DEPOK – Dalam bidang pemikiran, ada kesan, telah terjadi dua kutub yang berbeda, yakni kelompok yang mengagungkan akal, dan yang menafikan akal. Padahal Imam Ghazali meletakkan wahyu dan akal seperti mata dan cahaya. Begitu juga Ibnu Qayyim al-Jauziyyah yang mengatakan, untuk mencari kebenaran, wahyu harus diikuti dengan akal sehat.
“Menolak akal adalah sikap yang tidak benar. Untuk memahami Al-Qur’an secara benar, tentu dengan menggunakan metode berpikir. Akal dan wahyu harus seiring sejalan. Kita tak harus membenci Barat, tapi kita perlu memahami Barat. Naqib al Al Atas pernah mengatakan, bila ingin jadi muslim yang baik, maka harus memahami Barat. Hal inilah yang sekarang dirusak di perguruan tinggi umum maupun Islam,” kata Adian Husaini dalam sebuah diskusi pemikiran di Depok.
Diakui Adian, saat ini kaum sepilis (secular, plural dan liberal) semakin cerdik. Suatu ketika, peneliti INSIST itu pernah diundang oleh Asosiasi Guru Agama sebagai pembicara untuk membedah buku pendidikan nilai multikultur dalam kurimkulum Pendidikan Agama Islam (PAI) -- diterbitkan oleh Kementerian Agama bekerjsama dengan Yayasan Tifa dan Rohima Foundation, sebuah yayasan liberal.
Cerdiknya, buku agama itu melampirkan fatwa MUI tantang Haramnya Sepilis, sehingga para guru agama itu merasa aman. Namun dalam buku itu tetap saja sesat, karena telah menjabarkan konsep multikultural. Buku itu tidak menjelaskan mana kultur yang halal dan mana yang haram. Yang jelas, telah melepas Islamic viewnya (sudut pandang Islamnya). “Mereka sangat lihai untuk menipu umat Islam. Karena memang, setan tak akan berhenti untuk menyesatkan manusia.”
Dari Cak Nur ke Gus Hamid
Dikatakan Adian Husaini, era sekularisasi Nurcholish Madjid alias Cak Nur kini telah memasuki senja, meski belum dikatakan berakhir. Kini adalah eranya Islamisasi Gus Hamid – sapaan akrab Direktur INSIST Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi.“Gus Hamid ini anaknya kyai, sayang kalau tidak dimanfaatkan. Inilah momemtum bersejarah. Sebuah peralihan dari Cak Nur ke Gus Hamid, “ kata Adian.
Adian menjelaskan, Cak Nur telah mewarisi buku-buku dan pemikiran sekularnya di kalangan akademis. Bahkan setiap tahunnya diperingati untuk mengenang kontribusi beliau di bidang pemikiran, hingga dibuat Jurnal khusus: Nurcholish Society. Cak Nur boleh dikatakan sudah disakralkan
Dalam sebuah workshop, Adian pernah diundang sebagai pembicara untuk mengkritik pemikiran liberal Cak Nur. Namun di tengah acara, ia diinterupsi peserta yang hadir dan diminta berhenti mengkritik Cak Nur. Hingga saat ini ketokohan Cak Nur menjadi besar karena pengaruh media. Sampai-sampai ia dilekatkan sebagai tokoh nasional dan tokoh Islam di Tanah Air.
Adian Husaini tak habis pikir, kenapa anak-anak pelajar sekarang, jika ditanya, siapa tokoh pendidikan nasional? Mereka biasanya akan menjawab, Ki Hajar Dewantoro. Padahal itu jawaban yang menyesatkan. Seharusnya yang menjadi tokoh pendidikan nasional adalah Sunan Ampel, mengingat beliau adalah tokoh Islam pertama yang menjadikan madarasah sebagai ladang ilmu bagi kaum terpelajar. Atau para pendiri Gontor, atau pendiri Hidayatullah. Ini akibat cara berpikir yang tidak Islamic View.
Kutipan :
Desastian / VoA-Islam
Rabu, 04 Apr 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar