JAKARTA - Dalam sebuah situs islamlib.com, yang berjudul Irshad Manji pada 05/06/2005, dedengkot Jaringan Islam Liberal (JIL), Ulil Abshar Abdalla mengaku menikmati buku Irshad Manji, The Trouble with Islam Today. Kata Ulil, dia bukan seorang sarjana muslim. Tapi dengan jujur, ia telah mengungkapkan sesuatu yang dirasakan seorang muslim tentang Islam yang dipraktekkan dalam masyarakat. Ulil mendapat banyak pelajaran dari buku ini, sebab pengarangnya adalah sedikit di antara muslimah yang berani melontarkan “suara lain”.
Dikatakan Ulil, dalam hukum Islam banyak sekali bentuk-bentuk
“diskriminasi” atas perempuan. Ini bukan berarti Islam tak membawa
perbaikan bagi hak-hak perempuan. Islam telah membawa banyak hal positif
bagi perempuan. Tapi, sementara definisi tentang hak-hak perempuan
terus bergerak, hukum Islam “mogok” di tengah jalan, dengan alasan ia
sudah ketentuan Tuhan yang tidak boleh diutak-utik. “Ulama laki-laki”
seakan-akan seenaknya menjustifikasi diskriminasi itu dengan bersembunyi
di balik “hukum-hukum Tuhan” yang konon tak boleh diubah. Ini sama
dengan memakai agama untuk melanggengkan ketidakadilan.
Karena itu sikap Ulil, sebagaimana Manji, jelas: Islam harus
ditafsirkan terus-menerus sesuai dengan rasa keadilan yang berkembang
dalam masyarakat. Islam tak boleh dihentikan geraknya dengan dalih Tuhan
sudah memberi batas-batas yang jelas tentang perempuan.
Bagi Ulil, hubungan antara agama dan pemeluknya bersifat dialektis (‘alaqah jadaliyyah):
agama tak bisa bersikap “burung unta”, acuh terhadap “protes-protes”
yang dilontarkan pemeluknya. Agama harus menyesuaikan diri dengan
kebutuhan pemeluknya. Tapi pemeluk agama juga harus bisa menyesuaikan
diri dengan “visi moral” yang dikehendaki agama.
Menurut aktivis JIL ini, hubungan dialektis antara agama dan
pemeluknya itu mengandaikan bahwa agama dan pemeluknya saling
menyesuaikan diri. Agama tak bisa meletakkan diri secara doktriner
seperti “diktator” yang memaksakan hukum-hukumnya walau jelas
hukum-hukum itu tak sesuai dengan kebutuhan umatnya. Tapi manusia juga
tak bisa meletakkan dirinya secara absolut sebagai “kriteria” tunggal.
Karena itu, pengalaman manusia dalam beragama sama pentingnya dengan
teks ajaran itu sendiri. Ajaran agama muncul karena merespons pengalaman
manusia dalam situasi yang spesifik, dan karena itu juga dibentuk oleh
kondisi historis. Tapi agama, selain terkondisikan oleh sejarah, juga
melampaui sejarah. Agama adalah “di dalam” sekaligus “di luar” sejarah.
Salah satu sikap sebagian umat Islam yang Ulil Abshar anggap kurang
tepat adalah anggapan bahwa Islam yang “benar” dan “lurus” sudah
tersedia, sudah selesai, karena sudah terkandung dalam ajaran-ajaran
yang diwedarkan oleh Kanjeng Nabi Muhammad. Umat Islam tak perlu
repot-repot lagi “mencari”. Buat apa “mencari jalan kebenaran”, toh semuanya sudah tersedia dengan komplit dalam ajaran yang ada.
Dikatakan Ulil, Islam memang telah diwedarkan dengan tuntas oleh
Nabi. Tapi penerapannya juga tidak semudah yang dibayangkan. Penerapan
ajaran Nabi harus tetap kreatif dan dinamis, dan karena itu penelaahan
rasional dalam bentuk ijtihad diperlukan. Di situlah proses pencarian
Islam berlangsung. Anggapan bahwa semuanya telah “selesai” dan
“sempurna” adalah cerminan dari kemalasan berpikir, “spiritual
complacency”.
Karena pencarian penting, maka pengalaman manusia juga menjadi
penting. Agama tidak bisa menundukkan pengalaman manusia sepenuhnya,
sebaliknya pengalaman manusia tidak bisa “mengarahkan” agama sepenuhnya.
Yang terjadi adalah proses dialektis: Islam adalah “imam” sekaligus
“makmum” terhadap umat Islam. Begitulah sebaliknya.
Karena itu, menurut Ulil, selain buku Manji, karya Asra Q Nomani, Standing Alone in Mecca: An American Woman’s Struggle for the Soul of Islam juga
perlu dibaca. Buku ini berkisah tentang seorang perempuan muslimah asal
Pakistan yang terseok-seok mencari “jiwa Islam” yang sesungguhnya
melalui pengalaman hidup yang pasang surut. “Otobiografi spiritual”
Ziauddin Sardar, Desperately Seeking Paradise, juga layak
dibaca. Sardar bercerita tentang perjalanannya mencari Islam, bergabung
dengan banyak kelompok Islam, termasuk Jamaah Tabligh.
Lagi-lagi Ulil ngawur, buku-buku Manji, Nomani, atau Sardar,
menunjukkan bahwa “menjadi muslim” yang relevan dengan abad modern
bukanlah pekerjaan mudah. Selalu ada pergulatan dan pergelutan di sana.
Pantas saja, Ulil dan Irshad Manji sama-sama rusak!! Karenanya tak perlu didengar sekutu setan seperti mereka.
Kutipan :
Desastian / VoA-Islam
Rabu, 02 May 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar