Laman

Senin, 02 April 2012

Mengapa Kita Menolak RUU Kesetaraan Gender

Harian Republika (Jumat, 16/3/2012), memberitakan, bahwa Rancangan Undang-undang Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU KKG) sudah mulai dibahas secara terbuka di DPR. Suara pro-kontra mulai bermunculan. Apakah kita – sebagai Muslim – harus menerima atau menolak RUU KKG tersebut?

Jika menelaah Draf RUU KKG/Timja/24/agustus/2011 -- selanjutnya kita sebut RUU KKG – maka sepatutnya umat Muslim MENOLAK draf RUU ini. Sebab, secara mendasar berbagai konsep dalam RUU tersebut bertentangan dengan konsep-konsep dasar ajaran Islam. Ada sejumlah alasan yang mengharuskan kita – sebagai Muslim dan sebagai orang Indonesia – menolak RUU KKG ini.

Pertama, definisi “gender” dalam RUU ini sudah bertentangan dengan konsep Islam tentang peran dan kedudukan perempuan dalam Islam. RUU ini mendefinisikan gender sebagai berikut: “Gender adalah pembedaan peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya yang sifatnya tidak tetap dan dapat dipelajari, serta dapat dipertukarkan menurut waktu, tempat, dan budaya tertentu dari satu jenis kelamin ke jenis kelamin lainnya.” (pasal 1:1)

Definisi gender seperti itu adalah sangat keliru. Sebab, menurut konsep Islam, tugas, peran, dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki baik dalam keluarga (ruang domestik) maupun di masyarakat (ruang publik) didasarkan pada wahyu Allah, dan tidak semuanya merupakan produk budaya.
Tanggung jawab laki-laki sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah keluarga adalah berdasarkan wahyu (al-Quran dan Sunnah Rasul). Sepanjang sejarah Islam, di belahan dunia mana saja, tanggung jawab laki-laki sebagai kepala keluarga sudah dipahami, merupakan perkara yang lazim dalam agama Islam (ma’lumun minad din bid-dharurah). Bahwa yang menjadi wali dan saksi dalam pernikahan adalah laki-laki dan bukan perempuan. Ini juga sudah mafhum.

Karena berdasarkan pada wahyu, maka konsep Islam tentang pembagian peran laki-laki dan perempuan itu bersifat abadi, lintas zaman dan lintas budaya. Karena itu, dalam tataran keimanan, merombak konsep baku yang berasal dari Allah SWT ini sangat riskan. Jika dilakukan dengan sadar, bisa berujung kepada tindakan pembangkangan kepada Allah SWT. Bahkan, sama saja ini satu bentuk keangkuhan, karena merasa diri berhak menyaingi Tuhan dalam pembuatan hukum. (QS at-Taubah: 31).
J
adi, cara pandang yang meletakkan pembagian peran laki-laki dan perempuan (gender) sebagai budaya ini jelas bertentangan dengan ajaran Islam. Sebab, sifat syariat Nabi Muhammad saw – sebagai nabi terakhir dan diutus untuk seluruh manusia sampai akhir zaman – adalah universal dan final. Zina haram, sampai kiamat. Khamr haram di mana pun dan kapan pun. Begitu juga suap adalah haram. Babi haram, di mana saja dan kapan saja. Konsep syariat seperti ini bersifat lintas zaman dan lintas budaya.

Syariat Islam jelas bukan konsep budaya Arab. Saat Nabi Muhammad saw memerintahkan seorang istri untuk taat kepada suaminya – dalam hal-hal yang baik – maka perintah Nabi itu berlaku universal, bukan hanya untuk perempuan Arab abad ke-7 saja. Umat Islam sepanjang zaman menerima konsep batas aurat yang universal; bukan tergantung budaya. Sebab, fakta menunjukkan, di mana saja dan kapan saja, perempuan memang sama. Sudah ribuan tahun perempuan hidup di bumi, tanpa mengalami evolusi. Matanya dua, hidung satu, payudaranya dua, dan juga mengalami menstruasi. Perempuan juga sama saja, dimana-mana. Hanya warna kulit dan mungkin ukuran tubuhnya berbeda-beda. Karena sifatnya yang universal, maka konsep syariat Islam untuk perempuan pun bersifat universal.

Memang, tidak dapat dipungkiri, dalam aplikasinya, ada unsur-unsur budaya yang masuk. Misalnya, konsep Islam tentang perkawinan pada intinya di belahan dunia mana saja tetaplah sama: ada calon suami, calon istri, saksi, wali dan ijab qabul.

Tetapi, dalam aplikasinya, bisa saja unsur budaya masuk, seperti bisa kita lihat dalam pelaksaan berbagai upacara perkawinan di berbagai daerah di Indonesia. 
Alasan 
kedua untuk menolak RUU Gender sangat western-oriented. Para pegiat kesetaraan gender biasanya berpikir, bahwa apa yang mereka terima dari Barat – termasuk konsep gender WHO dan UNDP – harus ditelan begitu saja, karena bersifat universal. Mereka kurang kritis dalam melihat fakta sejarah perempuan di Barat dan lahirnya gerakan feminisme serta kesetaraan gender yang berakar pada ”trauma sejarah” penindasan perempuan di era Yunani kuno dan era dominasi Kristen abad pertengahan.

Konsep-konsep kehidupan di Barat cenderung bersifat ekstrim. Dulu mereka menindas perempuan sebebas-bebasnya, sekarang mereka membebaskan perempuan sebebas-bebasnya. Dulu, mereka menerapkan hukuman gergaji hidup-hidup bagi pelaku homoseksual. Kini, mereka berikan hak seluas-luasnya bagi kaum homo dan lesbi untuk menikah dan bahkan memimpin geraja.

Lihatlah, kini konsep keluarga ala kesetaraan gender yang memberikan kebebasan dan kesetaraan secara total antara laki-laki dan perempuan telah berujung kepada problematika sosial yang sangat pelik. Di Jerman, tahun 2004, sebuah survei menunjukkan, pertumbuhan penduduknya minus 1,9. Jadi, bayi yang lahir lebih sedikit dari pada jumlah yang mati.

Peradaban Barat juga memandang perempuan sebagai makhluk individual. Sementara Islam meletakkan perempuan sebagai bagian dari keluarga. Karena itulah, dalam Islam ada konsep perwalian. Saat menikah, wali si perempuan yang menikahkan; bukan perempuan yang menikahkan dirinya sendiri. Ini satu bentuk pernyerahan tanggung jawab kepada suami. Di Barat, konsep semacam ini tidak dikenal. Karena itu jangan heran, jika para pegiat gender biasanya sangat aktif menyoal konsep perwalian ini. Sampai-sampai ada yang menyatakan bahwa dalam pernikahan Islam, yang menikah adalah antara laki-laki (wali) dengan laki-laki (mempelai laki-laki).

Simaklah bagaimana kuatnya pengaruh cara pandang Barat dalam konsep ”kesetaraan gender” seperti tercantum dalam pasal 1:2 RUU Gender yang sedang dibahas saat ini: “Kesetaraan Gender adalah kesamaan kondisi dan posisi bagi perempuan dan laki-laki untuk mendapatkan kesempatan mengakses, berpartisipasi, mengontrol, dan memperoleh manfaat pembangunan di semua bidang kehidupan.” (pasal 1:2).

Renungkanlah konsep semacam ini. Betapa individualistiknya. Laki-laki dan perempuan harus disamakan dalam semua bidang kehidupan. Lalu, didefinsikan juga:
“Diskriminasi adalah segala bentuk pembedaan, pengucilan, atau pembatasan, dan segala bentuk kekerasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin tertentu, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan manfaat atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang lainnya terlepas dari status perkawinan, atas dasar persamaan antara perempuan dan laki-laki.” (pasal 1:4).

Jika RUU Gender ini akan menjadi Undang-undang dan memiliki kekuatan hukum yang tetap, maka akan menimbulkan penindasan yang sangat kejam kepada umat Muslim – atau agama lain – yang menjalankan konsep agamanya, yang kebetulan berbeda dengan konsep Kesetaraan Gender. Misalnya, suatu ketika, orang Muslim yang menerapkan hukum waris Islam; membagi harta waris dengan pola 2:1 untuk laki-laki dan perempuan akan bisa dijatuhi hukuman pidana karena melakukan diskriminasi gender. Jika ada orang tua menolak mengawinkan anak perempuannya dengan laki-laki beragama lain, bisa-bisa di orang tua akan dijatuhi hukuman pula. Bagaimana jika kita membeda-bedakan jumlah kambing untuk aqidah antara anak laki-laki dan perempuan?

Alasan ketiga, RUU Gender ini sangat SEKULAR. RUU ini membuang dimensi akhirat dan dimensi ibadah dalam interaksi antara laki-laki dan perempuan. Peradaban sekular tidak memiliki konsep tanggung jawab akhirat. Bagi mereka segala urusan selesai di dunia ini saja. Karena itu, dalam perspektif sekular, ”keadilan” hanya diukur dari perspektif dunia. Bagi mereka tidaklah adil jika laki-laki boleh poligami dan wanita tidak boleh poliandri. Bagi mereka, adalah tidak adil, jika istri keluar rumah harus seijin suami, sedangkan suami boleh keluar rumah tanpa izin istri.

Bagi mereka, tidak adil jika laki-laki dalam shalatnya harus ditempatkan di shaf depan. Dan sebagainya. Jika seorang perempuan terkena pikiran seperti ini, maka pikiran itu yang perlu diluruskan terlebih dulu. Biasanya ayat-ayat al-Quran dan hadits Rasulullah saw tidak mempan bagi mereka, karena ayat-ayat itu pun akan ditafsirkan dalam perspektif gender. Sebenarnya, perempuan yang kena paham ini patut dikasihani, karena mereka telah salah paham. Mereka hanya melihat aspek dunia. Hanya melihat aspek hak, dan bukan aspek tanggung jawab dunia dan akhirat.

Padahal, dalam perspektif Islam, justru Allah memberi karunia yang tinggi kepada perempuan. Mereka dibebani tanggung jawab duniawi yang lebih kecil ketimbang laki-laki. Tapi, dengan itu, mereka sudah bisa masuk sorga, sama dengan laki-laki. Perempuan tidak perlu capek-capek jadi khatib Jumat, menjadi saksi dalam berbagai kasus, dan tidak wajib bersaing dengan laki-laki berjejalan di kereta-kereta. Perempuan tidak diwajibkan mencari nafkah bagi keluarga. Dan sebagainya.

Sementara itu, kaum laki-laki mendapatkan beban dan tanggung jawab yang berat. Kekuasaan yang besar juga sebuah tanggung jawab yang besar di akhirat. Jika dilihat dalam perspektif akhirat, maka suami yang memiliki istri lebih dari satu tentu tanggung jawabnya lebih berat, sebab dia harus menyiapkan laporan yang lebih banyak kepada Allah. Adalah keliru jika orang memandang bahwa menjadi kepala negara itu enak. Di dunia saja belum tentu enak, apalagi di akhirat. Sangat berat tanggung jawabnya.

”Dimensi akhirat” inilah yang hilang dalam berbagai pemikiran tentang ”gender”. Termasuk dalam RUU Gender yang sedang dibahas di DPR. Perspektif dari RUU ini sangat sekuler. (saeculum=dunia); hanya menghitung aspek dunia semata. Jika dimensi akhirat dihilangkan, maka konsep perempuan dalam Islam akan tampak timpang. Sebagai contoh, para aktivis gender sering mempersoalkan masalah ”double burden” (beban ganda) yang dialami oleh seorang perempuan karir.

Disamping bekerja di luar rumah, dia juga masih dibebani mengurus anak dan berbagai urusan rumah tangga. Si perempuan akan sangat tertekan jiwanya, jika ia mengerjakan semua itu tanpa wawasan ibadah dan balasan di akhirat. Sebaliknya, si perempuan akan merasa bahagia saat dia menyadari bahwa tindakannya adalah satu bentuk ibadah kepada Allah SWT.
Karena itu, jika Allah tidak memberi kesempatan kepada perempuan untuk berkiprah dalam berbagai hal, bukan berarti Allah merendahkan martabat perempuan. Tapi, justru itulah satu bentuk kasih sayang Allah kepada perempuan. Dengan berorientasi pada akhirat, maka berbagai bentuk amal perbuatan akan menjadi indah. Termasuk keridhaan menerima pembagian peran yang diberikan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Pada akhirnya, dalam menilai suatu konsep – seperti konsep Kesetaraan Gender – seorang harus memilih untuk menempatkan dirinya: apakah dia rela menerima Allah SWT sebagai Tuhan yang diakui kedaulatannya untuk mengatur hidupnya? Seorang Muslim, pasti tidak mau mengikuti jejak Iblis, yang hanya mengakui keberadaan Allah SWT sebagai Tuhan, tetapi menolak diatur oleh Allah SWT. Seolah-olah, manusia semacam ini berkata kepada Allah SWT: ”Ya Allah, benar Engkau memang Tuhan, tetapi jangan coba-coba mengatur hidup saya! Karena saya tidak perlu segala macam aturan dari-Mu. Saya sudah mampu mengatur diri saya sendiri!” Na’dzubillahi min-dzalika.
****
Tidak bisa dipungkiri, penyebaran paham ”kesetaraan gender” saat ini telah menjadi program unggulan dalam proyek liberalisasi Islam di Indonesia. Banyak organisasi Islam yang memanfaatkan dana-dana bantuan sejumlah LSM Barat untuk menggarap perempuan-perempuan muslimah agar memiliki paham kesetaraan gender ini. Perempuan muslimah kini didorong untuk berebut dengan laki-laki di lahan publik, dalam semua bidang. Mereka diberikan angan-angan kosong, seolah-olah mereka akan bahagia jika mampu bersaing dengan laki-laki.
Kedepan, tuntutan semacam ini mungkin akan terus bertambah, di berbagai bidang kehidupan. Sesuai dengan tuntutan pelaksaan konsep Human Development Index (HDI), wanita dituntut berperan aktif dalam pembangunan, dengan cara terjun ke berbagai sektor publik. Seorang wanita yang dengan tekun dan serius menjalankan kegiatannya sebagai Ibu Rumah Tangga, mendidik anak-anaknya dengan baik, tidak dimasukkan ke dalam ketegori ”berpartisipasi dalam pembagunan”. Tentu, konsep semacam ini sangatlah aneh dalam perspektif Islam dan nilai-nilai tradisi yang juga sudah dipengaruhi Islam.

Daripada bergelimang ketidakpastian dan dosa, mengapa pemerintah dan DPR tidak mengajukan saja ”RUU Keluarga Sakinah” yang jelas-jelas mengacu kepada nilai-nilai Islam? Buat apa RUU Gender diajukan dan dibahas? Dari tiga naskah akademik yang saya baca, tampak tidak ada dasar pemikiran yang kuat untuk mengajukan RUU Kesetaraan Gender ini. RUU ini cenderung membesar-besarkan masalah, dan lebih menambah masalah baru. Belum lagi jika RUU ini melanggar aturan Allah SWT, pasti akan mendatangkan kemurkaan Allah SWT.
Tugas kita hanya mengingatkan! Wallahu a’lam bil-shawab.*/ Jakarta, 16 Maret 2012 
Monday, 26 March 2012 15:33
Written by Adian Husaini 

Gender

Tidak adil” dan “tertindas” adalah dua bekal gerakan feminism dan kesetaraan gender. Wanita diseluruh dunia ini dianggap tertindas dan diperlakukan secara tidak adil. Wajah peradaban umat manusia memang diwarnai oleh dua kata tersebut. Tapi masing-masing peradaban memiliki solusi masing-masing.  

Islam lahir disaat peradaban jahiliyah tidak dan salah menghargai wanita. Anak wanita yang tidak dikehendaki harus dikubur hidup-hidup. Tapi wanita saat itu juga berhak menikah dengan 90 orang suami. Keperkasaan Hindun, otak pembunuhan Hamzah, sahabat Nabi, adalah bukti keperkasaan wanita.  

Itulah sebabnya tidak ada alasan bagi Islam untuk menyamakan hak laki dan wanita secara mutlak 50-50. Misi Islam tidak hanya membela wanita tertindas tapi juga mendudukkan wanita pada tempatnya. Meletakkan sesuatu pada tempatnya, dalam Islam, disifati sebagai adil. Islam justru meneguhkan hubungan laki dan wanita dengan merujuk pada watak dasar biologis dan  implikasi sosialnya.

Barat lahir disaat  wanita ditindas dan diperlakukan secara tidak adil. Sebutan feminis, konon memiliki akar kata fe-minus. Fe artinya iman, minus artinya kurang. Feminus artinya kurang iman. Terlepas dari sebutan itu, yang pasti nasib wanita di Barat sungguh buruk. Mayoritas korban inquisisi adalah wanita. Wanita dianggap setengah manusia. Contoh kasus penindasan tidak sulit untuk ditelusur lebih lanjut.

Dari negara-negara Barat solusi tidak lahir dari ajaran agama. Solusinya datang dari tuntutan masyarakat wanita, berbentuk gerakan feminisme. Mulanya hanya ingin memberantas penindasan dan ketidak adilan terhadap perempuan. Tapi, tidak puas dengan itu, para feminis di London tahun 1977 merubah strategi. Mungkin mengikuti teori Michael Foucault, feminism bisa menghemoni dunia dengan menjual wacana gender (gender discourse). Persis seperti Amerika memberantas teroris. Biaya meliberalkan pikiran umat Islam lebih murah dibanding biaya menangkap teroris.  

Nalarnya cemerlang, penindasan dipicu oleh pembedaan dan pembedaan disebabkan oleh konstruk sosial, bukan faktor biologis. Jadi, target wacana gender adalah merubah konstruk sosial yang membeda-bedakan dua makhluk yang berbeda itu.

Konon, gender juga membela laki-laki yang tertindas, tapi ketika wacana ini masuk PBB tahun 1975 konsepnya berjudul Women in Development (WID). Sidang-sidang di Kopenhagen (1980), Nairobi (1985), dan Beijing (1995) malah meningkat menjadi Convention for Eliminating Discrimination Against Women (CEDAW), bukan CEDAM. Namun, ketika dijual ke pasar internasional programnya diperhalus menjadi Gender and Development. Dan ketika menjadi matrik pembangunan menjadi Gender Development Index (GDI). Suatu Negara tidak bisa disebut maju jika peran serta wanita rendah. Untuk mengukur peran politik dan social lain wanita dibuatlah neraca Gender Empowerment Measure.

Indonesia, tak ketinggalan segera ikut arus. Pemerintah lalu membuat Inpres  No.9/2000 tentang pengarus utamaan Gender dalam pembangunan. Kini bahkan sudah akan menjadi undang-undang. Padahal enam Peraturan Pemerintah, empat Peraturan dan satu Instruksi Menteri serta satu kebijakan Kementerian tidak berjalan. Tidak semua wanita menginginkan kesetaraan.

Memang preseden historis gerakan ini memang hanya di Barat. Gerakan seperti ini tidak pernah ada dalam sejarah Islam. Tapi, wacana ini tiba-tiba menjadi universal dan menjelma menjadi gerakan internasional dan wajib diikuti oleh umat Islam.  Bahkan ketika wacana kesetaraan gender ini disorotkan kepada agama-agama semua agama seperti diam. Semua agama bias gender.  Nyatanya memang dalam Islam tidak ada Nabi wanita, dalam Katholik tidak pernah ada Paus wanita.  Juga sami dalam Hindu, Bhiksu dalam Buddha adalah laki-laki.

Ketika Negara-negara di dunia diukur prosentase kesetaraan gendernya, tidak ada satu negarapun yang dapat mencapainya secara sempurna. Jika pun tercapai tidak menjadi indikasi bahwa Negara itu maju. Keterlibatan wanita di negara Cuba dibanding Jepang terbukti lebih tinggi, tapi tidak terbukti Jepang lebih mundur. Bahkan Indonesia lebih besar dari Jepang atau sama, tapi tidak ada pengaruh pada kemajuan.
Di Indonesia wanita-wanita di kampung dianggap tertindas karena mereka mengerjakan kerja laki-laki. Tapi di Pakistan, khususnya di kawasan utara, wanita tidak boleh bekerja dan hanya tinggal dirumah. Ini pun dianggap tertindas.  

Masyarakat Islam secara konseptual maupun historis tidak menjunjung konsep kesetaraan 50-50. Dihadapan Tuhan memang sama, tapi Tuhan tidak menyamakan cara bagaimana kedua makhluk berlainan jenis kelamin ini menempuh surgaNya. Meski tidak berarti peran wanita dalam Islam dikalahkan oleh laki-laki, Islam mengatur peranaan sosial wanita dari aspek yang paling mendasar yiatu biologis. Sebab dalam konsep Islam aspek biologis terkait erat dengan aspek psikologis dan bahkan saling mempengaruhi.

Bahkan, seperti dikutip Ratna Megawangi, Time edisi 8 Maret 1999 memuat artikel berjudul The Real Truth About Women Bodies. Ide pokoknya wanita secara alamiyah, biologis dan genetik memang berbeda. Tidak mudah merubah factor ini dalam kehidupan social wanita. Maka dari itu perjuangan meraih kesetaraan gender bukan hanya tidak mungkin tapi juga tidak realistis.

Jika demikian adanya, kita berhak bertanya. Apakah gerakan pengarus utamaan gender benar-benar untuk membela kepentingan wanita sesuai aspirasi dan kodratnya? Ataukah hanya sekedar  untuk memenuhi tuntutan tren kultural dan ideologis dunia yang kini dibawah hegemoni Barat? Pendek kata apakah wanita benar-benar memerlukan kesetaraan?

Bagi Muslim apa yanag salah pada gerakan ini? Salahnya ketika merubah konstruk sosial, agama tidak diperdulikan. Tafsir-tafsir para pemikir liberal bersifat sepihak, tendensius dan melawan arus para mufassir yang otoritatif dalam tradisi ulama Islam. Jika para anggota DPR meluluskan undang-undang ini tanpa mempertimbangkan dampak keagamaan maka Undang-undang itu dijamin sedang menabur angin dan segera menuai badai. Wallahu a’lam.

Wednesday, 21 March 2012 07:29
Written by Hamid Fahmy Zarkasyi 

Kutipan :  
INSISTS. Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations

Wednesday, 21 March 2012 

 
 

Gempita aksi sejuta umat peduli Syari’at: Indonesia Tanpa Maksiat

Akhir pekan kemarin (30/3/2012) yang merupakan jum’at terakhir pada bilangan bulan Maret tahun ini, benar-benar menjadi saksi atas perjuangan sebagian besar umat Islam yang masih peduli akan hadirnya kepemimpinan yang sarat akan nilai-nilai syari’at (insyaAllah).

Peserta aksi yang berjumlah ribuan seiring-serentak hadir dari berbagai kota di tanah air. Mereka bersatu-padu berbusana putih meski dengan lambang dan atribut yang berbeda-beda. Sebagian besar memang mewakili ormas atau lembaga dan sebagian lagi datang atas partisipasi sendiri, seperti yang dilakukan oleh Ibu Nur, ibu paruh-baya asal Bekasi yang tampak begitu antusias itu dengan lugas mengungkapkan kepeduliannya terhadap aksi umat Islam dalam berikhtiar memperjuangkan izzah-nya, “Saya berpikir kalau saja setiap mu’min mau bersatu suara dengan memperlihatkan serta menyampaikan penolakan kita terhadap kezhaliman yang sudah dilakukan pemerintah selama ini, insya Allah para antek-antek syetan itu akan lari terbirit-birit juga, kok!” jelasnya bersemangat dan tanpa tedeng aling-aling.

Semangat serupa itu pula yang terasa membahana di siang yang cukup terik membakar Jakarta. Aksi yang dimulai pelaksanaannya ba’da sholat jum’at atau sekitar pukul 13.30 wib tersebut untuk kesekian kalinya kembali memusatkan konsentrasi massanya di lokasi bundaran hotel Indonesia, Jakarta.  Ratusan spanduk tampak menghias langit ibukota dengan bertuliskan ragam bentuk ekspresi masyarakat yang mengkritisi pemerintah beserta kebijakan yang dikeluarkannya, mulai dari bubarkan Ahmadiyah, usut tuntas kasus kriminal terhadap FPI, jadikan Indonesia damai tanpa liberal, NKRI bersyari’ah--harga mati, subsidi BBM hak rakyat bukan bantuan pemerintah, hingga ‘plesetan’ SBY=Si Budak Yahudi!…

Ustadz Bernard Abdul Jabbar selaku wakil koordinator lapangan untuk aksi gelombang kedua kali itu yang mendampingi ustadz Awit Masyhuri (komandan korlap), tak lama setelah acara dimulai langsung memberikan beberapa pengarahan kepada jama’ah yang tampak mulai menyemut di area sekeliling air mancur tersebut. Jama’ah dikomando untuk menata dan merapatkan barisan sehingga tidak meluber hingga mengambil hak pengguna ruas jalan utama Sudirman yang merupakan kawasan hotel dan perkantoran itu.

Tak lama, para tokoh yang berasal dari kalangan ulama pun mulai tampak berkumpul di atas mobil bak terbuka milik panitia AKSI SIAGA yang telah di’sulap’ menjadi podium dadakan. Mereka diantaranya adalah Ustadz Abu Muhammad Jibriel Abdul Rahman (wakil Amir MMI), Ustadz M. Al-Khattath (sekjen FUI), Ustadz Qasim Nurseha (Forum Ukhuwah Islamiyah, Cikarang), Ustadz Chep Hernawan (ketua GARIS), Ustadz Abu Bilal (perwakilan JAT), Ustadz Shobri Lubis (FPI), Drs. Alfian Tanjung (ketua Taruna Muslim), Ustadz Habieb Rizieq Shihab (ketua FPI), dan masih banyak lagi dari perwakilan organisasi Islam yang ada di Indonesia.  

Aksi kolosal yang merupakan aksi lanjutan dari aksi pertama yang terjadi pada jum’at (9/3/2012) lalu itu, kali ini mengusung slogan INDONESIA TANPA MAKSIAT sebagai upaya bentuk penolakan terhadap menjamurnya praktek berbagai kemaksiatan di tanah air sekaligus menuntut sikap tegas pemerintah untuk bersikap cepat-tanggap terhadap persoalan dalam negeri yang semakin carut-marut.

Pada sesi pertama yang berlangsung di sekitar tugu selamat datang itu, ustadz H. Mujahidin, SE yang merupakan ketua DPW Partai Bulan-Bintang DKI Jakarta membuka orasinya dengan mengingatkan bahwa umat Islam adalah kelompok mayoritas yang selalu diusahakan untuk dijadikan kelompok minoritas di Indonesia oleh kaum liberal sebagai antek-antek asing. 

Pemikiran bejat buah pikir kaum liberal itu sudah dijejal ke segala sektor kehidupan umat Islam, mulai dari pendidikan, kesehatan, budaya, ekonomi, hingga ke ruang lingkup agama. “Apakah kita diamkan hal itu, saudara-saudara?!” Lantang jama’ah menjawab, “Tidak!” “Gaung revolusi sudah terdengar di seluruh belahan dunia Islam, ini merupakan momen yang penting bagi kita. Dari PBB (Partai Bulan-Bintang) sendiri dari awal sudah berasas Islam dan kami tetap akan turut memperjuangkan Islam karena hanya dengan syari’ahlah jalan keluar bagi problematika umat akan terpenuhi. Maka marilah bersegera untuk bangkit! Allahu akbar!”

Segenap penjuru memekik takbir. Suasana yang semakin bergelora itu tampak berjalan aman. Ustadz Awit Masyhuri menyampaikan bahwa telah ditempatkan sekitar 100 orang satgas di sekitar lokasi untuk mengamankan aksi dari tindakan-tindakan anarkis yang mencoba mengeruhkan keadaan yang kondusif tersebut. Satgas itu pula yang bertugas mengawal jama’ah untuk tiba di area Monas, titik pusat orasi yang kedua.

Orasi berikutnya hadir ustadz Abu Bilal yang mewakili JAT. “Kedatangan kami disini bukan untuk menyampaikan aspirasi kepada pemerintah, sebab bagaimana mungkin kami akan bermubahanah dan merengek kepada mereka sementara mereka telah mengumumkan kebenciannya dan permusuhannya selama ini terhadap umat Islam. Bahkan lebih dari itu para dajjal Amerika sudah tak segan-segan lagi untuk memenjarakan dan membunuh umat Islam. Kemaksiatan yang paling besar sesungguhnya adalah melecehkan syari’at Allah Ta’ala. Oleh karena itu untuk menciptakan Indonesia tanpa maksiat, yang harus dilaksanakan adalah membersihkan Indonesia dari campur-tangan para komprador yang telah membuat pemerintahan ini menjadi pemerintahan thoghut.Tugas kita setelah mengetahui hakikat iman adalah berjuang untuk mengembalikan negeri ini menjadi berdaulah Islam. Syari’at Islam dan daulah Islam adalah satu-kesatuan yang tidak akan terwujud tanpa jihad fi sabilillah. Isy kariman au mut syahidan!” La haula wa la quwwata illa billahi.

Ketika detik-detik menuju waktu ashar mulai bergulir, ketua korlap ustadz Awit Masyhuri-- sejenak menuntaskan masa orasi untuk kemudian mempersilahkan peserta aksi untuk mencari tempat berwudhu guna menegakkan sholat ashar yang akan dilaksanakan di sekitar Monas. Seiring komando, jama’ah pun bergerak menuju silang Monas tempat sholat berjama’ah akan dilangsungkan, yang juga sebagai tempat puncak orasi akan digelar. Tanpa ba-bi-bu, jama’ah yang terdiri dari berbagai tingkatan usia itu pun langsung bertolak dengan melakukan longmarch. Pekikan takbir yang bersahutan seraya sesekali diiringi nasyid-nasyid penggelora semangat jihad, semakin memantapkan langkah kaki dan do’a yang penuh harap agar seruan ini akan membukakan mata-hati penguasa yang tengah gelap-gulita…
 
Tolak Putusan MK!
Sebagai kesempatan pertama pada sesi kedua yang berlangsung sekitar pukul empat sore itu, Ustadz Abu Muhammad Jibriel Abdul Rahman memulai orasinya dengan menyampaikan sebuah 
firman Allah Ta’ala, 
Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu berjuang membela Islam pasti Allah akan menolong kamu dan menjadikan kamu berkuasa di muka bumi ini.”

“Dalam negara bersistem demokrasi, manusia atau sekelompok orang bisa terangkat menjadi tuhan dengan sendirinya. Oleh karena itu, Islam mengharamkan manusia menjadi tuhan, sedangkan satu-satunya yang menghambakan manusia hanyalah syari’at Allah Ta’ala. Selain itu keadilan dan kebenaran juga hanya terdapat dalam syari’at Islam. Sementara itu kehadiran kita saat ini bukan menitik-beratkan pada masalah penolakan harga BBM, akan tetapi perkara yang terbesar adalah mengupayakan tegaknya tauhid dan syari’at di bumi Allah. Korupsi adalah salah-satu tindak kejahatan, menzhalimi adalah bentuk kejahatan, tetapi yang mengharamkan perkara yang dihalalkan Allah dan mengharamkan apa-apa yang dihalalkan Allah adalah sebesar-besar bentuk kejahatan.” Tegasnya dengan lantang.

Wakil Amir MMI yang juga amir Majelis Ilmu Ar-Royyan itu kemudian menyampaikan bahwa ada dua hal yang juga menjadi pusat perhatiannya yaitu mengenai berita terhangat yang berasal dari Mahkamah Konstitusi yang pada 17 Februari 2012 lalu telah menerima uji-coba tentang status anak yang lahir di luar pernikahan atau anak zina telah disejajarkan dengan anak yang lahir dari perkawinan yang syah. MK telah berkeputusan bahwa anak zina memilki hak yang sama dengan anak perkawinan syah, ini adalah juga bentuk penghalalan terhadap apa yang telah diharamkan oleh Allah. Bila keputusan menyesatkan itu tidak segera dicabut, maka ini akan semakin mendorong liberalisme seksual. Padahal Allah Ta’ala telah jelas berfirman di 
QS. al-‘Isra : 32, 
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”  

Oleh karena itu umat Islam harus bersikap tegas menolak putusan MK itu!
Lalu perihal yang kedua adalah tentang kesetaraan gender yang digaungkan oleh kaum feminisme. Apalah jadinya bila sesuatu yang sudah dibuat garis perbedaannya oleh Sang Pencipta manusia itu--dicoba-coba untuk disetarakan hanya karena sebagai pelegalisasian hawa nafsu semata? Oleh karena itu umat Islam seluruh Indonesia wajib bertekad-bulat berjihad menghadapi hal ini.

Disela-sela orasinya yang demikian bergemuruh, ustadz Abu M. Jibriel pun mengajak jama’ah agar mendo’akan agar para aparat yang tampak bersikap angkuh dengan menopang senjata dan berkeliaran di area Monas membawa anjing-anjing ‘asuhan’nya, agar mereka dibukakan hidayah hingga menjadi laskar-laskar mujahidin yang akan membela Islam dan justru malah bukan mengacungkan senjatanya ke arah umat Islam yang sedang terzhalimi. Ingatlah kembali 
firman-Nya di QS. al-Hajj : 178,
“Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu dan (begitu pula) dalam (al- Qur’an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, Maka dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik pelindung dan sebaik- baik penolong.”

“Pertolongan Allah adalah sebaik-baik pertolongan dan kemenangan yang sesungguhnya adalah surga yang telah dijanjikan-Nya kepada para mujahid Allah. Oleh karena itu, siapkan diri kita untuk berjuang sepenuh kemampuan untuk hidup hanya berdasarkan petunjuk Allah. Kehadiran kita di tempat ini pasti disaksikan Allah Ta’ala, mudah-mudahan ini menjadi amalan kita dalam upaya berjihad fi sabilillah. Allahu akbar! Allahu akbar! Allahu akbar!”
 
Pernyataan Forum Umat Islam
Pada kesempatan terakhir menjelang waktu adzan maghrib berkumandang, sekjen FUI ustadz Muhammad Al- Khattath, membacakan lima poin pernyataan Forum Umat Islam terhadap sikap yang harus diambil pemerintah guna menyelamatkan Indonesia, yaitu:
  1. Bersihkan Indonesia dari liberal sumber kemaksiatan,
  2. Bersihkan Indonesia dari Ahmadiyah dan aliran sesat lainnya,
  3. Tolak kenaikan harga BBM,
  4. Bersihkan Indonesia dari berbagai kemaksiatan,
  5. Turunkan SBY-Budiyono, serta mengangkat presiden dan wakil presiden bersyari’ah.
Al-Khattath juga menghimbau kepada para amir organisasi dan lembaga Islam yang ada di Indonesia untuk segera merapatkan barisan dan memperkuat ukhuwah Islamiyah serta berjuang bersama FUI untuk menegakkan syari’at Allah SWT yang penuh berkah bagi seluruh rakyat Indonesia secara formal dengan mengangkat presiden bersyari’ah yang akan memimpin dan mengelola NKRI sehingga akan menjadi negeri yang baik dan diridhoi Allah SWT, baldatun thoyyibatun wa Rabbun Ghafur.

Menjelang pukul 18.00 wib, korlap kembali mengemas acara untuk persiapan pelaksanaan sholat maghrib. Jama’ah masih terlihat memadat dan masih tampak memiliki gelora perjuangan yang tinggi. Sementara ribuan aparat pun terlihat semakin memperketat kawalannya terhadap istana.

Alhamdulillah, berita yang baik datang ba’da maghrib ditunaikan—istana membukakan pintunya dan mempersilahkan beberapa perwakilan untuk masuk ke ‘gedung putih’ yang sarat akan ketatnya pengamanan itu. Mereka yang berkesempatan untuk menyampaikan aspirasi, diantaranya adalah ustadz Abu Muhammad Jibriel Abdul Rahman, Munarman, SH, ustadz Muhammad Al-Khattath, ustadz Habieb Rizieq Shihab, ustadz Shobri Lubis, dan ustadz Abu Ridwan Qinanah. Sementara dari pihak istana sendiri, diwakili oleh Menkopolkam Joko Suyanto, jubir presiden Julian Adrin Pasya, dan staf bagian kepresidenan Daniel Sparingga.

Ustadz Abu M. Jibriel AR yang oleh sekjen FUI telah didaulat menjadi salah-satu kandidat dari tiga orang capres syari’ah itu, berkesempatan menyampaikan ‘wejangan’nya yang ditujukan khusus bagi presiden SBY (yang menurut berita yang tersiar, presiden saat itu memang tengah ada di dalam istana) agar pemerintah jangan bersikap mengadu-domba umat Islam sementara pemerintah sendiri selalu berusaha meng’aman’kan kepentingannya sendiri tanpa memperdulikan hak rakyat serta kewajibannya terhadap rakyat, selain itu wakil amir MMI tersebut mengharapkan pemerintah untuk segera menangani dan menyelesaikan kasus-kasus yang berkaitan dengan terorisme yang ujung-ujungnya acapkali selalu meng’kambing-hitam’kan para ustadz dan umat Islam yang mencoba mengupayakan penegakan syari’at Islam.

Tepat satu jam setelah diterima penghuni istana, para pemimpin organisasi tersebut pun bergabung kembali dengan jama’ah yang masih loyal menanti komando berikutnya hingga aksi kolosal tersebut benar-benar berakhir di bentangan waktu yang sudah menunjuk ke pukul 20.30 wib.

Perjuangan hari ini sekilas memang tampak sudah berakhir, namun perjuangan sesungguhnya baru saja  dimulai. Oleh karena itu, umat Islam harus bersegera mempersiapkan diri dengan segala bentuk kemampuan yang dimiliki untuk ‘membersihkan’ tanah-air dari para komprador imperialis-kapitalis yang berselera untuk menancapkan taring-taring syetan mereka serta hegemoni mereka di bumi jihad Indonesia. Seperti yang telah Allah Ta’ala ingatkan dalam 
QS. ash-Shaff : 8, yang artinya:
Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya". 

Demikian juga dengan yang Allah Ta’ala firmankan, “Adapun orang-orang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para kaum muslimin) tidak melaksanakan apa yang diperintahkan Allah itu (tolong-menolong sesama muslim), niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.”

Seperti yang sudah kita saksikan; gaung revolusi telah terdengar, jalan untuk berjihad fi sabilillah pun telah terbentang luas, bukankah kita sebagai umat Islam yang sangat mencintai Allah Ta’ala di atas segala-galanya sangat merindukan kesempatan ini? Bukankah ini yang selalu kita bicarakan di majelis-majelis ilmu, di mimbar-mimbar jum’at, di kancah-kancah pertemuan umat? Bukankah ini yang selalu dirindukan para aktivis Islam dalam bukti cintanya kepada khairuddin ini?
Wahai mujahid wal mujahidah, sambutlah seruan mulia ini hingga kejayaan sesungguhnya layak kita rebut: Isy Kariman Au Mut Syahidan, Allahu akbar!!!” 


Kutipan :
Ukasyah / ghomidiyah / arrahmah
Senin, 2 April 2012 19:45:35

Radikalisme Ormas Melunturkan Rasa Nasionalisme?*

Ustadz Irfan S ‘Awwas
(Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin)

Di Indonesia, radikalisme dan nasionalisme adalah dua istilah yang eksistensinya telah didahului oleh proses sejarah. Radikalisme dalam pengertian politik adalah orientasi politik mereka yang menghendaki perubahan revolusioner dalam pemerintahan dan masyarakat. Karena itu, kolonial Belanda yang menjajah Indonesia selama 350 tahun, memosisikan semua gerakan noncooperative sebagai anggota perusak, kelompok nonloyalis, ekstrimis dan radikalis.

Bung Karno dituduh kelompok radikal oleh Belanda. Pejuang Palestina dituduh radikal bahkan teroris oleh agresor zionis Israel. Begitupun, pejuang Thaliban dituding sebagai kelompok radikal atau teroris oleh Amerika. Menuduh ormas-ormas Islam sebagai kelompok radikal berdasarkan stigma global, adalah kezaliman.

Menggunakan isu terorisme atau radikalisme untuk memecah‑belah umat Islam melalui kategorisasi sektarianisme seperti di atas jelas kezaliman. Karena, radikalisme pada dasarnya tidak mempunyai agama. Juga, bukan merupakan identitas suatu ideologi. la bisa berada di berbagai ruang. Kita bisa menemukan radikalisme pada tubuh militer, pada komunitas keagamaan, ideologi sekuler, kaum liberal dan demokrasi.

Menyatukan kata radikalisme atau terorisme dengan Islam sehingga menjadi radikal Islam atau teroris Islam, merupakan radikalisme dan terorisme yang sebenarnya. Karena radikalisme maupun terorisme bukanlah Islam. Sebagaimana juga menyatukan kata moderat atau liberal dengan Islam, itu bukanlah Islam. Karena, setiap istilah yang disatukan dengan Islam seperti di atas, akan berupaya melakukan identifikasi berdasarkan karakteristik masing-masing gerakan atau orientasi ideologinya. Al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah Saw. tidak pernah membuat identifikasi adanya Islam moderat, Islam radikal, ataupun Islam liberal.

Akar radikalisme bisa bermacam‑macam. Bisa disebabkan nafsu berkuasa, ketidakadilan, atau diskriminasi yang dialami sekelompok orang. Radikalisme yang didasarkan ideologi tertentu tidak lebih berbahaya dibandingkan radikalisme yang dilahirkan militerisme yang dilandasi nafsu berkuasa. Tidak lebih berbahaya dibanding radikalisme demokrasi, radikalisme budaya, etnik dsbnya. Bahkan di masa sekarang, radikalisme atau terorisme bisa dilakukan oleh negara ataupun orang per orang mnelalui teknologi.

