JAKARTA - Nongkrong di komunitas liberal ibarat duduk di atas bara. Setiap kali menyimak obrolan anak-anak muda di komunitas itu, bisa membuat gendang telinga ini mendidih.
Pembicaraan mereka adalah seputar penolakan terhadap syari’at, menggunjing gerakan Islam anti-liberal, hingga meledek penegak amar ma’ruf nahi mungkar. Hanya tawa dan olok-olok yang terdengar. Pernah terlihat, seorang lelaki memakai kaos oblong bertuliskan Jakar (Jaringan Kafir Liberal) di bagian depan. Seperti itulah suasana di beberapa komunitas liberal.
Banyak agenda yang mereka gelar dalam setiap event. Seolah-olah tak ada ruang kosong dan waktu yang luang untuk tidak mengasongkan dagangan mereka: sekularisme, pluralisme, liberalisme, relativisme, multikulturalisme dan sebagainya. Berbagai kegiatan diskusi, seminar, bedah buku, pemutaran film, hingga pergelaran seni-budaya menjadi bagian dari aktivitas mereka.
Yang membuat anak-anak muda betah dengan komunitasnya adalah suasana tempat yang nyaman untuk nongkorong. Jika sebelumnya, mereka bergabung di Komunitas Utan Kayu (berada di Jl. Utan Kayu, Jakarta Timur), kini kaum muda berpaham liberal itu mulai bergeser ke bilangan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Mereka menyebutnya Komunitas Salihara (berada di Jl. Salihara).
Gedung itu dirancang dengan konstruksi bangunan yang unik, asri dan dilengkapi dengan berbagai fasilitas, seperti toko buku, perpustakaan, cafe, ruang theater, ruang diskusi hingga hotspot. Sambil ngopi atau ngeteh, anak-anak muda itu merasa at home, seperti di rumah sendiri. Mereka bisa mengisi waktunya dengan membaca, on line, atau sekadar ngobrol dengan teman-teman se-visi. Mereka seperti menemukan keluarga baru.
Bandingkan dengan markas ormas Islam yang tidak memiliki sarana itu. Masjid bukanlah satu-satunya sarana orang muda berkumpul. Pada umumnya, orang muda lebih suka mencari tempat alternatif, setidaknya sarana yang memiliki unsur seni-budayanya. Maka, kenapa tidak, jika dimunculkan gagasan untuk membuat sarana yang nyaman dan tetap bernuasakan religius. Keberadaan Islamic Center atau masjid-masjid besar, belum sepenuhnya menarik minat orang muda untuk dijadikan tempat nongkrong. Suasana yang menyenangkan, tak kalah penting ketimbang sekadar menjejali dengan doktrin-doktrin keagamaan.
Entah disadari atau tidak, ada beberapa kiai ”lugu” dari ormas Islam tertentu, yang rela diundang komunitas liberal untuk menyampaikan pandangannya. Kehadiran kiai itu bukan sebagai penyeimbang atau penyanggah, tapi digiring, seolah-olah mendukung paham sepilis dengan berkedok tasamuh. Begitulah akibat kiai tidak punya pengetahuan tentang liberalisme.
Kategori Liberal
Menurut Peneliti INSIST Adian Husaini, kalangan liberal terbagi dalam empat kategori, yaitu: Liberal Profesional, Liberal Amatir, Liberal Freelance, dan Liberal Volunteer. Yang termasuk liberal profesional adalah mereka yang hidup-matinya diperuntukkan bagi si penyandang dana. Makhluk jenis ini selalu menyebarkan paham liberal dalam tulisan-tulisan dan ceramahnya, berusaha meliberalkan orang lain, merasa paling benar dengan keliberalannya, dan menganggap orang yang tidak liberal itu salah. Mereka tak sungkan-sungkan menyerang siapapun yang mengganjal liberalisme.
Sedangkan liberal amatir adalah mereka yang ilmu keliberalannya masih dangkal. Sikap dan pemikiran liberalnya cuma membebek alias ikut-ikutan saja. Meski tidak mampu menuangkan gagasan liberal lewat tulisan, tapi berani tampil sebagai pembela liberalisme. Makhluk inilah yang menjadi penggembira, saat diadakan diskusi atau seminar, sekalipun dengan riuh tepukan tangan dan tertawa ledekan (olok-olok) sebagai support.
Adapun liberal freelance adalah orang yang mendapat imbalan ”honorer” dari gagasan dan wacana sepilis yang ia tulis di media massa. Lalu Liberal volunteer adalah orang yang sudah mapan secara materi dan status sosialnya. Ia menjadi liberal karena basic pendidikan dan pergaulannya. Tanpa harus dipengaruhi, orang ini sudah liberal dengan sendirinya.
Yang menarik, Litbang Depag pernah melaporkan hasil penelitiannya tentang paham liberal keagamaan di lingkungan UIN Jakarta. Salah satu organisasi mahasiswa UIN yang diteliti adalah Formaci (Forum Mahasiswa Ciputat) yang berpaham liberal. Forum mahasiswa inilah yang menolak kewajiban jilbab di lingkungan UIN, mendukung sekularisasi, menolak penerapan syariat Islam di berbagai daerah. Dengan berpegang pada paham kebebasan berpikir dan atas nama HAM, anggota Formaci sering menjadi saksi pernikahan beda agama.
Ketua Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI) Amin Djamaluddin pernah mengatakan, ada kekuatan terselubung untuk menggarap sejumlah kelompok muda Islam. Tujuannya adalah mencabut pemahaman generasi muda Islam dari akarnya, yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sasaran utama ‘proyek’ ini adalah anak-anak muda NU dan Muhammadiyah. “Mereka bangga karena telah berhasil menggarap kalangan muda NU dan Muhammadiyah. Bukan tidak mungkin, mereka berupaya menggarap kalangan muda Persatuan Islam (Persis),” ujarnya.
Agar virus liberalisme tak semakin mengganas di tubuh ormas Islam, langkah paling efektif adalah mencegah. Kalau pun sudah terjangkit, harus mendapat vaksin untuk mensterilkan sekaligus merontokkan virus yang bersarang. Untuk membendung liberalisme, ormas Islam seharusnya jangan pasif. Ormas Islam harus menyiapkan kader terbaiknya untuk mengikis paham sesat menyesatkan.
Jika kaum liberal giat mengusung liberalisme lewat media massa yang mendukungnya, sebut saja Koran dan Majalah Tempo, sedangkan tokoh Islam malas menulis, dan tidak menjadikan media Islam yang ada sebagai alat perjuangan untuk mengcounter propaganda mereka. Ingat, umat Islam punya musuh bersama (common enemy) yang harus dibendung secara bersama pula.
Ketua MUI KH Kholil Ridwan mengimbau, ”Para aktivis yang ada di ormas Islam hendaknya waspada dan kompak, bertekad bulat untuk membendung liberalisme.
Kutipan :
Desastian / VoA-Islam
Rabu, 07 Mar 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar