Front Pembela Islam (FPI) menjadi bulan-bulanan media. Berangkat dari sinisme terhadap FPI, akhirnya pemberitaan yang dilakukan sebagian media menjadi tidak obyektif. Kecuali media Islam, beberapa media menyajikan pemberitaan yang mengarahkan pembacanya pada citra buruk FPI.
Sikap sinis ini semakin kentara ketika media menghadirkan berita yang tidak sama antara badan berita dengan judul. Misalnya, Kompas.com tertanggal 12 februari pukul 12.40 WIB, yang menurunkan berita tentang statemen Din Syamsudin terkait penolakan kehadiran FPI di Kalimantan Tengah. Judul berita yang diturunkan Kompas.com adalah “Din Syamsudin: Tolak Ormas Anarkis”. Isi berita tersebut adalah pernyataan Din Syamsudin yang menolak segala bentuk kekerasan. Tidak ada satu kalimat pun dari Ketua Umum PP Muhammadiyah, di berita itu, yang menyebut “Tolak Ormas Anarkis.”
Pemberian judul di atas menjadi bias karena seolah-olah Din Syamsudin menolak FPI, padahal dalam pernyataannya, Din hanya mengatakan tolak segala bentuk aksi kekerasan yang bisa dilakukan siapa saja. Bisa disimpulkan, Kompas.com sudah melakukan penghukuman terhadap FPI (Trial by The Press) dengan memberikan judul seperti itu. Selengkapnya bisa dilihat http://nasional.kompas.com/read/2012/02/12/12403753/Din.Syamsuddin.Tolak.Ormas.Anarkis.
Lain pula yang dilakukan Vivanews.com. Media ini menurunkan sejumlah berita terkait kehadiran FPI di Kalimantan Tengah namun mendapat penolakan dari masyarakat setempat. Salah satu berita yang cukup bombastis adalah berita dengan judul “Usir FPI karena Warga Dayak Trauma Konflik” tertanggal 14 februari pukul 00:02 WIB.
Dengan judul menggunakan tanda kutip, pembaca disuguhi pernyataan langsung dari seorang pengamat. Redaksi tentu sudah memilih siapa pengamat yang jawabannya sesuai dengan keinginan mereka. Uniknya, ada lead yang memperkuat judul dalam berita itu, “Tak ada terkait agama. Mereka tidak menolak Islam, tapi menolak radikalisme.” Pemilihan lead semacam ini menjadi biasa dilakukan awak redaksi untuk mengarahkan kemana pembaca akan digiring. Selengkapnya bisa dilihat http://nasional.vivanews.com/news/read/287841–usir-fpi-karena-warga-dayak-trauma-konflik-
Detik.com sebagai portal berita internet yang kini dikuasai Transcorp juga tidak kalah menunjukkan sinisme terhadap FPI. Media ini bahkan menghilangkan identitas Habib pada Ketua Umum FPI Muhammad Rizieq Shihab. Di setiap penulisan berita, Detik.com selalu menyebut Ketua Umum FPI Rizieq Shihab. Tidak ada penjelasan mengenai hal ini dari portal berita ini.
Di beritanya lainnya, Detik.com mewawancarai peneliti SETARA Institute yang notabene adalah lawan ideologis FPI. Dalam wawancara itu, FPI digambarkan sebagai organisasi yang kebal terhadap hukum karena merusak tempat-tempat prostitusi , penyebaran miras dan lain sebagainya, namun dibiarkan oleh pemerintah. Statemen peneliti SETARA Institute pun dikutip hanya sebagian oleh Detik.com, karena di akhir badan berita, penulisnya hanya mengutip penggalan kalimat dari berita yang sudah tayang sebelumnya.
Beritanya bisa di lihat http://news.detik.com/read/2012/02/13/020916/1840605/10/insiden-tolak-fpi-di-palangkaraya-bentuk-kekecewaan-pada-pemerintah?nd992203605
Yang harus diperhatikan lebih di Detik.com adalah komentar-komentar dari pembaca yang kebanyakan anonim. Setiap berita menyangkut FPI atau Islam, pasti banyak komentar-komentar sinis, bahkan menghina, yang sepertinya dibiarkan oleh redaksi Detik.com.
Sementara itu, Antaranews.com yang menjadi kantor berita resmi pun menurunkan sejumlah berita yang bisa disimpulkan tidak setuju dengan adanya FPI. Beberapa judul yang ditulis media ini bahkan menunjukkan sikap redaksi yang demikian. Salah satunya adalah berita dengan judul “Warga Dayak Tolak FPI” tertanggal 11 Februari pukul 15:54 WIB. Beritanya http://www.antaranews.com/berita/296896/warga-dayak-tolak-fpi
Antaranews.com rupanya juga menurunkan berita yang sama dengan Kompas.com tertanggal 12 Februari dengan narasumber Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsudin. Berbeda dengan Kompas.com, Antaranews.com tidak mengutip satu kata pun tentang ormas anarkis. Dalam artikel itu, Din Syamsudin menekankan tidak ada agama di Indonesia yang menolak keberagaman.
Bagaimana media massa Islam?
Berbeda dengan media-media massa mainstream, media Islam justru melakukan pembelaan terhadap FPI. Sebut saja eramuslim.com, voa-islam.com, arrahmah.com, hidayatullah.com dan republika.co.id. Sebagian dari media massa itu bahkan menyebut Dayak Kafir untuk menunjukkan sikap redaksi.
Mereka mengutip statemen dari seluruh pengurus FPI, pengamat Islam yang menguntungkan FPI, atau statemen-statemen pejabat negara, dalam hal ini kepolisian, untuk memposisikan FPI sebagai pihak yang tidak dirugikan. Hidayatullah.com bahkan tidak ragu menyebut adanya upaya pembunuhan atas apa yang terjadi pada Sabtu (11/2) yang lalu.
Media ini mengutip pernyataan Wasekjen FPI, KH. Awit Masyhuri yang menyebut ada pihak-pihak yang khawatir kepentingan ekonominya terganggu dengan kedatangan FPI. Menurut Awit, sebulan lalu delegasi warga Dayak Kalteng dari berbagai agama mendatangi DPP FPI di Petamburan untuk meminta bantuan untuk menghadapi arogansi Gubernur Kalteng dan Kapolda Kalteng tentang konflik agraria seperti Kasus Mesuji– Lampung.
Voice of Al-Islam atau VOA-Islam.com lebih keras lagi menyebut Dayak Kafir atas apa yang terjadi dengan FPI. Media ini juga menunjukkan pembelaan terhadap Habib Rizieq Shihab dan seluruh pendukungnya. Hal ini jelas karena posisi media ini adalah sesuai dengan visi dan misinya yang khawatir dengan nasib umat Islam yang semakin termarjinalkan dengan kelompok-kelompok Kapitalis dan Zionis.
Eramuslim.com yang lebih dulu menjadi portal berita dunia Islam juga membela FPI. Ada yang menarik dari tulisan editorial Media Islam Rujukan ini. Editorial berjudul “Mengapa Menolak Habib Rizieq?” mempertanyakan sikap ambivalensi media terhadap pelaku-pelaku kekerasan di tanah air.
Dalam tulisan itu, Eramuslim mengkritisi arti kekerasan yang sering disematkan pada FPI. Padahal, pada kenyataannya, banyak kekerasan-kekerasan yang dialami umat Islam di daerah, justru dilakukan kelompok-kelompok non-muslim, namun hal itu tidak diungkap media-media massa mainstream.
Dalam kerusuhan Madura vs Dayak, Eramuslim.com mengungkit kembali kerusuhan antara Muslim vs Kristen. Selengkapnya bisa dilihat http://www.eramuslim.com/editorial/mengapa-menolak-habib-riziq.htm
Arrahmah.com yang mengusung tagline Berita Dunia Islam & Berita Jihad Terdepan, mengeluarkan sikap redaksi yang keras. Meminjam pernyataan Ketua bidang Nahi Munkar DPP FPI Munarman, media online ini menghalalkan darah kafir harbi yang menghalang-halangi dakwah Islamiyah.
Bahkan, Gubernur Kalimantan Tengah, Agustin Teras Narang, dicap sebagai kafir harbi yang darahnya halal untuk ditumpahkan. Beritanya ada disini: http://arrahmah.com/read/2012/02/11/17991-munarman-kafir-yang-menghalangi-dakwah-adalah-kafir-harbi-halal-darahnya.html
Kebenaran Hakikat vs Kebenaran Prosedural
Dari uraian pemberitaan di atas, terbukti bahwa media-media memiliki banyak kepentingan, bisa ideologis, ekonomi, politik dan lain sebagainya. Awak redaksi akan menentukan seperti apa wajah media tersebut. Seorang muslimkah dia, liberal, agnostik, kejawen dan sebagainya, akan mempengaruhi berita-berita yang disuguhkan.
Pembaca pun hanya menjadi penonton, yang jika tidak hati-hati dan cerdas, akan terhanyut dan terombang-ambing dalam pusaran informasi yang begitu deras dan terbuka. Independensi media massa pun dipertanyakan, jika melihat dari pemberitaan FPI.
Bahkan, media berperan besar dalam menstigmakan FPI sebagai organisasi pro-kekerasan. Bayangkan saja, setiap ada penggerebekan yang dilakukan FPI, maka jurnalis televisi akan selalu hadir. Tayangan video itu lalu disiarkan secara langsung di setiap program berita. Masyarakat pun tercengang dengan apa yang disaksikannya. Jadilah, FPI tertuduh sebagai ormas kekerasan.
Apakah kekerasan hanya dilakukan FPI? Jawabnya tidak. Kita semua tahu bahwa pelaku kerusuhan di daerah banyak juga yang dilakukan oleh non-muslim. Namun, porsi pemberitaannya tidak sama dengan apa yang dilakukan FPI.
Jika kita melihat hakikat yang dilakukan FPI, maka kebenaran yang diusung tidak terbantahkan. Maksudnya begini, siapa pun pasti setuju bahwa minuman keras, prostitusi, perjudian dan sejenisnya adalah tindak kejahatan yang harus diberantas. Tidak perlu ditanya betapa banyak bukti kehancuran akibat perbuatan-perbuatan tersebut. Kecuali bagi penganut adanya kebenaran relatif, maka hal-hal tersebut tentu tidak berlaku.
Apa yang dilakukan FPI secara hakikat adalah benar, karena mereka menghilangkan penyakit sosial masyarakat yang sudah endemik. Kekerasan yang mereka lakukan biasanya menjadi pilihan terakhir, karena adanya kelompok penentang. Pun hingga saat ini, kekerasan itu tidak sampai menimbulkan korban jiwa.
Bandingkan dengan kekerasan di daerah, misalnya Ambon, Poso, Bima, Makassar dan lainnya sebagainya, yang menyebabkan korban meninggal dunia. Kebenaran hakikat yang diyakini FPI bertabrakan dengan kebenaran prosedural yang ditetapkan dalam kehidupan masyarakat.
Ambil contoh kasus Perda Miras yang ramai beberapa waktu lalu. Kementerian Dalam Negeri berdalih Perda-perda Miras bertentangan dengan Keputusan Presiden Nomor 3 tahun 1997. Oleh sebab itu, muncul wacana pencabutan Perda-perda tersebut.
Secara prosedural perundang-undangan, upaya Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi benar untuk mencabut Perda-perda tersebut. Tapi, secara hakikat, dia akan bertabrakan dengan kebenaran yang diyakini umat Islam secara mayoritas.
Inilah contoh kasus yang menyebabkan lahirnya kelompok-kelompok seperti FPI. Selama kebenaran prosedural tidak berdasarkan kebenaran hakikat, maka akan selalu lahir generasi pembela Islam. Dan, bagi mereka yang sungguh-sungguh memerangi FPI dikhawatirkan terjangkit penyakit Islamophobia yang wabahnya sudah mendunia. (*)
Kutipan :
Mohamad Fadhilah Zein
Rabu, 15 Feb 2012