Radikalisme pada komunisme akan semakin dahsyat bila berbaur dengan militerisme. Seperti yang pernah kita alami pada 1965‑1966. Radikalisme yang bersemayam pada kelompok zionis akan semakin berbahaya setelah ia bersentuhan dengan militerisme sebagaimana dilakukan Israel terhadap bangsa Palestina, Amerika terhadap Iraq, Uni Soviet terhadap Afghanistan.

Di Indonesia, radikalisme ideologi pernah dialami saat PKI memberontak, 1966. Radikalisme demokrasi, terjadi pada kasus pemekaran wilayah di Medan yang dengan teriakan hiteris membunuh Ketua DPRD di ruang parlemen. Kasus Sampit, beberapa tahun yang lalu adalah contoh radikalisme etnis. Radikalisme sparatis di Indonesia seperti kerusuhan OPM di Papua, Aceh, juga RMS di Maluku.

Di negara-negara berlabel demokrasi, radikalisme bahkan lebih jahat daripada yang terjadi di negeri kita. Presiden Prancis dari Partai Konservatif Nicolas Sarkozy melarang wanita muslimah mengenakan jilbab dan burqa, karena dianggap bertentangan dengan nilai-nilai sekuler Prancis. Pemerintah Swiss menunjukkan kebencianya terhadap Islam secara radikal, dengan melarang adanya menara masjid supaya suara adzan tidak terdengar keluar masjid.

Sebelum Prancis, Jerman ‘lebih maju’ lagi. Tahun 2007, Pengadilan administratif Jerman mengesahkan larangan mengenakan jilbab di wilayah North Rhine-Westphalia. Sebelumnya, pengadilan yang sama juga memutuskan untuk mendukung larangan berjilbab. Dari 16 negara bagian di Jerman, delapan negara bagian menyatakan melarang jilbab. Bahkan Belanda mengesahkan sebuah undang-undang yang melarang menyembelih binatang tanpa dibius, yang sesuai prinsip memotong hewan secara Islam. Bukankah contoh di atas membuktikan kebencian kaum sekuler terhadap Islam ditunjukkan secara radikal dan anarkis?

Dampak buruk dari wacana stigmatisasi ini, suasana saling curiga bahkan adu domba di antara warga masyarakat terasa sekali. Orang-orang barat menghadapi Islam secara biadab dan paranoid. Jilbab dan menara masjid saja ditakuti melebihi ketakutannya terhadap bom Hirosima dan Nagasaki. Bahkan jenggot saja dianggap dapat meruntuhkan kekuasaan negara, sehingga muncul istilah jahat, jenggot teroris, preman berjubah.

Oleh karena itu, jika sekarang rezim SBY di era reformasi ini, memosikan ormas agama yang menghendaki perubahan reformatif dan ideologis dianggap radikal yang dapat melemahkan rasa nasionalisme, hal itu sangat berlebihan. Sama saja menganggap kucing sebagai harimau. Apakah berarti kekuatan kolonialis dan imprialis sedang mengcengkeram taringnya di NKRI?

Radikalisme dan Nasionalisme
Lalu, bagaimana dengan nasionalisme? Berdasarkan kamus bahasa Indonesia, nasionalisme berarti perasaan cinta bangsa sendiri.  Inti dari nasionalisme adalah menempatkan masalah bangsa dan negara di atas masalah pribadi, masyarakat, maupun agama. Nasionalisme juga berarti bagaimana melihat masyarakat Indonesia sebagai bagian keseluruhan atau kesatuan.

Adanya mafia anggaran, pesta pora mafia proyek, rekening gendut para penguasa, merajalelanya aji mumpung, pengrusakan lingkungan (illegal logging), kelompok-kelompok masyarakat yang beringas sehingga tidak segan-segan berkelahi antar kelompok bahkan bila perlu dengan aparat penegak humum. Apakah mereka dapat disebut berjiwa nasionalis?

Pejabat-pejabat korup juga berkelompok ketika merampok uang negara, kelompok tersebut tidak pernah melakukan gerakan fisik secara radikal tetapi aksi vokalnya sangat radikal terutama koruptor yang anggauta DPR. Kelompok inilah yang paling berbahaya; selalu berteriak-teriak tentang pentingnya Nasionalisme, tetapi disisi lain merampok uang negara sehingga menyengsarakan rakyat. Anggota parpol juga ikut menjarah uang negara untuk menghidupi partainya. Apakah mereka juga disebut nasionalis NKRI?

Di Indonesia, semangat nasionalisme berarti memahami dan menerapkan nilai-nilai Pancasila sebagai filosofi dan ideologi negara. Sila pertama Pancasila berbunyi: “Ketuhanan YME”, yang juga tercantum dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 1 sebagai dasar negara. Pertanyaannya, bagaimana persepsi kaum nasionalis terhadap sila pertama Pancasila ini?

Profesor Hazairin, SH menafsirkan ps 29 ayat 1 UUD ’45 itu, bahwa di negara yang berdasarkan Ketuhanan YME tidak boleh ada UU atau aturan yang bertentangan dengan agama. Apakah kaum nasionalis termasuk menyetujui penafsiran Hazairin ini? Lalu bagaimana dengan kenyataan di atas? Inilah dilema kehidupan berbangsa di Indonesia. Benarlah firman Allah:
“Jika Kami berkehendak menghancurkan suatu negeri, maka Kami jadikan orang-orang yang suka berbuat durhaka di negeri itu sebagai pemimpin, lalu pemimpin itu berbuat kerusakan di negerinya. Akibat perbuatan rusak pemimpin mereka, maka turunlah adzab kepada mereka dan Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (Qs. Al-Israa’, 17:16

Jadi, eksistensi pemimpin jahat yang tidak peduli nasib rakyatnya, koruptor, ahli selingkuh, ahli maksiat, sesungguhnya merupakan hukuman bagi bangsa yang tidak mau tunduk pada syari’at Allah Swt.

Korban Terjemah Harfiyah Al-Qur’an
Akhir-akhir ini berkembang opini, Indonesia hari ini seakan menjadi zona terbuka bagi kuliah kekerasan yang bersumber dari Kitab Suci. Dengan proyek deradikalisasi, umat Islam telah disandera dengan stigma radikal, tapi malah membebankan tanggung jawab berat ini pada tokoh agama.

Adalah satu tragedi jika rakyat yang berorientasi pada penegakan syari’at Islam di lembaga Negara dituding sebagai kelompok radikal. Sama tragisnya bila Kitab Suci Al Qur’an diposisikan sebagai pemicu radikalisme.
Munculnya gagasan deradikalisasi agama akhir-akhir ini, dan kemudian dilembagakan menjadi BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), sebenarnya berangkat dari apriori ini. Namun, Ustadz menemukan fakta sebaliknya. Bukan Al-Qur’an yang memicu radikalisme, melainkan terjemah harfiyah Al-Qur’an yang paling berjasa menumbuh kembangkan bibit radikal.

Kesimpulan ini, tentu saja bukan tanpa hujjah. Telaah dan koreksi yang dilakukan Amir Majelis Mujahidin, Ustadz Muhammad Thalib, dibantu asisten penerjemahnya Slamet Suripto, terhadap karya puluhan ulama, yang telah beredar jutaan eksemplar selama 45 tahun ini, dan kita yakini sebagai suatu kebenaran, memang luar biasa sulitnya. Bagai menarik helai rambut dalam tumpukan tepung. Hasilnya, adalah terbitnya Al Qur;an Tarjamah Tafsiriyah ini yang kami sebut karya monumental.

Dalam kesempatan ini, kami akan memberikan beberapa contoh koreksi yang diharapkan dapat memberikan pemahaman yang komprehensif dan mencegah timbulnya salah tafsir tentang jihad dan terorisme.
Pertama, hubungan antar umat beragama,  
Qs. Al-Baqarah, 2:191
“Wahai kaum mukmin, perangilah musuh-musuh kalian di mana pun kalian temui mereka di medan perang dan da­lam masa perang. Usirlah musuh-musuh kalian dari negeri tempat kalian dahulu diusir

Qs. At-taubah (9): 5
Tarjamah Harfiyah Depag/Kemenag:  
Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi maha Penyayang.

Kalimat ‘bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka’, seolah-olah ayat ini membenarkan untuk membunuh musuh di luar zone perang. Hal ini, tentu sangat berbahaya bagi ketenteraman dan keselamatan kehidupan masyarakat. Karena pembunuhan terhadap musuh di luar zone perang sudah pasti menciptakan anarkhisme dan teror; suatu keadaan yang  tidak dibenarkan oleh syari'at Islam.

Maka Tarjamah tafsiriyahnya:  

„Wahai kaum mukmin, apabila bulan-bulan haram telah berlalu, maka umumkanlah perang kepada kaum musyrik di mana saja kalian temui mereka di tanah Haram. Perangilah mereka, kepunglah mereka, kuasailah mereka, dan awasilah mereka dari segenap penjuru. Jika kaum musyrik bertaubat, lalu melakukan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang kepada semua makhluk-Nya.

Tarjamah tafsiriyah ini membuktikan bahwa tindakan radikal maupun teror yang banyak terjadi akhir-akhir ini, bukan dipicu ayat Al Qur’an, melainkan terjemah harfiyah terhadap ayat di atas; dan hal itu bertentangan dengan jiwa Al Qur’an yang tidak menghendaki tindakan anarkhis. Dan para pelakunya telah menjadi korban terjemah yang salah ini. Ketika Rasulullah Saw dan kaum Muslimin di Madinah, beliau hidup berdampingan dengan kaum Yahudi, Nashrani, Musyrik dan kaum tidak beragama, sepanjang mereka tidak mengganggu Islam. Apa yang akan terjadi sekiranya Rasulullah memerintahkan pengamalan ayat tersebut sebagaimana terjemahan Al Qur’an dan Terjemahnya itu.

Kedua, tukar menukar istri, Qs. An-Nisa’ ayat 20:
Terjemah harfiyah Depag: 
“Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain…,” Dijelaskan dalam foot note, mengganti istrimu dengan istri yang lain, maksudnya ialah: menceraikan isteri yang tidak disenangi dan kawin dengan isteri yang baru.

Barangkali penerjemah kesulitan membedakan antara status istri dan perempuan dalam logika bahasa Indonesia. Bukankah istri adalah perempuan bersuami? Apakah Islam atau hukum Negara membolehkan mengawini perempuan bersuami, sehingga terjadi poliandri, satu istri dua suami? Kemudian kata mengganti berarti menukar dengan yang lain. Mustahil Islam membenarkan seorang suami menukar istrinya dengan istri orang lain.

Terjemahan harfiyah  ini belum pernah direvisi sejak 45 tahun yang lalu, malah pada terbitan 2010 foot notenya dihilangkan. Dan terjemahan yang sama juga terdapat pada Al Qur’an dan Maknanya yang disusun Prof. Dr. M Quraish Shihab. Malah lebih vulgar, “Jika kamu ingin mengganti pasangan (istri) dengan pasangan yang lain..”.

Tarjamah tafsisiyah: “Wahai para suami, jika kalian ingin menceraikan istri kalian, lalu menikah dengan perempuan lain….” Terjemah ini pasti tidak menimbulkan salah paham.

Ketiga, menggauli mantan istri, 
Qs. Al-Ahzab ayat 51:

Dan siapa-siapa yang kamu ingini untuk menggaulinya kembali dari perempuan yang telah kamu cerai, maka tidak ada dosa bagimu….” (Qs. Al-Ahzab, 33: 51).

Kalimat ‘Dan siapa-siapa yang kamu ingini untuk menggaulinya kembali dari perempuan yang telah kamu cerai, maka tidak ada dosa bagimu,’ pada terjemah harfiyah di atas bisa menyesatkan. Sebagai pengamal Al-Qur’an paling sempurna, Nabi Saw. tidak pernah menceraikan istrinya, maka mustahil beliau menggauli perempuan yang telah dicerai, apalagi tanpa rujuk pula.

Terjemah harfiyah di atas bertentangan dengan fakta sejarah dan akhlak Nabi Saw yang terpuji. Pada edisi revisi berubah menjadi, “Dan siapa yang kamu ingini untuk menggaulinya dari istri yang telah kamu sisihkan, maka tidak ada dosa bagimu.

Apakah revisi ini hanya redaksional, lalu terjemah mana yang boleh digunakan, apakah dua-duanya boleh? Sebenarnya ayat ini hanya berkaitan dengan kebebasan Nabi saw. untuk menetapkan jadwal giliran bermalam pada istri-istri beliau.
Tarjamah Tafsiriyahnya: 

Wahai Nabi, engkau boleh menangguhkan giliran bagi istrimu mana saja yang engkau kehendaki. Engkau boleh mendahulukan giliran bagi istrimu mana saja yang engkau kehendaki. Kamu tidak berdosa meminta penukaran jadwal giliran bermalam kepada siapa saja di antara istrimu.

Keempat, perempuan telanjang,  
Qs. An-Nur, 24:60 :
Terjemah Harfiyah Depag:  
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka….”

Dalam foot note dijelaskan, menanggalkan pakaian maksudnya: pakaian luar yang kalau dibuka tidak menampakkan aurat. Dalam bahasa Indonesia, kata menanggalkan pakaian berarti telanjang; sedang aurat berarti kemaluan. Apakah benar ayat ini membolehkan perempuan menopause telanjang di depan umum, hanya mengenakan BH dan celana dalam? Na’udzubillahi min dzalik
Tarjamah Tafsiriyahnya:  

Perempuan-perempuan yang sudah tidak haidh dan tidak lagi ingin berhubungan seksual, maka mereka tidak berdosa melepaskan kerudung pelengkap pakaian mereka, selama kepala, leher dan dada tetap tertutup. Tetapi jika mereka tetap mengenakan kerudung pelengkap, hal itu lebih baik. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui niat mereka.

Ilusi Sekularisme
Sistem hukum dan perundang-undangan sekuler yang diterapkan pemerintah, untuk menegakkan keadilan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, hanyalah ilusi. Terjadinya pembiakan kriminalitas, disharmonisasi kehidupan, dekadensi moral serta pembusukan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, membuktikan bahwa hukum sekuler tidak mampu memberikan pengayoman, ketentraman, keadilan dan rasa aman kepada masyarakat. Kasus korupsi sudah lama coba diatasi dengan pendekatan sekularistik, secara formalitas dan legalitas, tetapi mengabaikan kenyataan dalam masyarakat bahwa kejahatan kian meluas, penyalahgunaan jabatan, mafia dan demoralisasi hukum merajalela.

Melalui perangkat normatif seperti lembaga hukum, kepolisian, kejaksaan, kehakiman, lembaga Satgas hukum, pengacara dll, kaum sekuler merasa yakin dapat mengatasi problem kehidupan. Karena itu, dalam urusan publik sekularisme menolak intervensi hukum Allah, tidak peduli dengan sepak terjang dan segala hal yang dapat meruntuhkan moral dan mental manusia, sebagaimana yang menjadi larangan keras dalam hukum Allah. Seperti khamer yang dapat merusak akal, kebebasan seksualitas yang merusak moral dan rasa tanggungjawab manusia, perjudian yang mendorong manusia hidup boros dan hura-hura dan menimbulkan mental curang. Semua perbuatan dosa ini dapat menyuburkan tindak pidana korupsi yang oleh sekularisme tidak diberantas secara formal.

Kekuatan yang dapat menanamkan kontrol pribadi yang dibutuhkan manusia, mengendalikan dirinya tanpa intervensi orang lain tidak dimiliki sekularisme. Sebab sekularisme tidak percaya dengan Tuhan dan akhirat, yang dalam hukum Allah dijadikan sebagai pokok pangkal mengendalikan jiwa dan akal manusia agar tidak berbuat dosa apapun.

“Wahai Muhammad, katakanlah kepada manusia, “Yang diharamkan oleh Tuhanku adalah semua perbuatan keji yang tampak maupun yang tersembunyi, perbuatan dosa, perbuatan zalim, melanggar hak orang lain dengan dalih yang tidak benar, dan menyekutukan Allah; sedangkan Allah tidak menurunkan pembenaran atas perbuatan-perbuatan itu. Wahai manusia, kalian mengatakan sesuatu atas nama Allah, padahal sebenarnya kalian tidak mengetahui hal itu.” (Qs. Al-A’raf, 7:33)

Syari’ah Islam tidak hanya berbicara masalah hukum dan hukuman, melainkan juga berfungsi untuk membimbing, mengayomi, menjamin keselamatan dan keamanan serta kesejahteraan manusia, baik sebagai individu, masyarakat, bangsa dan Negara. Mengapa bangsa Indonesia tidak kembali kepada Islam yang rahmatan lil Alamin, dan tidak hanya memperlat Islam untuk meneguhkan eksistensi diri dan membersihkan diri dari rasa malu pada manusia?

Jogjakarta, 28 Maret 2012
------------------------------------------------
*) Disampaikan dalam Sarasehan bertema “Meningkatnya Radikalisme Ormas akan Melunturkan Rasa Nasionalisme Bangsa” yang diselanggarakan oleh Pusat Kajian Transformasi Sosial Universitas Airlangga, Surabaya, 29 Maret 2012.


Kutipan :
Ukasyah / arrahmah
Senin, 2 April 2012 19:23:31

Demokrasi Membuat MK seperti Tuhan

KH A. Cholil Ridwan
Ketua Majelis Ulama Indonesia

Demokrasi, ibaratnya seperti khamr. Ada manfaatnya, tetapi kemudharatannya jauh lebih besar sehingga diharamkan. Demokrasi membuat dakwah menjadi lebih bebas, tidak seperti di era Orde Baru. Demokrasi juga memberi ruang yang lebih leluasa bagi kaum muslimin untuk menjalankan syariat Islam,  walaupun masih lebih banyak pada ajaran yang bersifat individu.

Artikulasi politik Islam pun mendapat tempat di alam demokrasi, sehingga ulama seperti H Muhammad Zainul Majdi alias Tuan Guru Bajang yang diusung Partai Bulan Bintang, bisa menjadi Gubernur Nusa Tenggara Barat.

Namun, demokrasi juga menjadikan lembaga-lembaga trias politica eksekutif, yudikatif, dan legislatif, mengambil alih otoritas Allah SWT dengan menerbitkan keputusan yang bertentangan atau menabrak syariat Islam.

Contohnya belum lama ini, pada 17 Februari 2012, Mahkamah Konstitusi membuat putusan yang menyatakan bahwa anak yang lahir di luar pernikahan tetap memiliki hubungan perdata dengan ayah kandung.

Melalui putusan itu, bunyi pasal 43 ayat (1) UU No 1/1974 tentang Perkawinan, diubah menjadi: "Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya".

Putusan itu dilatari permohonan uji materi yang diajukan Aisyah Mochtar alias Machica Mochtar.

Awalnya, penyanyi dangdut asal Sengkang, Makassar, ini menikah siri (tak tercatat di KUA) dengan Moerdiono yang waktu itu Mensesneg RI pada 20 Desember 1993. Dari pernikahan ini lahirlah seorang anak leki-laki yang kemudian dinamai M Iqbal Ramadhan.

Pada 1998, Machica dan Moerdiono bercerai. Juli 2008, keluarga besar Moerdiono mengadakan jumpa pers, yang isinya tidak mengakui Iqbal sebagai anak Moerdiono. Moerdiono sendiri wafat pada 7 Oktober 2011.

Maka pada 2010, Machica menggugat lewat MK untuk mendapatkan pengakuan status hukum anak Iqbal. Gugatan Machica dikabulkan sebagian yaitu perubahan pada pasal 43 ayat (1) UU No 1/1974 tentang Perkawinan. Namun, MK tidak mengubah bunyi Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan yang menyatakan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Meski begitu, putusan MK tersebut telah memberikan jauh lebih banyak dari yang diminta penggugat. Sebab, putusan MK tidak hanya berlaku pada kasus anak Machica Mochtar, tapi juga pada seluruh anak WNI.

Putusan MK bertentangan dengan ketentuan syariat Islam sebagaimana tertuang dalam bunyi asli pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan. Dengan mengubah ketentuan ini, MK telah bertindak sebagai ‘’Tuhan’’. Sebab, hubungan nasab antara ayah dan anak tercipta karena adanya akad nikah. Bukan karena hubungan seksual. Jadi, kalau tidak ada akad nikah maka anaknya disebut anak zina dan tidak memiliki ada hubungan nasab dengan bapaknya.

Konsekuensinya, anak yang lahir di luar perkawinan, tidak memiliki hak waris dan perwalian dari ayah biologisnya. Kalau anak hasil hubungan di luar nikah itu menikah, maka bapak biologisnya tidak sah menjadi wali nikah.

Sejatinya, tidak ada istilah ‘’anak haram’’. Yang haram adalah perbuatan zina ibu dan bapak biologisnya, dan si bapak juga harus dihukum termasuk untuk menghidupi anak hasil perzinahannya.

Zina adalah dosa besar yang hukumannya berat, sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an: ‘’Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap mereka seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman’’ (QS An-Nuur: 2).

Bahkan pelaku zina mukhson (pernah atau berstatus menikah), bila memenuhi syarat pembuktian, hukumannya dirajam sampai mati. Sewaktu kuliah di King Saud University, Penulis pernah menyaksikan pelaksanaan hukum rajam di areal Masjid Babussalam, Makkah. Mengerikan, dan menimbulkan efek jera bagi manusia yang menyaksikannya.

Sebaliknya, putusan MK tadi sangat potensial menjadi pemicu perzinahan. Sebab, pihak perempuan akan merasa ‘’ringan’’ berzina karena anak yang lahir akan menjadi tanggungjawab pasangan zinanya. Putusan MK ini akan menggampangkan zina.

Oleh karena itu, MUI akan mengajukan judicial review terhadap putusan MK yang mengubah UU Perkawinan. Bahkan kalau belum berhasil, MUI akan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas kasus ini.

(disarikan dari Kultum Ba’da Dzuhur di Masjid Al Furqon Kramat Raya 45 Jakarta Pusat Rabu 28/3/2012 oleh Nurbowo)


Kutipan :
suara islam online
Kamis, 29 Maret 2012 | 13:46:36 WIB 

Tenggelamnya Cak Nur, Terbitlah "Gus Hamid"

Sekitar 150 hadirin, Ahad (01/04/2012) pagi meghadiri peluncuran buku berjudul “MISYKAT: REFLEKSI TENTANG ISLAM, WESTERNISASI, DAN LIBERALISASI” karya Dr. Hamid Fahmi Zarkasy  di Majid Darussalam Kompleks Griya Tugu Asri, Cimanggis, Depok. Masjid yang terletak di Kota Depok ini memang dikenal sebagai masjid yang sangat aktif dan sering dijadikan acara berkaiatan dengan isu-isu dan pemikiran Islam.


Dr Hamid Fahmi Zarkasy menjelaskan dalam pidatonya bahwa buku ini merupakan kumpulan artikel-artikel dari berbagai media massa yang ia tulis.  Di antaranya kumpulan tulisan di Jurnal ISLAMIA, Harian Republika, Majalah Hidayatullah, Sabili, situs hidayatullah.com dan beberapa media lain.

Buku ini terbitan INSISTS berjumah 300 halaman ini berisi dengan artikel-artikel yang sederhana dan ringkas.  Judul-judul dari buku ini di antaranya; Timur, Barat, Worldview, Sekularisme dsb
“Isinya sengaja dibuat sederhana dalam rangka untuk menyederhanakan berbagai pergolakan pemikiran yang berkembang, terutama pemikiran-pemikiran yang perlu diluruskan menuju aqidah dan pemikiran Islam yang benar, “ ujarnya.

Dr Hamid Fahmi sendiri adalah seorang intelektual sekaligus pewaris Pondok Modern Darussalam Gontor, yang juga anak kandung dari (alm) KH. Imam Zarkasy, salah satu dari tiga pendiri PP Modern Darussalam Gontor.

Di dalam sambutannya, Hamid mengatakan, penerbitan buku ini sebagai sebuah usaha untuk memberikan penjelasan-penjelasan kepada masyarakat terhadap isu-isu yang biasanya dianggap rumit dan susah untuk dipahami tetapi berpengaruh terhadap pemikiran masyarakat. Sehingga jika tidak dipahami dengan baik, maka bisa menimbulkan kerancuan –bahkan—kesesatan dalam aqidah maupun pemikiran. Hal-hal yang ia maksud, antara lain; isu-isu tentang pluralisme, feminisme dan ide-ide kesamaan agama, ide kesetaraa gender, sekularisasi dan sekularisme.

Era Gus Hamid
Sebagai penyunting buku ini, Dr Adian Husaini, yang juga tidak asing dalam dunia pemikiran di Indonesia.  Dalam sambutannya, Dr Adian yang juga penulis tetap di Catatan Akhir Pekan (CAP) hidayatullah.com, mengatakan, Hamid adalah salah satu satu orang yang masuk dalam deretan penulis kolom terbaik di Indonesia saat ini.

Dr Adian menyampaikan penilaian itu buka karena semata-mata dia adalah temannya, tetapi penilaian ini dilakukan karena dirinya pernah menjadi seorang wartawan.
“Dengan demikian saya bisa menyebut ini sebuah kumpulan tulisan yang bisa menyederhanakan pemikiran-pemikiran yang dianggap rumit, “ ujarnya.

Selain itu, Dr Adian Husaini juga beranggapan, terbitnya buku ini sekaligus tanda berakhirnya era “sekularisasi “ yang dikampanyekan oleh mendiang  Cak Nur (Dr Nurcholis Madjid, red).
Adian berharap, agar ide-ide sekularisasi dan sekularisme Nurcholis Madjid yang keliru akan diluruskan oleh ide-ide “islamisasi” yang dibawa oleh Dr Hamid.

“Era Cak Nur sudah selesai, sekarang era nya Gus Hamid, “ ujar Adian.
Adian mengakui, banyak yang mengkritik sebutan Gus terkesan feodal dan kurang tepat digunakan untuk membawa pemikiran Islam. Hanya saja karena Hamid memang anak seorang Kiai jadi ia layak dengan sebutan itu.
“Tapi karena beliau ini memang anak seorang Kiai, jadi layak sebutan itu, “ ujarnya. 
Adian berharap, dengan paggilan yang baru itu, mudah-mudahan beliau lebih mudah dikenal oleh masyarakat.*/Dzikru
Last Updated on Sunday, 01 April 2012 12:43 Sunday, 01 April 2012 12:27
Written by Administrator  
 
Kutipan : 
INSISTS. Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations]. 
02 april 2012

Gus Hamid : kaum Liberal lakukan proyek penerjemahan buku ke dunia Islam

JAKARTA  - Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) menjelaskan bahwa kelompok liberal internasional sedang memiliki proyek besar menerjemahkan buku-buku liberal untuk konsumsi dunia Islam berdasarkan pengakuan anggota Rand Coorporation.

“Saya bertemu langsung dengan orang Amerikanya  sendiri, Angle Rabasa orang Rand Coorporation. Ia cerita ke saya,  saya bertanya ke dia apakah kamu tahu Lib for All ?, dia katakan, bahwa ia mengetahui , dia menjelaskan bahwa itu organisasi penasehatnya  Gus dur di Indonesia.” Kata DR.Hamid Fahmi Zarkasyi saat dikonfirmasi arrahmah.com di Jakarta, beberapa waktu lalu (27/3).

Menurut pria yang akrab dipanggil Gus Hamid ini, anggota Rand coorporation itu juga menjelaskan Lib for All dimiliki oleh seorang Yahudi kaya dan hendak melakukan proyek penerjemahan tersebut.
“Saya sempat bertanya, siapa pemiliknya dan apa yang mereka kerjakan, Ia menjelaskan pemiliknya sepertinya seorang kaya Yahudi. Dan mereka ingin menerjemahkan buku-buku dari Indonesia yang moderat, dalam kurung disini liberal, menerjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Islam dan dunia Islam.” Paparnya.

Terkait istilah moderat, ia menjelaskan sejenak bahwa istilah tersebut merujuk kepada buku Islam and civil Society karya Cherryl Benard, yang menyatakan bahwa Islam terbagi empat, fundamentalis, tradisional, modernis, dan sekuler . Modernis ini yang liberal. Makanya strategi yang ia ambil adalah mendukung yang moderat, menghantam yang fundamentalis, dan memecah-belah fundamentalis dengan tradisional.

“ Dan saya tahu strategi dalam buku ini yang mereka terapkan di Indonesia.” Jelas Gus Hamid.
Gus Hamid berkeyakinan, kemungkinan besar buku-buku itu akan diterjemahkan ke dalam bahasa arab dan di kemudian hari kembali ke  Indonesia.
“Nanti kalau sudah pakai bahasa arab, kembali ke Indonesia dianggap seolah-olah seperti kitab kuning, padahal liberal”tukasnya sembari tersenyum.

Oleh karena itu, MIUMI juga akan melakukan perlawanan intelektual untuk menghadapi buku-buku liberal dengan menerjemahkan buku-buku pemikiran Islam dan KeIslaman yang membantah pemikiran liberal  ke dalam bahasa international.

“Kita akan menulis dalam bahasa Arab dan Inggris, kita akan menerjemahkan yang sudah ada dan membuat buku yang baru. Sekarang ini kita juga sudah diminta membuat buku tentang Islam pasca Reformasi di Indonesia, ternyata mereka butuh itu”pungkas Gus Hamid.

Sebelumnya, Gus Hamid menjelaskan dalam forum pertemuan di kantor MUI pusat, bahwasanya Indonesia merupakan sasaran terbesar proyek liberalisasi pemikiran dan agama. Begitu besarnya hingga buku-buku di Indonensia akan diterjemahkan dan menjadi rujukan di dunia Islam.


Kutipan :
Bilal / arrahmah
Senin, 2 April 2012 13:59:52

Fahmi Salim: Kaum Liberal Merusak Islam dengan Cara Barat dan Kristen

JAKARTA – Saat pertama kali Al-Qur’an muncul, masyarakat jahiliyah banyak menantang dan menentang. Kondisi tersebut juga terjadi pada masa sekarang ini, di mana banyak yang menantang dan menentang. Mereka meragukan orisinalitas serta konsep-konsep Al-Qur’an. Tak heran terjadi benturan-benturan di sepanjang zaman.

Hal itu diungkapkan Wakil Sekjen Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI), Fahmi Salim MA dalam acara Kajian Islam bertema “Kontroversi Studi Al-Qur’an Timur dan Barat” di Jakarta, Sabtu (31/3/2012).

“Mereka yang menantang dan menentang itu menolak diintervensi oleh Tuhan. Mereka berpikir, jika ingin maju, maka harus berkiblat ke Barat,” jelasnya di acara yang diselenggarakan oleh Majelis Dai Paguyuban Ikhlas itu. Majelis ini dipimpin oleh dai kondang Ustadz Drs H Ahmad Yani.

Narasumber lain dalam acara yang berlangsung di Gedung Ikhlas, jalan Fachrudin no 6, Tanah Abang, Jakarta Pusat itu adalah Saifuddin Zuhri (dosen Institut PTIQ Jakarta), DR Abdul Muid Nawawi dan Mulyana Lc.
Para penentang Al-Qur’an ini, lanjut Fahmi, ingin memaksa umat Islam untuk menjustifikasi isu Hak Asasi Manusia (HAM), gender, pluralisme, dan juga faham-faham humanisme. Oleh mereka, Islam ditafsirkan dari faham-faham Barat, bukan sebaliknya. Inilah yang melahirkan Islam Liberal, di mana mereka melihat Islam dari perangkat ilmu-ilmu humaniora, lebih tepatnya ilmu dari dunia Barat. “Tak heran pola pikir mereka jadi salah dan kacau,” papar penulis buku Kritik terhadap Studi Al-Qur'an Kaum Liberal itu

Saat ini, lanjut Fahmi, penafsiran-penafsiran yang dilakukan oleh para penantang dan penentang Al-Qur’an ini melahirkan hermeneutika, yakni membaca dan memahami kitab suci dengan cara mendudukkannya dalam ruang sejarah, bahasa, dan budaya yang terbatas. Meski dikemas sedemikian menarik seolah-olah ilmiah, hermeneutika bertentangan dengan konsep Islam karena dikembangkan oleh kaum sekular barat. “Ilmu ini dikembangkan oleh peradaban Barat sekuler dan tidak sejalan dengan konsep tafsir atau takwil dalam khazanah Islam,” tegasnya.

Fahmi mengingatkan, pangkal kesesatan orang-orang berfaham Islam Liberal adalah memandang Al-Qur’an bukan sebagai kitab suci wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada Rasulullah SAW. Mereka memandang Al-Qur’an sebagai sebuah teks sejarah, teks budaya dan teks bahasa. "Pandangan rusak seperti itu hanya mungkin terjadi jika kita umat Islam telah menganggap Islam itu sebagai agama budaya dan sejarah (cultural and historical religion) seperti halnya agama Kristen", tegas Fahmi Salim.
 
Oleh karena dianggap sebagai teks sejarah belaka, maka tak heran hukum-hukum Islam yang ada sudah dianggap tidak tepat lagi pada masa kini. Inilah yang membuat Islam didekonstruksikan oleh mereka dan banyak orang yang menjadi bimbang, dan kemudian sesat.

“Praktik hermeneutika ini tebang pilih. Mereka hanya menafsir ayat-ayat untuk pranata sosial, seperti ayat tentang jilbab, hak waris, poligami, perkawinan sejenis, perkawinan beda agama, judi, maupun minuman keras. Ini jelas terbaca, bahwa mereka punya agenda untuk mendekonstruksi hukum Islam dan ingin mengatakan, Islam jangan mengatur hidup manusia,” terang Fahmi.

Pegiat-pegiat HAM, feminisme, humanisme, dan liberal yang mendekonstruksi hukum Islam ini membuat umat Islam masa kini galau. Mereka menjadi krisis identitas. Sementara teori-teori dari hermeneutika yang dikembangkan ini dianggap masuk akal, mau tak mau umat jadi terbawa ke arah kesesatan.

“Padahal setiap yang dibawa oleh peradaban Barat harus diseleksi, difilter, apakah konsep sosial di Barat sesuai dengan masyarakat Islam. Yang terjadi justru sebaliknya orang Islam malah menyeleksi sesuai dengan standar Barat. Kalau sesuai, dipakai. Jadi Islam dijalankan dengan sesuai keinginan manusia”.

Padahal umat Islam mengenal otoritas. Allah adalah otoritas kita. Jika kita menentang otoritas, itu sama saja kita menentang Allah. Otoritas Allah diturunkan pada Rasulullah. Lewat Rasulullah, ilmu Allah diturunkan pada manusia. Intinya, ketika kita bicara agama, maka kita berbicara otoritas. Berbeda sekali dengan Barat yang menentang otoritas. 

Kutipan :
taz/miumi/VoA-Islam
Senin, 02 Apr 2012


MIUMI Bisa Keluarkan Fatwa, MUI Anggap Enteng MIUMI?

JAKARTA  - Jika Majelis Ulama Indonesia (MUI) bertindak lambat atau tidak mengeluarkan fatwa sesat Syi'ah, MIUMI dapat bertindak cepat untuk mengeluarkan fatwa sendiri, mengingat di dalam organisiasi MIUMI terdapat Komisi Fatwa.

KH. Muhyidin Junaidi dari MUI mengaku tidak merasa merasa terancam. “Komisi Fatwa MUI dan MIUMI akan bersinergis. Saya berharap, masing-masing lembaga jangan mengeluarkan fatwa. Lagipula, MIUMI sudah sepakat akan menjaga hubungan dengan MUI. Dan MIUMI tidak akan menimbulkan keresahan dan ketergesah-gesahan, itu kurang bagus."

Ia menyarankan kepada MIUMI, sebagai organisasi baru hendaknya menggarap yang belum digarap, jangan overlapping. Misalnya, membuat pendalaman materi dakwah di pedalaman, atau cara menghadapi Kristenisasi secara umum dan sebagainya.

Jika MIUMI mengeluarkan fatwa? Dikatakan KH. Muhyidin, umat Islam lebih terbiasa dengan fatwa MUI. “MIUMI kan lembaga baru. Fatwa di NU dan Muhammadiyah saja belum tentu diterima secara keseluruhan, tapi kalau fatwa MUI, insya Allah didengar oleh umat Islam. Bolehlah MIUMI think thanknya MUI, ataupun mitra. Saya berharap MUI dan MIUMI saling menguatkan, bukan saling membuka aib."

Seperti diketahui, MUI Jawa Timur telah mengeluarkan Fatwa Sesat Syiah. Sedangkan MUI Pusat terkesan tidak mendukung fatwa MUI Jatim tersebut. Menurut KH. Muhyidin, sejauh yang ia baca, Fatwa MUI Jatim itu (Kesesatan Syiah) adalah lebih kepada Syiah Sampang, tidak jelas, masuk kategori Syiah apa? “Apakah masuk Syiah adhdholah wa mudhillah atau Syiah secara umum. Jadi, tidak bisa digeneralisr, sifatnya lokal.Karena ajaran yang diterapkan sangat jauh berbeda,” dalih Kyai.

Kutipan :
Desastian / VoA-Islam
Senin, 02 Apr 2012

MUI: Fatwa MUI Jatim Bersifat Lokal, Kategori Syiah Sampang

JAKARTA  – KH Muhyidin Junaidi dari MUI mengatakan, pada dasarnya MUI meneriman masukan dari pihak manapun dengan sukarela dan senang hati, terkait materi ataupun fatwa kesesatan sebuah organisasi, khususnya Syiah.

Namun, KH Muhyidin menjelaskan, MUI akan berhati-hati dalam mengeluarkan fatwa. Mengingat, di dunia Internasional, seperti organisasi Konferensi Islam al Rabithah alam al Islami,Majmaul Buhuts dan Ittihad al Jamiah Islamiyah, sampai saat ini belum pernah mengeluarkan fatwa tentang kesesatan Syiah. Karena itu MUI terus melakukan pengkajian dan pendalaman terkait Syiah.

“Kita harus teliti, jangan-jangan fatwa yang akan dikeluarkan nanti akan menimbulkan pro kontra. Kita tahu , di Syiah ada banyak kelompok. Jadi, kalau ada yang mengatakan Syiah sesat, maka pertanyaanya, Syiah yang mana? Kita perlu melokalisir, mendefinisikan kelompok-kelompok Syiah yang ada, sehingga tidak men-generalisir bahwa seluruh Syiah itu sama,” kata Kyai asal Bogor itu.

Lebih lanjut KH Muhyidi mengatakan, MUI belum tahu secara pasti, dari kelompok Syiah mana mereka yang dikatakan sesat. “Sebaiknya, jangan mengandalkan masukan dari satu pihak. MUI perlu mendalami kembali, apa betul data yang disampai itu sesuai dengan kenyataan di lapangan. Maka, perlu ada tim khusus tentang studi Syiah secara menyeluruh,” tandas Kyai.

Kehadiran MIUMI mendapat apresiasi dari KH. Muhyidin Junaidi. “MIUMI bagus, bisa menjadi pelengkap MUI. Bahkan boleh dibilang sebagai think thanknya MUI.

Ketika ditanya, apakah di kalangan anggota MUI terbelah dan berbeda pendapat dalam menyikapi Syiah? Kyai Muhyidin membantahnya. “Oh tidak! Namun sebelum dikeluarkan fatwa yang sifatnya mengikat, perbedaan itu biasa dan masing-masing ulama punya argument. Sama halnya dengan mazhab yang empat, masing –masing ulama  punya pendapat. Rujukannya tetap Quran dan hadits, tapi dalam penafsiran bisa saja berubah.”

Seperti diketahui, MUI Jawa Timur telah mengeluarkan Fatwa Sesat Syiah. Sedangkan MUI Pusat terkesan tidak mendukung fatwa MUI Jatim tersebut. Menurut KH. Muhyidin, sejauh yang ia baca, Fatwa MUI Jatim itu (Kesesatan Syiah) adalah lebih kepada Syiah Sampang, tidak jelas, masuk kategori Syiah apa? “Apakah masuk Syiah adhdholah wa mudhillah atau Syiah secara umum. Jadi, tidak bisa digeneralisr, sifatnya lokal.Karena ajaran yang diterapkan sangat jauh berbeda,” dalih Kyai.

Ketika ulama Sunni dari Iran datang ke MUI, seluruh pimpinan dan komisi Fatwa MUI berdiskusi. “Suasananya cair. Meski, ada di kalangan sunni yang radikal menyikapi Syiah,” katanya.

MUI Bantah Ada Perwakilan Syiah
Saat ditanya, apakah MUI diam-diam bermain mata dengan Syiah? KH. Muhyidin dengan tenang menjawab, “Saya sangat tidak setuju dikatakan bermain mata. Di MUI, kita berjuang untuk kepentingan umat, bukan yang lain. Apalagi kita tidak digaji,” ujar Kyai. 

KH. Muhyidin Junaidi memastikan bahwa tidak ada di MUI satu pun yang mewakili Syiah. “Tidak ada Syiah di MUI. Tapi sah-sah saja,  jika warga negara mendirikan organisasi. Itu diatur dalam UUD 45, apalagi menjelang pemilu banyak yang mendirikan ormas.”

MUI menegaskan, pihaknya tengah melakukan kajian mendalam.  Dan MUI pada akhirnya akan mengeluarkan fatwa.  Saat ini sedang dalam proses pengumpulan data yang valid, shahih, hasan, dan gharib, dolla mudhil, dari buku-buku sekian banyak, mengingat ulama Syiah memang senang menulis. Karena itu harus ada tim khusus yang membahas buku-buku tersebut.

KH. Muhyidin merasa cemas dengan kelompok-kelompok yang mencoba melakukan agitasi terkait Syiah. “Kita jangan terpengaruh agitasi kelompok  tertentu, kita harus objektif, netral dan berdarah dingin dan tidak emosional.”

Saat dicecar, apakah yang anda maksud agitasi itu dari kelompok MIUMI? “MIUMI itu baik, memberi masukan kepada MUI. MIUMI adalah cara anak muda yang mengharapkan agar MUI lebih bersemangat, itu biasa,” tukasnya.  

Kutipan :
Desastian / VoA-Islam
Senin, 02 Apr 2012