Laman

Jumat, 02 Maret 2012

Solusi Damai Muslim Sunni-Syiah

Last Updated on Tuesday, 17 January 2012 23:49 Tuesday, 17 January 2012 23:27


Pada 29 Desember 2011, terjadi peristiwa menggemparkan di Kabupaten Sampang, Madura, Jawa Timur.  Sebuah mushala dan beberapa rumah warga Syiah di Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang,  diserbu dan dibakar massa. Rumah dan mushalla itu adalah milik kelompok Syiah yang dipimpin oleh Tajul Muluk Ma’mun.

Kasus Sampang Madura itu  mulai membuka mata banyak orang, bahwa ada masalah serius dalam soal hubungan antara orang-orang Muslim Sunni dan kelompok Syiah  di Indonesia. Sebelumnya, berbagai kasus serupa – dalam skala kecil – sudah terjadi di berbagai tempat.  Benih-benih konflik itu seperti sudah menyebar. Kasus Syiah Sampang itu, tentu saja, patut disesalkan, sebab konflik semacam ini harusnya bisa diredam jauh-jauh sebelumnya. Banyak pihak yang kemudian menuding bahwa kasus itu adalah cerminan buruknya iklim kebebasan beragama di Indonesia.

Tetapi, analisis semacam itu terlalu parsial dan liberal. Semua masalah hubungan antar atau internal agama hanya dilihat dari satu aspek saja, yaitu aspek HAM dan “kebebasan beragama”. Padahal, yang kadangkala diabaikan dalam analisis soal keagamaan adalah soal “sensitivitas” yang sudah menyentuh aspek keyakinan. Seperti dalam kasus hubungan Muslim Sunni dan kelompok Syiah.

Kasus Syiah Sampang, Madura, misalnya, sudah berlarut-larut selama bertahun-tahun.  Pada 20 Februari 2006, lebih dari 50 orang ulama Madura mengeluarkan pernyataan, bahwa aliran Syiah yang disebarkan oleh Tajul Muluk Ma’mun di Madura tergolong Syi’ah Ghulah (Rofidloh). Salah satu ajaran yang membuat hati kaum Muslim Sunni di Madura tersakiti adalah ajaran yang melecehkan para sahabat Nabi saw.

Akar masalah
Pernyataan para ulama Madura itu membuktikan bahwa kasus Syiah di Sampang, adalah laksana bara dalam sekam. Kasus ini tidak segera diselesaikan, sehingga “bara” itu akhirnya meledak, dan mengagetkan banyak orang. Muncullah opini seolah-olah kelompok Syiah di Indonesia tidak mendapatkan hak kebebasan beragama dari kaum Muslim Indonesia; bahwa  mereka terzalimi.

Masalah Sampang ini tentu memerlukan kajian dan penelitian yang serius. Yang jelas di Indonesia, kelompok Syiah terbukti sangat agresif dalam menyerang ajaran-ajaran Islam yang dianut oleh mayoritas Muslim di Indonesia. Ini sulit dipisahkan dari sejarah kelahiran kelompok Syiah itu sendiri, yang menganggap hak kekhalifahan Ali r.a. dirampas oleh Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khathab, dan Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhum. Tidak heran, jika ketiga sahabat utama Rasulullah saw itu sering menjadi bulan-bulanan caci maki.

Begitu pula ummul mukminin, Aisyah r.a. yang sangat dicintai kaum Muslimin tak lepas dari berbagai fitnah dan cemoohan kaum Syiah. Padahal, Aisyah adalah istri Nabi yang mulia. Nabi Muhammad saw wafat di pangkuan Aisyah dan dikuburkan di rumah Aisyah pula. Aisyah r.a. adalah ulama wanita yang meriwayatkan 2210 hadits. Dari jumlah itu, 286 hadits tercantum dalam shahih Bukhari dan Muslim. Ada sekitar 150 ulama Tabi’in yang menimba ilmu dari Aisyah. (Lihat, K.H. Ubaidillah Saiful Akhyar Lc, Aisyah, The Inspiring Woman, (Yogyakarta: Madania, 2010).

Jadi, keutamaan Aisyah r.a. sudah begitu masyhur dan disampaikan sendiri oleh Nabi Muhammad saw. Sangat wajar, jika kaum Muslim akan terluka hatinya jika wanita yang sangat mulia dan agung ini dicaci-maki.
Masalahnya, di Indonesia, berbagai penerbitan kaum Syiah terbukti sulit menyembunyikan caci-maki terhadap para sahabat dan istri Nabi yang mulia tersebut. Padahal, dalam buku-buku tersebut, kadangkala disebutkan, bahwa penulis buku Syiah itu  mengaku ingin membangun persaudaraan dengan kaum Muslim Sunni. Sebut satu contoh, buku berjudul The Shia, Mazhab Syiah, Asasl-usul dan Perkembangannya karya Hashim al-Musawi (Jakarta: Lentera, 2008). Secara halus, buku ini juga mendiskreditkan Abu Bakar dan Umar r.a. Misalnya, dalam hal pencatatan sabda Nabi Muhammad saw.

“Sumber-sumber historis mengindikasikan beragam pendapat berbeda mengenai penulisan kata-kata Nabi. Para Imam Ahlulbait Nabi yakin perlunya menulis atau mencatat kata-kata Nabi dan menjaganya dari hilang atau didistorsi. Imam Ali beserta putranya, al-Hasan, memerintahkan pencatatan sabda Nabi dan pendokumentasian sumber-sumbernya.
Menurut ad-Dailami, Imam Ali berkata: “Bila kamu mencatat sebuah sabda, sebutkan juga sumbernya.” (Catatan kaki: Hasan ash-Shadr, asy-Syiah wa Finun al-Islam). Imam Ali sendiri mencatat sabda-sabda Nabi dalam sebuah surat gulungan, dan surat gulungan ini diwarisi oleh para imam keturunan Imam Ali.

Sementara itu, Khalifah Abu Bakar dan Khalifah Umar melarang pencatatan sabda Nabi, dan para penguasa Umayah juga memberlakukan larangan ini sampai Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah dan mengirim pesan berikut ini kepada warga Madinah… (Catatan kaki: Ahmad bin Ali Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari be Syarh Shahih al-Bukhari, Beirut: Dar al-Ihya at-Turats al-Arabi, ed. Ke-4, 1408 (1988)).

Salah paham
Cara kelompok Syiah dalam mengkritik Abu Bakar dan Umar bin Khatab dalam soal pembakaran hadits Nabi itu tentu saja tidak fair dan tidak sesuai dengan fakta. Masalah pencatatan hadits di kalangan sahabat Nabi juga sudah dibahas dengan sangat mendalam oleh Dr. M. Musthafa al-A’zhami dalam bukunya, “Studies in Early Hadits Literature” (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2000). Dalam buku yang merupakan disertasi doktornya di Cambridge University ini, al-A’zhami menunjukkan data adanya 50 sahabat Nabi yang melakukan pencatatan hadits. Termasuk Abu Bakar dan Umar bin Khathab r.a. Berita tentang Abu Bakar yang membakar kumpulan haditsnya diragukan keabsahannya oleh adh-Dhahabi. Bukti lain yang meragukan riwayat pembakaran hadits tersebut adalah bahwasanya, Abu Bakar sendiri mengirim surat kepada ‘Amr bin al-Ash, yang memuat sejumlah ucapan Rasulullah saw.  Surat senada yang mengandung hadits Nabi juga dikirim Abu Bakar kepada Gubernur Anas bin Malik di Bahrain.

Riwayat tentang kasus pembakaran hadits oleh Umar bin Khathab juga diragukan kebenarannya. Al-A’zhami menelusuri tiga jalur riwayat berita tersebut, dan dia menemukan, semuanya mursal.  Artinya, rangkaian cerita itu terputus, tidak sampai pada Umar bin Khathab. Juga, faktanya, Umar bin Khathab mengirimkan Ibn Mas’ud dan Abu Darda’ sebagai guru ke Kufah, padahal keduanya dilaporkan memiliki catatan hadits  sebanyak 848 dan 280 buah. Umar sendiri juga terbiasa mengutip hadits-hadits Nabi  dalam surat-surat resminya sebagai kepala negara. (hal. 34-60).

Jadi, tuduhan kelompok Syiah akan kejahatan Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin Khathab r.a. yang – katanya – menghalang-halangi pencatatan hadits Nabi perlu dijernihkan. Tuduhan semacam itu sangatlah tidak bersahabat dan membangun perdamaian.

Tahun 2009, sebuah kelompok penyebar Syiah di Indonesia  menerbitkan sebuah buku berjudul “40 Masalah Syiah”.  Buku ini ditulis dengan tujuan untuk: “tumbuhnya saling pengertian di antara mazhab-mazhab dalam Islam.”  Itu tujuan yang tertulis dalam sampul belakangnya. Tetapi, jika disimak isi bukunya, buku ini justru mengejek dan melecehkan kaum Muslim Indonesia yang Sunni.

Betapa tidak!  Lagi-lagi, buku semacam ini juga tak bisa lepas dari caci maki terhadap Abu Bakar, Umar, dan Utsman bin Affan. Padahal kaum Muslim sangat menghormati Ali r.a. dan Ahlulbait. Fakta sejarahnya, Ali bin Abi Thalib pun tidak mencerca Abu Bakar, Umar, Utsman, juga Aisyah r.a.  Dalam bab berjudul “Syiah Melaknat Sahabat” disebutkan, bahwa Syiah tidak melaknat siapa pun kecuali yang dilaknat Allah dan Rasul-Nya. Salah satu cara menggambarkan buruknya perilaku Utsman bin Affan adalah penghormatannya kepada al- Hakam bin abi al-ash. Padahal, orang ini sudah dilaknat Rasulullah saw. “Ketika Utsman menjadi khalifah, ia menyambutnya dengan segala kemuliaan dan kehormatan. Utsman memberinya hadiah 1000 dirham dan mengangkat anaknya sebagai orang kepercayaannya.” (hal. 89).

Buku ini pun memaparkan bid’ah-bid’ah – versi Syiah -- yang dibuat oleh Abu Bakar r.a. seperti: Menghapus hak “muallafatu qulubuhum” dan melarang penulisan hadits dan membakarnya. Sedangkan bid’ah-bid’ah yang dibuat oleh Umar bin Khathab antara lain: Menentang Rasulullah saw untuk menuliskan wasiatnya dan melarang nikah mut’ah. (hal. 235).

Sebagaimana dalam kasus pencatatan hadits, tuduhan-tuduhan kelompok Syiah terhadap Utsman bin Affan juga sangat berlebihan. Kadangkala fakta ditafsirkan lain, sehingga seolah-olah, Abu Bakar, Umar, dan Utsman r.a. telah melakukan  persekongkolan jahat melawan Nabi. Ibnul Arabi, dalam Kitabnya, al-Awashim wal-Qawashim,  menjelaskan, kasus al-Hakam terkait dengan kesaksian Utsman r,a., bahwa Rasulullah saw telah memberikan izin kepada al-Hakam untuk kembali ke Madinah. Tetapi, Abu Bakar dan Umar tidak menerima saksi lain selain dari Utsman bin Affan, sehingga permintaan Utsman ditolak. Tetapi tidak diberitakan, saat menjadi Khalifah, Utsman menyambutnya dengan segala kemuliaan. Mengutip Ibn Taymiyah dalam Minhaj al-Sunnah,  Dr. Muhammad al-Ghabban menjelaskan melalui bukunya, Kitab Fitnah Maqtal Utsman,  bahwa semua riwayat tentang pengusiran Hakam adalah mursal, jadi sanadnya lemah.

Jalan DamaiMungkin, karena kebencian terhadap Abu Bhakar, Umar, dan Utsman, maka kelompok Syiah – termasuk di Indonesia – tidak dapat menyembunyikan pikirannya untuk mencerca para sahabat Nabi yang mulia tersebut.  Itulah fakta ajaran Syiah yang disebarkan di Indonesia melalui berbagai penerbitan mereka.  Jika manusia-manusia yang begitu mulia dan dihormati oleh kaum Muslim – seperti Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khathab, Utsman bin Affan, dan Aisyah r.a. -- dicerca dan diperhinakan oleh kaum Syiah, apakah umat Islam bisa terima?

Itu tentu berbeda dengan Muslim Sunni yang menghormati semua sahabat Nabi saw. Ulama dan tokoh sufi terkemuka, Syekh Abdul Qadir al-Jilani, dalam kitabnya, al-Ghunyah Lithaalibi Thariqil Haq, menguraikan kesesatan ajaran Syiah dan memberikan penjelasan terhadap keabsahan kepemimpinan Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khathab,  Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.  Mereka semua adalah pemimpin yang mulia yang dikaruniai petunjuk Allah SWT (al-khulafa al-rasyidun).  (Lihat, Syekh Abdul Qadir al-Jailani, Buku Pintar Akidah Ahlusunnah Waljamaah (Terj.), (Jakarta: Zaman, 2011).

Kaum Muslim sangat mencintai Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya yang mulia. Tidak sepatutnya, ada orang yang menyimpan dendam abadi kepada manusia-manusia terbaik  yang dididik oleh Rasulullah sendiri. Bahkan, Abu Bakar, Umar bin Khathab adalah mertua Rasulullah saw. Sementara Utsman bin Affan adalah menantu Rasulullah saw.  Kaum Muslim yang masih memiliki kesadaran keimanan, tentu tidak ridha jika para sahabat Nabi yang mulia itu difitnah dan dicaci-maki.

Jika kaum Syiah mengakui Sunni sebagai mazhab dalam Islam, seyogyanya mereka menghormati Indonesia sebagai negeri Muslim Sunni. Biarlah Indonesia menjadi Sunni. Hasrat untuk men-Syiahkan Indonesia bisa berdampak buruk bagi masa depan negeri Muslim ini. Masih banyak lahan dakwah di muka bumi ini – jika hendak di-Syiahkan.  Itulah jalan damai untuk  Muslim Sunni dan kelompok Syiah.
Kecuali, jika kaum Syiah melihat Muslim Sunni adalah aliran sesat yang wajib di-Syiahkan! Walahu a’lambil-shawab.  

Kutipan :
Insists
02 maret 2012

Dialog Islam - Barat Bukan Dialog Agama, Tapi Dialog Peradaban


JAKARTA - Selama ini Islam dipahami Barat atau masyarakat Internasional sebagai agama. Sedangkan agama dalam pengertian Barat adalah dogma. Dan dogma dalam kacamata Barat adalah fundamentalis, dan fundamentalis sekarang sudah dekat dengan teroris.

“Adapun Islam adalah agama dan peradaban. Ketika ingin bicara dengan Barat, maka kita bukan bicara Islam sebagai agama, tapi Islam sebagai peradaban. Barat bukanlah agama, Barat adalah peradaban. Karena itu dialog dengan Barat yang betul adalah dialog peradaban, dan bukan dialog agama.” Demikian diungkapkan Pendiri INSIST (Institute for The Study of Islamic Thought and Civilizations) Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi , M.Phil, Ph.D yang juga Ketua Majelis Pimpinan  Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI).

Dikatakan Hamid, Islam adalah sesuatu yang privat dan juga publik, tidak bisa diprivatkan. Islam adalah agama yang menghargai materi dan spritualitas, Islam adalah agama yang berbasis pada teori dan praktik, Islam adalah ilmiah dan amaliah. Islam adalah agama lahiriah dan batiniah, Islam adalah akidah dan syariah, Islam adalah agama yang menghargai dan menjunjung tinggi ilmu, iman dan amal. Itulah arti Islam sebagai peradaban.

Dalam sejarahnya, Islam bermula dari sebuah kitab suci, bahkan dalam Al-Qur'an terdapat 800 kata ilmu disebutkan. Hamid mengaku sangat tidak suka membaca bukunya Kim Well, seorang Amerika yang menulis dalam bukunya “Is Religion  Killing? Isi buku itu mengatakan, bahwa agama menyuruh seseorang untuk melakukan pembunuhan. Penulis buku tersebut tampaknya tidak membaca Al- Qur'an.
“Di dalam Al-Quran kata ilmu paling banyak disebutkan setelah kata Allah. Ilmu pengetahuan dalam Islam itu dikembangkan melalui akidah Islamiyah. Hanya Islamlah, agama yang akidahnya mempunyai basis keilmuan. Akidah tidak mendorong kita pada ekstrimisme, tapi justru mendorong pada intelektualisme. Etiologi Islam mengandung  Epistimologi, dan epistimologi mengandung theologi. Sebab itu, Agama mendorong kita untuk berpikir sekaligus beriman,” ujar Hamid.

Adapun tempat seseorang berpikir dan beriman adalah qalb (hati). Dari sinilah Islam menjadi sebuah tradisi ilmiah dan keilmuan yang luar biasa berkembang, hingga bertemulah dengan peradaban asing. Ketika bertemu peradaban asing terjadi proses asimilasilasi, sehingga Islam tidak alergi dengan perabadan dan konsep-konsep asing. “Tentu saja, di dalam proses itu melalui asimilasi atau islamisasi. Dari situlah Islam menjadi peradaban Islam yang luar biasa besarnya,” tandasnya.

Lebih lanjut Hamid menjelaskan, ketika Baghdad menjadi pusat peraban dan negara Islam, tradisi keilmuan melebihi tradisi politiknya. Islam berjaya bukan karena kekuasan para khalifah, tapi karena ulamanya sangat produktif dan semua berdasar pada keilmuan.

Di zaman Abbasiyah dulu, seorang ulama bisa memiliki buku yang jumlahnya ratusan ribu. Bahkan, di sebuah kota terdapat sekurangnya 30-40 perpusatakaan  umum, dan saudagar kaya akan bangga bila perpusatakaan di rumahnya dikunjungi orang. Toko-toko buku jumlahnya mencapai ratusan, orang yang suka mencopy buku dengan cara menulis buku jumlahnya ribuan. Bukti, ketika itu tradisi ilmu luar biasa,  dan telah mewarnai peradaban Islam.

Segala persoalan diselesaikan dengan cara menulis. Sebagai contoh, ketika Ibnu Taimiyah melihat praktik kebatinan dan mengaku sebagai wali Allah, ia menulis buku. Selain  menulis buku, ia juga melihat persoalan  masyarakat yang dianggap sesat, kemudian ia datangi dan memberi nasihat, lalu orang itu tobat.

Begitu juga dengan Imam Ghazali ketika menghadapi pemikiran yang tidak jelas karena pengaruh filsafat Yunani. Beliau pun menulis buku. Oleh karenanya,   perubahan apapun yang akan kita lakukan harus didasarkan pada ilmu pengetahuan. Persoalan serumit apapun, bila kita duduk bersama dan bicara pada konteks ilmu pengetahuan, Insya Allah berbagai persoalan akan selesai diatasi.

