JAKARTA – Masih membedah buku Materi Pangayaan Pendidikan Karakter untuk Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) Tingkat SMA yang diterbitkan oleh Maarif Institute. Pada Bab 3 tentang Hak Menjalankan Praktik Keagamaan, memuat peristiwa yang disadur dari pemberitaan di media massa, terkait soal kekerasan terhadap kaum Syiah di Sampang, Madura.
Berikut sepenggal cerita yang bertajuk Gali Ide:
“Kebhinekaan di Tanah Air kembali dinodai. Kekerasan atas nama
agama kembali terjadi. Menjelang pergantian tahun, Kamis, 29 Desember
sekitar pukul 9:15, pesantren milik warga Syiah di Nangkernang, Sampang,
Madura, dibakar massa. Meski tidak menimbulkan korban, aksi ini
menghanguskan tiga rumah dan satu musholla….”
Dalam peristiwa itu juga mengutip pernyataan Ketua Mahkamah
Konstitusi Mahfud MD dan mantan Ketua PP Muhammadiyah Ahmad Syafii
Maarif yang mengutuk aksi kekerasan terhadap Syiah. Juga disinggung soal
pengusiran terhadap aliran Ahmadiyah.
Ternyata, oh ternyata, beberapa lembaga non pemerintah juga turut
berperan dalam mengkampanyekan wacana dan praktek pendidikan karakter
seperti yang dilakukan oleh Sekolah Plus Muthahari, Bandung yang punya
kepentingan untuk membela dirinya sebagai warga Syiah.
Dari berita tersebut, siswa diminta untuk merenungkan dan menjawab
pertanyaan, salah satunya: Bagaimana pandanganmu terhadap beberapa
perda, kebijakan dan tindakan diskriminatif pihak berwajib yang berisi
pelarangan pendirian tempat ibadah bagi agama tertentu?
Kemudian dalam pengayaan dibuku tersebut, dijelaskan: Mari kita coba menelaah dan memahami isi SKB 3 Menteri tentang pembangunan rumah ibadah dengan logika.
Ada ketidakjujuran penulis buku tersebut dalam mengurai fakta. Kenapa
tidak disinggung pihak gereja yang telah menyalahi aturan SKB 3
Menteri. Seolah problema toleransi itu ada di kalangan umat Islam. Juga
tidak dsebut, apakah ajaran Syiah itu? Bagaimana kesesatannya?
Seharusnya, buku Materi Pendidikan Agama Islam (PAI) seperti ini
menjelaskan tentang bagaimana kesesatan Syiah, dan pelanggaran yang
dilakukan pihak gereja liar yang menyalahi aturan pemerintah setempat.
Lucunya lagi, dalam Bab 7, buku ini juga membahas soal Demokrasi.
Seolah demokrasi berasal dari Islam. Dengan mencomot dalil Al Qur’an
(QS. Ali Imran: 159 dan As-Syura: 28), dijelaskan, tujuan pembelajaran
diharapkan agar peserta didik dapat berperilaku hidup demokratis dalam
kehidupan sehari-hari.
Lebih aneh lagi, sistem pemilihan dengan suara terbanyak (votting)
dianggap sebagai bagian dari ajaran Islam. Bahkan, Nabi Muhammad dinilai
sebagai sosok pribadi yang demokratis dalam kehidupan social.
Inklusif & Kesetaraan Gender
Terdapat dua bab (Bab 13 dan Bab 14) yang memasukkan pesan inklusif
dalam buku pendidikan karakter Pendidikan Agama Islam tersebut. Dalam
Bab 13, dijelaskan tujuan pembelajaran dari topic “Inklusif sebagai
Semangat Peradaban Islam”, yakni peserta didik dapat memahami
contoh-contoh terbaik praktek kehidupan social-keagamaan yang inklusif
pada masa abad pertengahan.
Sedangkan pada Bab 14 berjudul Karakter Inklusif Islam Nusantara. Dijelaskan dalam ringkasan materi:
“…Islam telah memberi warna kebudayaan bagi sejarah bangsa ini. Maka
Islam tidak seharusnya dipisahkan atau dipertentangkan dengan budaya
Nusantara.”
Tujuan pembelajaran adalah agar peserta didik memahami dan menerapkan
upaya dakwah di Indonesia yang dilakukan dengan damai tanpa kekerasan
ataupun peperangan.
Yang jelas, buku ini tidak memuat sejarah secara utuh. Ketahuilah,
bahwa Islam menghadapi ujiannya ketika dihadang dan dikibiri oleh bangsa
penjajah. Dengan dakwah dan jihad, Islam tegak di muka bumi Indonesia.
Kemudian, inti pelajaran yang dipetik dari siswa (menurut buku tersebut) adalah umat
Islam sebagai penduduk mayoritas Nusantara, semestinya tidak lagi
mempersoalkan hubungan Islam, keindonesiaan, dan kemanusiaan. Ketiga
konsep itu haruslah senafas agar Islam yang berkembang di Indonesia
merupakan agama yang ramah, inklusif dan terbuka terhadap keragaman
budaya.
Lalu disimpulkan, budaya Nusantara tersebut tidak semestinya
dipertentangkan dengan Islam, sebab justru akan menambah khasanah dan
kekayaan Islam yang rahmatan lil alamin.
Yang menjadi pertanyaan, apakah semua keragaman budaya bisa diterima
oleh Islam? Tentu saja tidak. Budaya yang mengandung kemusyrikan sangat
bertentangan dengan Islam itu sendiri. Dan satu hal, Islam itu bukanlah
budaya, sehingga harus dipisah antara Islam sebagai agaman dan budaya
itu sendiri.
Selanjutnya dalam Buku Materi Pengayaan Pendidikan Karakter untuk
Mata Pelajaran PKn (Pendidikan Kewarganegaraan) dalam Bab I (Bhineka
Tunggal Ika) diajarkan soal nilai-nilai pluralism. Sedangkan dalam Bab 2
dijelaskan soal Kesetaraan Gender.
Dijelaskan, Bhineka Tunggal Ika itu berisi konsep pluralitas dan
multikulturalitas dalam kesatuan kehidupan yang utuh. Salah satu prinsip
yang terkandung dalam Bhineka Tunggal Ika yang bersifat inklusif
dimaknai bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak dibenarkan
merasa dirinya yang paling benar, paling hebat, dan tidak mengakui
harkat dan martabat pihak lain..”
Bagi yang kurang cermat membaca buku ini, akan terjebak dengan
hal-hal yang kelihatannya normatif dan universal. Padahal dibalik itu
terselubung kesesatan yang terbungkus oleh nilai-nilai. Sepertinya, kaum
liberal dan Syiah bersatu untuk menyesatkan umat Islam melalui buku
pelajaran yang menjadi bahan belajar mengajar di sekolah.
Bagi para guru PAI da PKn, berhati-hatilah. Jika tidak mau tersesat,
abaikan buku materi pengayaan berkedok Pendidikan Karakter yang
diterbitkan Maarif Institute itu.
Kutipan :
Desastian / VoA-Islam
Rabu, 02 May 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar