Laman

Rabu, 15 Februari 2012

Ada unsur politis dalam tragedi penyerangan delegasi FPI

JAKARTA (Arrahmah.com) – Penghadangan delegasi FPI Pusat di Bandara Tjilik Riwut, Palangkaraya pada Sabtu (11/2/2012), janggal dan sarat dengan muatan politis. Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI), Habib Muhammad Rizieq Syihab, menganggap ribuan massa penghadang yang mengklaim Suku Dayak tersebut merupakan binaan dari Gubernur Kalimantan Tengah (Kalteng), Teras Narang.

Massa yang mengatasnamakan warga Dayak itu mengepung pesawat Sriwijaya yang di dalamnya ada empat pimpinan DPP FPI diantaranya, Ustadz Sobri Lubis (Sekjen FPI), Habib Muchsin Al- Attas (Ketua DPP FPI), Ustadz Awit Masyhuri (Ketua Bidang Dakwah FPI) dan Ustadz Maman Suryadi Abdurrahman (Panglima Laskar FPI).

Menurut Habib Rizieq, ada skenario berupa penyesatan opini publik bahwa seakan-akan keberadaan FPI di Kalteng dapat mengganggu kestabilan masyarakat terutama Suku Dayak. Padahal menurut Habib, selama ini FPI telah memiliki hubungan baik dengan berbagai suku Dayak se-Kalimantan. Habib Rizieq menjelaskan bahwa sebulan lalu bahkan delegasi warga Dayak Kalteng dari berbagai agama mendatangi DPP FPI di Petamburan untuk meminta bantuan untuk menghadapi arogansi Gubernur Kalteng dan Kapolda Kalteng tentang konflik agraria seperti Kasus Mesuji – Lampung.

Fakta yang lain menegaskan bahwa tidak semua warga Dayak menolak kehadiran FPI di Kalimantan Tengah. Berbeda dengan massa yang mengatasnamakan Dewan Adat Dayat (DAD) dan Majelis Adat Dayak Nusantara (MADN) yang memang menolak kedatangan FPI di Kalteng, Tokoh Dayak Seruyan mengakui jika mereka mendukung FPI.
“Saya dari masyarakat Dayak Seruyan. Betul kata Habib (Rizieq) tidak semua masyarakat menolak FPI, kami akan tetap mendirikan FPI di Seruyan, Kobar, Kotim, Sampit, dan Kuala Kapuas, secepat-cepatnya. Masyarakat mendukung dan kami bahkan meminta”, kata Budiardi, warga asli Dayak yang tercatat sebagai  anggota DPRD Seruyan, Senin (13/2/2012), dilansir fpi.or.id.

Budiardi menambahkan bahwa yang menolak FPI bukanlah masyarakat Dayak di pedalaman, melainkan sekelompok orang di Palangkaraya, “Masyarakat Dayak menginginkan FPI ada di sana”, ujarnya yang juga menjabat sebagai pengurus Dewan Adat Suku Dayak.

Habib Rizieq mengatakan, bahwa Budiardi yang hingga kini bersama 12 orang lainnya dituduh sebagai tersangka atas tuduhan perusakan kebun kelapa sawit pada awal Desember lalu, adalah anggota dewan yang sedang melakukan pembelaan terhadap masyarakat Dayak Seruyan yang tanahnya dirampas oleh pengusaha lokal.
“Setelah beliau berjuang selama bertahun-tahun, justru beliau yang  dikejar-kejar, mau dikerjai oleh Gubernur Kalteng dan mau dikerjai oleh  Kapolda Kalteng. Maka dari itu mereka meminta perlindungan pada FPI dan  kini FPI  tengah melakukan advokasi dan litigasi”, jelas Habib.

Banyak perusahaan perkebunan yang terletak di Kabupaten Seruyan yang membuka lahan melebihi izin resmi yang mereka terima. Hal ini menyebabkan timbulnya konflik antara masyarakat dan perusahaan. Seperti yang terjadi di kawasan PT Sawit Subur Lestari dan PT. Best Agro Internasional.
Habib Rizieq yakin penolakan kedatangan FPI karena takut kebobrokan pejabat terbongkar. Habib menilai Teras Narang sengaja menggerakkan massa untuk menghadang FPI karena takut kebobrokannya terbongkat, terutama soal perampasan tanah masyarakat Dayak oleh para Kapitalis, “Mereka takut dibongkar keboborokannya. (Justru) FPI sedang membela Dayak Seruyan yang dizalimi pengusaha dan preman”, ujarnya.

Sementara itu, menurut Munarman, Ketua FPI Bidang Nahi Munkar, menilai penolakan terhadap kedatangan pengurus pusat FPI merupakan bentuk balas dendam Teras Narang terhadap Islam. Terutama terkait sejumlah kasus di Jabodetabek.
Munarman menduga Teras Narang melihat dengan salah kasus Ciketing di Bekasi dan GKI Yasmin di Bogor. Teras Narang mungkin melihat ada peran FPI di belakang kasus-kasus gereja ilegal itu, “Jadi dia balas dendam terhadap FPI”, katanya.

Sentimen Agama dan Politik
Alasan warga Palangkaraya menolak keberadaan FPI seperti yang mereka katakan adalah karena FPI sering melakukan “kekerasan”. Padahal, aksi FPI yang mereka katakan sebagai “kekerasan” itu tidak sebanding dengan kader-kader partai politik, termasu PDI, masih banyak mereka yang melakukan kekerasan. Tentunya “kekerasan” FPI adalah untuk memberantas kemaksiatan bukan kekerasan yang dilakukan untuk merusak tatanan masyarakat.
Contohnya, di pilkada di Tuban,  kader PDI beberapa waktu lalu, meluluhkan lantakkan pendopo Kabupaten Tuban, tetapi tidak ada yang menyebut PDI sebagai biang tindak kekerasan. Teras Narang, adalah salah satu kader PDI, seorang Kristen Fanatik, telah membangun gereja terbesar di Kalimantan. Toleransi yang selama ini didengungkan di pusat, hanyalah omong kosong belaka. Orang-orang Kristen menganggap orang-orang non-Kristen sebagai domba-domba yang sesat, dan harus diselamatkan (dikristenkan), maka tidak ada toleransi pada dasarnya, terutama terhadap umat Islam.

Tentunya Umat Islam yang “sadar” sudah faham bahwa Allah telah memberitahu bahwa Kristen dan Yahudi selamanya tidak akan pernah senang kepada Umat Islam, kecuali jika mengikuti agama mereka.
Di Palangkaraya, orang-orang Dayak Kristen melakukan pembantaian terhadap ribuan orang Madura. Laki-laki, perempuan, anak-anak, dan orang tua, tidak pandang bulu, biadab tanpa belas kasihan. Tetapi, tindakan mereka tidak pernah dikatakan atau dikutuk sebagai tindakan kekerasan. Di Singkawang dan Sanggoledo, ratusan orang Madura tewas, dan ribuan lainnya meninggalkan rumah-rumah mereka, karena dibunuh dan rumah mereka dihancurkan oleh orang-orang Dayak Kristen. Namun tindakan itu tak juga dianggap terkutuk oleh “orang-orang atas” dan para pengikutnya di negeri ini.

Pada bulan Januari lalu, puluhan warga Kabupaten Seruyan, Provinsi Kalteng, berdemo mendatangi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mengadukan soal lahan tanah mereka yang dirampas oleh perusahaan Kapitalis perkebunan kelapa sawit. Mereka juga meminta perlindungan hukum terhadap 12 orang masyarakat Seruyan yang ditahan pihak Kepolisian Polres Seruyan atas tuduhan perusakan tanah perkebunan. Namun “para petinggi” tak juga menggubris jeritan rakyat.

Hal tersebut bukanlah sesuatu yang baru atau aneh. Sudah menjadi kebiasaan bagi para Kapitalis merampas hak-hak rakyat jelata dengan menggunakan tangan-tangan politisi. Kapitalis membayar, uang melimpah, tangan mereka bersih, diatas keringat dan darah rakyat pedesaan.

Sistem Hukum Kafir
Sistem hukum kafir selalu beridiri diatas penderitaan rakyat. Maka janganlah heran, jika masalah sekecil apapun yang dilakukan oleh rakyat kecil akan mendapat “hukuman seberat-beratnya”. Apa saja yang “mengusik” tatanan hukum kafir, akan dijatuhi hukuman yang tidak logis. Lalu apa hubungannya dengan kasus yang sedang dihadapi FPI?

FPI adalah salah satu ormas Islam yang “keras” untuk menegakkan Syari’at Islam. Saudara-saudara di FPI tidak akan segan-segan bertindak untuk memberantas kemaksiatan yang meraja lela. Hal ini adalah suatu ancaman terbesar bagi negara yang menegakkan sitem hukum kafir. Umat Islam yang kuat terhadap keyakinannya akan selalu menjadi “buruan” para politis hukum kafir. Sekecil apapun tindakan yang diperbuat, maka akan dijatuhi hukuman yang tidak logis, minimal dicemarkan nama baiknya di tengah-tengah masyarakat yang sudah terdoktrin sistem kafir.

Umat Islam yang senantiasa ingin menegakkan kebenaran akan selalu dihalang-halangi oleh para “tentara” sistem kafir. Maka kita lihat, sekecil apapun tindakan yang dilakukan Umat Islam untuk menegakkan kebenaran yang dalam sistem hukum kafir telah tercatat sebagai “kekerasan”, akan disorot oleh setiap media yang mendukung sistem kafir, untuk menyebarkan propaganda, memutar balikkan fakta, menyembunyikan kebenaran, tidak mengizinkan mereka yang ingin berbicara membela kebenaran, dan akhirnya mendoktrin masyarakat awam.


Kutipan :
(siraaj/arrahmah.com)
Selasa, 14 Februari 2012 22:18:14

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar