Laman

Kamis, 03 Mei 2012

Inikah Senjata Pengusung Aliran Sesat Syi?ah dan Praktisi Bid?ah


Isu Salafy-Wahabi Bagian dari Talbis Iblis

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى أَشْرَفِ الْمُرْسَلِينَ مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ .
SALAH SATU UPAYA yang ditempuh para pengasong syi’ah laknatullah di dalam mengelabui umat Islam adalah menerapkan talbis al-iblis. Kecenderungan seperti itu menjadi sebuah keniscayaan, karena syi’ah itu konon menjadikan iblis sebagai guru besarnya. Dan yang namanya iblis itu pengikutnya tidak semuanya ghaib tetapi ada yang kongkrit, karena markas besarnya ada di mana-mana: di Iran, di Sampang, di Peta mburan, di Tenabang, di Jombang, di Rasil, di Bangil, di Bandung dan sebagainya.
Salah satu bentuk talbis al-iblis yang sering diterapkan pengasong syi’ah laknatullah adalah menjadikan pihak yang mereka benci (yang mereka sebut dengan ledekan Salafy-Wahabi), sebagai contoh musuh bersama yang harus diperangi oleh umat Islam dan orang syi’ah. Mereka menakut-nakuti umat Islam dengan hantu jejadian (hantu belau) yang mereka sebut Salafy-Wahabi.
Siapa hantu jejadian yang dinamakan Salafy-Wahabi oleh para pengasong syi’ah dan praktisi bid’ah ini? Menurut mereka, yang suka ngebom-ngebom itu Salafy-Wahabi. Mungkin yang mereka maksud adalah komunitas JI (Jama’ah Islamiyah) yang keberadaannya disangkal oleh Abu Bakar Ba’asyir hingga kini, meski eksponen JI sendiri sudah mulai membuka diri dan mengakui keberadaan JI.
Siapa lagi? Menurut pengasong syi’ah dan praktisi bid’ah, bahwa yang juga termasuk Salafy-Wahabi adalah mereka yang menolak tahlilan, muludan, melarang ngaji di kuburan.  Sedang amaliahnya: shalat tarawehnya 11 raka’at, shalat subuhnya nggak baca qunut, adzan shalat jum’atnya cuma sekali, dan sebagainya.
Jadi, kalau diterjemahkan dalam bentuk lembaga, maka Salafy-Wahabi yang ditengarai oleh para pengasong syi’ah dan praktisi bid’ah seperti itu dapat mengenai ormas Muhammadiyah, PKS, Persis, HTI, MMI (Majelis Mujahidin Indonesia), JAT (Jama’ah Ansharut Tauhid), Ikhwanul Muslimin (Tarbiyah) bukan Ikhwanul Muslimin versi tokoh syi’ah tuna netra Husin Ali Al-Habsyi; dan sebagainya. Juga sejumlah media bercorak Islam seperti arrahmah.com, muslimdaily.net, eramuslim, hidayatullah.com, nahimunkar.com dan sebagainya.
Para pengasong syi’ah dan praktisi bid’ah ini kalau sampai menggebyah-uyah (memukul rata), maka dianggapnya lembaga-lembaga tadi adalah Salafy-Wahabi. Lebih dari itu, kadang dikaitkan dengan tudingan: yang suka ngebom-ngebom. Padahal, faktanya tidaklah demikian. Memang ada di antara sebagian kecil umat Islam yang berpaham radikal, sebagaimana dikesankan terwakili oleh komunitas JI (Jama’ah Islamiyah). Namun dari kalangan JI sendiri, ada yang menolak kekerasan sebagaimana pernah terjadi selama ini sebagai bagian dari jihad.
Kalau toh dari sebagian komunitas JI dan lulusan Afghan mempersiapkan diri dengan keterampilan militer, penguasaan senjata perang dan sebagainya, menurut mereka itu bagian dari I’dad, persiapan perang untuk berjaga-jaga dari kemungkinan adanya serangan musuh kalangan kafir harby.
Faktanya, di Ambon, Maluku, umat Islam pernah diserang secara brutal oleh kafir harby nasrani (Januari 1999) saat suasana Idul Fitri masih terasa begitu kental. Juga berbagai kasus lain seperti kasus pembantaian di Tobelo (Desember 1999-Januari 2000), dan pembantaian terhadap komunitas Pesantren Walisongo (28 Mei 2000) di Poso. Konflik Poso sendiri sudah berlangsung sejak Desember 1998.
Namun adanya fakta radikalisme di kalangan Islam tadi, oleh pengasong syi’ah dan prkatisi bid’ah dimanfaatkan untuk memukul Muslimin yang anti syi’ah dan bid’ah dengan membuat stigma atau cap buruk. Itu di antaranya untuk memuluskan dan menjajakan paham sesat syi’ah laknatullah ataupun bid’ah-bid’ah yang dalam Islam dinyatakan sesat. Apalagi, visi seperti itu digemari sebagian penganut aliran sesat lainnya seperti komunitas JIL (Jaringan Islam Liberal). Begitu juga dengan badan yang punya kepentingan untuk memata-matai ummat Islam baik lokal maupun internasional (Amerika Serikat dan sekutunya) mempunyai visi yang sama dengan para pengasong aliran sesat syi’ah dan praktisi bid’ah.
Masyarakat Islam yang kritis dan terdidik, akan dengan mudah melihat kesamaan antara JIL (Jaringan Islam Liberal), AS dan sekutunya, pengasong syi’ah dan praktisi bid’ah ini dalam hal memaknai radikalisme agama yang terjadi di Indonesia. Mereka sama-sama menjadikan hantu jejadian bernama Salafy-Wahabi sebagai penyebabnya. Salafy-Wahabi menurut mereka adalah doktrin keagamaan yang keras sehingga perlu dijadikan musuh bersama.
Sementara itu, kalangan pengasong syi’ah dan praktisi bid’ah membonceng kondisi ini dengan menjajakan paham sesat syi’ah laknatullah dengan label Islam yang Sejuk, Mazhab Akhlakul Karimah, Islam yang Satu, Islam yang Damai, dan sebagainya. Itu semua sejatinya merupakan talbis al-iblis. Karena faktanya, radikalisme keagamaan yang terjadi di Indonesia tidak hanya dilakukan oleh sebagian komunitas JI tetapi juga oleh gembong syi’ah (lihat tulisan berjudul Syi’ah dan Rangkaian Kasus Peledakan di Indonesia http://nahimunkar.com/11471/syiah-dan-rangkaian-kasus-peledakan-di-indonesia/).
Aliran sesat syi’ah yang di Indonesia dijajakan dengan label agama yang damai, hanyalah tipuan belaka. Karena aslinya, aliran sesat syi’ah itu memerangi Islam, sebagaimana terjadi di Iran dan Suriah, bahkan di Sampang (Madura) sampai akhirnya mendapat perlawanan telak dari ulama dan jama’ah NU yang istiqomah melawan aliran sesat syi’ah laknatullah.
Bahkan, tudingan Salafy-Wahabi ini oleh propagandis aliran sesat syi’ah militan seperti Zen Al-Hady laknatullah (narasumber Radio Silaturahim alias Rasil AM720 di Cibubur Jakarta), ditempelkan kepada pemerintahan Saudi. Lebih jauh, dalam rangka memprovokasi umat Islam untuk membenci Saudi yang katanya Wahabi itu, Zen Al-Hady dalam salah satu dakwah online di Rasil mengatakan pemerintah Saudi pada masa-masa dahulu, pernah menggolongkan pemahaman keagamaan seperti dipraktekkan oleh NU sebagai sesat atau kafir  (Lihat tulisan berjudul Radio Silaturahim Pro Syi’ah? http://nahimunkar.com/10988/radio-silaturahim-pro-syiah/)
Benarkah Saudi produsen Salafy-Wahabi sebagaimana dituduhkan pengasong aliran sesat syi’ah dan praktisi bid’ah? Faktanya tidaklah demikian. Said Agil Siradj ketua umum PBNU yang menuntut ilmu di Ummul Quro Makkah hingga tingkat doktoral, kini menjadi pengasong aliran sesat syi’ah dan tetap dengan kegemarannya mempraktikkan bid’ah dholalah.
Habib Riziek pentolan FPI yang pernah menuntut ilmu di Ummul Quro Makkah selama tujuh tahun, ternyata tetap dengan praktik dan pemahaman keagamaan yang khas NU (maulidan, haul, tahlilan dan sebagainya). Namun, meski hanya tujuh hari di Iran (2006), ia sontak menjadi pembela aliran sesat syi’ah laknatullah.
Dari dua contoh di atas, terbukti lulusan Ummul Quro Makkah tidak berpaham Salafy-Wahabi, tetapi justru menjadi pengasong aliran sesat syi’ah dan praktisi bid’ah. Berbeda dengan mahasiswa lulusan Iran, yang hingga kini tetap konsisten menjadi pembela paham sesat syi’ah laknatullah.
Di tahun 1984, sosok bernama Ibrahim alias Jawad yang ‘hanya’ dua tahun sekolah di Iran, ketika pulang ke Indonesia sudah berani ngebom-ngebom, bahkan membiayai seluruh tindakan radikalnya itu. Doktrin apa yang diajarkan perguruan tinggi di Iran sehingga dengan waktu singkat sudah bisa menghasilkan sosok syi’ah yang militan?
Pertanyaan lainnya adalah, upaya apa yang dilakukan pemerintah Iran sehingga sosok lulusan Ummul Quro yang hanya berkunjung ke Iran selama tujuh hari saja, sudah jadi pembela aliran sesat syi’ah di Indonesia?
Boleh jadi karena doktrin, hipnotis, atau fulus. Penanaman doktrin jelas perlu waktu yang lama, sehingga tidak mungkin dalam waktu tujuh hari seseorang bisa menjadi pembela aliran sesat syi’ah militan. Begitu juga dengan hipnotis, yang berdaya-guna singkat, mungkin dalam hitungan jam atau hari saja efektifitasnya, tidak sampai bertahun-tahun. Yang paling manjur boleh jadi fulus.
Dengan fulus, sosok yang semula laki-laki bisa menjadi perempuan. Dengan fulus, sosok yang semula beragama tauhid bisa menjadi paganis. Dengan fulus, sosok yang semula berakidah ahlussunnah wal jama’ah bisa menjadi berpaham syi’ah laknatullah.
Para pengasong aliran sesat syi’ah itu bukan dalam rangka menegakkan kebenaran agama, mereka kaki tangan pemerintah zionis Iran yang ingin punya basis politik kuat di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, namun kemungkinan bagai buih di lautan. Mereka mengambil kesempatan untuk mengelabui umat agar tidak melihat secara akidah namun kenyataan secara politik. Itupun tidak utuh.
Ancaman syi’ah terhadap kekuasaan negeri-negeri Islam dan Ummat Islam sangat nyata, namun dinafikan begitu saja. Yang dikemukakan adalah bahwa musuh kita itu Israel dan  Amerika. Padahal justru syiah itu bikinan Yahudi dan berkomplot dengan Yahudi sampai kini. Kalau tidak, kenapa Ahmadinejad presiden Iran yang syiah itu memberi hadiah kepada Ja’far Murtadha Al-‘Amili penulis buku terbaik yang intinya Masjid Al-Aqsha bukan di Palestina tapi di langit. 
Seorang ulama besar Syiah abad ini, yakni  Jafar Murtada Al Amili, telah menulis sebuah buku berjudul ”Ayna Masjid al-Aqsha?” (Di Manakah Masjid Al Aqsha?) yang intinya mengungkapkan bahwa keberadaan Masjid Al-Aqsha yang sesungguhnya bukanlah di bumi Al-Quds, melainkan di langit. (http://nahimunkar.com/10602/konflik-syiah-dengan-yahudi-ibarat-sesama-anjing-saling-cakar/)
Itu tentunya untuk menyenang-nyenangkan Yahudi Israel, dan menunjukkan tidak pedulinya terhadap Palestina bahkan tak peduli terhadap kebenaran dalam Islam. Memangnya ketika qiblat Ummat Islam untuk shalat masih ke arah Masjidil Aqsha (sebelum dinasakh ke arah Ka’bah) Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kalau shalat mendongak menghadap ke langit? Justru yang ada adalah larangan shalat dengan menghadapkan wajah ke langit.  Itulah bukti bohongnya syekh syiah itu, namun karena untuk menyenang-nenangkan Yahudi, maka sampai presiden syiah Iran, Ahamadinejad pun memberi hadiah langsung kepadanya.
Itu belum ancaman keamanan dari segi narkoba dan ancaman rusaknya moral dari segi pelacuran tapi diatasnamakan agama yakni nikah mut’ah. Yang seperti ini padahal sangat berbahaya, namun oleh para pengasong syiah dan bid’ah tidak dianggap sebagai ancaman sama sekali. Sepi. Justru mereka sibuk menonjolkan tentang apa yang mereka sebut persatuan sesama Muslimin. Maka mereka pun menunjuk adanya upaya
upaya mendamai-damaikan Sunni-Syi’ah sebagaimana berlangsung sampai kini. Lalu upaya itu diberi cermin berupa kebijakan politik penguasa di sana-sini, yang pada hakekatnya urusan kebijakan politik yang tidak dapat dijadikan sebagai standar dalam memandang syiah itu sesat atau tidak. Sedangkan untuk urusan akidah, syi’ah sudah jelas tetap sesat menyesatkan, bukan bagian dari Islam, bahkan mengancam kehidupan.
Oleh karena itu, Ummat Islam perlu memegangi aqidahnya bahwa apapun kebijakan politik pemerintah Indonesia, bagi keyakinan Islam: syi’ah tetap sesat menyesatkan. Apapun kebijakan politik Saudi Arabia, bagi keyakinan Islam: syi’ah tetap sesat menyesatkan. Apapun kebijakan politik negara-negara Timur Tengah, bagi keyakinan Islam: syi’ah tetap sesat menyesatkan. Semoga Allah melaknat para tokoh Islam yang mencampur-adukkan akidah dengan kepentingan politik, serta ikut-ikutan menerapkan talbis al-iblis ke tengah-tengah umat Islam Indonesia sehingga berpotensi terjerumus ke dalam lembah kesesatan paham sesat syi’ah.

Para pengasong aliran sesat syi’ah itu berupaya agar syi’ah diterima sebagai salah satu mazhab di dalam Islam. Selama ini, di dalam masyarakat Islam, ada empat mazhab yang sudah diakui dunia, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Nah, pengasong aliran sesat syi’ah menggunakan jalur politis untuk memasukkan Mazhab Ja’fari sebagai mazhab kelima.
Mazhab Ja’fari itu sebenarnya sama dengan syi’ah Imamiyah atau Itsna ‘Asyariyah (imam dua belas) yang berkembang di Iran. Syi’ah ini, mengkafirkan siapa saja yang tidak beriman kepada keimaman (al-imamah) yang ada dalam rukun iman mereka. Jadi, mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan, Hanbali itu termasuk yang dikafirkan oleh syi’ah Ja’fari ini. Lha, oleh pengasong syi’ah laknatullah, syi’ah Ja’fari ini minta diakui sebagai mazhab kelima di dalam Islam (sebagai mazhab Ja’fari).
Di sinilah letak keculasan para pengasong syi’ah. Umat Islam dipaksa-paksa menerima Ja’fari sebagai mazhab Islam, sementara Ja’fari sendiri mengkafirkan umat Islam. Seharusnya umat Islam memerangi Ja’fari yang sudah mengkafirkan umat Islam, bukan menerimanya sebagai bagian dari mazhab Islam.
Zen Al-hady seorang pentolan yang mengusung syiah di Condet Jakarta, dalam serangkaian propagandanya selalu menekankan agar umat Islam tidak menjadikan mazhab sebagai agama, dan sebagainya. Namun sambil menghimbau itu ia justru seperti meng-AGAMA-kan mazhab Ja’fari. Begitulah watak pengasong syi’ah. Bertindak munafik.
Ironisnya, ketika pengasong syi’ah konsisten dengan kesesatannya, dan tetap gigih menjadikan isu memojokkan Salafy-Wahabi sebagai pintu masuk menjajakan paham sesatnya; pada saat bersamaan ada sosok yang oleh pengasong syi’ah diledekin sebagai Salafy-Wahabi justru terlihat runtang-runtung dengan mesra bersama peledeknya. Bahkan di antara sesama mereka (yang diledekin sebagai Salafy-Wahabi oleh pengasong syi’ah plus praktisi bid’ah), justru cenderung berpecah-pecah, berbantah-bantah. Untuk memaknai thoghut saja, mereka saling serang tak ada kesepakatan dan kearifan.
Makanya, pengasong syi’ah dan praktisi bid’ah merasa seperti di atas angin, dan merasa superior dengan praktik talbis al-iblis yang menjadikan isu Salafy-Wahabi sebagai kambing hitam dan hantu jejadian radikalisme agama di Indonesia. Astaghfirullah…
Menghadapi masalah seperti ini, walau selicik apapun mereka (para pengasong syiah dan pengusung bid’ah), namun sebenarnya sudah ada petunjuk-petunjuk dalam Islam. Kalau kita melihat sejarah Islam, syi’ah itu dalam membuat fitnah adalah jagonya. Para sahabat dan bahkan isteri-isteri Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam saja difitnah secara keji oleh orang-orang syi’ah. Dari dulu hingga kini. Masih pula mereka lontarkan apa yang mereka sebut do’a namun isinya laknat lagi. Nah, kini  apalagi hanya orang sekarang yang berusaha untuk mengikuti Islamnya para sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka untuk memfitnahnya itu sudah merupakan hal yang lebih gampang  dan sangat mudah bagi syi’ah.
Dari sini apakah kita harus mengawasi dan diam saja ‘demi menghindari fitnah’?
Fitnah apakah yang lebih besar dari pada menuduh generasi teladan sebagai masyarakat ‘bejat dan pendusta’?!?
Marilah kita merenungi sama-sama perkataan bijak salah seorang sahabat yang bernama Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu:
“إذا لَعَنَ آخرُ هذه الأمَّة أوَّلها، فَمَنْ كان عنده علمٌ فليظْهره، فإنَّ كاتم ذلك ككاتم ما أُنزل على محمدٍ صلى الله عليه وسلم”.
“Bila umat Islam di akhir zaman mulai melaknat pendahulunya, maka siapa saja yang berilmu hendaklah menunjukkan ilmunya. Bila ia menyembunyikan, maka ia seperti yang menyembunyikan ajaran Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Nisbat riwayat ini kepada Nabi sanadnya dha’if, namun riwayat ini adalah dari perkataan Jabir bin Abdillah)
Bisakah Anda menangkap kedalaman makna ucapan ini?
Hujatan terhadap generasi sahabat bukan sekedar hujatan terhadap mereka yang telah tiada… tidak juga seperti ucapan sebagian orang bahwa: “Hujatan tersebut tidak berbahaya bagi para sahabat, karena mereka telah masuk Surga meski Syi’ah tidak suka.” Akan tetapi bahaya besar di balik ucapan ini ialah karena hujatan terhadap para sahabat pada hakikatnya adalah hujatan terhadap Islam secara langsung. Sebab kita tidak mendapatkan ajaran Islam kecuali melalui para sahabat radhiyallahu ‘anhum.
Kalau berbagai hujatan yang menimbulkan keraguan akan akhlak, niat, dan perbuatan para sahabat dibiarkan; lantas agama model apa yang akan kita anut?
Hilanglah agama kita kalau kita terima semua itu… hilanglah hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ajaran beliau.
Selanjutnya kini, kalau fitnah – berupa pemojokan dengan sebutan salafi wahabi dan aneka fitnah secara dusta– terhadap generasi yang mengikuti para sahabat  itu kita diamkan saja padahal kita tahu, lantas apakah kita rela aqidah Ummat Islam ini diganti dengan aliran sesat syi’ah dan bermuatan aneka bid’ah?
وَاَللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ . وَصَلَّى اللَّهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ .
Ilustrasi: voa-islam.com
(haji/tede/nahimuknar.com)


