JAKARTA – Materi pengayaan pendidikan karakter yang terdapat dalam mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) seharusnya lebih menguatkan nilai-nilai ketauhidan siswa , khususnya yang beragama Islam. Bukan malah melunturkan akidah dengan menyelipkan nilai-nilai sekularisme, pluralisme dan liberalisme. Inilah bentuk potret buram pendidikan agama Islam yang disusupi aktivis liberal.
Dalam buku Materi Pengayaan Pendidikan Karakter; Mengarusutamakan
Nilai-nilai Toleransi, Anti Kekerasan dan Inklusif untuk Materi
Pelajaran PAI (Pendidikan Agama Islam) Tingkat SMA, yang diterbitkan
Ma’arif Institute -- bekerjasama dengan sejumlah dinas pendidikan di
beberapa daerah, seperti Jogyakarta, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten
Cianjur dan Surakarta ini --
terdiri dari 14 Bab dengan tematik sebagai
berikut:
Toleransi, Hak Beragama, Hak Menjalankan Praktik Keagamaan,
Dakwah: Mengajak Tanpa Memaksa, Berlaku Adil terhadap Perbedaan, Anti
Kekerasan, Demokrasi, Memahami dan Mengelola Konflik, Memberi Maaf,
Berlomba dalam Kebaikan, Menghargai Karya dan Budaya Bangsa lain,
Inklusif sebagai Semangat Peradaban Islam, dan Karakter Inklusif Islam
Nusantara.
Selain PAI, juga diterbitkan buku Materi Pengayaan Pendidikan
Karakter untuk Mata Pelajaran PKn Tingkat SMA, terdiri dari 14 Bab,
dengan tema sebagai berikut: Bhineka Tunggal Ika, Kesetaraan, Anti
Diskriminasi, Demokrasi, Kebebasan Pers, Penegakan Hukum, Keterbukaan
terhadap Perbedaan, Pancasila Rumah Bersama Indonesia, dan Keadilan
Sosial.
Masing-masing buku Materi Pengayaan Pendidikan Karakter itu juga
dilengkapi dengan Ringkasan Materi, Tujuan Pembelajaran, Inti
Pelajaran, Pengayaan, dan Evaluasi.
Dalam Bab 1 tentang Toleransi, penulis buku ini membuat analogi ihwal
nilai-nilai toleransi dengan sebuah cerita yang dipaksakan. Berikut
ceritanya:
Bertamasya Jadi Gak Asyik
Suatu saat, siswa-siswa kelas 1 SMA Cikamari
memadati bus saat akan berangkat bertamasya menuju pantai Pameungpeuk.
Guru mereka, Pak Deden berharap pada murid lebih kompak dan bersatu
sebagai sebuah kelompok. Sayangnya, kesatuan bukanlah hal yang mereka
alami. Bahkan sebelum mereka masuk jalan tol, Winda, Dudung, Tono, dan
Berta, memulai perjalanan tersebut dengan berdebat soal musik yang akan
dimainkan di tape recorder dekat supir.
Berta ingin lagu rohani Brery Pesotiga, tetapi
Dudung lebih suka music nasyid al-Jidar. Tono meminta agar lagi pop rock
ala Republik Dusta yang dimainkan. Sedangkan Winda ingin lagu-lagu
perjuangan yang diperdengarkan. Karena perdebatan diantara mereka,
akhirnya sang supir memilih untuk menyetel lagu klasik Pancaran Sinar
Pertamax (PSP).
Situasi semakin memburuk ketika mereka
beristirahat saat Maghrib. Dudung menyarankan agar mereka shalat bersama
sebelum makan. Tono mengeluh bahwa dia lapar. Namun akhirnya Tono
memilih untuk shalat Maghrib dulu.
Begitu mereka berkumpul di dalam mushalla, Made
mulai menyanyi nyaring dengan nada tinggi. Dudung lalu berkata bahwa
mungkin sebaiknya tur ini menjadi sebuah tur untuk muslim saja. Dan
tamasya pun menjadi kurang menyenangkan.
Saat itulah Pak Deden memanggil semua murid untuk bicara.
Dari kisah itu kemudian menyisakan pertanyaan, masalah apa yang menyebabkan tamasya jadi gak asyik lagi?
Bila disimak dari kisah itu, penulis buku itu ingin menggiring bahwa
siswa muslim menjadi biang masalah. Ada kesan bahwa sosok muslim seperti
Dudung itu sangat tidak toleran. Ukuran toleransi tidak dilihat dari
persoalan tamasya menjadi tidak menyenangkan, hanya karena berdebat
soal memilih jenis musik. Penulis tidak tepat memberi analogi semacam
itu.
Anehnya lagi, mereka kembali ribut di dalam mushalla. Lucunya, Made
(dikesankan sebagai pemeluk Hindu) justru berada di dalam mushalla,
padahal dia tidak shalat, lalu dia mengacau dengan nyanyian dengan nada
tinggi. Cerita yang sungguh dipaksa-paksakan.
Pluralisme Agama
Konyolnya, dalam inti pelajaran yang dipetik dari cerita tersebut,
buku tersebut memberika pembelajaran berupa toleransi dan Pluralisme
Agama. Lalu serta merta disisipkan dalil al Qur’an tentang pluralisme
agama (QS al Kafirun:6). “Untukmu agamamu dan untukku agamaku.”
Dijelaskan dalam buku itu: Pluralisme agama merupakan perwujudan
dari kehendak Allah Swt agar manusia berlomba-lomba dalam kebajikan. Dia
tidak menginginkan hanya ada satu agama, walaupun sebenarnya Allah
punya kemampuan untuk melakukan hal itu bila Dia menghendaki. Lalu kembali mencomot dalil QS. al-Maidah: 48.
Lebih parah lagi, buku materi pengayaan PAI itu menjelaskan: Bukan hanya mengakui perbedaan dan pluralitas agama, lebih jauh al-Qur’an mengakui keberadaan golongan-golongan non-agama. Lagi diselipkan dalil QS. Yunus: 99.
Dijelaskan, setiap penganut agama dianut bukan saja mengakui
keberadaan dan menghormati hak agama lain, tetapi juga terlibat dalam
usaha memahami perbedaan agama guna tercapainya kerukunan dalam
kehidupan beragama.
Dalam pengayaan terkait menghargai perbedaan agama, diberikan contoh yang sangat tidak relevan.
“Buka Bersama di Warung Nasi Peduli Kasih”
Berpuasa di bulan Ramadhan adalah ibadah tahunan
umat Islam dimana pun mereka berada. Berbuka pada saat Maghrib adalah
saat yang dinanti-nanti. Di Kota Solo, tepatnya di Manahan, sebuah
Gereja Kristen Jawa mendirikan depot “Warung Nasi Peduli Kasih”. Warung
ini menjual satu porsi berbuka hanya dengan harga Rp. 500,- bagi siapa
saja yang ingin ber-ifthar (berbuka puasa).
Jika sudah jelas dalil lakum dinukum waliyadin, kenapa gereja sampai repot mengurus ibadah orang lain. Bukankah lebih baik gereja mengurus sendiri umat Kristiani yang lapar. Tak perlu lah gereja menjual nasi seharga Rp.500. Cukuplah menghormati umat Islam yang berpuasa. Itulah makna toleran.
Ditulisnya, “Beragama adalah pilihan yang sangat individual. Hak memilih atau menentukan agama diberikan oleh Allah Swt kepada manusia. Oleh karenanya manusia dipersilahkan secara bebas untuk memilih agama. Adanya keragaman merupakan konsekuensi dari pilihan itu.” Lalu dikutiplah dalil QS. al-Kahfi:29
Ingat dan catat! Pesan Pluralisme Agama itu ada di dalam Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI). Membaca buku materi pengayaan yang diterbitkan Maarif Institute ini telah menghantarkan guru dan siswa pada pemurtadan, setidaknya mendangkalkan akidah.
Pendidikan Agama Islam
yang seharusnya menguatkan nilai-nilai tauhid
dan menanamkan akidah yang kokoh pada siswa tidak terlihat sama sekali
dalam buku ini.
Bahkan dalil “Tidak ada paksaan dalam beragama”
ditafsirkan bahwa setiap orang boleh memilih agama menurut keyakinannya
masing-masing.
Bahkan berhak untuk murtad, berpindah menjadi Kristiani
sekalipun.
Naudzubillah!
Kutipan :
Desastian /VoA-Islam
Rabu, 02 May 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar