she blind to the fact that thousands of Muslims in the U.S. are being intimidated into silence by deportations, detentions, SEVIS registration, racist attacks on the street, and state repression? That Muslim youth are fighting racists and the cops in the street in England and France?”

Di Aceh dicambuk!
Dalam sejarah manusia, perilaku homo dan lesbi lazimnya dianggap menyimpang. Tapi, Indonesia memang unik dan ajaib. Jumlah penduduk Muslimnya sekitar 200 juta orang. Jutaan orang sudah mengantri untuk berhaji! Uniknya, manusia-manusia yang jelas-jelas berperilaku bejat, pemuja setan, pegiat homoseksual dan lesbian, bisa dengan leluasa mengumbar angkara di negeri Muslim terbesar di dunia ini.

Dalam bukunya, yang berjudul Perzinaan, dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia Ditinjau dari Hukum Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), pakar hokum Universitas Indonesia, Neng Djubaedah, mengutip 

Hadits riwayat Abu Dawud yang menyatakan, bahwa 
Pelaku lesbian (musahaqah) harus dikenai hukum rajam.  

Imam Syafii berpendapat, 
Pelaku lesbian, baik muhshan atau bukan, dijatuhi hukuman rajam, dilempari batu sampai mati.  

Sementara itu, dalam 
Qanun Hukum Jinayat Aceh, pasal 33 ayat (1) ada ketentuan:  
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan liwath aytau musahaqah, diancam dengan ‘uqubat ta’zir paling banyak 100 (seratus) kali cambuk dan denda paling banyak 1.000 (seribu) gram emas murni atau penjara paling lama 100 (seratus) bulan).”  

Sedangkan orang-orang yang mempropagandakan homoseksual dan lesbianisme, 
menurut Qanun Jinayat Aceh tersebut,  
Diancam dengan hukuman cambuk paling banyak 80 kali dan denda paling banyak 1.000 gram emas murni atau penjara paling lama 80 bulan. (ayat 3).

Jadi, sesuai hukum Islam, harusnya pelaku homoseksual atau lesbian dirajam, atau -- jika mengikuti Qanun Jinayat di Aceh -- dia harus dicambuk paling banyak 100 kali. Malangnya, dalam KUHP pasal 292 ditetapkan: “Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesame kelamin yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.”

Bisa diduga, Irshad Manji tidak akan pergi ke Aceh untuk mempromosikan kelesbianannya atas nama kebebasan. Sebab, di Aceh sudah ditetapkan hukum cambuk bagi promotor atau praktisi homo dan lesbi. Kita memang sulit memahami, mengapa manusia seperti Irshad Manji dipuja-puji dan dipromosikan di Indonesia. Padahal, katanya, Indonesia berdasarkan pada Pancasila, yang memiliki sila kedua: Kemanusiaan yang adil dan beradab. Beradabkah tindakan yang memuja seorang lesbian?

Apa pun status hukumnya, membanggakan perilaku homoseks dan lesbian adalah sebuah kemunkaran yang nyata. Nabi SAW sudah bersabda: “Barangsiaa di antara kalian yang melihat suatu kemunkaran maka hendaklah ia mengubah dengan tangannya; jika tidak mampu maka dengan lisannya; dan jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman.” (HR Muslim).

Feminis Lesbian
Program legalisasi – bidang hukum dan opini – praktik homo dan lesbi biasanya berjalan seiring dengan kampanye kaum feminis atau aktivis Kesetaraan Gender. Menurut feminis lesbian, baik kaum feminis maupun lesbian mempunyai tujuan yang sama, yaitu mendobrak dominasi laki-laki terhadap perempuan. Bunch (1972) menyatakan: “Para lesbian harus menjadi feminis dan berjuang melawan penindasan terhadap perempuan, sebagaimana para feminis harus menjadi lesbian jika mereka ingin mengakhiri supremasi laki-laki (Lesbians must become feminists and fight against woman oppression, just as feminist must become lesbians if they hope to end male supremacy.)

Sejak era 1970-an, dorongan agar aktivis feminis sekaligus menjadi lesbian dikabarkan semaki menguat. Menurut mereka, adalah hal yang aneh, jika ada feminis yang bekerjasama secara politik dengan sesame perempuan, tetapi kemudian ia pulang ke rumah dan tidur dengan laki-laki. Ruth Mahaney mengatakan: “I don’t understand you women. You do your political work with women, but you go home to men… Yeah, why do we?” (Tentang feminis lesbian, lihat: Triana Ahdiati, Gerakan Feminis Lesbian, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2007).

Kedatangan kembali Irshad Manji ke Indonesia tidak bisa dipandang sebagai hal sepele. Sebab, selama ini, kaum lesbi dan pendukungnya telah melakukan berbagai gerakan menuju legalisasi praktik homo dan lesbi di Indonesia. Jurnal Perempuan, edisi Maret 2008, melaporkan, bahwa pada tanggal 6-9 November 2006, 29 pakar HAM terkemuka dari 25 negara berkumpul di Yogyakarta untuk memperjuangkan hak-hak kaum lesbian ini.

Di situ, mereka menghasilkan sebuah dokumen yang disebut: ”Prinsip-prinsip Yogyakarta terhadap Pemberlakuan Hukum Internasional atas Hak-hak Asasi Manusia yang Berkaitan dengan Orientasi Seksual, Identitas Gender dan hukum internasional sebagai landasan pijak yang lebih tinggi dalam perjuangan untuk Hak Asasi Manusia yang paling dasar (baca: kebutuhan seksual) serta kesetaraan gender, yang disebut dengan Yogyakarta Principles.”

Jurnal Perempuan itu juga menulis tentang dokumen tersebut: ”Prinsip-prinsip Yogyakarta ini merupakan tonggak sejarah (milestone) perlindungan hak-hak bagi lesbian, gay, biseksual dan transgender. Menggunakan standar-standar hukum internasional yang mengikat dimana negara-negara harus tunduk padanya.” Salah satu tuntutan para pegiat KKG dan lesbianisme adalah agar perkawinan sesama jenis juga mendapatkan legalitas di Indonesia. ”Pasal 23 Kovenan Hak Sipil dan Politik juga secara terbuka mencantumkan tentang hak membentuk keluarga dan melakukan perkawinan, tanpa membedakan bahwa pernikahan tersebut hanya berlaku atas kelompok heteroseksual,” tulis Jurnal yang mencantumkan semboyan ”untuk pencerahan dan kesetaraan”.

Gadis Arivia, seorang pegiat KKG, dalam artikelnya yang berjudul ”Etika Lesbian” di Jurnal Perempuan ini menulis: ”Etika lesbian merupakan konsep perjalanan kebebasan yang datang dari pengalaman merasakan penindasan. Etika lesbian menghadirkan posibilitas-posibilitas baru. Etika ini hendak melakukan perubahan moral atau lebih tepat revolusi moral.” Lebih jauh, Gadis Arivia menulis tentang keindahan hubungan pasangan sesama perempuan:
”Cinta antar perempuan tidak mengikuti kaidah atau norma laki-laki. Percintaan antar perempuan membebaskan karena tidak ada kategori ”laki-laki” dan kategori ”perempuan”, atau adanya pembagian peran dalam bercinta. Dengan demikian, tidak ada konsep ”other” (lian) karena penyatuan tubuh perempuan dengan perempuan merupakan penyatuan yang kedua-keduanya menjadi subyek dan berperan menuruti kehendak masing-masing. Dengan melihat kehidupan lesbian, kita menemukan perempuan sebagai subyek dan memiliki komunitas yang tidak ditekan oleh kebiasaan-kebiasaan heteroseksual yang memaksa perempuan berlaku tertentu dan laki-laki berlaku tertentu pula.”

Dengan memandang perkawinan sejenis sebagai alternatif membentuk rumah tangga yang bahagia, diantara aktivis feminisme dan Kesetaraan Gender merasa geram dengan tradisi masyarakat dan negara yang hanya mengakui perkawinan heteroseksual. Prof. Siti Musdah Mulia, dosen UIN Jakarta, dalam jurnal yang sama, menuntut agar agama yang hidup di masyarakat juga memberikan pilihan bentuk perkawinan sejenis: ”Dalam hal orientasi seksual misalnya, hanya ada satu pilihan, heteroseksual. Homoseksual, lesbian, biseksual dan orientasi seksual lainnya dinilai menyimpang dan distigma sebagai dosa. Perkawinan pun hanya dibangun untuk pasangan lawan jenis, tidak ada koridor bagi pasangan sejenis. Perkawinan lawan jenis meski penuh diwarnai kekerasan, eksploitasi, dan kemunafikan lebih dihargai ketimbang perkawinan sejenis walaupun penuh dilimpahi cinta, kasih sayang dan kebahagiaan.”
*****
Homoseksual dan lesbian adalah kelainan seksual dan penyakit yang harus diobati. Pakar kedokteran jiwa, Prof. Dr. Dr. Dadang Hawari, dalam bukunya, Pendekatan Psikoreligi pada Homoseksual, (Jakarta: Balai Penerbit FK-UI, 2009), mengungkapkan keprihatinannya dengan semakin merebaknya fenomena homoseksual dan lesbian ini. Menurut Dadang Hawari, penyakit ini bisa diobati: ”Kasus homoseksual tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan melalui proses perkembangan psikoseksual seseorang, terutama faktor pendidikan keluarga di rumah dan pergaulan sosial. Homoseksual dapat dicegah dan diubah orientasi seksualnya, sehingga seorang yang semula homoseksual dapat hidup wajar lagi (heteroseksual).”

Jadi, Irshad Manji yang lesbi, harusnya sadar bahwa dia sakit dan perlu diobati, bukan malah dipuja-puji di sana-sini dan dijadikan narasumber untuk diskusi. Prof. Dadang Hawari memberi nasehat pada kaum homo dan lesbi: ”Bagi mereka yang merasa dirinya homoseksual atau lesbian dapat berkonsultasi kepada psikiater yang berorientasi religi, agar dapat dicarikan jalan keluarnya sehingga dapat menjalani hidup ini dan menikah dengan wajar.”

Pada akhirnya, di zaman yang penuh ”fitnah” ini, baik kita renungkan sebuah sabda Nabi Muhammad SAW: ”Sesungguhnya manusia jika melihat kemunkaran tapi tidak mengingkarinya, maka dikhawatirkan Allah akan menimpakan azab-Nya, yang juga akan menimpa mereka.“ (HR Abu Bawud, at-Tirmidzi, dan Ibn Majah). (Depok, 1 Mei 2012, @husainiadian).

Last Updated on Tuesday, 01 May 2012 06:00 Tuesday, 01 May 2012 05:57
Written by Adian Husaini

Kutipan :
INSISTS. Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations

Masih Percaya Multikulturalisme?

Renungkanlah sebuah definisi “multikulturalisme” berikut ini:
“Inti dan substansi  dari multikultural adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa memperdulikan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, atau pun agama. Apabila pluralitas sekadar merepresentasikan adanya kemajemukan, multikultural memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itu mereka adalah sama di dalam ruang publik.”
(Dari buku Panduan Integrasi Nilai Multikultur dalam Pendidikan Agama Islam pada SMA dan SMK, terbitan Kementerian Agama RI, Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia (AGPAII), TIFA Foundation dan Yayasan Rahima).

Merujuk pada definisi itu, seorang baru berhak mendapat julukan “berwawasan multikultural”  jika dia mau menerima orang atau kelompok lain yang mempunyai hak yang sama di ruang publik.  Siapa pun orang atau kelompok itu. Tanpa peduli apa pun budayanya, etnisnya, gendernya, atau pun agamanya. Memang, berbagai literatur menjelaskan, multikulturalisme bukan hanya mengakui adanya keragaman, tetapi juga harus mau mengakui “kesederajatan” diantara budaya dan agama apa pun!

Dengan definisi semacam ini, multikulturalisme sedang mendorong seorang Muslim untuk melepas wawasan keimanannya. Muslim dijerat untuk berpikir, bahwa tiada beda antara tauhid dan syirik. Agama diletakkan dalam ranah pribadi. Di ranah publik, semua harus diperlakukan sama.  Jangan peduli, apakah agama dan budaya itu sesat atau bejat. Yang penting agama, yang penting budaya! Kata mereka, Negara tidak berurusan dengan soal kebenaran atau kesesatan. Negara harus bersikap netral!
Mungkinkah multikulturalisme dengan makna seperti itu diterapkan?

Pada 17 Oktober 2010, Kanselir Jerman Angela Markel, menyatakan, bahwa multikultutalisme telah gagal.  Markel menyatakan, adalah ilusi, bahwa orang Jerman dan pekerja asing bisa hidup berdampingan secara damai. Kata Markel: “it had been an illusion to think that Germans and foreign workers could "live happily side by side."   Meskipun Markel mengakui bahwa Jerman terbuka untuk imigran, tetapi posisinya sejalan dengan Horst Seehofer, yang satu pekan sebelumnya menyerukan agar Jerman menyetop imigran dari Turki dan Arab.  Bahkan, Seehofer menyatakan, “"multiculturalism is dead". (http://www.guardian.co.uk/world/2010/oct/17/angela-merkel-germany-multiculturalism-failures).

Pada 5 Februari 2011, BBC London juga menyiarkan  pidato PM Inggris David Cameron yang menyatakan  bahwa multikulturalisme telah gagal. “State  multiculturalism  has failed,” kata  Cameron.  Lebih  lanjut Cameron  berujar, “"Frankly, we need a lot less of the passive tolerance of recent years and much more active, muscular liberalism." (http://www.bbc.co.uk/news/uk-politics-12371994)
*****
Kedua pemimpin Eropa itu sedang bicara fakta. Bahwa, memang, di Eropa posisi Muslim tidak sama dengan posisi kaum mayoritas di sana.  Lihat saja posisi-posisi strategis dalam pemerintahan! Apakah Muslim juga mendapatkan hak yang sama dengan agama mayoritas?

Bagi kaum sekular – yang membuang nilai-nilai agamanya sendiri dalam memandang perbedaan sosial – tak ada beda antara syirik dan tauhid; tiada beda antara benar dan salah. Yang penting, persepsi dan nilai-nilai pribadi jangan dibawa di ruang publik.

Perspektif sekular semacam itu, tentu sangat sulit diterima seorang Muslim.  Sebab, Muslim selalu berusaha “bersama Islam” dalam sikap dan dalam pikiran. Akan sangat aneh jika seorang pejabat Muslim mengatakan dua hal ber beda seputar masalah pokok keagamaan, hanya karena tempatnya berubah. Andaikan, saat berada di masjid, seorang Presiden – dia muslim -- ditanya, “Apakah Ahmadiyah sesat?”
Karena sedang berada di  masjid, maka dengan tegas dia menjawab,” Ya sesat!”  Usai shalat, Presiden kembali ke Istana. Lalu, dia ditanya hal yang sama, “Apakah Ahmadiyah sesat?” Karena sedang di Istana, Sang Presiden menjawab: “Maaf saya sedang di Istana. Jadi, saya tidak bisa mengatakan, sesat atau tidak, karena saya harus bersikap netral!”

Ironisnya, di Indonesia, penyebaran paham muiltikulturalisme ini berlangsung sangat liar, nyaris tanpa kendali akademis. Keragaman makna begitu besar. Tahun 2009, sang profesor di sebuah Perguruan Tinggi di Malang,  menyampaikan pidato pengukuhan guru besarnya dengan judul  “Silang Sengkarut Agama di Ranah Sosial”.

Sang professor mengajukan gagasan perlunya pengembangan studi agama berbasis paham multikulturalisme dan Kesatuan Transendensi Agama-agama. Ia menulis: ”Semua agama, apapun bentuk eksoteriknya (tata cara beribadah, tempat ibadah, ungkapan-ungkapan bahasa agama, dan perbedaan bersifat simbolik lainnya), kata Frithjop Schuon, berjumpa pada ranah transendental, yaitu Tuhan. Inilah dimensi esoterik agama, sekaligus jantung semua agama (the heart of religion).” (hal. 46).

Jelas, gagasan transendentalisme semacam itu tidak sesuai dengan Islam, yang menggariskan, bahwa setelah Nabi Muhammad SAW diutus, maka syariat yang berlaku bagi umat manusia adalah syariat Nabi Muhammad SAW.  Jika semua cara menyembah Allah SWT dibenarkan, lalu untuk apa Nabi Muhammad SAW diutus?

Contoh lain lagi: sebuah buku berjudul Pluralisme dan Multikulturalisme, Paradigma Baru Pendidikan Agama Islam di Indonesia (2011). Buku ini diberi kata ‘Pengantar Ahli’ oleh seorang guru besar Pendidikan Islam.  Sang guru besar menulis, bahwa saat ini sudah “mendesak sekali “membumikan” pendidikan Islam berwawasan pluralisme dan multikulturalisme. Kesadaran akan pentingnya pluralisme dan multikulturalisme dipandang menjadi perekat baru integrasi bangsa yang sekian lama tercabik-cabik.” (hal. xiv).

Jika kita renungkan, penggunaan istilah “multikulturalisme sebagai paradigma baru Pendidikan Islam”  itu pun sebenarnya sudah bermasalah.  Jika multikulturalisme adalah konsep yang baik sejak dulu, kenapa baru sekarang dijadikan paradigma bagi Pendidikan Agama Islam?  Apakah Pendidikan Agama Islam sejak zaman Nabi Muhammad saw tidak berbasis multikulturalisme? Selama ratusan tahun pesantren telah berdiri di Indonesia. Apakah mereka tidak berwawasan multikultural? Mana yang tepat: pendidikan Islam berbasis multikulturalisme atau pendidikan Islam berbasis Tauhid?

Sebagai Muslim,  kita pasti lebih memilih Tauhid! Wallahu a’lam bil-shawab. (***)

Wednesday, 18 April 2012 17:20
Written by Adian Husaini 
 
Kutipan :
INSISTS. Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations

“Toleransi” Walisongo

Adalah sebuah kenyataan yang tidak bisa dielakkan bahwa sejak lama masyarakat Indonesia hidup dengan kultur dan agama yang majemuk, tidak terkecuali saat Islam datang ke negeri ini. Saat itu, agama Hindu-Budha sudah ada lebih dahulu.  Dalam proses Islamisasi, sebagian ada yang langsung tertarik untuk memeluk Islam tanpa paksaan, namun sebagian lain masih memegang kepercayaan lama sehingga persentuhan kaum Muslim dengan orang-orang non-Muslim tidak bisa dihindarkan.

Dalam hal ini, ada prinsip-prinsip pokok dipegang secara eksklusif dan tidak bisa ditawar-tawar, yaitu dalam hal akidah dan ibadah. Sementara dalam hal-hal lain, yang tidak berpotensi merusak akidah, ibadah, serta ajaran pokok Islam lainnya,  umat Islam bisa menjalin kerja sama dengan siapa saja yang berbeda agama atau budaya.

Contoh menarik bagaimana prinsip-prinsip di atas dijalankan secara sangat baik dapat kita lihat dalam sejarah Walisongo, para pendakwah Islam paling masyhur dan paling berhasil di Tanah Jawa. Para wali ini hidup di akhir zaman Majapahit. Sekalipun sudah banyak yang menganut Islam, namun masih banyak keluarga keraton dan rakyat biasa yang masih belum Muslim. Oleh sebab itu, muamalah dengan non-Muslim tidak bisa dihindarkan.

Salah satu kasus yang penting dicatat adalah saat Walisongo membangun masjid pertama di Demak yang kemudian dikenal sampai hari ini sebagai Masjid Demak. Para arkeolog menyimpulkan bahwa corak Masjid Demak ini masih sangat kental diwarnai gaya arsitektur zaman Hindu. Salah satu cirinya adalah atapnya yang berundak 2,3,5, denahnya persegi empat dengan serambi di samping. Model seperti ini mirip dengan seni bangun candi pada masa itu, sekalipun detailnya tetap memperhatikan falsafah Islam dan fungsi mesjid itu sendiri bagi umat Islam. Hanya corak dan gayanya yang dipengaruhi Hindu.

Lebih menarik lagi apabila kita telusuri arsitek dan tukang yang membangun masjid ini. Sebagai inisiator dan konseptor masjidnya adalah para Wali. Akan tetapi, implementasi arsitektur dan pengerjaannya dilakukan oleh tukang-tukang dari Majapahit. Dalam Babad Cirebon dikisahkan bahwa serambinya sendiri berasal dari Kota Majapahit. Kepala tukang (arsitek) yang membangun Masjid Demak ini pula yang dipercaya oleh Sunan Gunung Djati untuk merancang dan membangun kota di Cirebon saat ia mendirikan Kerajaan Cirebon beberapa tahun setelah berdiri Kerajaan Demak. Dalam Babad Cirebon arsitek itu adalah Raden Sepat, seorang arsitek asal Majapahit yang masih belum Muslim. (Marwati Djoened Poeponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia Jil. III, Balai Pustaka Jakarta 1991, hal. 284-286).

Membangun masjid adalah perkara sakral. Namun, dalam prosesnya ada yang mutlak harus tunduk pada aturan Islam seperti arah kiblat dan fungsi mesjid sebagai tempat ibadah (terutama shalat berjamaah). Sisanya ada perkara yang tidak ada kaitan dengan masalah akidah dan ibadah seperti gaya, bahan-bahan bangunan, proses pengerjaan, dan sebagainya. Diduga, Raden Sepat adalah arsitek terbaik pada zamannya. 

Para Wali ingin mempersembahkan yang terbaik saat membangun mesjid yang akan digunakan sebagai pusat kegiatan umat Islam. Oleh sebab itu, untuk perkara-perkara teknis yang tidak terkait mengganggu akidah umat Islam, mereka tidak segan-segan bekerja sama dengan Raden Sepat, sekalipun bukan Muslim.  

Perhargaan terhadap kebudayaan lokal -- yang ditunjukkan dengan memilih gaya lokal dalam membangun mesjid --  diduga sebagai upaya dakwah kepada masyarakat di Jawa saat itu agar mereka bisa memahami bahwa Islam bukan hendak menghilangkan budaya Jawa, melainkan ingin menyempurnakannya dengan ajaran Islam yang luhur. Padahal, bila dilihat dari sisi kultural yang lain, para Wali ini sebagian besar masih berketurunan Arab. Hanya Sunan Kalijaga yang dikenal asli berdarah Jawa. Akan tetapi, ketika memilih unsur kebudayaan untuk berdakwah, yang dipilih adalah yang paling dikenal oleh masyarakatnya, yaitu kebudayaan Jawa, bukan Arab.

Bila dalam masalah yang tidak terkait langsung dengan akidah para Wali ini bisa amat toleran, lain halnya bila sudah menyangkut masalah akidah. Ini dapat kita lihat pada kasus Syekh Siti Jenar (Syekh Lemah Abang) yang dihukum mati oleh Kerajaan Demak atas rekomendasi dari para wali. Belakangan ini ada yang mencoba membalikkan fakta bahwa Syekh Siti Jenar dihukum karena alasan politik bahwa Syekh Siti Jenar tidak mendukung penguasa Demak. Padahal, dalam berbagai cerita yang dimuat dalam berbagai babad, proses pelaksanaan hukuman setelah benar-benar secara faktual Syekh Siti Jenar melakukan penyimpangan agama.

Paling tidak dalam dua sumber babad, yaitu Babad Tanah Jawi dan Babad Walisana eksekusi mati yang dilakukan terhadap Syekh Siti Jenar setelah terbukti secara meyakinkan bahwa Syekh Siti Jenar melakukan hal-hal berikut. :

  • Pertama, Syekh siti Jenar telah meninggalkan Al-Quran, hadis, ijma’, dan qiyâ. 
  • Kedua, Syekh Siti Jenar telah terkategori zindiq dan mulhid (panteis dan ateis) karena mengaku bahwa ora ana Pangeran anging Angsun (tidak ada Tuhan kecuali Aku). 
  • Ketiga, Syekh Siti Jenar sering menakwilkan Al-Quran tanpa kaidah yang benar sehingga banyak yang takwilnya yang ngawur. 
  • Keempat, ajaran-ajaran Syekh Siti Jenar sangat membahayakan karena sangat pesimistis melihat dunia juga mendukung tindakan anarki dan chaos, dan 
  • Kelima, perilaku-perilaku muridnya pun sangat meresahkan masyarakat.

Para Wali tidak menjatuhkan keputusan sepihak. Sebelumnya telah dilakukan berkali-kali diskusi. Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus yang ditugaskan untuk mengajak kembali Syekh Siti jenar ke jalan yang benar. Namun, hasilnya tetap nihil. Akhirnya suatu musyawarah Walisongo diadakan di bawah pimpinan Sunan Giri sebagai tetua Walisongo. 

Dalam musyawarah yang mirip dengan persidangan itu, Syekh Siti Jenar tetap pada pendiriannya hingga ia akhirnya diputuskan telah menyimpang dan layak untuk dijatuhi hukuman karena bila dibiarkan malah akan merusak akidah umat Islam. Dalam hal ini berlaku prinsip kaidah fiqih sad adz-dzarî’ah (mencegah bahaya yang lebih besar).

Setelah Walisongo mendirikan Kerajaan (Islam) Demak, Syekh Siti Jenar dipanggil kembali untuk diperiksa ulang mengenai pendapat dan praktik keagamaannya. Karena tidak ada perubahan, maka diputuskan oleh kerajaan bahwa Syekh Siti Jenar harus dijatuhi hukuman mati bersama dengan tujuh orang muridnya.  (Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa, 1995:46-66).

Demikianlah contoh “toleransi”  Walisongo! Wallâhu A’lam bil-shawab (***) 

Wednesday, 18 April 2012 17:10
Written by Tiar Anwar Bachtiar 

Kutipan :

INSISTS. Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations





Tantowi Anwari, Wartawan Gadungan Kok Bentuk Serikat Jurnalis??!!

Bekasi  – Dalam insiden di Bekasi, Tantowi Anwari yang sesumbar terkena bogem mentah warga Tambun-Bekasi, mengaku-ngaku dirinya berprofesi jurnalis. Meski bukan wartawan, anehnya, seorang Tantowi mengklaim dirinya aktif di organisasi kewartawanan yang dinamakan Sejuk (Serikat Jurnalis untuk Keberagaman).

Seperti diberitakan media massa sebelumnya, Tantowi Anwari diduga, dihajar warga yang tak setuju dengan ibadah yang dilakukan jemaat HKBP Filadelfia di lingkungan tempat tinggal mereka, Tambun-Bekasi. Warga kesal, karena Tantowi memancing kemarahan, dengan kaos yang ia kenakan  bertuliskan “Lawan Tirani Minoritas” dengan logo Sejuk. Warga pun melucuti kaos Tantowi di tempat kejadian peristiwa (TKP). Ketika itu, Tantowi sempat diamankan di Polsek Tambun.

Keberadaan Tantowi di HKBP mengundang tanya. Ketika ditanya oleh Juru Bicara FPI Munarman dalam sebuah dialog di TV One, apakah anda wartawan? Lalu dijawab Tantowi: Bukan!”
Kalau bukan wartawan, kenapa ada di barisan jemaat HKBP? Itu namanya provokator! Ini menunjukkan Tantowi bagian dari Jamaat HKBP yang ngaku-ngaku wartawan, dan parahnya mengatasnamakan Serikat Jurnalis. Padahal dia bukan wartawan. Bahkan dalam perbincangan di TV One, Tantowi sempat mengaku dari AJI (Aliansi Jurnalis Independen). Nah lho?!

Diakui rekannya Ahmad Junaidi, sesama aktivis Sejuk, Tantowi memang sering mendampingi kaum minoritas yang terkena masalah seperti HKBP Filadelfia dan GKI Yasmin yang bermasalah dengan persoalan IMB (izin mendirikan bangunan).
Tantowi, tak hanya menemani kaum minoritas, tetapi juga menuliskan pengamatannya ke dalam laman sejuk www.sejuk.org.

Atas kejadian yang menimpa rekannya tersebut, Sejuk menggandeng LBH (lembaga bantuan hukum) untuk meminta bantuan atas dugaan pemukulan yang dilakukan warga kepada Tantowi di Bekasi, belum lama ini. Sejuk dan LBH juga sempat menggelar jumpa pers terkait peristiwa tersebut.  "Kita akan melakukan upaya hukum dan koordinasi dengan teman-teman di LBH," jelasnya.

Tidak Ada Pemukulan
Sementara itu, pihak kepolisian menyatakan tidak ada pemukulan terhadap aktivis Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk) Tantowi Anwari.  Itu disampaikan Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Rikwanto menyusul kabar pemukulan terhadap Tantowi saat katanya sedang meliput ibadah HKBP Filadelfia, Tambun, Bekasi, Jawa Barat.

"Tidak ada pemukulan. Ia hanya hampir dipukul karena memakai kaos yang provokatif bahasanya," ungkap Rikwanto di Mapolda Metro Jaya, Minggu (6/5).

Menurut Rikwanto, warga yang hendak menyerang Tantowi bukan berasal dari kelompok ormas tertentu. Tantowi yang menghadiri ibadah itu menggunakan kaos bertuliskan 'Melawan Tirani Mayoritas'. Tulisan di kaos tersebut menjadi provokatif. "Akhirnya ia diamankan di Polsek Tambun. Ia diamankan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan," terang Rikwanto.
Front Pembela Islam (FPI) juga membantah telah menganiaya Aktivis Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman (SEJUK) Tantowi Anwari. Wakil Sekjen FPI, Awit Masyhuri meminta Tantowi membuktikan tuduhan penganiayaan tersebut. Jika tidak, maka FPI mengancam bakal menuntut balik Tantowi.

"Ada gak buktinya seperti atribut, atau yell-yell FPI?Yang kami dengar, pihak kepolisian dan masyarakat lah yang membubarkan. (FPI tidak ada di tempat kejadian pada saat polisi membubarkan masyarakat?), tidak ada," kata Ustadz Awit.
Mengaku-ngaku wartawan adalah sebuah pelanggaran berat. Karena itu wartawan gadungan seperti Tantowi hendaknya jangan mencemari nama baik wartawan Indonesia. Jika ia seorang aktivis, katakan saja aktivis, bukan malah ngaku-ngaku wartawan.  

Kutipan :
Desastian / VoA-Islam
Rabu, 09 May 2012

Haidar: Saya Tak Menuduh Syiah,Tapi Pertanyaan Kenapa Sebarkan Syiah?

JAKARTA– Haidar Abdullah Bawazir, aktivis dakwah yang juga ahli penyakit dalam, hendak mengklarifikasi pernyataan sebelumnya di Voa-Islam, bahwa dirinya tidak menuduh Husein bin Hamid Alattas sebagai Syiah. Ia hanya mempertanyakan, kenapa Husein menyebarkan fikroh Syiah.

Haidar bahkan menantang mubahalah Husien bin Hamid Alatas, yang merupakan da'i tetap di radio Silaturrahim, dan melalui media itu, Husien menyebarkan pemikirannya. Haidar dengan sangat jelas menyampaikan sikapnya agar Husien menghentikan sikapnya yang menghujat para sahabat serta bertaubat. 

Haidar mengaku kenal dengan Husein al Attas sejak lama, bahkan Haidar pernah mengagumi dan menjadi penggemarnya (Husein). Haidar bahkan ketika itu pernah berkunjung ke rumahnya, dari pagi hingga sore. Itu dulu, tapi belakangan, Haidar baru “ngeh”, bahwa Husein memiliki kecenderungan terhadap Syiah. Wallohu’alam.

 “Saya mengenal beliau sudah lama, sempat menjadi penggemarnya. Ketika itu Husein sering ceramah di Matraman (Ummahat). Belakangan, ketika saya tinggal di Jawa Timur, saya banyak mengoreksi statemen-statemen beliau yang menyimpang. Banyak hal-hal subhat yang Husein sampaikan, seperti halnya kaum Syiah dan oritentalis yang suka menyampaikan hal yang subhat,” kata Haidar.

Menurut Haidar, apa yang disampaikan Husein adalah sebuah perkara yang penting, menyangkut hal yang prinsip dalam agama (Din). Husein sendiri tidak pernah mengakui bahwa ia Syiah, bahkan ia menantang untuk mubahalah kepada orang yang menuduh dirinya Syiah.

“Persoalannya, bukan karena dia Syiah atau bukan Syiah. Bagi saya itu tidak penting. Namun, yang saya pertanyakan, kenapa Husein menyerukan pemikiran dan mendakwahkan Syiah di tengah Ahlus Sunnah. Sekali lagi, saya tidak masuk ke area apakah Husein itu Ahlusunnah atau Syiah. Yang saya permasalahkan adalah kenapa beliau menyerang Abu Hurairah ra, Muawiyah ra, Abu Sofyan ra yang mereka semuanya adalah sahabat,” ungkap Haidar.

Haidar berkali-kali mendengar statemen Husein, katanya, kalau ada orang yang mengatakan Muawiyah sebagai sahabat, saya (kata Husein) akan tuntut di Yaumil Kiamah. Kalau ada pejahat di Indonesia, maka Muawiyah lebih jahat.
Padahal, Muawiyah adalah salah satu sahabat Rasulullah Saw yang diberi amanah untuk menulis wahyu, pernah berjihad bersama Rasulullah, ia pernah didoakan Rasululah agar diberi hidayah. Bahkan, dimasa Umar ra dan Utsman ra, Muawiyah pernah diangkat sebagai Gubernur di Syam. Tapi, kenapa Husein malah melaknat dan mencerca Muawiyah?

Lebih lanjut Haidar pun mengatakan, Husein menjadi ikon untuk membawa pemikirannya, dan berusaha membentuk masyarakat dengan pemikiran dia yang sangat berbahaya. “Memang Husein tidak mengkaji dengan tema atau topik tertentu tentang sahabat yang dihujat. Tapi ketika pembahasan soal Tafsir atau pertanyaan dari jamaah, Husein akan membelokkannya ke arah sana.”

Yang lebih bahaya lagi, selain menghujat sahabat, adalah Husein kerap membuat tasykik atau membuat upaya keragu-raguan terhadap sunnah, dengan mengatakan bahwa sunnah tidak bisa dipercaya 100% walau pun shahih sanadnya. Juga dikatakan, sunnah itu harus diukur dulu dengan akal dan Al-Qur’an, itu statemen secara umum.

“Tapi ketika dibawa kasus per-kasus, yang ngukur adalah akalnya dia, bukan ulama, dan itu bahaya. Husein memberi subhat dengan mengatakan, walaupun hadits itu shahih, tapi hadits itu ditulis seratus sekian tahun, setelah meninggalnya Rasulullah. Katanya lagi, kendati shahih tidak bisa dipercaya 100%. Ini namanya menimbulkan keragu-raguan terhadap sunnah, padahal kita berpegang pada Qur’an dan Sunnah Rasul.”

Sanad Lebih Penting Daripada Tulisan
Dikatakan Haidar, logika yang disampaikan Husein bagi orang awam sepintas memang masuk akal, tapi sangat lemah hujjahnya. Karena pada masa Rasullah ada yang menulis, bukan tidak ada yang menulis, seperti sahabat Abdullah bin Amru bin Ash. “Pertanyaanya, mana yang lebih penting, tulisan atau sanad. Yang jelas, sanad itu lebih penting daripada tulisan. Itulah sebabnya, para ulama meneliti sanad satu persatu, bagaimana si fula ihwal daya ingatnya maupun akhlaknya.”

Lalu kenapa Husein menyerang Abu Hurairah, Muawiyah, Marwan Bin Hakam, dan Abu Sofyan? “Tujuannya adalah bukan pada Abu Hurairahnya, tapi pada sunnahnya. Bisa jadi, ujung-ujungnya yang diserang adalah sunnah, atau lebih dari itu menyerang Islam. Pada hakekatnya, apa yg dilakukan Husein terkait penyerangannya kepada sahabat adalah sebuah penistaan terhadap agama juga. Abu Hurairah yang telah meriwayatkan ribuan hadits, kenapa dihujat?”

Haidar mengingatkan, bahwa yang dibawa Husein itu bukan barang baru, tapi sudah disampaikan oleh orang Syiah dan Orientalis. Sahabat yang dicela, seperti Abu Hurairah, Muawiyah, sesungguhnya ditemukan dalam bukunya oleh Abu Roiyya, orang Mesir yang liberal pemikirannya. Semua pemirannya diambil dari Syiah dan orietalis , tujuannya untuk menyerang Islam, seperti halnya orang Liberal.

Para ulama sudah selesai membahas tentang subhat tersebut. Sebab itu, Husein diminta agar membaca buku yang ditulis Mustofa as-Sibai yang berjudul “Sunnah dan kedudukannya dalam Syariat Islam. Mungkin Husein sudah tahu. Tapi masih saja membuat tasykik.  Husein mengatakan, Abu Hurairah pernah dicambuk oleh Umar, padahal riwayat yang dipakai itu penuh dengan kedustaan.

Dihimbau untuk Bertobat
Sebetulnya, sudah banyak pihak yang mengingatkan Husein, tapi ia tetap dengan keyakinannya. Tidak soal, jika keyakinannya untuk dirinya sendiri. Tapi kalau diulang-ulang disampaikan ke depan publik, maka ia telah menyampaikan hal yang subhat.  “Yang dihujat Husein ini bukan masyarakat awam, tapi sahabat dan tabiin. Saya menyerukan kepada Husein untuk tobat dan berhenti menebarkan subhat. Kembalilah pada ahlusunnah yang benar. Jika tidak, ia seperti berada di satu parit dengan orang-orang libera yang suka menyesatkan orang,” kata Haidar.

Hingga berita diturunkan, pihak perantara Husein Al Attas kepada Voa-Islam mengatakan, akan memberi hak jawab untuk menanggapi pernyataan Haidar Abdullah Bawazir. Husein juga mengajak dialog Haidar, bahkan Mubahalah yang disaksikan oleh sejumlah tokoh dan media Islam.  

Kutipan :
(Mh/sas) / VoA-Islam
Selasa, 08 May 2012

Ahmad Dhani perlu belajar al-Qur?an agar faham tentang setan

JAKARTA - Ahmad Dhani, pentolan Band Dewa 19 didalam twitternya menolak pelarangan Irshad manji untuk berbicara di Indonesia, berdalih bahwa Allah saja membiarkan Iblis beraksi di muka bumi, sehingga kita tidak perlu mempersoalkan orang-orang yang sesat. Angota Komisi pengkajian dan penelitian MUI, angkat bicara mengenai ketidak fahaman dhani tentang sifat-sifat setan yang ada di dalam al Qur’an.

“Iya syetan dibiarkan tuhan untuk hidup supaya apa? Supaya manusia ini dapat melihat mana yang baik, dan mana yang buruk, keberadaan syetan itu memang penting buat manusia, tapi Allah bukan saja membiarkan syetan itu hidup, tapi Allah memerintahkan kepada kita, hamba-Nya untuk menjadikan syetan itu musuh”ungkap ustadz fahmi salim kepada arrahmah.com, Jakarta, senin (7/5).
Sikap memusuhi setan, menurut Ustadz fahmi, diperintahkan sendiri oleh Allah swt di dalam kitabnya yang mulia al Qur’an.

“Kan jelas ayatnya inna syaithona lakum 'aduwwun fa 'ttakhidzuhu 'aduwwan. syetan itu musuh buat kalian, oleh karena itu, jadikanlah mereka sebagai musuh(QS.Faathir:6-red)” tukasnya.
Menjadikan syetan musuh,lanjutnya, mempunyai akibat dari permusuhan tersebut yang harus dijalani seorang Muslim.

“Konsekuensi Muslim menjadikan syetan musuh, jangan didekati, wala tattabi'u khutuwatisysyaithon, Dan janganlah kalian mengikuti langkahnya, jangan dekat-dekat, jangan memberi ruang kepada syetan atau pengikutnya, kalau diberi ruang potensi kerusakannya kan besar.” Terang salah satu INSIST ini.

Terhadap Irshad manji pun, menurut lulusan Al Azhar  Kairo ini, tidak perlu diberi ruang untuk berbicara, jika ingin memahami kerusakn perempuan lesbi tersebut, cukup melihat karya-karyanya.
“Lagi pula untuk mengetahui kerusakan pemikiran Irshad manji tidak perlu diajak diskusi, cukup saja baca bukunya. Jika ingin mengetahui kerusakan pemikirannya, tidak perlu orangnya datang. Kalau menghadirkan orangnya malah masalah.” Imbuhnya.

Sebab, sebagaimana konsekuensi memusuhi syetan, orang-orang yang mempropagandakan kemunkaran layaknya Irshad Manji ini, disikapi seperti memusuhi syetan pula.
“Setiap yang mempromosikan kesesatan - kesesatan itukan syetan yang menjerumuskan manusia dari jalan yang benar, syetan  itu musuh semua nabi. Yang menjerumuskan kaum nabi Luth melakukan praktek  menjadi homoseksual, kan syetan siapa lagi?” lontarnya.

Pelajaran dalam al Qur’an
Maka dari itu, ia mengajak kepada kaum Muslimin agar menjadikan al Qur’an sebagai pelajaran yang harus diambil dalam menilai kehidupan.
“Kita belajarlah dari sejarah yang diungkapkan dari al Qur’an tentang kisah-kisah kaum nabi terdahulu, itu kan banyak dikisahkan di surat al Araf, Luth, al Anbiya. Kaum-kaum yang membangkang itu kan prototype yang mengikuti metode atau jalan fikiran syetan,”beber Dia.

Dimana menurutnya, al Qur’an juga menerangkan bentuk-bentuk kemunkaran dalam berbagai bidang, diantaranya bidang ekonomi seperti kaum nabi Syuaib, dibidang akhlak seperti kaum nabi Luth, dibidang aqidah seperti Namrudz atau kaum Nabi Ibrohim, serta dibidang politik dan sosial seperti Fir’aun.
 “Kemunkaran-kemunkaran itu yang diceritakan al-Qur’an sama dengan liberalisme, kalau dahulu kita menghadapi liberalisme klasik, sekarang kita menghadapi hal yang mirip atau liberalisme modern.” Tegasnya.

Hanyasaja, lanjut Ustadz fahmi kemunkaran kaum terdahulu  langsung dihancurkan dengan Azab Allah,  berbeda dengan umat masa sekarang.
“ Setelah masa-masa nabi terdahulu Allah tidak mengazab suatu kaum  karena dosa tertentu, kenapa? Karena agar mereka dapat beriman kepada ajaran rasulullah hingga hari kiamat. Jadi tidak ada yang dihancurkan seperti umat terdahulu.”ujarnya.

Nah seperti pertanyaan Kaum Liberal, kenapa orang-orang homoseksual zaman sekarang  tidak diazab seperti kaum nabi luth.Jawab ustadz fahmi,” Nabi Muhammad itu pembawa rahmatan lil alamin sehingga setelah Rasulullah diutus  Allah tidak mengazab sedemikian rupa seperti kaum-kaum terdahulu.  Para mufasir menerangkan ayat wama arsalnaka ila rahmatan lil alamin, bahwa ayat ini menjadi penjelas bahwa ini adalah bukti Allah tidak akan mengazab umat Nabi Muhammad yang tidak mau beriman seperti umat-umat terdahulu,”
“Jadi sebenarnya kemunkaran itu sudah ada sejak dahulu, sekarang ini hanya copy paste, al-Qur’an sudah tuntas menjelaskannya, kita flashback kebelakang ini”tambahnya.

Terkait dengan tindakan masarakat melakukan pelarangan terhadap diskusi Irshad Manji, Ustadz fahmi berpendapat bahwa hal tersebut sudah tepat secara tradisi dan syar’i.
“Jadi apa yang dilakukan masyarakat atau warga itu benar dan diserahkan ke jalur hukum karena meresahkan mereka. Idealnya aparat negara yang inisiatif membatalkan, dalam konsep Hisbah(pelaksanaan Amar ma’ruf nahi munkar). Tapi karena belum ideal dan pasif, maka warga masyarakat bisa proaktif membenahi kemunkaran-kemunkaran yang terjadi. Itulah kearifan lokal yang baik dan benar sesuai syari’ah Islam selama tidak anarkis”pungkasnya karena jika anarkis akan dituntut balik dan umat yang akan menderita kerugian.

Kutipan :
Bilal / Arrahmah
VoA-Islam
Selasa.08 Mei 2012