Kutipan :
 
Rabu, 02 May 2012
 

Buku Berkedok Pendidikan Karakter: Dari Syiah, Inklusif, hingga Gender

JAKARTA  – Masih membedah buku Materi Pangayaan Pendidikan Karakter untuk Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) Tingkat SMA yang diterbitkan oleh Maarif Institute. Pada Bab 3 tentang Hak Menjalankan Praktik Keagamaan, memuat peristiwa yang disadur dari pemberitaan di media massa, terkait soal kekerasan terhadap kaum Syiah di Sampang, Madura.

Berikut sepenggal cerita yang bertajuk Gali Ide:
“Kebhinekaan di Tanah Air kembali dinodai. Kekerasan atas nama agama kembali terjadi. Menjelang pergantian tahun, Kamis, 29 Desember sekitar pukul 9:15, pesantren milik warga Syiah di Nangkernang, Sampang, Madura, dibakar massa. Meski tidak menimbulkan korban, aksi ini menghanguskan tiga rumah dan satu musholla….”

Dalam peristiwa itu juga mengutip pernyataan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD dan mantan Ketua PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif yang mengutuk aksi kekerasan terhadap Syiah. Juga disinggung soal pengusiran terhadap aliran Ahmadiyah.
Ternyata, oh ternyata, beberapa lembaga non pemerintah juga turut berperan dalam mengkampanyekan wacana dan praktek pendidikan karakter seperti yang dilakukan oleh Sekolah Plus Muthahari, Bandung yang punya kepentingan untuk membela dirinya sebagai warga Syiah.  

Dari berita tersebut, siswa diminta untuk merenungkan dan menjawab pertanyaan, salah satunya: Bagaimana pandanganmu terhadap beberapa perda, kebijakan dan tindakan diskriminatif pihak berwajib yang berisi pelarangan pendirian tempat ibadah bagi agama tertentu?

Kemudian dalam pengayaan dibuku tersebut, dijelaskan: Mari kita coba menelaah dan memahami isi SKB 3 Menteri tentang pembangunan rumah ibadah dengan logika.

Ada ketidakjujuran penulis buku tersebut dalam mengurai fakta. Kenapa tidak disinggung pihak gereja yang telah menyalahi aturan SKB 3 Menteri. Seolah problema toleransi itu ada di kalangan umat Islam. Juga tidak dsebut, apakah ajaran Syiah itu? Bagaimana kesesatannya? Seharusnya, buku Materi Pendidikan Agama Islam (PAI) seperti ini menjelaskan tentang bagaimana kesesatan Syiah, dan pelanggaran yang dilakukan pihak gereja liar yang menyalahi aturan pemerintah setempat.

Lucunya lagi, dalam Bab 7, buku ini juga membahas soal Demokrasi. Seolah demokrasi berasal  dari Islam. Dengan mencomot dalil Al Qur’an (QS. Ali Imran: 159 dan As-Syura: 28), dijelaskan, tujuan pembelajaran  diharapkan agar peserta didik dapat berperilaku hidup demokratis dalam kehidupan sehari-hari.

Lebih aneh lagi, sistem pemilihan dengan suara terbanyak (votting) dianggap sebagai bagian dari ajaran Islam. Bahkan, Nabi Muhammad dinilai sebagai sosok pribadi yang demokratis dalam kehidupan social.

Inklusif & Kesetaraan Gender
Terdapat dua bab (Bab 13 dan Bab 14) yang memasukkan pesan inklusif dalam buku pendidikan karakter Pendidikan Agama Islam tersebut. Dalam Bab 13, dijelaskan tujuan pembelajaran dari topic “Inklusif sebagai Semangat Peradaban Islam”, yakni peserta didik dapat memahami contoh-contoh terbaik praktek kehidupan social-keagamaan yang inklusif pada masa abad pertengahan.

Sedangkan pada Bab 14 berjudul Karakter Inklusif Islam Nusantara. Dijelaskan dalam ringkasan materi: “…Islam telah memberi warna kebudayaan bagi sejarah bangsa ini. Maka Islam tidak seharusnya dipisahkan atau dipertentangkan dengan budaya Nusantara.”

Tujuan pembelajaran adalah agar peserta didik memahami dan menerapkan upaya dakwah di Indonesia yang dilakukan dengan damai tanpa kekerasan ataupun peperangan.
Yang jelas, buku ini tidak memuat sejarah secara utuh. Ketahuilah, bahwa Islam menghadapi ujiannya ketika dihadang dan dikibiri oleh bangsa penjajah. Dengan dakwah dan jihad, Islam tegak di muka bumi Indonesia.

Kemudian, inti pelajaran yang dipetik dari siswa (menurut buku tersebut) adalah umat Islam sebagai penduduk mayoritas Nusantara, semestinya tidak lagi mempersoalkan hubungan Islam, keindonesiaan, dan kemanusiaan. Ketiga konsep itu haruslah senafas agar Islam yang berkembang di Indonesia merupakan agama yang ramah, inklusif dan terbuka terhadap keragaman budaya.
Lalu disimpulkan, budaya Nusantara tersebut tidak semestinya dipertentangkan dengan Islam, sebab justru akan menambah khasanah dan kekayaan Islam yang rahmatan lil alamin.

Yang menjadi pertanyaan, apakah semua keragaman budaya bisa diterima oleh Islam? Tentu saja tidak. Budaya yang mengandung kemusyrikan sangat bertentangan dengan Islam itu sendiri. Dan satu hal, Islam itu bukanlah budaya, sehingga harus dipisah antara Islam sebagai agaman dan budaya itu sendiri.
Selanjutnya dalam Buku Materi Pengayaan Pendidikan Karakter untuk Mata Pelajaran PKn (Pendidikan Kewarganegaraan) dalam Bab I (Bhineka Tunggal Ika) diajarkan soal nilai-nilai pluralism. Sedangkan dalam Bab 2 dijelaskan soal Kesetaraan Gender.

Dijelaskan, Bhineka Tunggal Ika itu berisi konsep pluralitas dan multikulturalitas dalam kesatuan kehidupan yang utuh. Salah satu prinsip yang terkandung dalam Bhineka Tunggal Ika yang bersifat inklusif dimaknai bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak dibenarkan merasa dirinya yang paling benar, paling hebat, dan tidak mengakui harkat dan martabat pihak lain..”

Bagi yang kurang cermat membaca buku ini, akan terjebak dengan hal-hal yang kelihatannya normatif dan universal. Padahal dibalik itu terselubung kesesatan yang terbungkus oleh nilai-nilai. Sepertinya, kaum liberal dan Syiah bersatu untuk menyesatkan umat Islam melalui buku pelajaran yang menjadi bahan belajar mengajar di sekolah.

Bagi para guru PAI da PKn, berhati-hatilah. Jika tidak mau tersesat, abaikan buku materi pengayaan berkedok Pendidikan Karakter yang diterbitkan Maarif Institute itu.  


Kutipan :
Desastian / VoA-Islam
Rabu, 02 May 2012

Modus Pemurtadan dalam Buku Pendidikan Karakter Pendidikan Agama Islam

JAKARTA – Materi pengayaan pendidikan karakter yang terdapat dalam mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) seharusnya lebih menguatkan nilai-nilai ketauhidan siswa , khususnya yang beragama Islam. Bukan malah melunturkan akidah dengan menyelipkan nilai-nilai sekularisme, pluralisme dan liberalisme. Inilah bentuk potret buram pendidikan agama Islam yang disusupi aktivis liberal.  

Dalam buku Materi Pengayaan Pendidikan Karakter; Mengarusutamakan Nilai-nilai Toleransi, Anti Kekerasan dan Inklusif untuk Materi Pelajaran PAI (Pendidikan Agama Islam) Tingkat SMA, yang diterbitkan Ma’arif Institute -- bekerjasama dengan sejumlah dinas pendidikan di beberapa daerah, seperti Jogyakarta, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Cianjur dan Surakarta ini --  
terdiri dari 14 Bab dengan tematik sebagai berikut:
Toleransi, Hak Beragama, Hak Menjalankan Praktik Keagamaan, Dakwah: Mengajak Tanpa Memaksa, Berlaku Adil terhadap Perbedaan, Anti Kekerasan, Demokrasi, Memahami dan Mengelola Konflik, Memberi Maaf, Berlomba dalam Kebaikan, Menghargai Karya dan Budaya Bangsa lain, Inklusif sebagai Semangat Peradaban Islam, dan Karakter Inklusif Islam Nusantara.

Selain PAI, juga diterbitkan buku Materi Pengayaan Pendidikan Karakter untuk Mata Pelajaran PKn Tingkat SMA, terdiri dari 14 Bab, dengan tema sebagai berikut: Bhineka Tunggal Ika, Kesetaraan, Anti Diskriminasi, Demokrasi, Kebebasan Pers, Penegakan Hukum, Keterbukaan terhadap Perbedaan, Pancasila Rumah Bersama Indonesia, dan Keadilan Sosial.

Masing-masing buku Materi Pengayaan Pendidikan Karakter itu juga dilengkapi dengan Ringkasan Materi, Tujuan Pembelajaran,  Inti Pelajaran, Pengayaan,  dan Evaluasi.
Dalam Bab 1 tentang Toleransi, penulis buku ini membuat analogi ihwal nilai-nilai toleransi dengan sebuah cerita yang dipaksakan. Berikut ceritanya:

Bertamasya Jadi Gak Asyik
Suatu saat, siswa-siswa kelas 1 SMA Cikamari memadati bus saat akan berangkat bertamasya menuju pantai Pameungpeuk. Guru mereka, Pak Deden berharap pada murid lebih kompak dan bersatu sebagai sebuah kelompok. Sayangnya, kesatuan bukanlah hal yang mereka alami. Bahkan sebelum mereka masuk jalan tol, Winda, Dudung, Tono, dan Berta, memulai perjalanan tersebut dengan berdebat soal musik yang akan dimainkan di tape recorder dekat supir.

Berta ingin lagu rohani Brery Pesotiga, tetapi Dudung lebih suka music nasyid al-Jidar. Tono meminta agar lagi pop rock ala Republik Dusta yang dimainkan. Sedangkan Winda ingin lagu-lagu perjuangan yang diperdengarkan. Karena perdebatan diantara mereka, akhirnya sang supir memilih untuk menyetel lagu klasik Pancaran Sinar Pertamax (PSP).

Situasi semakin memburuk ketika mereka beristirahat saat Maghrib. Dudung menyarankan agar mereka shalat bersama sebelum makan. Tono mengeluh bahwa dia lapar. Namun akhirnya Tono memilih untuk shalat Maghrib dulu.

Begitu mereka berkumpul di dalam mushalla, Made mulai menyanyi nyaring dengan nada tinggi. Dudung lalu berkata bahwa mungkin sebaiknya tur ini menjadi sebuah tur untuk muslim saja. Dan tamasya pun menjadi kurang menyenangkan.
Saat itulah Pak Deden memanggil semua murid untuk bicara.

Dari kisah itu kemudian menyisakan pertanyaan, masalah apa yang menyebabkan tamasya jadi gak asyik lagi?

Bila disimak dari kisah itu, penulis buku itu ingin menggiring bahwa siswa muslim menjadi biang masalah. Ada kesan bahwa sosok muslim seperti Dudung itu sangat tidak toleran. Ukuran toleransi tidak dilihat dari persoalan tamasya menjadi tidak menyenangkan, hanya karena  berdebat soal memilih jenis musik. Penulis tidak tepat memberi analogi semacam itu.

Anehnya lagi, mereka kembali ribut di dalam mushalla. Lucunya, Made (dikesankan sebagai pemeluk Hindu) justru berada di dalam mushalla, padahal dia tidak shalat, lalu dia mengacau dengan nyanyian dengan nada tinggi. Cerita yang sungguh dipaksa-paksakan.

Pluralisme Agama
Konyolnya, dalam inti pelajaran yang dipetik dari cerita tersebut, buku tersebut memberika pembelajaran berupa toleransi dan Pluralisme Agama. Lalu serta merta disisipkan dalil al Qur’an tentang pluralisme agama (QS al Kafirun:6). “Untukmu agamamu dan untukku agamaku.”

Dijelaskan dalam buku itu: Pluralisme agama merupakan perwujudan dari kehendak Allah Swt agar manusia berlomba-lomba dalam kebajikan. Dia tidak menginginkan hanya ada satu agama, walaupun sebenarnya Allah punya kemampuan untuk melakukan hal itu bila Dia menghendaki. Lalu kembali mencomot dalil QS. al-Maidah: 48.

Lebih parah lagi, buku materi pengayaan PAI itu menjelaskan: Bukan hanya mengakui perbedaan dan pluralitas agama, lebih jauh al-Qur’an mengakui keberadaan golongan-golongan non-agama. Lagi diselipkan dalil QS. Yunus: 99.

Dijelaskan, setiap penganut agama dianut bukan saja mengakui keberadaan dan menghormati hak agama lain, tetapi juga terlibat dalam usaha memahami perbedaan agama guna tercapainya kerukunan dalam kehidupan beragama.
Dalam pengayaan terkait menghargai perbedaan agama, diberikan contoh yang sangat tidak relevan.

“Buka Bersama di Warung Nasi Peduli Kasih”
Berpuasa di bulan Ramadhan adalah ibadah tahunan umat Islam dimana pun mereka berada. Berbuka pada saat Maghrib adalah saat yang dinanti-nanti. Di Kota Solo, tepatnya di Manahan, sebuah Gereja Kristen Jawa mendirikan depot “Warung Nasi Peduli Kasih”. Warung ini menjual satu porsi berbuka hanya dengan harga Rp. 500,- bagi siapa saja yang ingin ber-ifthar (berbuka puasa).

Jika sudah jelas dalil lakum dinukum waliyadin, kenapa gereja sampai repot mengurus ibadah orang lain. Bukankah lebih baik gereja mengurus sendiri umat Kristiani yang lapar. Tak perlu lah gereja menjual nasi seharga Rp.500. Cukuplah menghormati umat Islam yang berpuasa. Itulah makna toleran.
Ditulisnya, “Beragama adalah pilihan yang sangat individual. Hak memilih atau menentukan agama diberikan oleh Allah Swt kepada manusia. Oleh karenanya manusia dipersilahkan secara bebas untuk memilih agama. Adanya keragaman merupakan konsekuensi dari pilihan itu.” Lalu dikutiplah dalil QS. al-Kahfi:29

Ingat dan catat! Pesan Pluralisme Agama itu ada di dalam Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI). Membaca buku materi pengayaan yang diterbitkan Maarif Institute ini telah menghantarkan guru dan siswa pada pemurtadan, setidaknya mendangkalkan akidah.

Pendidikan Agama Islam
 yang seharusnya menguatkan nilai-nilai tauhid dan menanamkan akidah yang kokoh pada siswa tidak terlihat sama sekali dalam buku ini. 
Bahkan dalil “Tidak ada paksaan dalam beragama” ditafsirkan bahwa setiap orang boleh memilih agama menurut keyakinannya masing-masing. 
Bahkan berhak untuk murtad, berpindah menjadi Kristiani sekalipun.  
Naudzubillah!  


Kutipan :
Desastian /VoA-Islam
Rabu, 02 May 2012

Alhamdulillah! PP Muhammadiyah Pun Menolak Dialog dengan Irshad Manji

JAKARTA  – Semula diagendakan, Pimpinan Pusat Muhammadiyah akan mengadakan pertemuan dan dialog dengan tokoh feminis lesbi Irshad Manji pada pada 4 Mei 2012 di gedung PP Muhammadiyah, jalan Menteng Raya No. 62, Jakarta, akhirnya dibatalkan. Namun, tidak dijelaskan alasan kenapa Muhammadiyah membatalkan pertemuan dan dialog tersebut.

Dalam surat resminya tertanggal 1 Mei 2012, Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengeluarkan keputusan pembatalan acara dialog dengan tokoh Feminis asal Kanada Irshad Manji,  Pembatalan tersebut dikeluarkan dalam bentuk surat bernomor 232/I.O/B/2012.
“Sesuai perjanjian dari penerbit Renebook, acara dialog dan pertemuan dengan Miss Irshad Manji, yang rencana dilaksanakan pada 4 Mei 2012 di gedung PP Muhammadiyah, jalan Menteng Raya No. 62, Jakarta;  Dibatalkan”. Demikian surat yang ditandatangani oleh Sekretaris PP Muhammadiyah Dr.Abdul Mu’ti M’ed.

Surat tersebut ditujukan kepada beberapa pihak diantaranya, anggota PP Muhammadiyah, Majelis dan lembaga PP Muhammadiyah, Ketua organisasi otonom Muhammadiyah tingkat pusat, Rektor Uhamka Jakarta, UM Tangerang, Ketua STIE Muhammadiyah, STIE Ahmad Dahlan, dan STIMIK Muhammadiyah Jakarta serta di tembuskan kepada kantor PP Muhamadiyah di Yogyakarta.

Sebagaimana diberitakan Voa-Islam sebelumnya, Irshad Manji akan mengunjungi Indonesia sejak tanggal 4-9 Mei di sejumlah daerah. Selain akan berdiskusi di Sekretariat AJI Jakarta, Jalan Kalibata Timur IVG No. 10, Kalibata, Jakarta Selatan, Irshad Manji  juga akan berdiskusi dengan tema “Menggugat Normativitas Tubuh dan Seksualitas: Iman, Cinta dan Kebebasan” di Balai Soedjatmoko, Solo, Selasa 8 Mei, Jam 17.00-20.00 yang diselenggarakan Jurnal Perempuan.
Sekilas Irshad Manji

Irshad Manji dilahirkan di Uganda pada 1968 dari pasangan Muslim yang keturunan Arab-Mesir dan India. Sejak kecil, Manji mengalami hidup yang kelam kelam atas ulah ayahnya. Dalam bukunya The Trouble with Islam Today,  ia ceritakan pengalaman buruk masa kecilnya yang kemungkinan menjadikan ia memilih menjadi penganut lesbian.

Meski memiliki kelainan orientasi, pikiranya justru digandrungi penganut paham liberal di Indonesia. Ia bahkan dijuluki sebagai “ a faithful muslim” (penganut Muslim yang beriman), meskipun perilakunya banyak dinilai jauh dari prinsip Islam.

Tokoh feminis Muslim asal Kanada yang juga dikenal dengan pegiat lesbianism itu, akan datang ke Jakarta dalam rangka diskusi dan bedah buku “Allah, Liberty and Love". Kehadiran Irshad Manji ini diselenggarakan dalam rangka tur kampanye “Iman, Kebebasan dan Cinta” di Indonesia.
Salut untuk PP Muhammadiyah yang menyatakan penolakannya untuk berdialog dengan sosok “Lesbong” Irshad Manji. Yuk, rame-rame usir Irshad Manji perusak moral dari bumi Indonesia!


Kutipan :
Desastian
Rabu, 02 May 2012

Inilah Penilaian Ngawur Ulil Absar Abdalla Tentang Irshad Manji

JAKARTA  - Dalam sebuah situs islamlib.com, yang berjudul Irshad Manji pada 05/06/2005, dedengkot Jaringan Islam Liberal (JIL), Ulil Abshar Abdalla mengaku menikmati buku Irshad Manji, The Trouble with Islam Today. Kata Ulil, dia bukan seorang sarjana muslim. Tapi dengan jujur, ia telah mengungkapkan sesuatu yang dirasakan seorang muslim tentang Islam yang dipraktekkan dalam masyarakat. Ulil mendapat banyak pelajaran dari buku ini, sebab pengarangnya adalah sedikit di antara muslimah yang berani melontarkan “suara lain”.

Dikatakan Ulil, dalam hukum Islam banyak sekali bentuk-bentuk “diskriminasi” atas perempuan. Ini bukan berarti Islam tak membawa perbaikan bagi hak-hak perempuan. Islam telah membawa banyak hal positif bagi perempuan. Tapi, sementara definisi tentang hak-hak perempuan terus bergerak, hukum Islam “mogok” di tengah jalan, dengan alasan ia sudah ketentuan Tuhan yang tidak boleh diutak-utik. “Ulama laki-laki” seakan-akan seenaknya menjustifikasi diskriminasi itu dengan bersembunyi di balik “hukum-hukum Tuhan” yang konon tak boleh diubah. Ini sama dengan memakai agama untuk melanggengkan ketidakadilan.
Karena itu sikap Ulil, sebagaimana Manji, jelas: Islam harus ditafsirkan terus-menerus sesuai dengan rasa keadilan yang berkembang dalam masyarakat. Islam tak boleh dihentikan geraknya dengan dalih Tuhan sudah memberi batas-batas yang jelas tentang perempuan.

