Laman

Kamis, 08 Maret 2012

Allahu Akbar!! ''Paspor ke Surga'' diduga Milik Kelompok Jihad di Homs


HOMS.SURIAH. – Perlawanan terhadap kezaliman pemerintah Suriah dan gelora jihad semakin berkobar. Baru-baru ini di kota Homs ditemukan dari barang sitaan oleh petugas pemerinta Suriah, paspor yang sudah dirubah menjadi paspor luar biasa oleh kelompok jihad. Yaitu “paspor ke Surga” (Passport to Paradise).

Selasa 6 Maret 2012, otoritas Suriah menyita sejumlah senjata dan beberapa unit computer dan ponsel terbaru serta mikrofon. Senjata yang disita juga dari berbagai jenis sperti senapan otomatis, senapan mesin, sniper canggih buatan Jerman, RPG, pelontar lainnya yang anti-baja, goggle infared, masker, granat, pistol, pistol peredam suara, dan paspor yang dicuri kemudian dipalsukan. Petugas juga menyita amunisi, seragam militer, helm, ransel dan batang dinamit.
.......Ini menunjukkan bahwa mereka mulai eksis dan menampakkan jatidiri mereka serta taktik dalam menghadapi kezliman tiran Suriah Bashar Al-Asad.......
Yang menarik diantara barang sitaan itu adalah paspor yang sudah dirubah bukan paspor buatan Negara lagi. Dibagian depan paspor tersebut, tertulis diatasnya "لا إله إلا الله محمد رسول الله",tiada ilah selain Allah, Muhammad adalah utusan Allah”. Kemudian dibawahnya tertulis “Passport to Paradise”. Paspor ini diduga dari kelompok bersenjata (mujahidin,red) yang menggunakan paspor ini sebagai kode dan password diantara mereka.

Ini menunjukkan bahwa mereka mulai eksis dan menampakkan jatidiri mereka serta taktik dalam menghadapi kezliman tiran Suriah Bashar Al-Asad.
Semoga Allah meneguhkan langkah mujahidin Suriah
Ya Allah tolonglah orang-orang yang tertindas
Hancurkanlah singgasana tiran Bashar Al-Asad 

Kutipan :
usamah/tawhid / VoA-Islam
Kamis, 08 Mar 2012

Beda Aqidah, Hamas Tidak Sudi Bantu Iran jika Diserang Israel

GAZA  - Pemimpin pergerakan Islam Palestina Hamas mengatakan tidak akan membantu Iran secara militer kalau Iran berkonflik dengan Israel karena secara ideologis mereka berbeda,Hamas basisnya adalah Muslim Sunni sementara Iran adalah Syiah.

Spekulasi yang beredar adalah bila Israel menyerang fasilitas nuklir Iran maka negara itu akan menghadapi tembakan roket dari Hamas di Gaza maupun Hizbullah di Libanon. Keduanya adalah sekutu Iran.
Namun seorang pejabat senior Hamas yang enggan disebut namanya menekankan bahwa Hamas tidak akan ikut campur dalam konflik Israel dan Iran karena persoalan ideologis.

Walaupun mengakui kedekatan mereka dengan Iran, pejabat tadi menambahkan, ''Iran sangat murah hati membantu kami dengan uang mereka, tetapi secara ideologis sedikit sekali persamaan di antara kami.''
Iran diketahui memompakan puluhan juta dolar ke Gaza setiap tahunnya untuk membantu Palestina.
Walau Hamas dan Iran sama-sama memusuhi Israel, Hamas basisnya adalah Sunni sementara Iran adalah Syiah.
Hisbullah di Libanon selatan lebih dekat ke Iran karena sama-sama Syiah.
''Saya tidak suka cara Iran dan bagaimana mereka mencoba mempengaruhi dunia Arab,'' tambah pejabat yang enggan disebut namanya tersebut. 

Kutipan :
(st/bbc) / VoA-Islam
Kamis, 08 Mar 2012

Kerap Mengatasnamakan Islam, JIL Sebaiknya Buat Agama Baru


JAKARTA – Jaringan Islam Liberal (JIL) atau tepatnya Jaringan Iblis Laknatullah sejauh ini kerap keluar dari mainstream ajaran Islam. Pemikirannya yang nyeleneh, membuat umat Islam marah besar, dan menghendaki agar JIL dibubarkan. Lebih dari itu, JIL sebaiknya membuat agama baru, seperti halnya Ahmadiyah. JIL seharusnya tidak mengatasnamakan Islam!

Meski MUI pada 2005 telah mengeluarkan fatwa bahwa faham pluralisme, liberalisme dan sekularisme itu haram, namun kaum fasik JIL tetap saja bergeming, dan istiqamah dengan kesesatannya.
Sudah menjadi rahasia umum, jika selama ini, pemahaman aktivis JIL sangat berseberangan dengan mainstream yang dianut ulama dan umat Islam Indonesia. Selain berpikiran nyeleneh dan ngawur, mereka sering menentang keras fatwa yang telah dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Salah satunya adalah terkait fatwa sesat Ahmadiyah. Di saat yang sama, MUI juga mengeluarkan fatwa haramnya paham pluralisme, liberalisme dan sekularisme.

Fatwa itu jelas saja membuat kaum fasik liberal blingsatan. Mereka bereaksi dengan menggalang berbagai pertemuan dan diskusi, mengundang para tokoh lintas agama, seperti Gus Dur dan para pengasong liberal lainnya. Para gerombolan sesat menyesatkan itu lantas menghujat fatwa MUI itu tidak berdasar. Bahkan Ulil Abshar Abdalla dengan kasarnya, menyebut Fatwa MUI tersebut sebagai hal yang tolol.

JIL Merasahkan Umat
Selama 11 tahun berkiprah, gerakan JIL sangat meresahkan masyarakat, terutama umat Islam. Itu disebabkan mereka menebarkan pemikiran-pemikiran sesat yang membuat rancu pemahaman agama umat Islam.
Menurut Direktur Eksekutif INSIST Adnin Armas, aktivis JIL adalah orang-orang Islam yang terbaratkan. Mereka menggunakan ayat-ayat al-Qur’an dengan paradigm Barat. “Dalam kancah ghazwul fikri saat ini, perkembangan Indonsia cukup dahsyat. Yang dilakukan JIL selama ini adalah menggerogoti nilai-nilai dasar Islam,” tandasnya.

Para aktivis JIL, kata Adnin, sudah mencampuradukkan antara yang hak dan batil, bukan lagi sekadar perbedaan pendapat sebagaimana mereka klaim. Karena mereka sudah menghujat al-Qur’an, mengkritik Rasulullah Saw dan menganggap semua agama sama.

Kutipan :
Desastian / VoA-Islam
Rabu, 07 Mar 2012

Indonesia Damai Tanpa JIL: Sebelas Tahun JIL Menebar Sesat


JAKARTA  – Sejak didirikan 11 tahun yang lalu (8 Meret 2001), Utan Kayu 68H memang menjadi markas JIL dan beberapa kelompok budaya, seni dan agama. Selain menjadi markas, Utan Kayu 68H juga menjadi center kegiatan kaum liberal selama 11 tahun.

Dari situlah para aktivis liberal menyebarluaskan pikiran-pikiran sesat dan nyelenehnya ke kalangan umat Islam Indonesia. Talkshow di Radio 68H itu kerap mengangkat tema-tema yang isinya banyak menggugat  syariat Islam. Termasuk milis dan website JIL yang banyak menggugat otentitas al-Qur’an yang menjadi kitab suci umat Islam di seluruh dunia.

Sebagian aktivis JIL melanjutkan studi ke luar negeri, sebut saja Ulil Abshar Abdalla melanjutkan studi ke Universitas Harvard-Amerika Serikat dan Boston University (gelar master), Nong Darol Mahmada ke Australia dan Luthfi Assyaukani ke Singapura. Berbagai diskusi dan seminar digelar JIL secara terbuka kepada masyarakat dan kalangan mahasiswa. Adalah Guntur Romli, aktivis JIL yang terlihat aktif sebagi moderator.

Dalam perjalanannya, aktivis JIL seperti Ulil telah menghasilkan karya sesatnya, diantaranya buku berjudul: “Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam, Bunga Rampai Surat-surat Tersiar”. Buku ini merupakan kumpulan surat Ulil dengan para anggota milis Islam Liberal sejak ia belajar di Boston satu setengah tahun lamanya.

Hal serupa juga dilakukan Luthfi As Syaukani yang giat menuliskan pemikiran liberalnya ke sejumlah media massa Indonesia. Harian Kompas sempat memuat artikel As Syaukani yang berjudul “Dua Abad Islam Liberal” (2007). Dalam tulisan tersebut, Luthfi menyebul JIL, lembaga yang dibentuk pada 2001 itu sebagai sebuah gerakan pencerahan bagi umat Islam di Indonesia. Ia menganjurkan agar umat Islam bergembira menyambut ulang tahun JIL ketika itu.

Sekilas JIL
Menurut salah satu pentolan JIL Novriantoni, keberadaan JIL adalah untuk menindaklanjti proyek pembaruan Islam yang sudah ada. Ia tidak menampik, keberadaan sosok Nurcholish Madjid alias Cak Nur ini turut menginspirasi lahirnya JIL. “Kalau dulu di masa Cak Nur, perspektifnya tentang Islam itu inklusif, kini agak melangkah lebih maju ke depan, lebih kritis,” Novi, begitu ia disapa.
Selain Cak Nur beberapa tokoh yang turut menginspirasi JIL adalah mendiang Gus Dur, Munawir Sadzali dan Harun Nasution. Menurut Novi, proyek pemikiran Islam itu semacam mata rantai yang berkesinambungan, tidak terputus.

Gagasan tentang JIL pertama kali dibicarakan di Utan Kayu, tahun 2001 silam. Pada waktu itu, Ulil Abshar Abdalla, Luthfi Assyaukani, Goenawan Mohamad dan lainnya berkumpul untuk membentuk Jaringan Islam Liberal (JIL). Selain markas JIL, Utan Kayu lebih dulu dikenal sebagai tempat kongkow-kongkow, teater, penerbitan jurnal kalam, dan kantor Radio 68H.
JIL menempatkan tempatnya di Jl. Utan Kayu, meski tidak memiliki hubungan secara structural dengan teater maupun radio, namun tetap memiliki visi-misi yang sama: menyebarkan faham sepilis (sekularisme, pluralism dan liberalism).

Sebelumnya, Asia Foundation merupakan penyokong dana terbesar JIL. Namun, kabarnya, lembaga itu tidak lagi memberikan sokongan dana. Meski aliran dana itu terhenti, aktivis JIL masih banyak mendapatkan dana dari donator-donatur lain, selain dari swadaya sendiri.
Novriantoni yang lulusan Gontor ini, menegaskan kembali, tentang perlunya sekularisme, pemisahan atara wewenang agama dan negara. Negara-negara yang masih teokratis itu adalah negara-negara yang membawa bencana lebih besar daripada negara-negara sekular. “Khilafah adalah utopia yang harus ditinggalkan oleh umat Islam,” kata Novi ngawur. Sementara itu Koordinator JIL Ulil Abshar Abdalla mengatakan, sekularisme tidak menghalangi dan memusuhi peran agama dalam ruang publik.

Kutipan :
Desastian / VoA-Islam
Rabu, 07 Mar 2012
 

Ulil Abshar Sempat Bernafsu Jadi Orang No 1 di PBNU, Mimpi Kalee


JAKARTA - Pengasong sepilis (sekularisme, pluralisme dan liberalisme) masih bergeliat di tubuh ormas Islam terbesar, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Mereka sempat berupaya merebut pengaruh dan mengambil alih kepemimpinan dan kepengurusan kedua ormas tersebut.

Ada dua agenda penting yang digelar pada 2010 lampau, yakni: Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) di Makasar dan Muktamar Muhammadiyah di Yogjakarta. Isu yang menggelinding jelang muktamar saat ini adalah seputar suksesi kepemimpinan kedua ormas Islam terbesar tersebut. Pertarungan semakin seru, tatkala muncul dua kubu yang saling berhadap-hadapan: liberal dan anti liberal.

Ketika itu, Ulil Abshar Abdalla (intelektual muda NU) sepulang dari Amerika Serikat  -- empat tahun menghilang dari Tanah Air – muncul kembali dengan melempar kejutan. Ulil yang merasa dirinya masih diakui sebagai warga NU, begitu ’pede’ mendeklarasikan dirinya untuk maju sebagai NU-1 (Ketua Umum PBNU) saat Muktamar NU ke-32 lalu.

Dengan gagahnya, Ulil mengatakan, diaspora kaum muda NU sudah sedemikian luas, tak hanya di pedalaman, tapi juga di kota-kota besar. Jumlah mereka besar. Banyak yang bersekolah hingga ke berbagai negara, dari Mesir, Saudi, Pakistan, hingga Inggris dan Amerika.
”Ini yang harus diperhatikan NU di masa depan. Dan saya kira untuk merangkul mereka dibutuhkan pemimpin muda. NU sudah berubah dan saatnya dipimpin orang yang lebih muda. Tentu dengan dukungan kiai-kiai senior,” kata Ulil  dalam wawancaranya di situs JIL.

Sebagai orang muda yang cerdas, Ulil sebetulnya sadar, bahwa ia tidak akan mendapat restu dari para kiai NU. Barangkali hanya Gus Dur saja yang mendukung. Pencalonan diri Ulil tak lebih hanya gurauan, khayalan dan basa-basi saja. Ulil tahu betul, pencalonannya itu akan menuai kontroversi di kalangan kiai NU.
Ulil memang tidak mengajukan proposal, tapi ia lebih suka wacana dan hal-hal yang sensasional. Sekadar test case saja. Ulil bahkan berseloroh saat ditanya, modal apa yang meyakinkan dirinya maju sebagai calon NU-1?
”Bukannya sombong, saya rasa modal saya memadai. Saya punya pendidikan pesantren yang baik, mengaji fikih sesuai dengan hierarki pesantren, punya pemahaman kitab kuning cukup baik. Saya lulus dari LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) – padahal tidak lulus -- dan punya pendidikan Barat. Saya juga lahir dari keluarga NU dan berkiprah di NU cukup lama,” ujar Ulil berseloroh.

Untuk maju sebagai ketua umum PBNU, tentu Ulil perlu restu kiai, seperti kiai Langitan, Tebuireng, dan Asembagus. Bisa dipastikan, penerimaan pesantren-pesantren itu terhadap Ulil berujung mustahil dan mengecewakan. Tapi tetap saja Ulil berencana menemui beberapa kiai di Asembagus, Situbondo.
”Insya Allah, saya bisa mendapat restu pesantren-pesantren itu. Memang ada yang beranggapan saya punya pikiran terlalu bebas. Tapi saya yakin mereka bisa paham kalau saya jelaskan, ” tukas Ulil yang pernah divonis mati oleh Forum Ulama Umat Islam (FUUI) di Bandung karena gagasan liberal yang diusungnya.

Selama ini Ulil memang identik dengan Jaringan Islam Liberal (JIL). Bukan rahasia lagi, mayoritas kiai NU merespons negatif pemikiran JIL. Jelas ini tak menguntungkan pencalonannya. Terhadap stigmanya itu, Ulil mencoba mengcounter. Ia katakan, pencitraan negatif itu datang dari luar NU dan merembes ke NU.

Menurut Ulil, ada beberapa hal yang perlu direformasi di tubuh NU. Kata Uil, NU ke depan bukan hanya milik muslim tradisional. Tantangannya adalah bagaimana mendekatkan NU ke kelas menengah kota dan bagaimana berhadapan dengan kelompok radikal. Kepada para senior di NU, Ulil juga  menjelaskan berbagai pendapatnya yang dianggap kelewat liberal. Dia mengatakan pikiran dan kritiknya selama ini sebenarnya tak diarahkan ke NU, tapi dialamatkan ke kelompok-kelompok radikal di Indonesia.
”Bagi saya, liberal juga bukan berarti bebas tanpa batas. Saya akan berusaha mendekatkan ide-ide saya dengan bahasa NU,” kata Ulil yang merupakan menantu KH A. Mustofa Bisri, pengasuh Pondok Pesantren Raudhatul Thalibien, Rembang.

Ungkapan Ulil untuk mendekatkan ide-idenya dengan bahasa NU, adalah kamuflase untuk menipu kiai-kiai NU yang tawadhu dan tasamuh. Bahasa yang digunakan seolah-olah santun dan toleransi adalah strategi Ulil untuk menipu sesepuh NU, bahwa dirinya tidak bermasalah.

NU Menolak JIL
Mantan Ketua Umum PBNU KH. Hasyim Muzadi pernah menanggapi sinis gerakan aktivis JIL tersebut. Termasuk kiai NU lainnya, seperti (alm) KH. Said Budairi yang tegas-tegas menyatakan penolakannya terhadap pemikiran JIL.

Menurut Muzadi, selama ini kiprah aktivis JIL lebih banyak melonggarkan akidah umat Islam, ketimbang membuat keyakinan iman yang lebih baik. Bahwa, sebagian besar aktivis JIL adalah anak muda dari kalangan NU, Muzadi tidak menafikannya. Namun, ia menolak jika ada yang menyebut bahwa pemikiran JIL berasal dari NU.

Pakem NU, kata Muzadi, tidaklah seperti itu. Bahkan pemikiran aktivis JIL tidak bagus untuk perkembangan NU. Yang jelas, NU tetap berpegang pada manhaj NU. Muzadi curiga, gerakan JIL adalah adalah bagian dari musuh-musuh Islam untuk menghancurkan Islam dari dalam. Barat menjadikan negara-negara Islam menjadi sasaran proyek mereka.  “Mereka didanai oleh funding-funding khusus,” kata kiai. 

Kutipan :
Desastian / VoA-Islam
Rabu, 07 Mar 2012 

Gerah, Ulil Abshar Imbau Larang Pendukungnya Baca Voa-islam.com


JAKARTA - Ulil Absar Abdalla ternyata menyimpan kebencian tersendiri terhadap situs berita Islam yang konsisten berjuang membela hak-hak umat yang terdzalimi, salah satunya adalah situs kita tercinta Voice of al-Islam (VoA-Islam).

Di akun twitter, Ulil menghimbau para pendukungnya untuk tidak membaca VOA-Islam dan Muslimdaily.Net karena dua situs tersebut menurutnya hanya mengaku-aku Islam.

Ini cuplikan balasan Ulil kepada sebuah akun yang bernama @zenstrive. Ulil berkata, "baca berita dr media umum yg sdh teruji saja ya. jangan situs2 yg ngaku2 "islami" kayak voice of al-islam atau muslim daily itu".

Ulil Abshar yang ngaku seorang demokratis justru bersikap tidak demokratis, dengan mengajak para pendukungnya untuk tidak membaca situs-situs Islam yang sebetulnya bermanfaat dan mencerahkan bagi umat. Ulil secara langsung atau tidak langsung telah memasung kebebasan pers, karena melarang orang untuk membaca situs Islam semisal Voa Islam dan Muslimdaily. Jelas statemen Ulil di twitter sangat tendensius dan menebar kebencian.

Ulil lupa,  Partai Demokrat, wadah tempatnya kini berlabuh, sedang diterpa badai, kemudian mengalihkan isu dengan membuat gerakan Indonesia tanpa FPI. Jika tahu, Ulil ada di Demokrat, umat Islam tidak akan pernah memilih lagi partai yang penuh dengan kolusi dan korupsi ini. Karena Partai Demokrat sudah menjadi sarang kelompok liberal dengan menjadikan Ulil sebagai salah satu kadernya. 

Kutipan :
Desastian / VoA-Islam
Kamis, 08 Mar 2012

JIL & Kelompok Liberal Mulai Kere-Meredup, Kini Mulai Saweran


JAKARTA - Benar adanya, jika JIL telah meredup, setelah desas-desus mereka tidak lagi mendapat bantuan asing. Ini disitir dari pendapat Ulil Abshar Abdala yang mengklaim bahwa dana asing itu terakhir diterima oleh JIL pada tahun 2004.

Bicara soal dana kegiatan, diakui Novriantoni, koordinator program JIL, dulu JIL memperolehnya dari The Asia Foundation (TAF) dari tahun 2001-2005. Pertengahan 2005 tidak dapat lagi dari TAF. Jadi sekarang JIL dananya dari voluntary (sumbangan sukarela). Misalnya Goenawan Mohamad saweran (sumbangan dana) buat JIL perbulan, dan beberapa orang lain simpatisan yang juga saweran untuk JIL.
“Jadi ada beberapa orang yang support JIL terus menerus. Funding asing tidak kita pakai lagi, kecuali ada yang mengajak kerjasama, misalnya kedutaan ajak kerjasama program diskusi kampus, pengadaan buku dan sebagainya. Secara umum bukan funding yang menentukan program kita, mereka mau support oke, tidak mau juga gak apa apa. Kita yang menentukan program, bukan funding,” kata Novri.  

Kendati kere, diakui Novriantoni, donatur domestic kecil-kecilan tetap ada. Yang memberi sejuta perbulan ada tiga juta. “Untuk kaya, JIL memang tidak bisa, tapi sekedar untuk survive saja. JIL itu NGO yang berdana kecil tapi kerjanya banyak. Hanya dengan 400jutaan JIL bisa bikin 50-an diskusi dalam setahun,” ungkap Novri.
Yang pasti, Koordinator JIL Ulil Abshar Abdalla sempat mengakui, bahwa JIL didanai oleh The Asia Foundation (TAF). Perihal jumlahnya, seperti diakui Ulil, setiap tahun JIL mendapat sekitar Rp. 1,4 milyar. “Selain itu, JIL juga mendapatkan dana dari sumber-sumber domestic, Eropa dan Amerika. Tapi yang paling besar berasal dari TAF,” kata Ulil.

Para pengasong paham Sepilis tak lebih dari budak-budak kuffar yang ikut dalam gerbong imprealisme Barat untuk menaklukkan negeri-negeri Muslim. Keberadaannya tak hanya mengancam umat Islam, tapi juga bangsa ini secara keseluruhan.

Sekularisme, Pluraslisme dan Liberalisme adalah tiga ide besar yang hingga saat ini terus dijajakan AS dan sekutunya, dengan bantuan para pengasong di negeri-negeri Muslim, seperti Indonesia. Mereka yang menjadi budak Barat itu adalah Jaringan Islam Liberal (JIL) yang dimotori oleh Ulil Abshar Abdalla, Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) yang dimotori oleh Siti Musdah Mulia, Freedom Institute yang dimotori oleh Luthfi Asy-Syaukanie, the Wahid Institute yang dimotori oleh Yeni Abdurrahman Wahid.

Siapa lagi? Setara Institute yang dimotori oleh Hendardi, International Center for Islam and Pluralism yang dimotori oleh M. Syafi'i Anwar, Komunitas Salihara yang dimotori oleh Goenawan Mohammad dan Guntur Romli, LibforAll Foundation yang dimotori oleh C. Holland Taylor (orang yang seringkali mengajak tokoh-tokoh sekular Indonesia ke Israel), dan masih banyak lagi LSM-LSM komprador yang bekerja sebagai "babu asing" dan menjalankan aksinya untuk merusak akidah dan keyakinan umat Islam.

Sekalipun meredup, nama JIL yang tenar akan kenyelenehannya, kini dibantu media massa untuk kembali menjadi populer pasca meledaknya Bom Utan Kayu dan seakan memberitahukan bahwa JIL memang belum mati, tapi sekarat. 

Kutipan :
Desastian / VoA-Islam
Kamis, 08 Mar 2012
 

Umat Islam Nyatakan Perang terhadap Liberal, Biang Kemurtadan & Kebangkrutan


JAKARTA (voa-islam.com) – Sepuluh ribu massa umat Islam akan menggelar apel siaga menolak Liberalisme, besok siang usai shalat Jum’at.

Aksi damai bertajuk “INDONESIA TANPA LIBERAL” ini digelar mulai pukul 13.00 WIB di Bunderan HI, Jakarta Pusat. Aksi yang diisi dengan orasi para habaib, dai dan tokoh berbagai ormas mengenai bahaya Liberal, yang dilanjutkan dengan longmarch menuju lapangan Monas, Jakarta Pusat.
Koordinator lapangan, Ustadz Bernard Abdul Jabbar, menegaskan bahwa aksi damai yang dimotori Forum Umat Islam (FUI) itu adalah sebagai konsolidasi apel siaga umat Islam untuk menyongsong aksi sejuta umat bertema “INDONESIA BERKAH TANPA MAKSIAT” pada tanggal 30 Maret 2012.
Pesan moral yang akan disampaikan kepada para penguasa dan rakyat Indonesia, jelas Bernard, adalah mengumumkan secara nasional tentang bahaya liberalisme di Indonesia. Liberalisasi di bidang agama yang dipelopori oleh Jaringan Islam Liberal (JIL) adalah pemurtadan berkedok Islam. “Aksi ini dilakukan agar umat Islam umumnya mengetahui bahwa JIL adalah musuh bersama umat Islam. Mereka adalah gerombolan perusak aqidah dan fikrah Islam,” ujarnya kepada voa-islam.com, Kamis (8/3/2012).
Tak kalah bahanyanya, lanjut Bernard, adalah liberalisasi di pemerintahan, karena sudah terbukti mengakibatkan kebangkrutan bangsa. “Kita akan jelaskan kepada masyarakat umum, khususnya umat Islam, bahwa negeri kita ini sudah di ambang kebangkrutan gara-gara sistem liberal. Sistem ini melahirkan maraknya korupsi, premanisme, kerusakan moral di lingkup birokrasi, pemerintahan dan aparat penegak hukum,” paparnya. “Maka harus ada solusi untuk kembali kepada syariat Islam,” tutupnya.

Kutipan :
taz / VoA-Islam
Kamis, 08 Mar 2012 

Jangan Lupa Besok Jumat, Apel Siaga Umat Islam: ''Indonesia Tanpa Liberal''


JAKARTA – Menegaskan misi amar ma’ruf nahi munkar, besok usai shalat Jum’at umat Islam akan menggelar apel siaga menolak Liberalisme. Sepuluh ribu massa dipersiapkan dari kawasan Jabodetabek, Cianjur, Cirebon dan sekitarnya.

Aksi damai bertajuk “INDONESIA TANPA LIBERAL” ini digelar mulai pukul 13.00 WIB di Bunderan HI, Jakarta Pusat. Aksi yang diisi dengan orasi para habaib, dai dan tokoh berbagai ormas mengenai bahaya Liberal, yang dilanjutkan dengan longmarch menuju lapangan Monas, Jakarta Pusat.

Menurut koordinator lapangan, Ustadz Bernard Abdul Jabbar, aksi damai yang dimotori Forum Umat Islam (FUI) itu akan mengerahkan massa sekira sepuluh ribu orang dari berbagai elemen umat Islam. “Massa yang dipersiapkan hadir sekitar sepuluh ribu orang dari ormas Islam berbagai kalangan. Dari berbagai kalangan, antara lain mahasiswa, santri pesantren, pelajar, lembaga dakwah dan masyarakat umum,” ujarnya kepada voa-islam.com, Kamis (8/3/2012).

Tema anti liberal, jelas Bernard, diusung karena liberalisme adalah penghancur bangsa saat ini. Dalam bidang agama, Jaringan Islam Liberal (JIL) sudah terbukti merusak dan memurtadkan umat Islam dengan menjajakan pemikiran yang merusak akidah.

Dalam bidang ekonomi, kebijakan pemerintah untuk menaikkan bahan bakar minyak (bbm) juga akan menyengsarakan rakyat. “Selain menolak JIL, kita mengusung isu kenaikan bbm  yang akan dilakukan oleh pemerintah. Kebijakan liberal yang hanya berpihak pada asing ini justru melalaikan rakyat. Akibatnya, rakyat yang sudah sengsara ini akan mendapatkan imbasnya,” terangnya.

Kebijakan liberal lainnya yang akan disuarakan dalam aksi besok, lanjut Bernard, adalah keengganan pemerintah untuk membubarkan aliran sesat Ahmadiyah. “Tak kalah pentingnya, kita juga akan menuntut keberanian pemerintah untuk membubarkan aliran sesat Ahmadiyah. Sekte ini mengatasnamakan Islam padahal ajarannya merusak Islam. Maka kita desak presiden agar segera membubarkan Ahhadiyah,” tegasnya.

Bernard menambahkan, Apel siaga umat bertema “Indonesia Tanpa Liberal itu” akan ditutup dengan aksi serupa yang lebih besar akhir bulan ini. “Nanti akan kita gelar Aksi Sejuta Umat bertema ‘INDONESIA TANPA MAKSIAT’ pada hari Jum'at 30 Maret 2012 pada jam dan tempat yang sama,” paparnya.

Untuk menyukseskan hajatan massal itu, panitia telah berkoordinasi dengan puluhan ormas Islam yang tergabung dalam Forum Umat Islam (FUI), antara lain: Perguruan As Syafi’iyyah, Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI), Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII), Badan Kerjasama Pondok Pesantren Indonesia (BKsPPI), Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Hizb Dakwah Islam (HDI), Front Pembela Islam (FPI), Gerakan Persaudaraan Muslim Indonesia (GPMI), Hidayatullah, Al Washliyyah, YPI Al Azhar, Majelis Mujahidin, Jamaah Anshorut Tauhid, Gerakan Reformis Islam (GARIS), MER-C, KISPA, Gerakan Pemuda Islam (GPI), Taruna Muslim, Al Ittihadiyah, Komunitas Muslimah untuk Kajian Islam (KMKI), LPPD Khairu Ummah, Syarikat Islam (SI), Forum Betawi Rempug (FBR), Tim Pengacara Muslim (TPM), Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI), Dewan Masjid Indonesia (DMI), PERSIS, BKPRMI, Al Irsyad Al Islamiyyah, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Badan Kontak Majlis Taklim (BKMT), Front Perjuangan Islam Solo (FPIS), Majelis Tafsir Al Quran (MTA), Majelis Adz Zikra, PP Daarut Tauhid, Korps Ulama Betawi, KAHMI, PERTI, Ittihad Mubalighin, Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI), Koalisi Anti Utang (KAU), PPMI, PUI, JATMI, PII, BMOIWI, Wanita Islam, Pesantren Missi Islam, Forum Silaturahmi Antar-Pengajian (FORSAP), Irena Center, Laskar Aswaja, Wahdah Islamiyah, Forum Ruju’ Ilal Haq, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Bintang Reformasi (PBR), Partai Nahdlatul Umat Indonesia (PNUI), Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) dan organisasi-organisasi Islam lainnya.

Bila anda terpanggil untuk mendukung amar ma’ruf nahi munkar dalam Apel Siaga “Indonesia Tanpa Liberal” jangan ketinggalan dalam acara penting ini.
Informasi selengkapnya bisa menghubungi Koordinator Lapangan: Ustadz Bernard Abdul Jabbar (0856.9261.7850) dan Ustadz Awit Masyhuri (0852.2296.1084).

Untuk peserta dari Bogor dan sekitarnya berkumpul di Masjid Raya Bogor pukul 08.00 WIB.

Untuk wilayah Bekasi dan sekitarnya, Forum Umat Islam menyediakan tiga buah bis dan logistiknya. Peserta diharapkan berkumpul di Islamic Centre Bekasi pukul 08.00 WIB. Info koordinator Bekasi hubungi: Faisal (085888844993) dan Abu Mumtaz (021-40400.165, 0852.10.700020).

Para peserta aksi diimbau berpakaian putih-putih dan boleh membawa atribut/seragam ormas, majelis atau institusinya. 

Kutipan :
taz / VoA-Islam
Kamis, 08 Mar 2012

Selamat Milad JIL ke-11, Semoga Mendapat Azab Kubur


JAKARTA  – Hari ini, Kamis, 8 Maret 2012, Jaringan Islam Liberal (JIL) merayakan hari ulang tahunnya yang ke-11. Sejak didirikan pada 8 Maret 2001, kelompok diskusi (Milis) Islam Liberal (islamliberal@yahoogroups.com) telah mendiskusikan berbagai hal mengenai Islam, negara, dan isu-isu kemasyarakatan.

Saat awal berdiri, kelompok diskusi ini diikuti oleh lebih dari 200 anggota, termasuk para penulis, intelektual, dan pengamat politik seperti Taufik Adnan Amal, Rizal Mallarangeng, Denny JA, Eep Saifulloh Fatah, Hadimulyo, Ulil Abshar-Abdalla, Saiful Mujani, Hamid Basyaib, dan Ade Armando. Dimoderatori oleh Luthfi Assyaukanie, diskusi berikut mengangkat isu seputar istilah dan agenda Islam Liberal yang merupakan salah satu tema awal yang muncul dalam Milis tersebut.

Peserta Diskusi yang hadir antara lain: Denny JA, Hamid Basyaib, Ichan Loulembah, Luthfi Assyaukanie, Nirwan Arsuka, Rizal Mallarangeng, Saiful Mujani, Sukidi, Robin Bush, Zulfiani Lubis.
Menurut Luthfi Asy Syaukanie, salah satu pentolan JIL lulusan Melbourne, organisasi (lebih tepatnya gerakan) ini melengkapi munculnya organisasi Islam serupa yang sudah ada lebih dulu seperti, Rahima, Lakpesdam, Puan Amal Hayati, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), serta Lembaga Kajian Agama dan Jender (LKAJ).

Sejak awal, menurut Luthfi Asy Syaukanie, JIL memang diniatkan sebagai payung atau lebih tepatnya penghubung organisasi Islam Liberal yang ada di Indonesia. Karena itu, gerakan ini tak memakai nama organisasi atau lembaga, tapi jaringan. Dengan nama jaringan, JIL berusaha jadi komunitas tempat para aktivis Muslim berbagai organisasi Islam Liberal berinteraksi dan bertukar pandangan secara
bebas.

Sebagai tempat beraktifitas, lokasi Jalan Utan Kayu no. 68 H, Jakarta Timur, menjadi pilihan utama sebagai kantor JIL. Sebidang tanah ini sebenarnya adalah milik jurnalis dan intelektual senior Goenawan Mohammad yang juga memiliki visi sama dengan JIL. Komunitas Utan Kayu sendiri didirikan pada tahun 1996 sebagai bentuk perlawanan, khususnya di bidang informasi, terhadap rezim Orde Baru.

Goenawan Mohammad sempat menceritakan bahwa di Utan Kayu juga berdiri galeri kecil dan teater sederhana, yakni Galeri Lontar dan Jurnal Kebudayaan Kalam – ketiganya bergerak di lapangan kesenian baik untuk acara kesenian maupun pertemuan politik. Komunitas Utan Kayu juga memiliki kantor berita yang dipimpin oleh Santoso. Radio inilah yang disebut KBR 68H.

Sejarah JIL
Menurut Novriantoni, koordinator program JIL,latar belakang dibentuknya JIL bermula di saat bergulirnya reformasi yang saat itu digawangi Amien Rais dan rekan-rekan mahasiswa. Seperti diketahui, kala itu era kebebasan media dimulai. “Maka pada waktu itu teman-teman sudah memikirkan perlunya sebuah wadah untuk menampung ide-ide kebebasan beragama yang semasa orde baru selalu didikte pemerintah,” kata Novri.

Dikatakan Novriantoni, JIL resmi berdiri sejak 8 Maret 2001, yang ditandai dengan dibuatnya website JIL. Program kerja yang dilaksanakan waktu itu sederhana saja, seperti sindikasi media di Koran Tempo dan talkshow radio tentang agama dan toleransi. Secara kelembagaan awalnya JIL berdiri dibawah ISAI (institute Studi Arus Informasi), semacam bidang kajian atau diskusi Islam pada lembaga tersebut. Kantor ISAI berkantor di Utan kayu.

JIL memililih bentuk jaringan, menurut Novri, karena alasan praktis atau pragmatis, agar lebih mudah dikelola dengan resources (sumber daya) yang terbatas. Selain itu JIL tidak berhasrat untuk menjadi ormas seperti Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, Hizbut Tahrir, FPI dan sebagainya. JIL lebih sebagai lembaga pemikiran, lembaga tempat para kawan-kawan muda berhimpun.
Sejak 2005, secara kelembagaan JIL saat ini sudah tidak lagi dibawah ISAI. Saat ini, berada dibawah “Yayasan Kajian Islam Utan Kayu”. Seperti diketahui, Komunitas Utan Yayu meliputi radio, galeri, ISAI, kedai Tempo, teater dan lain-lain.

Bicara soal jaringan JIL, seperti diakui Novriantoni, cakupannya tidak terlalu luas. Baru terfokus di Jawa, sedangkan diluar Jawa, antara lain: NTB, NTT, Medan, Lampung, Sumbar, sedangkan untuk daerah Kalimantan dan Sulawesi belum ada. Garapan JIL adalah masyarakat menengah keatas terdidik, seperti anak-anak muda di dunia kampus, tidak langsung ke grassroot.“Kita sadar bahwa membawa gagasan liberal ke kalangan grassroot memang tidak mudah.”

Untuk segmen kampus, JIL bekerja sama dengan kalangan BEM, kawan-kawan studi club di kampus, underbow organisasi islam, dan sebagainya. Ke depan, JIL terobsesi untuk melebarkan jaringannya ke beberapa daerah. Suatu ketika, pernah ada yang mengajukan diri untuk menjadi cabang JIL di Jogja, Bandung, dan sebagainya.
“Tapi kami merasa belum punya kapasitas untuk itu, kita masih ingin JIL ini non-formal saja. Sebenarnya bisa saja (menjadi formal) itu dilakukan. Kita menimbang banyak hal, kita menyadari bahwa tantangannya juga besar. Kita sih sudah biasa dengan ancaman dan teror. Persoalannya, apakah teman-teman di daerah siap dengan segala resiko itu. Kita juga tidak punya kapasitas untuk kunjungan ke daerah. Jadi kita bikin less formal aja, yang tidak mengikat. Relasi kita dengan daerah biasanya cuma di penerbitan bulletin dan diskusi kampus,” jelas Novri.

Ketika ditanya JIL menyebut simpatisannya sebagai apa? Novriantoni mengatakan, mereka sebagai partner, bukan anggota. Karena kita tidak punya kartu anggota JIL, bukan pula kader dan sebagainya. Secara keorganisasian, JIL tetap ada ketua, sekretaris, dan bendahara dsb.  Di JIL, ketua pengurusnya disebut dengan istilah coordinator. “Dulu koordinatornya mas Ulil, terus Hamid Basyaib, Luthfi Assyaukani sampai sekarang, saya sendiri koordinator program yang memastikan semua program jalan,” kata Novri.

Bagaimana sistem rekruitmen untuk masuk menjadi aktivis JIL? Novriantoni mengatakan, tergantung kebutuhan. JIL tidak perlu banyak orang untuk mengurusya, aktifis JIL tidak pernah lebih dari 10 orang, sekarang  cuma 7 orang. JIL tidak menjanjikan apa-apa, tidak ada jenjang karir dsb. “Sekedar honor salary bulanan sih ada. Kita tidak pernah buka lowongan terbuka, kita cuma ambil orang yang kita ketahui track recordnya,” tandas Novri.

Akhirnya, selamat Milad JIL ke-11, semoga para pengasongnya mendapatkan taufik dan hidayah-Nya. Bagi yang tidak tobat-tobat juga, semoga Allah mengistiqamahkan kesesatan kalian, dan bila wafat nanti, segera mendapat azab kubur. 

Kutipan :
Desastian / VoA-Islam
Kamis, 08 Mar 2012
 

KH. Cholil Ridwan: Liberalisme, Musuh Bersama Umat Islam


JAKARTA  - Nongkrong di komunitas liberal ibarat duduk di atas bara. Setiap kali menyimak obrolan anak-anak muda di komunitas itu, bisa membuat gendang telinga ini mendidih.

Pembicaraan mereka adalah seputar penolakan terhadap syari’at, menggunjing gerakan Islam anti-liberal, hingga meledek penegak amar ma’ruf nahi mungkar. Hanya tawa dan olok-olok yang terdengar. Pernah terlihat, seorang lelaki memakai kaos oblong bertuliskan Jakar (Jaringan Kafir Liberal) di bagian depan. Seperti itulah suasana di beberapa komunitas liberal.

Banyak agenda yang mereka gelar dalam setiap event. Seolah-olah tak ada ruang kosong dan waktu yang luang untuk tidak mengasongkan dagangan mereka: sekularisme, pluralisme, liberalisme, relativisme, multikulturalisme dan sebagainya. Berbagai kegiatan diskusi, seminar, bedah buku, pemutaran film, hingga pergelaran seni-budaya menjadi bagian dari aktivitas mereka.

Yang membuat anak-anak muda betah dengan komunitasnya adalah suasana tempat yang nyaman untuk nongkorong. Jika sebelumnya, mereka bergabung di Komunitas Utan Kayu (berada di Jl. Utan Kayu, Jakarta Timur), kini kaum muda berpaham liberal itu mulai bergeser ke bilangan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Mereka menyebutnya  Komunitas Salihara (berada di Jl. Salihara).
Gedung itu dirancang dengan konstruksi bangunan yang unik, asri dan dilengkapi dengan berbagai fasilitas, seperti toko buku, perpustakaan, cafe, ruang theater, ruang diskusi hingga hotspot. Sambil ngopi atau ngeteh, anak-anak muda itu merasa at home, seperti di rumah sendiri. Mereka bisa mengisi waktunya dengan membaca, on line, atau sekadar ngobrol dengan teman-teman se-visi. Mereka seperti menemukan keluarga baru.

Bandingkan dengan markas ormas Islam yang tidak memiliki sarana itu. Masjid bukanlah satu-satunya sarana orang muda berkumpul. Pada umumnya, orang muda lebih suka mencari tempat alternatif, setidaknya sarana yang memiliki unsur seni-budayanya. Maka, kenapa tidak, jika dimunculkan gagasan untuk membuat sarana yang nyaman dan tetap bernuasakan religius. Keberadaan Islamic Center atau masjid-masjid besar, belum sepenuhnya menarik minat orang muda untuk dijadikan tempat nongkrong. Suasana yang menyenangkan, tak kalah penting ketimbang sekadar menjejali dengan doktrin-doktrin keagamaan.

Entah disadari atau tidak, ada beberapa kiai ”lugu” dari ormas Islam tertentu, yang rela diundang komunitas liberal untuk menyampaikan pandangannya. Kehadiran kiai itu bukan sebagai penyeimbang atau penyanggah, tapi digiring, seolah-olah mendukung paham sepilis dengan berkedok tasamuh. Begitulah akibat kiai tidak  punya pengetahuan tentang liberalisme.

Kategori Liberal
Menurut Peneliti INSIST Adian Husaini, kalangan liberal terbagi dalam empat kategori, yaitu: Liberal Profesional, Liberal Amatir, Liberal Freelance, dan Liberal Volunteer. Yang termasuk liberal profesional adalah mereka yang hidup-matinya diperuntukkan bagi si penyandang dana. Makhluk jenis ini selalu menyebarkan paham liberal dalam tulisan-tulisan dan ceramahnya, berusaha meliberalkan orang lain, merasa paling benar dengan keliberalannya, dan menganggap orang yang tidak liberal itu salah. Mereka tak sungkan-sungkan menyerang siapapun yang mengganjal liberalisme.

Sedangkan liberal amatir adalah mereka yang ilmu keliberalannya masih dangkal. Sikap dan pemikiran liberalnya cuma membebek alias ikut-ikutan saja. Meski tidak mampu menuangkan gagasan liberal lewat tulisan, tapi berani tampil sebagai pembela liberalisme. Makhluk inilah yang menjadi penggembira, saat diadakan diskusi atau seminar, sekalipun dengan riuh tepukan tangan dan tertawa ledekan (olok-olok) sebagai support. 
Adapun liberal freelance adalah orang yang mendapat imbalan ”honorer” dari gagasan dan wacana sepilis yang ia tulis di media massa. Lalu Liberal volunteer adalah orang yang sudah mapan secara materi dan status sosialnya. Ia menjadi liberal karena basic pendidikan dan pergaulannya. Tanpa harus dipengaruhi, orang ini sudah liberal dengan sendirinya. 

Yang menarik, Litbang Depag pernah melaporkan hasil penelitiannya tentang paham liberal keagamaan di lingkungan UIN Jakarta. Salah satu organisasi mahasiswa UIN yang diteliti adalah Formaci (Forum Mahasiswa Ciputat) yang berpaham liberal. Forum mahasiswa inilah yang menolak kewajiban jilbab di lingkungan UIN, mendukung sekularisasi, menolak penerapan syariat Islam di berbagai daerah. Dengan berpegang pada paham kebebasan berpikir dan atas nama HAM, anggota Formaci sering menjadi saksi pernikahan beda agama.

Ketua Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI) Amin Djamaluddin pernah mengatakan, ada kekuatan terselubung untuk menggarap sejumlah kelompok muda Islam. Tujuannya adalah mencabut pemahaman generasi muda Islam dari akarnya, yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sasaran utama ‘proyek’ ini adalah anak-anak muda NU dan Muhammadiyah. “Mereka bangga karena telah berhasil menggarap kalangan muda NU dan Muhammadiyah. Bukan tidak mungkin, mereka berupaya menggarap kalangan muda Persatuan Islam (Persis),” ujarnya.

Agar virus liberalisme tak semakin mengganas di tubuh ormas Islam, langkah paling efektif adalah mencegah. Kalau pun sudah terjangkit, harus mendapat vaksin untuk mensterilkan sekaligus merontokkan virus yang bersarang. Untuk membendung liberalisme, ormas Islam seharusnya jangan pasif. Ormas Islam harus menyiapkan kader terbaiknya untuk mengikis paham sesat menyesatkan.

Jika kaum liberal giat mengusung liberalisme lewat media massa yang mendukungnya, sebut saja Koran dan Majalah Tempo, sedangkan tokoh Islam malas menulis, dan tidak menjadikan media Islam yang ada sebagai alat perjuangan untuk mengcounter propaganda mereka. Ingat, umat Islam punya musuh bersama (common enemy) yang harus dibendung secara bersama pula.

Ketua MUI KH Kholil Ridwan mengimbau, ”Para aktivis yang ada di ormas Islam hendaknya waspada dan kompak, bertekad bulat untuk membendung liberalisme. 

Kutipan :
Desastian / VoA-Islam
Rabu, 07 Mar 2012 

Rame-rame Membendung Virus Liberalisme Di Tubuh Muhammadiyah


JAKARTA – Bukan rahasia umum, jika Muhammadiyah telah kerasukan virus liberalisme. Padahal sejak awal berdiri, Muhammadiyah tampil sebagai tajdid (pembaharu) yang ingin mengembalikan Islam secara murni, yakni kembali pada Al Qur’an dan As-Sunnah. Demikian dikatakan Wakil Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Dr. Syamsul Hidayat.


”Anggapan orang tentang masuknya virus itu ada benarnya. Karena orang masuk Muhammadiyah macam-macam motivasinya. Ada yang tertarik Muhammadiyah karena betul-betul ingin berjuang untuk Islam, dan menjalankan misi Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid, kembali pada Al Qur’an dan As-Sunnah. Ada pula yang tertarik, karena Muhammadiyah sebagai organisasi yang besar dan modern.”

Ada kesan warga Muhammadiyah mengalami pergeseran dalam mengemban misinya. Benarkah? ”Secara hakikat tidak bergeser. Namun harus diakui, ada orang yang bergabung di Muhammadiyah, tapi kemudian membawa paham dari luar. Padahal kalau sudah masuk Muhammadiyah, harus menyesuaikan paham dan misi Muhammadiyah yang asli,” ungkap Syamsul.
Virus ”menular” ini sesungguhnya sudah tertanam sejak dilakukan kaderisasi di setiap badan otonom ormas Islam. Mereka adalah mahasiswa semester awal yang sedang ”genit-genitnya” memasuki masa ”puberitas intelektual”.

Terbetik kabar, bahwa kaderisasi yang ada di setiap badan otonom ormas Islam sudah dikuasai oleh mentor pengusung doktrin liberal. Tapi hal itu dibantah oleh Yunahar Ilyas dari Majelis Tabligh PP Muhammmadiyah. ”Itu tidak betul, ungkapan itu datang dari luar Muhammadiyah. Saya sering kok jadi mentor saat pengkaderan di IRM.”

Di Muhammadiyah sendiri, ada beberapa badan otonom (banom) kaderisasi, seperti Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Pemuda Muhammadiyah (PM), maupun Nasyiatul Aisyiyah (NA). Belakangan, muncul JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah). Meski JIMM secara kelembagaan tidak diakui sebagai badan otonom resmi Muhammadiyah.

Sedangkan di NU, ada Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), Gerakan Pemuda Anshor, Ikatan Pelajar Putri NU, Fatayat NU, dan Lakspedam NU. Adapun PMII secara kelembagaan tidak terikat dengan struktur di organisasi NU. Tapi mendukung kebijakan-kebijakan NU.

Di luar ormas Islam, ada banyak organisasi kemahasiswaan yang selama ini juga melakukan tugas dan fungsi pengkaderan terhadap orang-orang muda. Sebut saja seperti Formaci (Forum Mahasiswa Ciputat), Jaringan Islam Kampus (JIK), Generasi Muda Antar Iman (GMAI), Interfidei, Forum Mahasiswa Syari’at se-Indonesia NTB, Muslim Institut Medan, PUSHAM UII Yogjakarta, dan sebagainya.

Virus Liberalisme
Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah Dr. Syamsul Hidayat mengatakan, ”Kebekuan berpikir di Muhammadiyah itu tidak sepenuhnya benar. Mungkin ada sebagian yang terlalu kaku. Sehingga terkesan kolot. Itu akibat, tidak menempatkan Islam pada posisinya. Mungkin yang terlalu kaku dianggap ketat, atau liberal yang dinamis, dianggap terlalu dinamis.”

Pergeseran Muhammadiyah ke arah dinamisasi dan liberalisasi pemikiran Islam itu sudah terjadi pada periode Amien Rais melalui Muktamar Aceh 1995. Kader Muhammadiyah seperti Amin Abdullah-lah yang menjadi ideolog liberalisasi pemikiran Islam. Ia ditetapkan sebagai Ketua Majelis Tarjih, yang sejak saat itu lembaga ini diperlebar sayapnya menjadi "Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam". Ideologi ”Muhammadiyah liberal” mulai berkibar.

Kejayaan Muhammadiyah liberal makin terang benderang di bawah kepemimpinan Syafi'i Ma'arif—murid pemikir muslim liberal asal Pakistan, Fazlur Rahman, di universitas Chicago. Kader-kader mudanya diberi ruang gerak yang sebebas-bebasnya untuk menafsirkan Islam secara progresif dan liberal.

Sukidi Mulyadi, aktivis JIMM pernah mengatakan, “Buya Syafi’i adalah Imam kami yang muda-muda di Muhammadiyah, yang sekaligus dikagumi kawan baik kita di JIL. Di Muktamar, Buya Syafi’i-lah yang secara terbuka melakukan pembelaan terhadap anak-anak muda Muhamadiyah. Buya Syafi’i telah menjadi simbol keteladanan dalam banyak hal dalam kesederhanaan hidup, kerendah-hatian sikap, moralitas yang ia perjuangkan, dan moderasi keberislaman. Kepada Buya Syafii-lah, kami menunjukkan rasa hormat setinggi-tingginya.”

Ada target jangka panjang, jika kaderisasi berhasil mereka rangkul dan kuasai, yakni: mencetak regenerasi. Setidaknya, ada pengikut dan pendukung figur yang akan dijagokan dalam pergantian kepemimpinan nantinya. Ketika virus liberalisme menyerbu semua lini, Majelis Tabligh PP Muhammadiyah, seperti dikatakan Syamsul Hidayat, berupaya untuk mengerem dan membentenginya.
”Majelis Tabligh kini gencar mengembangkan program Pelatihan dakwah & tantangan pemikiran kontemporer bagi mubaligh di lingkungan Muhammadiyah. Yang jelas, paham liberalisme tidak cocok dengan Muhammadiyah.”
Menurut Syamsul, virus liberalisme masuk ke Muhammadiyah dengan iming-iming tertentu, seolah-olah datang membantu. Pengusung liberalisme itu datang membagi dana, menyebar buku gratis, menggelar berbagai seminar dengan cuma-cuma, diakomdasi pula berupa transportasi pulang pergi, plus penginapan hotelnya. ”Sementara training ala manhaj Muhammadiyah malah membayar infaq. Jadi, kami jihad bi anwal wa anfus.”

Ingat, pendiri Muhammadiyah KH. Achmad Dahlan pernah berpesan, hidupkanlah Muhammadiyah, jangan mencari hidup dari Muhammadiyah. ”Tapi seorang dosen yang mendapat gaji dari mengajar, jangan dibilang mencari hidup dari Muhamadiyah. Mereka bekerja secara profesional dan justru menghidupkan Muhammadiyah. Yang penting bukan materi yang berifat keduniawi-an saja. Sangat disesalkan jika ada warga Muhammadiyah bermental miskin, bisa diiming-imingi dengan dollar,” tukas Syamsul.

Bersihkan Noda Liberal
Bersih-bersih noda liberalisme sudah dilakukan Muhammadiyah. Barisan anti-liberalisme mewarnai suasana Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Univesitas Muhammadiyah Malang, Jawa Timur. Di ruang muktamar, terdengar pandangan umum yang memohon pimpinan pusat agar "menertibkan" pemikiran liberalisme dalam Muhammadiyah. Terpentalnya sayap pemikir muslim liberal seperti Prof. Munir Mulkhan dan Prof. Dr. Amin Abdullah dari formatur 13 besar pimpinan Muhammadiyah dinilai sebagai kemenangan anti-liberalisme.

Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Lampung bahkan mempertanyakan keberadaan JIMM yang mereka sejajarkan dengan JIL. Ketua Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus PP Muhammadiyah Yunahar Ilyas pernah mengatakan, organisasi dalam Muhammadiyah harus ditanwirkan atau dimuktamarkan. “Jaringan itu berlawanan dengan Muhammadiyah,” kata Yunahar ketika itu.
JIMM pernah berpendapat, jika Din Syamsuddin sukses menyokong pluralisme, Muhammadiyah akan menjadi kekuatan luar biasa sebagai "laboratorium pemikiran" yang mencerahkan umat dan bangsa.

Kutipan :
Desastian / VoA-Islam
Rabu, 07 Mar 2012 

Ruarr Biasa, Seluruh Kiai NU Menolak Faham Sesat Liberalisme


JAKARTA - Kader NU yang masih lurus, pasti  punya pandangan yang jernih, bahwa liberalisme tidak cocok untuk diterapkan oleh warga Nahdhiyyin. NU punya model dan pendekatan tersendiri, yakni Ahli Sunnah wal Jamaah (Aswaja).

Dikatakan Slamet Effendi Yusuf, seorang kader NU, ”Liberalisme adalah paham yang bermotif politik dan ekonomi. Sedangkan NU adalah organisasi keagamaan yang punya pendekatan Aswaja. Manhajul fikr (metode berfikirnya) NU adalah tasamuh, membangun pendapat yang tidak ekstrem. Liberalisme jelas tidak relevan dibicarakan di NU,” tukas Slamet.

Masih segar dalam ingatan, tatkala KH. Mas Subadar, kiai berpengaruh asal Pasuruan, Jawa Timur, melontarkan peringatan keras saat Muktamar NU di Boyolali, Desember 2004: "Bersihkan pengurus NU dari unsur Islam liberal." Sebelumnya, seruan yang sama juga terjadi saat Muktamar Pemikiran NU di Situbondo, Oktober 2003.

Komisi Bahts al-Masāil al-Maudhū’iyyah juga menolak metode hermeneutika yang dinilai sebagai agenda Islam liberal untuk menghancurkan Islam. Paham ini amat meresahkan para petinggi NU, sampai-sampai Ketua Umum PBNU KH.Hasyim Muzadi (ketika itu) pun harus turun tangan menertibkan.
“Saya minta nama NU tidak dibawa-bawa dalam gerakan pemikiran ini, karena bisa berakibat buruk bagi jam’iyyah NU yang komunitasnya sangat beragam”, kata Muzadi ketika memberi sambutan saat Muktamar Pemikiran Islam NU di Pesantren Salafiyah Syafi’iyyah, Situbondo.
Muzadi kembali menegaskan dalam Laporan Pertanggungjawaban (LPJ)-nya pada Muktamar NU ke-31: ”Gerakan pemikiran anak-anak muda NU itu telah melabrak batas-batas doktrin Islam.” Beberapa kiai senior NU, bahkan mewanti-wanti agar orang-orang yang distigma sebagai ‘Islam liberal’ tidak masuk dalam kepengurusan NU.

Meski demikian, “Orang-orang liberal itu harus tetap dihargai sebagai warga NU. Tapi untuk dijadikan pengurus perlu pertimbangan,” kata KH. Ali Maschan Moesa, Ketua PWNU Jatim ketika itu.
Desakan agar NU dibersihkan dari virus liberalisme, dinilai Slamet Effendi Yusuf, seorang kader NU, sebagai berlebihan. Begitu pula, jika ada yang menginginkan NU harus mengembangkan paham liberalisme pun juga berlebih-lebihan. ”Tidak usah juga liberalisme menjadi hantu bagi orang NU. Tapi juga tidak perlu didesak-desakkan liberalisme berkembang di lingkungan NU. Untuk apa?” ungkap Slamet. 
Slamet menilai, teman-teman muda NU yang terkagum-kagum dengan liberalisme, adalah anak muda yang sedang berproses mencari jatidiri. ”Mereka harus diajak dialog dan diarahkan agar tidak menyimpang dari manhaj NU. Saya yakin, suatu hari, anak muda yang pikirannya macam-macam, akan kembali pada pemikiran mainstrem di dalam Islam."

Sementara itu dikatakan Asrorun Ni’am, kader muda yang pernah aktif di IPNU, NU bukan disusupi. Pemikiran dari luar itu berkembang, bandulnya bisa ke kanan, bisa ke kiri. Tapi inti dari Ahli Sunnah wal Jamaah (Aswaja) -- sebuah pendekatan yang selama ini dimiliki NU -- adalah tidak ekstrim kanan dan tidak ekstrim kiri, tidak muktazilah juga tidak jabariyah. NU berdiri diantara liberalitas kaum muktazilah dan ekstrimitas kaum jabbariyah. NU tampil sebagai penyeimbang.

Gerakan liberal, lanjut Ni’am, tidak senafas dengan nilai-nilai keberagamaan NU yang rahmatan lil alamin. NU lebih mengedepankan  al wasathoniyyah (modernisasi) dalam kehidupan bermasyarakat, membumikan nilai-nilai Islam yang bersifat universal secara hikmah. ”Orang yang terlalu liberal perlu direm untuk  dikembalikan pada koridornya. Begitu juga, orang yang terlalu radikal perlu ditekan, agar tidak menjadi ekstrim.” 

Kutipan :
Desastian / VoA-Islam
Rabu, 07 Mar 2012