“Kekerasan adalah anak kandung kekerasan sebelumnya”,
ungkapan tersebut cukup tepat untuk menggambarkan peristiwa teror dan
kekerasan dalam dua bulan terakhir ini. Di malam jelang 17 Agustus di
Pondok Aren Tanggerang dua aparat kepolisian tewas ditembak orang tidak
dikenal dan menjadi peristiwa menggemparkan paska ditangkapnya ketua SKK
Migas oleh KPK. Spekulasi pun bermunculan terkait dengan motif dan
siapa pelaku teror tersebut.
Sayup-sayup
terkait motif terdengar bahwa dendam dan kebencian yang menggerakkan
aksi teror.Dan bahkan saat ini makin mengumpal kuat bahwa dendamlah yang
menjadi motifnya.
Pelakunya
juga mungkin dari perorangan atau kelompok yang selama ini
kepentingannya bersinggungan dengan aparat kepolisian. Dari sini bisa
mengerucut (merujuk kasus dua bulan terakhir) bisa jadi mereka adalah
dari kelompok preman, kelompok “teroris”, diluar keduanya adalah
kelompok “siluman” yang sengaja mendesain teror untuk kepentingan dan
proyek tertentu.
Jika
aparat kepolisian profesional maka akan mengurai kasus teror berangkat
dari TKP (tempat kejadian perkara), mengumpulkan berbagai variabel
analisis yang dibutuhkan. Dan tidak prematur untuk mengiring kepada satu
kesimpulan dan kemungkinan tertentu tanpa melihat
kemungkinan-kemungkinan lainnya.
Karena
teror terhadap aparat keamanan sejatinya juga terjadi di banyak tempat,
di Papua oleh kelompok OPM atau simpatisannya kerap terjadi. Polisi
menjadi korban dari tindak kriminal dari kelompok preman juga terjadi.
Karenanya
sikap mengeneralisir mengarahkan semua teror dengan label teroris dan
kelompok teroris cukup tidak proporsional. Akan sangat bijak jika aparat
sedikit bicara tapi banyak bekerja, mengurangi volume statemen di
hadapan publik melalui beragam media. Mengurangi berbagai pernyataan
spekulatif dan menghindari kontruksi opini untuk menggiring persepsi
masyarakat kepada kesimpulan tertentu. Tangkap hidup-hidup pelaku teror,
seret ke pengadilan dan biarkan vonis hakim yang tentukan bukan hakim
jalanan yang bicara.
Pendapat
saya, jika dari berbagai parameter analisis bahwa teror tersebut
motifnya dendam dan itu terkait kelompok-kelompok terduga terorisme maka
beranikah semua pihak terkait bersikap obyektif dan jujur mengeja dan
mengatakan apa akar dari teror tersebut?
Tidak
seorang pun menginginkan teror menimpa dirinya, fitrah manusia condong
kepada zona aman untuk hidupnya. Namun sekali teror tersebut hadir maka
ia adalah ibu kandung dari sang bayi teror-teror di kemudian hari.
Maka
sejatinya fenomena terorisme dekade beberapa tahun terakhir di Indonesia
berbeda dengan diawal-awal tahun 2000-an. Minimal perbedaannya adalah
terkait ideologi yang melatarbelakangi aksi mengalami metamorfosis
sangat signifikan.
Hari ini
dendam menjadi determinasi dari sebuah aksi teror. Kebencian telah
menjadi spirit dan “ideologi” dari sebuah amaliyat (aksi) dari individu
atau kelompok yang di stempel teroris. Terlalu didramatisir jika aksi
berbagai teror oleh kelompok-kelompok kecil “teroris” itu diklaim dalam
rangka kepentingan dan target politik besar yakni mendirikan negara
Islam. Aksi teror lebih banyak keluar dari visi ideologis, berjalan
diatas rel mindset derivat-derivat sekunder dengan apa yang disebut
qishos (pembalasan).
Maka
teror yang tampak sejatinya telah mengirim sinyal dan menjadi pesan kuat
kepada semua pihak tentang cara-cara yang tidak proporsional dalam
upaya kontra terorisme di Indonesia. Memahami psikologi “teroris” saya
berani katakan bahwa teror ini juga sejatinya lahir atas kontribusi
tindakan-tindakan aparat (khususnya Densus 88 dan Satgas “liar’ yang
dibawah kendali BNPT) yang over acting.
Upaya-upaya law enforcement
(penegakkan hukum) atas orang-orang terduga teroris dengan menabrak
banyak rambu-rambu hukum bahkan hingga menghilangkan nyawa terduga
dengan cara ekstra judicial killing adalah bahan bakar kebencian dan
dendam.
Cara-cara
seperti ini disadari atau tidak telah berbuah fakta teror demi teror
terhadap aparat kepolisian. Point ini lebih besar porsinya sebagai
stimulus ideologi dendam dibanding hanya alasan karena selama ini
pihak-pihak aparat berwenang telah banyak mengagalkan agenda-agenda aksi
dan target politik mereka.
Mengurangi
teror atas aparat keamanan itu harusnya dengan metode pemberantasan
teror bukan dengan cara “teror”. Para pemimpin aparat kepolisian
harusnya sadar, anggota mereka menjadi korban teror bisa jadi hanya
karena ulah “teror” yang dilakukan oleh segelintir oknum pemberatas
terorisme. Atau tidak menutup kemungkinan adanya kelompok-kelompok
“siluman” yang punya interest dan kepentingan pada isu terorisme, dan
bisa jadi merekalah dalang dari banyak peristiwa teror dan terorisme.
Nah, di
sinilah profesionalisme aparat penegak hukum diuji, masyarakat menunggu
hasil kerja mereka untuk bisa mengungkap fenomena teror dan terorisme
tidak hanya dilevel superficial (permukaan) nyasar kepada pelaku, tapi
tidak menemukan para dalang dari semua aksi tersebut. Polisi yang
profesional, punya kredibilitas dan menjujung tinggi rasa keadilan dan
kemanusiaan diharapkan oleh banyak masyarakat bisa mengurai teror.
Bukan
Polisi atau aparat yang korup, arogan, tebang pilih, tindakan
dehumanisasi yang dipertontonkan bahkan lebih sering berkoar-koar
membangun propaganda diatas keawaman banyak orang dalam isu
terorisme.Evaluasi kinerja di internal penegak hukum (kepolisian dengan
Densus 88 nya) mutlak diperlukan.Bahkan pemerintah dan semua pihak
terkait perlu mengkaji ulang keberadaan BNPT dengan kewenangan
penindakan yang dimiliknya.
Yang
tidak bisa dihindari bahwa fenomena teror yang tumbuh silih berganti
melahirkan spekulasi bisa jadi benar adanya kelompok “siluman” yang
melakukan reproduksi semua ini. Dengan metode pengkondisian, baik
melalui inflitrasi kepada kelompok potensial tertentu kemudian melakukan
indoktrinasi dilanjutkan agitasi dan provokasi untuk melahirkan aksi
teror. Kemudian dari aksi itu melahirkan label teroris/terorisme dan
targetnya adalah kontinuitas drama perang melawan terorisme. Dan di
balik itu dalangnya bisa meraup keuntungan-keuntungan pragmatis maupun
ideologis.
Karena
itu pembacaan yang holistik dari beragam sudut pandang tentang terorisme
perlu dikaji.Demikian juga menyangkut relasi konstelasi politik global
dan lokal yang berkelindan nyata saling memberikan pengaruh perlu
dikaji, agar anak-anak negeri ini tidak menjadi korban dan arogansi dari
dari teror oleh sesama warga negara sendiri dan semua berjalan diatas
panggung yang berjudul terorisme.Wallahu a’lam bisshowab (CIIA/21082013)