Bagi Ulil, hubungan antara agama dan pemeluknya bersifat dialektis (‘alaqah jadaliyyah): agama tak bisa bersikap “burung unta”, acuh terhadap “protes-protes” yang dilontarkan pemeluknya. Agama harus menyesuaikan diri dengan kebutuhan pemeluknya. Tapi pemeluk agama juga harus bisa menyesuaikan diri dengan “visi moral” yang dikehendaki agama.

Menurut aktivis JIL ini, hubungan dialektis antara agama dan pemeluknya itu mengandaikan bahwa agama dan pemeluknya saling menyesuaikan diri. Agama tak bisa meletakkan diri secara doktriner seperti “diktator” yang memaksakan hukum-hukumnya walau jelas hukum-hukum itu tak sesuai dengan kebutuhan umatnya. Tapi manusia juga tak bisa meletakkan dirinya secara absolut sebagai “kriteria” tunggal.

Karena itu, pengalaman manusia dalam beragama sama pentingnya dengan teks ajaran itu sendiri. Ajaran agama muncul karena merespons pengalaman manusia dalam situasi yang spesifik, dan karena itu juga dibentuk oleh kondisi historis. Tapi agama, selain terkondisikan oleh sejarah, juga melampaui sejarah. Agama adalah “di dalam” sekaligus “di luar” sejarah.

Salah satu sikap sebagian umat Islam yang Ulil Abshar anggap kurang tepat adalah anggapan bahwa Islam yang “benar” dan “lurus” sudah tersedia, sudah selesai, karena sudah terkandung dalam ajaran-ajaran yang diwedarkan oleh Kanjeng Nabi Muhammad. Umat Islam tak perlu repot-repot lagi “mencari”. Buat apa “mencari jalan kebenaran”, toh semuanya sudah tersedia dengan komplit dalam ajaran yang ada.

Dikatakan Ulil, Islam memang telah diwedarkan dengan tuntas oleh Nabi. Tapi penerapannya juga tidak semudah yang dibayangkan. Penerapan ajaran Nabi harus tetap kreatif dan dinamis, dan karena itu penelaahan rasional dalam bentuk ijtihad diperlukan. Di situlah proses pencarian Islam berlangsung. Anggapan bahwa semuanya telah “selesai” dan “sempurna” adalah cerminan dari kemalasan berpikir, “spiritual complacency”.

Karena pencarian penting, maka pengalaman manusia juga menjadi penting. Agama tidak bisa menundukkan pengalaman manusia sepenuhnya, sebaliknya pengalaman manusia tidak bisa “mengarahkan” agama sepenuhnya. Yang terjadi adalah proses dialektis: Islam adalah “imam” sekaligus “makmum” terhadap umat Islam. Begitulah sebaliknya.

Karena itu, menurut Ulil, selain buku Manji, karya Asra Q Nomani, Standing Alone in Mecca: An American Woman’s Struggle for the Soul of Islam juga perlu dibaca. Buku ini berkisah tentang seorang perempuan muslimah asal Pakistan yang terseok-seok mencari “jiwa Islam” yang sesungguhnya melalui pengalaman hidup yang pasang surut. “Otobiografi spiritual” Ziauddin Sardar, Desperately Seeking Paradise, juga layak dibaca. Sardar bercerita tentang perjalanannya mencari Islam, bergabung dengan banyak kelompok Islam, termasuk Jamaah Tabligh.

Lagi-lagi Ulil ngawur, buku-buku Manji, Nomani, atau Sardar, menunjukkan bahwa “menjadi muslim” yang relevan dengan abad modern bukanlah pekerjaan mudah. Selalu ada pergulatan dan pergelutan di sana.
Pantas saja, Ulil dan Irshad Manji sama-sama rusak!! Karenanya tak perlu didengar sekutu setan seperti mereka.   

Kutipan :
Desastian / VoA-Islam
Rabu, 02 May 2012

Umat Islam Wajib Tolak Kedatangan "Lesbong" Irshad Manji ke Indonesia

JAKARTA  - Seorang tokoh penggerak dan praktisi lesbianisme (lesbong), Irshad Manji, datang lagi ke Indonesia bulan Mei 2012 ini. Berbagai rencana penyambutan kedatangannya sudah disiapkan di sejumlah kota. Kabarnya, ia akan meluncurkan buku terbarunya, Allah, Liberty & Love, dalam edisi Indonesia, sekaligus mengkampanyekan ide dan pemikiran sesatnya, seperti feminisme, lesbianisme dan liberalisme.

Sejak tanggal 4-9 Mei 2012, Irshad Manji dijadwalkan akan menjadi narasumber dalam diskusi dan bedah buku “Allah, Liberty and Love” di sejumlah kota di Indonesia. Di Jakarta, selain acara di UIN Jakarta, Irshad akan menjadi pembicara dalam acara diskusi dan bedah buku yang diselenggarakan  Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta bersama penerbit renebook pada hari Sabtu, 5 Mei 2012, pukul 18.00 – 21.00 WIB. AJI dalam siaran persnya menyatakan, diskusi akan membahas peran media dalam memberitakan tentang isu agama di Indonesia.

Selain akan berdiskusi di Sekretariat AJI Jakarta, Jalan Kalibata Timur IVG No. 10, Kalibata, Jakarta Selatan, Irshad Manji  juga akan berdiskusi bertema “Menggugat Normativitas Tubuh dan Seksualitas: Iman, Cinta dan Kebebasan” di Balai Soedjatmoko, Selasa 8 Mei, Jam 17.00-20.00 yang diselenggarakan Jurnal Perempuan.

Solo menjadi kota kedua di Indonesia yang dia kunjungi. Di Solo, Irshad Manji dijadwalkan akan mengisi diskusi di Universitas Muhammadiyah Surakarta dan Balai Soedjatmoko Gramedia Solo pada 8 Mei 2012.
Yogyakarta menjadi kota terakhir yang dikunjungi Irshad Manji dalam lawatan ‘dakwah’nya di Indonesia. Di Yogyakarta, Irshad dijadwalkan akan mengisi diskusi di Universitas Islam Negeri Yogyakarta (UIN Suka), pada 9 Mei 2012.

Berikut agenda roadshownya:

4 Mei 2012, UIN Syarif Hidayatullah
5 Mei 2012, Jakarta, Sekretariat Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI)
8 Mei 2012, Solo, Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) dan Balai Soedjatmoko Gramedia Solo
8 Mei 2012, Jakarta, Balai Soedjatmoko
9 Mei 2012, Yogyakarta, UIN Yogja

Sosok Lesbong
Aktivis liberal seperti Nong Darol Mahmada begitu mengagung-agungkan sosok Irshad Manji. Dalam  artikel yang ditulisnya di Jurnal Perempuan (edisi khusus Lesbian, 2008) berjudul: Irshad Manji, Muslimah Lesbian yang Gigih Menyerukan Ijtihad, Nong menyebut Manji sangat layak menjadi inspirasi kalangan Islam khususnya perempuan di Indonesia.

Tidak hanya itu, Irshad Manji pernah  diberi dinobatkan sebagai “Feminis Abad ke-21”. Manji diberikan penghargaan Honor Roll di tahun 2004 sebagai “Orang Kanada yang Sangat Berpengaruh”.
Dalam bukunya (edisi Indonesia), Beriman Tanpa Rasa Takut: Tantangan Umat Islam Saat Ini, dicantumkan pujian pada sampul depan:”Satu dari Tiga Muslimah Dunia yang Menciptakan Perubahan Positif dalam Islam.” Dalam buku ini, bisa ditemukan nada-nada penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW dan keraguan terhadap al-Quran:
”Sebagai seorang pedagang buta huruf, Muhammad bergantung pada para pencatat untuk mencatat kata-kata yang didengarnya dari Allah. Kadang-kadang Nabi sendiri mengalami penderitaan yang luar biasa untuk menguraikan apa yang ia dengar. Itulah bagaimana ”ayat-ayat setan” – ayat-ayat yang memuja berhala – dilaporkan pernah diterima oleh Muhammad dan dicatat sebagai ayat otentik untuk al-Quran. Nabi kemudian mencoret ayat-ayat tersebut, menyalahkan tipu daya setan sebagai penyebab kesalahan catat tersebut. Namun, kenyataan bahwa para filosof muslim selama berabad-abad telah mengisahkan cerita ini sungguh telah memperlihatkan keraguan yang sudah lama ada terhadap kesempurnaan al-Quran.” (hal. 96-97).

Dalam penilaian Peneliti INSIST Adian Husaini, cerita yang diungkap oleh Manji itu memang favorit kaum orientalis untuk menyerang al-Quran dan Nabi Muhammad saw. Cerita itu populer dikenal sebagai kisah gharanik. Riwayat cerita ini sangat lemah dan palsu. Haekal, dalam buku biografi Nabi Muhammad saw, menyebut cerita tersebut tidak punya dasar, dan merupakan bikinan satu kelompok yang melakukan tipu muslihat terhadap Islam. Karen Armstrong, dalam bukunya, Muhammad: A Biography of the Prophet juga membahas masalah ini dalam satu bab khusus.

Buku lain yang ditulis Irshad Manji berjudul The Trouble with Islam, mendapatkan sorotan tajam dari berbagai pihak. Editorial Palestine Solidarity Review menulis judul kritiknya: “The Trouble with Irshad Manji”. Diantara kritiknya adalah kerancuan pemikiran Irshad Manji yang berlebihan dalam memuji kebebasan Barat, di mana ia menulis, bahwa hanya di Barat, Muslim mendapatkan kebebasan untuk berpikir, berekspresi, dan sebagainya (enjoy precious freedoms to think, express, challenge and be challenged without fear of state reprisal).

Palestine Solidarity Review menulis kritiknya, bahwa Irshad Manji tampaknya buta terhadap berbagai jenis intimidasi dan diskriminasi yang diderita Muslim di Negara-negara Barat: ” Is she blind to the fact that thousands of Muslims in the U.S. are being intimidated into silence by deportations, detentions, SEVIS registration, racist attacks on the street, and state repression? That Muslim youth are fighting racists and the cops in the street in England and France?”

Bagi Adian, kedatangan kembali Irshad Manji ke Indonesia tidak bisa dipandang sebagai hal sepele. Sebab, selama ini, kaum lesbi dan pendukungnya telah melakukan berbagai gerakan menuju legalisasi praktik homo dan lesbi di Indonesia. Jurnal Perempuan, edisi Maret 2008, melaporkan, bahwa pada tanggal 6-9 November 2006, 29 pakar HAM terkemuka dari 25 negara berkumpul di Yogyakarta untuk memperjuangkan hak-hak kaum lesbian ini.

Di situ, mereka menghasilkan sebuah dokumen yang disebut: ”Prinsip-prinsip Yogyakarta terhadap Pemberlakuan Hukum Internasional atas Hak-hak Asasi Manusia yang Berkaitan dengan Orientasi Seksual, Identitas Gender dan hukum internasional sebagai landasan pijak yang lebih tinggi dalam perjuangan untuk Hak Asasi Manusia yang paling dasar (baca: kebutuhan seksual) serta kesetaraan gender, yang disebut dengan Yogyakarta Principles.”

Jadi, Irshad Manji yang lesbi, harusnya sadar bahwa dia sakit dan perlu diobati, bukan malah dipuja-puji di sana-sini dan dijadikan narasumber untuk diskusi. Prof. Dadang Hawari memberi nasehat pada kaum homo dan lesbi: ”Bagi mereka yang merasa dirinya homoseksual atau lesbian dapat berkonsultasi kepada psikiater yang berorientasi religi, agar dapat dicarikan jalan keluarnya sehingga dapat menjalani hidup ini dan menikah dengan wajar.”  


Kutipan :
Desastian / VoA-Islam
Rabu, 02 May 2012

Wacana Kaum Liberal & Islamphobi: Satu Muazin Untuk 30 Masjid,

Gema azan kembali digugat. Azan yang berfungsi membangun shalat dituding pembuat gaduh, bising dan pengganggu. Wacana satu muazin untuk 30 masjid mengemuka. Keinginan kaum liberal dan Islamphobi?

Saat membuka Muktamar Dewan Masjid Indonesia (DMI) ke VI di Asrama Haji Pondok Gede, Wakil Presiden Boediono, Jumat (27/4) lalu, melontarkan pernyataan kontroversial. Dalam pidatonya, Boediono meminta agar DMI ikut mengatur suara adzan. Boediono ingin agar adzan terdengar secara sayup-sayup saja.
Wapres juga meminta DMI, agar masjid tidak jatuh pada orang-orang yang menyebarkan paham yang tidak Islami. "Seperti radikalisme, fanatisme sektarian, permusuhan terhadap agama dan kepercayaan orang lain, dan anjuran-anjuran provokatif yang bisa berujung kepada tindak kekerasan dan terorisme. 

Berikut kutipan dari rilis isi lengkap pidato Boediono yang ngawur itu.

“Kita semua berkepentingan agar masjid dijaga jangan sampai jatuh ke tangan mereka yang menyebarkan gagasan yang tidak Islami seperti radikalisme, fanatisme sektarian, permusuhan terhadap agama dan kepercayaan orang lain, dan anjuran-anjuran provokatif yang bisa berujung kepada tindak kekerasan dan terorisme. Islam adalah agama yang sangat toleran. Islam mengajarkan kepada kita bahwa jalan terbaik adalah jalan tengah.

Dewan Masjid Indonesia kiranya juga dapat mulai membahas, umpamanya,  tentang pengaturan penggunaan pengeras suara di masjid-masjid. Kita semua sangat memahami bahwa azan adalah panggilan suci bagi umat Islam untuk melaksanakan kewajiban sholatnya. Namun demikian, apa yang saya rasakan barangkali juga dirasakan oleh orang lain, yaitu bahwa suara azan yang terdengar sayup-sayup dari jauh terasa lebih merasuk ke sanubari kita dibanding suara yang terlalu keras, menyentak, dan terlalu dekat ke telinga kita.”.....

Adzan Digugat
Yang jelas, gugatan terhadap gema adzan bukanlah yang pertama. Harian  The Jakarta Post pernah menggiring opini pembaca seputar azan di masjid-masjid dengan menggunakan pengeras suara (loud speaker). Dengan topic “Letter: Loudspeakers on Mosques”, pembaca diundang untuk meresponnya di kolom semacam surat pembaca.

Sebagai prolog, harian berbahasa Inggris itu mengusung wacana: pemerintah berencana mengatur azan di masjid dengan perbandingan satu muazin untuk 30 masjid. Muazinnya yang dipilih  adalah yang memiliki suara indah dan enak didengar. Intinya, adanya penyeragaman azan. Konyolnya, suara azan tersebut diambil dari stasiun radio pemerintah. Itu sama saja, meniadakan peran muazin.

Wacana itu memunculkan pro-kontra. Namun yang dimunculkan adalah pendapat yang kontra. Diantara pembaca, ada yang berpendapat, akan ada perlawanan dari ratusan muazin yang tidak terpilih nantinya. Dan akan banyak muazin tidak lagi naik menara untuk menyerukan azan. Pendapat pembaca yang lain mengatakan, pada zaman nabi, azan tidak dikumandangkan dengan pengeras suara.Kenapa mereka tidak melakukan seperti zaman nabi dulu?

Pembaca dari Lampung menyatakan setuju, jika azan hanya dikumandangkan seorang muazin, tidak perlu setiap masjid mengumandangkan azan dengan pengeras suara. Sekarang ini banyak masjid yang berdekatan. Hanya dengan satu azan dari beberapa masjid, sebetulnya sudah cukup. Ironisnya lagi, ada pembaca yang mengatakan, azan di TV dan radio sebenarnya sudah cukup. ”Azan dari masjid sekitar bisa mengganggu,” katanya.

Sedangkan pendapat yang kontra juga dimunculkan. ”Saya tidak setuju. Suara muazin itu berbeda-beda, memiliki keunikan sendiri-sendiri. Itu akan hilang jika nanti diganti. Satu suara dari radio pemerintah akan seperti komunisme yang menyuarakan propaganda,” ungkap pembaca bernama Paolo L Scalpini dari Prancis.

Pendapat kontra lain mengatakan, dahulu memang tidak ada pengeras suara, tapi di abad modern ini,  kita harus memanfaatkan teknologi sebagaimana orang-orang menggunakannya. Lagi pula hanya memilih satu muazin saja akan membuat orang melupakan nilai-nilai Islam.
Sebagai penutup, The Jakarta Post, memuat opini pembaca dari Jakarta dengan nada sinis. ”Jadi kenapa mereka menyerukan azan. Pada hakikatnya tidak ada gunanya juga seruan azan ini,” tukasnya.

Meniru Mesir
Wacana untuk melakukan penyeragaman azan, pernah digulirkan Pemerintah Mesir yang hendak menerapkan kebijakan baru aturan azan di Kota Kairo, pada tahun 2007. Dengan kebijakan baru ini, setiap waktu sholat tiba, suara adzan dipusatkan pada satu muazin saja yang disambungkan ke 4.000 pengeras suara yang ada di masjid-masjid besar di kota Kairo.

Kebijakan baru itu dibuat, karena kabarnya banyaknya keluhan terhadap suara adzan yang saling bersahut-sahutan dari berbagai masjid ketika waktu sholat tiba, dengan selisih waktu yang sedikit berbeda-beda, sehingga terdengar bising. Hal itu mendorong Menteri Wakaf Mesir Mahmud Zaqzuq menandatangi kontrak untuk menyediakan sekitar 4.000 pesawat penerima agar azan bisa dikumandangkan dalam waktu yang sama oleh masjid yang berbeda-beda.

Rencana untuk sentralisasi kumandang azan sebenarnya sudah dibicarakan sejak tahun 2004 lalu, tapi proyek sentralisasi itu mendapat perlawanan dari kalangan ulama, sehingga pelaksanaannya terhambat. Mereka yang menyampaikan keluhan, kebanyakan warga yang tinggal di dekat masjid. Sebuah komite kemudian dibentuk untuk mempelajari keluhan itu dan membuat proyek sentralisasi azan, termasuk studi mengenai aspek teknisnya.

Sebagai catatan, kementerian agama di Mesir saat ini bertanggung jawab atas sekitar 90 ribu masjid dan musholla-musholla yang tersebar di seluruh Mesir. Sekitar 4.000 masjid berada di wilayah Kairo Raya yang akan menjadi target pertama dari kebijakan ini. Rencananya, pemerintah Mesir akan mengumumkan muazin bersuara indah untuk dipilih saat mengumandangkan azan.

Dengan cara inilah, kaum liberal dan Islamphobi di Indonesia hendak meniru kebijakan pemerintah Mesir, perihal aturan azan. Atas dalih yang dibuat-buat, mereka menuduh, seruan azan dianggap pengganggu tidur, mengusik orang sakit, orang-orang jompo, balita, dan turis yang melancong.

Kebijakan itu, sebetulnya langkah awal untuk bertindak lebih jauh, yakni hendak melarang masjid-masjid mengumandangkan azan. Setidaknya, ada beberapa negara yang telah memberlakukan larangan azan karena alasan gangguan kenyamanan. Di selatan benua Afrika, misalnya. Mahkamah Agung Mauritius memerintahkan otoritas kota Quatre-Bornes agar melarang Masjid Hidayat Al-Islam menggunakan pengeras suara saat mengumandangkan azan. Larangan itu dikeluarkan (akhir Maret 2007), setelah salah seorang warga mengajukan gugatan hukum, karena merasa terganggu dengan suara muazin saat waktu shalat tiba. Yang menarik, protes atas larangan itu, bukan hanya dilakukan warga muslim, tapi juga non Muslim.

Di Azerbaijan, negeri yang mayoritas berpenduduk muslim, juga mengeluarkan larangan azan dengan pengeras suara (23/5/2007). Kemudian di Maroko, seorang menteri Partai Sosialis Progresif, Nouzha Skalli mengusulkan larangan azan Subuh dengan dalih agar tidak mengganggu turis.

Di Eropa, SVP -- parlemen Swiss (Partai Rakyat Swiss) bersama Partai Kristen ultra konservatif, sejak 2008, gencar mengkampanyekan anti-menara masjid. Itu artinya, sama sama saja melarang kumandang azan. Saat ini, ada sekitar 35.000 muslim di Swiss yang bertahun-tahun terus memperjuangkan agar agama Islam diakui sebagai agama resmi.

Zionis Israel juga memberlakukan aturan, tidak hanya larangan shalat di Masjid Al Aqsha bagi warga Al Quds dan muslim Arab yang berada di Palestina, melainkan juga melarang azan. Jauh sebelumnya, tahun 1930 dan 1940-an, Turki pernah menerapkan larangan azan dan mengganti seruan azan dari bahasa Arab kedalam bahasa Turki, bahkan mengubah masjid menjadi museum.

Di Indonesia sendiri, seperti di Kupang, masjid dilarang menggunakan pengeras suara untuk mengumandangkan azan. Sungguh memperihatinkan. Benarkah kumandang azan di masjid-masjid sebagai pengganggu?
Ternyata tidak. Buktinya, Tatiana, Gadis Slowakia terbuka hatinya setelah mendengar suara azan saat ia berkunjung ke Kairo, Mesir (7 September 2008). Tatiana adalah salah satu umat Kristiani yang terpikat suara azan, lalu memutuskan untuk menjadi seorang muslimah.
“Ketika mendengar suara azan, jujur saja, saya merasakan getaran-getaran aneh dalam hati. Ketika itu saya seakan terhipnotis dan tak mendengar suara lain kecuali suara yang berkumandang melalui menara mesjid itu. Tak berapa lama saya pun bersyahadah,” akunya.

Aneh, jika azan dibilang pengganggu, dan membuat bising orang yang malas bangun pagi. Seharusnya umat Islam bangga, karena agama ini mengajarkan kedisiplinan. Wacana satu muazin untuk 30 masjid via stasiun radio pemerintah adalah mustahil dan terlampau mengada-ngada.  

Kutipan :
Desastian / VoA-Islam
Selasa, 01 May 2012

MUI: Wapres Boediono Atur Saja Konser Lady Gaga, Jangan Batasi Azan!!

BOGOR  - Salah satu pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, KH Muhyidin Junaidi menilai pernyataan Wapres Boediono tentang pengaturan suara adzan justru tidak sesuai dengan aturan syariat Islam.

Alasannya, seorang muadzin (orang yang biasa mengumandangkan adzan) saat mengumandangkan adzan memang harus bersuara keras agar terdengar jelas.
Sudah keras saja masih banyak yang tidak salat. Apalagi kalau suaranya pelan. Wapres tidak usah bicara teknis lah. Ini tidak ada relevansinya
"Betapa banyak orang yang mendapat hidayah setelah mendengar suara adzan. Bilal bin Rabah, muadzin pertama terpaksa naik ke Ka’bah untuk menyuarakan adzan," terang Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri ini, Senin (30/4/2012).

Namun, lanjut dia, muadzin perlu melakukan pengaturan waktu yang pas tentang penggunaan pengeras suara. Itu agar tak mengganggu orang lain. Hal tersebut juga berlaku saat pembacaan wirid, nasyid dan acara keagamaan lainnya.
"Sudah keras saja masih banyak yang tidak salat. Apalagi kalau suaranya pelan. Wapres tidak usah bicara teknis lah. Ini tidak ada relevansinya," tegasnya.
Lebih baik atur Lady Gaga ketimbang adzan!
Menurutnya, seharusnya pemerintah lebih fokus membenahi moral generasi muda yang kian tergerus budaya asing. Muhyidin mencontohkan rencana konser Lady Gaga di Jakarta, Juni mendatang.
Lebih baik, kata Muhyidin, pemerintah mengatur tata cara berpakaian dan aksi panggung penyanyi yang selalu tampil eksentrik dan seksi itu. "Lebih baik atur Lady Gaga ketimbang adzan!" tandasnya. 


Kutipan :
Widad/jpn/ VoA-Islam
Rabu, 02 May 2012