Peradaban Islam
Perlu diketahui, peradaban Islam adalah peradaban yang berdiri karena kekuasaan poilitik, kekuatan ekonomi, stabilitas politik, pendidikan dan berkembangnya ilmu pengetahuan.
Hami Fahmy Zarkasyi mengungkapkan, sekarang ini banyak ulama yang menjadi politisi. Banyak pula orang yang mendaftar menjadi ulama. Ketika kyai menjadi politisi, maka ada pula yang mendaftar menjadi kiai. “Kita ingin ada sekelompok  orang yang tafakuhu fiddin, atau yang kerjaanya hanya mencari lmu dan memperdalam ilmu pengetahuan, dan memberi nasihat kepada orang yang berkecimpung di dunia politik  bila melakukan kesalahan. Kita khawatir, semua orang akan berpolitik, dan khawatir jika kursi majelis ilmu ini menjadi kosong,” tandas Hamid.

Gerakan Majelis Intelektual dan Ulama Muda (MIUMI) yang diprakarsai Hamid dan kawan-kawan, tidak akan menyaingi organisasi manapun.  Majelis ini akan melakukan apa yang sudah dilakukan dan yang belum dilakukan ormas lain, termasuk MUI. “Jadi  tidak ada saingan ataupun penggembosan. Ini adalah upaya untuk menyatukan dari sekian banyak perbedaan. Majelis yang terdiri dari seluruh kelompok yang ada di Indonesia, bersatu membahas berbagai persoalan dengan  cara-cara ilmiah.”

Direktur INSIST itu teringat kata-kata, ketika melihat kalimat di depan Pintu gerbang Universitas Qordova-Spanyol: Kebaikan dunia  ini hanya ditangan empat kelompok: 1)  pengetahuan orang yang  bijak. 2) keadilan penguasa, 3) doanya orang-orang yang saleh, dan 4)  keberanian kesatria. “Kalau dalam bahasa modern, 4 unsur itu terdiri dari intelektual, penguasa, ulama, dan militer. Namun, kita hanya ambil dua porsi saja, intelektual dan ulama.

Tentu berbagai persoalan tidak bisa diselesaikan, kecuali dengan jalan kebijakan orang-orang  yang berpengetahuan dengan doanya para ulama. Kita berharap, Indonesia diwarnai dengan iman, ilmu, amal dan akhlak.

Kutipan :
Desastian / V0A-Islam
Jum'at, 02 Mar 2012

Gawat! Faham Liberalisme Jadi Materi Khutbah Jumat di Kampung-kampung


JAKARTA  – Dalam acara Milad INSISTS (Insitute for the Study of Islamic Thought and Civilizations) ke-9 di Jakarta (29/2), salah seorang pendiri INSISTS Hamid Fahmi Zarkasyi,M.phil,Ph.D mengatakan, gagasan dan penyebaran faham liberalisme pemikiran Islam kini tidak saja tersebar di perkotaan, tapi juga merambah ke pedesaan. Bahkan ia pernah mendengar khotib jum’at di sebuah kampung berbicara soal pluralisme , dimana semua agama dikatakan benar.

Menurut Hamid, Indonesia merupakan negara yang terbilang berhasil terserang penyakit Liberalisme agama dibanding negeri-negeri muslim di belahan bumi lainnya seperti di Timur Tengah ataupun di Afrika. Hal itu terjadi karena adanya peran media dalam penyebarannya.

Belum lama ini, Hamid juga mendengar, di IAIN Jember, ada seorang dosen “gila” yang melempar Al Qur’an ke lantai. Dalam pemikiran dosen laknatullah itu, Al-Qur’an itu bukan kitab suci. Yang mengkhawatirkan lagi, saat ini sudah ada perguruan tinggi yang membuka program S3 bidang Pluralisme Agama.

Seperti diketahui, arus liberalisme juga dibawa oleh para mahasiswa yang kuliah di perguruan tinggi untuk kemudian disebarkan hingga ke pedesaan. Mereka merasa dengan wacana liberalisme akan dilihat sebagai orang terpelajar di kampungnya Maka adalah wajar jika nilai-nilai tradisional Islam sudah kian luntur di pedesaan saat ini.“Orang desa sekarang ini sudah mulai mengalami westernisasi,” kata Alumnus IIUM Malaysia ini.

Untuk membendung arus liberalisme pedesaan, Hamid yang baru saja diamanahkan menjadi ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI), menyarankan, agar menciptakan komunitas di kota-kota besar. Komunitas itu menciptakan komunitas lagi dibawahnya. Nah mereka-mereka itulah yang akan menjelaskan tentang bahaya faham liberal kepada masyarakat. Tentu, hal yang sangat memperihatinkan, jika masyarakat mengira bahwa apa yang dikatakan oleh si tokoh tentang pluralism itu adalah sesuatu hal yang benar.
Dalam menghadapi pengasong sepilis (sekularisme, pluralism dan liberalism), kata Hamid, hendaknya mendatangi mereka, ajak diskusi, sampai dia menyerah. “Sejujurnya, kita kerap memikirkan pemikiran orang lain, sementara orang lain tidak ada yang memikirkan kita,” ujarnya guyon.

Sementara itu Direktur Eksekutif  INSISTS, Adnin Armas mengatakan penyebaran kebaikan dengan ilmu harus dilakukan di Indonesia. Usia INSISTS memang masih sangat muda, baru sembilan tahun. Tapi ini adalah usia permulaan untuk kerja besar yang akan terus dilaksanakan dan coba diemban oleh INSISTS, berusaha menghidupkan tradisi Ilmu bagi Indonesia. Bangsa Indonesia tidak mungkin akan menjadi bangsa besar jika mengabaikan tradisi ilmu ini.

Dewan Pembina dan Pendiri INSISTS, Adian Husaini mengatakan tidak menyangka INSISTS bisa berkembang dalam pemikiran Islam dan telah mengadakan workshop yang diikuti pimpinan pondok pesantren dan kampus. “Pemikiran Islam saat ini bertarung dengan pemikiran liberal. Karena itu, INSISTS berfokus pada pemikiran dan kajian yang mendalam tentang peradaban Islam," tuturnya. 

Kutipan :
Desastian / VoA-Islam
Jum'at, 02 Mar 2012 

INSISTS: Benteng Terakhir Akidah Umat Islam (Bag 2)


JAKARTA - Kajian tentang hermeneutika di ISTAC, Malaysia, ternyata sudah dilakukan secara intensif. Sejumlah professor didatangkan dari berbagai negara untuk mengajar soal hermeneutika dan tafsir.Prof Syed Muhammad Naquib al-Attas adalah ilmuwan muslim kontemporer yang secara tegas membedakan antara tafsir dan hermeneutika.

Sementara itu, Prof Wan Mohd Nor Wan Daud, wakil al-Attas di ISTAC, menulis dalam salah satu bukunya, bahwa hermeneutika adalah gelombang ganas yang memukul pantai pemikiran keagamaan Islam di seluruh dunia. Hermeneutika adalah cara baru dalam memahami kitab suci Al Qur’an yang diambil dari kaidah dan pemikiran Barat.

Prof Wan Mohd Nor pun mengkritik gurunya sendiri di Chicago University, Fazlur Rahman. Secara detail, ia menjelaskan mengani perbedaan antara ilmu tafsir al-Qur’an dengan tradisi hermeneutika yang berkembang dalam masyarakat Yunani, India, Yahudi, Kristen dan Barat modern.

Seperti diketahui, hermeneutika kini sudah menjadi mata kuliah wajib di sejumlah perguruan tingi Islam di Indonesia. Dalam berbagai workshop yang dilakukan, INSISTS harus terlibat dalam perdebatan hangat dengan dosen-dosen hermeneutika. Hingga kini, INSISTS sering dipetakan sebagai pihak yang aktif menentang penggunaan hermeneutika untuk penafsiran al-Qur’an. Pemikiran-pemikiran INSIST selalu kerap disampaikan secara ilmiah dan argumentative, serta tidak memaksa pihak lain untuk mengikutinya.

Kiprah INSISTS
Sejak didirikan, INSISTS telah melaksanakan ratusan kali seminar, workshop, juga pelatihan dalam bidang pemikiran untuk dosen, mahasiswa, pimpinan pesantren, kalangan professional dan sebagainya. Ribuan orang telah mengikuti workshop-workshop INSIST di berbagai belahan dunia (Indonesia, Malaysia, Mesir, dan Arab Saudi).

Pada bulan Maret 2007, INSISTS bekerjasama dengan Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) dengan memberikan pelatihan tentang pemikiran dan peradaban Islam selama satu tahun kepada para pimpinan kampus beserta dosen-dosennya.

Para peneliti INSISTS juga menegmbangkan mata kuliah dan kursus-kursus Islamic Worldview. Mata kuliah Islamic Worldview telah diajarkan di sejumlah program pascasarjana studi Islam. Tahun 2005-2009, Adian Husaini mengajarkan mata kuliah ini di Pusat Studi Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia (PSTTI). Kini, mata kuliah ini diajarkan di Pascasarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor, Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Universitas Islam az-Zahra, Pascasarjana Institut Studi Islam Darussalam Gontor, dan sebagainya.

Secara personal, para peneliti INSISTS terus berkiprah dalam dunia pemikiran melalui penulisan buku dan artikel, aktivitas ceramah, mengajar, diskusi, seminar, dan kegiatan lainnya. Di bidang penulisan, sejumlah buku karya peneliti INSISTS juga telah meraih prestasi penting. Buku Wajah Peradaban Barat (karya Adian Husaini) dan Tren Pluralisme Agama (karya Anis Malik Thoha) mendapat penghargaan sebagai buku terbaik dalam Islamic Book Fair tahun 2006 dan 2007.

Selain itu, Adnin Armas telah menulis sebuah buku yang sangat penting dalam studi al-Qur’an, berjudul Metode Bibel dalam Studi al-Qur’an: Kajian Kritis. Henry Shalahuddin, peneliti INSISTS yang lain, juga secara khusus memberikan kritik terhadap pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid melalui buku Al Qur’an Dihujat. Lalu, Syamsuddin Arif menulis sebuah buku penting: Orientalisme dan Diabolisme Intelektual.

Pada tahap berikutnya, jajaran peneliti INSISTS diperkuat oleh ilmuwan-ilmuwan dari berbagai bidang: Mukhlis Hanafi dan Fahmi Salim di bidang al-Qur’an dan tafsir al-Qur’an, Tiar Anwar Bachtiar di bidang sejarah, Malki Ahmad Nasir di bidang pemikiran Islam dan sebagainya.
Diakui Adian Husaini, meski ditengah keterbatasan dan kekurangan, banyak mahasiswa yang merasa tercerahkan dan “kembali ke jalan yang benar” setelah membaca Islamia dan buku-buku para peneliti INSISTS. Meskipun sangat tertatih-tatih terbitnya, Islamia telah menjadi satu bacaan alternatif dalam bidang pemikiran Islam di Indonesia. Hingga kini, Islamia terbit sebanyak 14 edisi.

Dalam perkembangannya, INSISTS bekerjasama dengan Harian Umum Republika untuk menerbitkan jurnal pemikiran Islam – Islamia – versi Koran sebanyak 4 halaman setiap bulan. Jurnal Islamia-Republika ini telah terbit selama 3 tahun . berdasarkan survei Litbang Harian Republika, jurnal ini merupakan rubric non berita yang paling diminati pembaca Republika. Tanpa dibayar ataupun membayar, peneliti INSISTS berkewajiban menulis artikel sebanyak 4 halaman setiap bulannya. Seandainya INSISTS harus membayar untuk jurnal Islamia ini, tentu dibutuhkan dana milyaran rupiah.

Selain itu, sejak 31 Mei 2005, INSISTS juga telah meluncurkan situs pemikiran Islam: www. insistsnet.com. Selama periode Maret 2011-Februari 2012, situs ini telah dikunjungi  497.027 pengunjung dengan hits 9.094.706. Luar biasa.

Direktur Program Pascasarjana Universitas Ibnu Khaldun Bogor, Prof. Dr. Didin Hafidhuddin, MSc mengucapkan selamat atas Milad INSIST ke-9. Semoga teman-teman di INSISTS diberikan kekuatan dan kesungguhan dalam mengkaji dan menyebarkan pemikiran-pemikiran dan konsep-konsep yang berasaskan al-Qur’an dan Hadits Nabi serta pendapat-pendapat jumhur ulama yang shahih, yang berorientasi pada kepentingan serta kemaslahatan umat.
“Mudah-mudahan INSISTS terus membentengi umat dari tipu daya pemikiran-pemikiran yang sesat dan menyesatkan. Jadilah INSISTS benteng pertahan aqidah dan pemikiran umat,” harap Didin yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Baznas. 

Kutipan :
Desastian  / VoA-Islam
Jum'at, 02 Mar 2012

Gregetan dengan Pengasong Liberal, INSISTS Lahir & Ditakuti Lawan (1)


JAKARTA – Sejarah INSISTS bermula sembilan tahun lalu, Muharram 1424 H (tahun 2003), di Desa Segambut, Kuala Lumpur, Malaysia. Berawal dari diskusi-diskusi kecil para mahasiswa International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) asal Indonesia dan sejumlah dosen di sana. Ketika itu ada Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, kyai Gontor yang belum lama ini lulus dengan gelar doctor dari ISTAC (Kini Direktur INSIST). Ada pula Adnin Armas, mahasiswa ISTAC yang menulis tesis master di bidang Sains Islam berjudul “Fakhruddin al-Razi on Time”.

ISTAC merupakan kependekan dari Institut Antarbangsa Pemikiran dan Tamadun Islam yang diasaskan oleh pemikir dan cendekiawan terkemuka dunia, Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas. ISTAC dibuka secara resmi pada 4 Oktober 1991. Institut ini menawarkan pendidikan sarjana dan doctor dalam bidang pemikiran, sains, dan peradaban Islam.

Kampus ISTAC terletak di kawasan Damansara Heights, Kuala Lumpur. Selain dari bangunan utama, kampus ISTAC terdiri atas sebuah perpustakaan besar, masjid, dan juga balai sidang yang seluruhnya merupakan sintesis indah yang memamerkan perpaduan arsitektur Islam, Barat, dan Melayu. Seluruh desain, bentuk-bentuk seni, dan kaligrafi merupakan goresan tangan Syed Muhammad Naquib al-Attas sendiri.

Salah seorang pencetus INSISTS adalah dosen dan alumnus ISTAC, Ugi Suharto, pakar ekonomi Islam yang juga mengajar mata kuliah Sejarah dan Metodelogi Hadits di ISTAC. Ketika itu, Ugi baru saja merampungkan diskusi via email tentang “Al Qur’an Edisi Kritis” dengan aktivis liberal, Taufik Adnan Amal dari UIN Makasar.

Ada lagi,DR.Syamsuddin Arif, doctor dari ISTAC dan masih menulis desertasi keduanya di Frankfurt Jerman. Kemudian ada pula DR. Anis Malik Thoha, alumnus Universitas Islam Internasional Islamabad Pakistan yang dikenal sebagai pakar pluralism agama. Kini, Dr. Anis adalah dosen di Internasional Islamic University Malaysia (IIUM). Masih sederet ilmuwan lainnya yang terlibat dalam pendirian dan aktivitas INSISTS, seperti Nirwan Syafrin (mantu KH. Kholil Ridwan), Muhammad Arifin Ismail, MA, dan sebagainya.

Sebelum berangkat ke Malaysia, Januari 2003, Adian Husaini (kini Pembina INSISTS), untuk menempuh program Ph.D di ISTAC, ia sudah menulis buku Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya (2002). Ketika menulis buku ini, fokus Adian masih sebatas pada kritik terhadap Jaringan Islam Liberal (JIL). Setelah banyak berdiskusi dengan para mahasiswa dan dosen di ISTAC, Adian melihat fenomena yang jauh lebih luas.
Dalam peta liberalisasi, JIL ternyata hanyalah sebuah lembaga penyebar ide-ide liberal. Disinilah, Adian mulai menemukan framework studi Islam yang kuat dan kokoh serta berakar pada tradisi pemikiran Islam. Cakrawala membangun peradaban Islam melalui budaya ilmu semakin tampak jelas.

Buletin Perjuangan
Hampir setiap hari, mahasiswa ISTAC mendiskusikan masalah-masalah pemikiran Islam. Dari diskusi-diskusi yang intensif, kemudian muncul dorongan untuk mulai menyebarkan produk-produk pemikiran-pemikiran tersebut ke Tanah Air (Indonesia). Semboyan “Berpikir besar, berbuatlah dari yang kecil!” menjadi tekad mahasiswa yang hidupnya serba pas-pasan, dengan mengawali langkah meluncurkan buletin INSISTS. Buletin dicetak hanya sekitar 150 eksemplar dengan tebal sepuluh halaman. Uangnya dikumpulkan secara swadaya (bersama-sama).

Edisi perdana buletin INSISTS (Maret 2003/Muharram 1424 H) menurunkan tulisan Hamid Fahmy Zarkasyi berjudul  “Cengkraman Barat dalam Pemikiran Islam”. Buletin ini kemudian diedarkan ke Indonesia dengan infaq Rp. 2000.  Edisi kedua (April 2003) menurunkan tulisan Syamsuddin Arif berjudul “Jejak Kristen dalam Islamic Studies”. Sementara itu, diskusi dua mingguan untuk para mahasiswa di Kuala Lumpur terus berjalan dengan mempresentasikan makalah secara bergantian.

Kemudian, datanglah Edi Setiawan, pemimpi  penerbitam Khairul Bayan ke Kuala Lumpur. Setelah diajak berkeliling kampus ISTAC, khususnya untuk melihat-lihat koleksi perpustakaannya, ketika itu terucap kalimat Pak Edi: “Pantas kampus ini dibekukan.” Jika ISTAC dibiarkan berkembang, bukan tidak mungkin akan menjadi tantangan serius bagi hegemoni peradaban Barat dalam bidang keilmuan, khususnya bidang studi Islam.

Memang, ISTAC dirancang Prof Syed Muhammad Naquib al-Attas untuk mencetak sarjana-sarjana Muslim yang tidak silau dengan peradaban Barat dan mampu menjawab tantangan keilmuan yang ditimbulkan oleh peradaban Barat. Karena itulah, sejak puluhan tahun al-Attas menjelaskan bahaya peradaban secular Barat dan bagaimana umat Islam harus menghadapinya secara intelektual.

Misi INSISTS di Indonesia pun dimulai tanpa harus menunggu pulang mahasiswa asal Indonesia ke Tanah Air. “Jika menunggu kalian pulang ke Indonesia untuk berbuat, sudah jadi apa Indonesia,” kata Edy Setiawan dalam sebuah SMS yang dikirimnya. Lalu diputuskanlah untuk menerbitkan majalah Islamia. Naskah dan keredaksian disuplai oleh INSISTS. Seluruh redaksi bekerja secara sukarela. Urusan penerbitan dan pemasaran diserahkan pada ahlinya.

Edisi pertama majalah Islamia (jurnal ilmiah dalam bidang pemikiran Islam) langsung menggebrak dunia pemikiran Islam di Indonesia dengan mengangkat tema “Tafsir Versus Hermeneutika”. Melalui majalah ini, INSISTS menyatakan sikapnya yang tegas: menolak penggunaan metode hermeneutika untuk penafsuran al Qur’an. Pemikiran INSISTS ini kemudian menjadi arus baru dalam studi dan pemikiran Islam di Indonsia. 

Kutipan :
Desastian / VoA-Islam
Jum'at, 02 Mar 2012

9 Tahun INSISTS Menggempur Pemikiran Sesat Kaum Fasik Liberal

Jakarta – Bagi mahasiswa di berbagai perguruan tinggi di Indonesia, mengenal INSISTS (Institute for The Study of Islamic Thought and Civilizations) sebagai lembaga yang selama ini serius menentang ide-ide Liberalisme Pemikiran Islam. Selain itu, INSISTS pula yang gencar menggemakan kembali Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer. Wacana lain yang melekat dan identik dengan INSISTS adalah Islamic Worldview atau Pandangan alam Islam.

Memasuki bulan Muharram 1433 H, atau Januari 2012, INSIST telah memasuki usia ke-9 tahun. Dengan demikian, genap sembilan tahun sudah INSISTS berkiprah dalam mewarnai dunia pemikiran Islam di Indonesia.
“Dengan berbagai perbaikan, baik dalam structural untuk terus turut serta membudayakan ilmu bagi masyarakat Indonesia agar mampu melahirkan manusia-manusia unggulan. INSISTS yakin, dengan dukungan berbagai pihak, peradaban Islam yang didambakan bersama akan terwujud. Insya Allah,” kata Pembina INSISTS, DR. Adian Husaini, M.Si dalam sambutannya pada Milad INSISTS ke-9 di kediaman pengusaha muslim Hasyim Ning, Jl. Cikini Raya No.24, Jakarta Pusat, Rabu (29/2) malam.

Dalam kesempatan itu, juga dideklarasikan “Budaya Ilmu untuk Indonesia” (Membangun Indonesia Melalui Ilmu), sekaligus peluncuran tiga buah buku karya peneliti INSISTS berjudul: 1) Rihlah Ilmiah Wan Mohd Nor Wan Daud: Dari Neomodernisme ke Islamisasi Ilmu Kontemporer, 2) Misykat: Refleksi dari Westernisasi, Liberalisasi Menuju Islamisasi (Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi), dan 3) Rasional Tanpa Menjadi Liberal (Tim INSISTS).

Hadir dalam Milad INSISTS tersebut, diantaranya: Taufik Ismail (penyair), Ustadz Fadzlan Garamatan (dai asal Papua), Mantan Ketua Umum PAN Soetrisno Bachir, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri, Hamid Fahmy Zarkasyi (Direktur INSIST), Adian Husaini, Adnin Armas dan para peneliti INSISTS lainya.

Kiprah INSISTS
Selama 9 tahun kehadirannya, INSISTS telah menggelar ratusan workshop, baik di dalam maupun di luar negeri. Berbagai persoalan kontemporer dibahas oleh peneliti INSISTS dalam workshop tersebut. Puluhan lembaga, ormas, pesantren, bahkan DPR pernah mengundang INSISTS untuk membahas berbagai persoalan. Terakhir, peneliti INSISTS Adian Husaini diundang para guru di Kota Tegal dan sekitarnya untuk menjadi pembicara dalam seminar Nasional bertajuk “Telaah Kurikulum Pendidikan Agama Islam Menuju Guru dan Siswa Berkarakter”.

Dalam mengemban dakwahnya ke tengah masyarakat, INSISTS juga menyelengarakan program Training for Trainers.  Workshop bertemakan “Telaah Kritis Konsep Kesetaraan Gender” tersebut dihadiri oleh ibu-ibu dari berbagai organisasi muslimah di Jakarta dan sekitarnya. Adalah Henry Shalahuddin, MA, Peneliti INSISTS muda ini merupakan seorang yang pakar dan concern terhadap permasalahan kesetaraan gender. Program ini akan terus berlanjut di berbagai daerah di Indonesia.

Sejak tahun 2004, INSISTS rutin menerbitkan Majalah Jurnal Pemikiran, Islamia. Edisi pertama bertajuk “Heurmeunetika Versus Tafsir Al-Qur’an” memberikan argument yang kuat dan ilmiah untuk menolak diterapkannya heurmeunetika sebagai metode untuk memahami al-Qur’an. Islamia mendapat sambutan positif dari umat Islam, bukan hanya di Indonesia melainkan juga di Asia Tenggara.

Patut diapresiasi, Bulletin Pemikiran dan Peradaban Islam menandai masa-masa awal kehadiran INSISTS. Bulletin ini diterbitkan oleh para cendekia INSISTS secara swadaya. Mereka menulis, menerbitkan, mencetak, dan menjual sendiri bulleti ini. Saat itu harga jualnya Rp. 2000 dan RM (Ringgit Malaysia) 2.00 per eksemplar.

Selama 9 tahun para peneliti INSISTS telah menghasilkan puluhan karya, yang sedikit banyak telah memberikan pengaruh terhadap wacana pemikiran Islam di Indonesia.  Telaah buku “Pengaruh Kristen-Orientalis terhadap Islam Liberal” karya Adnin Armas, merupakan salah satu buku pertama yang menandai lahirnya INSISTS. Buku penting lainnya yang diterjemahkan oleh Tim INSISTS (Hamid Fahmy Zarkasyi, M.Phil, Ph, Arifin Ismail, dan Iskandar Arnel) adalah buku berjudul “Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam” Syed M. Naquib Al-Attas.

Perlu diketahui, situs resmi INSIST (www.insistsnet.com) yang diluncurkan pertama kali pada 31 Maret 2005 ini, telah dikunjungi tidak kurang dari 497.027 pengunjung dengan hits 9.094.706. Dalam situs ini para pengunjung dapat memperoleh e-book, makalah-makalah, baik dari diskusi maupun seminar dan workshop yang diselenggarakan INSISTS. Artikel-artikel berbobot dari segenap peneliti INSISTS dapat diperoleh secara cuma-cuma alias gratis. 

Kutipan :
Desastian / Voa-Islam
Jum'at, 02 Mar 2012

INSISTS, Gudangnya Intelektual Muslim Muda Berbasis Ilmu

JAKARTA  - Menurut Ketua INSISTS DR.Hamid Fahmy Zarkasyi, M.Phil, Ph.D, kompetisi antar-peradaban berlangsung sepanjang zaman. Di zaman kini, globalisasi yang didominasi westernisasi sangat mempengaruhi kehidupan umat manusia. Arus ini menyebarluaskan liberalism, sekularisme, relativisme, pluralisme, materialism, feminisme dan lain-lain. Berbagai paham tersebut berkembang pesat menantang dan mengancam faham Tauhid, yang merupakan inti dari Islam.

Tak dipungkiri, belakangan ini banyak cendekiawan, lembaga pendidikan dan organisasi Islam tercemari faham-faham Sepilis (liberalism, sekularisme, relativisme, pluralisme, materialisme, feminisme) itu. Tanpa filter yang kritis, pemikiran dan metodelogi Barat diadopsi ke dalam studi Islam. Kebenaran dan kebatilan menjadi tak jelas lagi pemilahannya.

Dampak dari westenisasi dan metodetelogi pemikiran ala Barat itu kemudian berdampak: Pertama, kerancuan pemikiran, kerusakan ilmu dan  berbagai konsep penting dalam Islam. Salah dan benar menjadi kabur. Kedua, rasa rendah diri terhadap peradaban hegemonic (Barat) dan menjadi sinis terhadap khazanah peradaban Islam.

Untuk menghadapi tantangan ini, cendekiawan Muslim wajib menggali lagi konsep-konsep dasar tradisi intelektual Islam. Pada saat yang sama, mereka juga wajib mengkaji konsep-konsep dasar peradaban lain (Barat), kemudian memilahnya, mana yang sesuai dengan Islam, dan mana yang berpotensi merusak umat Islam.

Inilah yang disebut sebagai proses negasi (nafy), dan afirmasi (ithbat), sebagaimana kalimat Laa ilaaha illa Allaah. Inilah framework kajian Islam, yang akan menjadikan ilmu pengetahuan Islam sebagai asas dibangunnya peradaban Islam, agar tak dirancukan oleh faham-faham asing, maupun oleh kepentuinga politik dan ekonomi jangka pendek.

Profil INSISTS
INSISTS (Institute for The Study of Islamic Thought and Civilizations) adalah sebuah lembaga yang bernaung di bawah Yayasan Bina Peradaban Islam Al-Tamaddun yang bergerak di bidang penelitian dan kajian pemikiran dan peradaban Islam.

INSISTS berkiprah dalam kajian konseptual, kritis, tidak apriori terhadap peradaban asing, namun tetap berpijak pada pandangan alam (worldview) Islam. INSISTS berpegang teguh pada kebenaran (commited to the truth). Peradaban Islam berkembang dari pandangan alam Islam yang berdasarkan ilmu. Maka untuk membangun kembali peradaban Islam harus dimulai dari menghidupkan “tradisi ilmu” dalam masyarakat. Inilah misi utama INSISTS.

Tujuan INSISTS sejak awal berdiri, ingin mengembangkan kerangka pemikiran Islam yang berangkat dari konsep pandangan alam Islam (Worldview of Islam), dan merumuskan kembali konsep dan metodelogi penting dalam khazanah pemikiran dan peradaban Islam yang relevan dengan problem yang dihadapi umat Islam dalam bidang masing-masing, seperti keilmuan, pendidikan, peradaban, politik, ekonomi, dan social. INSISTS hadir untuk menghadirkan jawaban Islam terhadap berbagai persoalan yang dihadapi umat Islam, khususnya, dan umat manusia pada umumnya.

Untuk menjalankan roda organisasi yang sebagian besar kalangan intelektual muda ini, INSISTS memiliki kegiatan utama, antara lain: melakukan penelitian dan kajian di bidang pemikiran dan peradaban Islam, terutama yang berkaitan dengan isu-isu yang tengah terjadi. Penelitian dan kajian ini berupa desk study maupun penelitian lapangan. Penelitian dan kajian INSISTS didukung oleh knowledge management berupa perpusatakaan fisik maupun digital.

Publikasi hasil penelitian dan kajian INSISTS melalui jurnal Islamia, baik versi majalah maupun Koran, website (www.insistsnet.com) , melalui penerbitan buku-buku, tulisan-tulisan lepas, baik di media cetak maupun elektronik.

Kegiatan INSISTS lainnya adalah mengadakan pelatihan-pelatihan berupa workshop, training, seminar, konferensi dan diskusi rutin. Dalam waktu dekat, INSISTS akan merintis berdirinya Universitas Islam Internasional, sebagai pusat kajian pemikiran dan peradaban Islam yang mengintegrasikan ilmu-ilmu naqliyah (agama) dan ‘aqliyah (sains).

Dalam perjalanannya, INSISTS telah mengadakan kegiatan rutin dalam berbagai bentuk, meliputi: diskusi dwipekanan (setiap hari Sabtu) dengan membahas masalah-masalah actual dan kajian lain yang bersifat incidental. INSISTS juga menggelar workshop tentang pemikiran dan peradaban Islam, seperti Islamic Worldview, Islamisasi Ilmu, Studi Al-Qur’an, Hadits, Fiqih, Sirah, dan lain-lain.

Adapun workshop tentang paham-paham tantangan peradaban Islam dari paham-paham modern dan postmodern, diantaranya: sekularisme, liberalism, pluralism agama, relativisme, materialism, orientalisme, hermeneutika dalam Ilmu Tafsir, Kesetaraan gender, humanism dan sebagainya.

INSISTS juga mengadakan kursus jurnalistik, kursus Bahasa Arab, konsultasi penulisan desertasi, tesis, skripsi, maupun penulisan ilmiah berkala (jurnal). Termasuk mengadakan bimbingan dan penelusuran literatur studi Islam dan layanan dokumentasi literatur.

Kutipan :
Desastian / VoA-Islam
Jum'at, 02 Mar 2012