Laman

Minggu, 20 Januari 2013

Wawancara Eksklusif CIIA Mengungkap Kejanggalan Operasi Densus 88

JAKARTA - Direktur The Community Of Islamic Ideology Analyst (CIIA) dan pemerhati kontra terorisme Harits Abu Ulya, membeberkan sejumlah bukti dan analisa kritis terkait penindakan kasus terorisme oleh aparat kepolisian baik itu Brimob maupun Densus 88.

Dari mulai kasus salah tangkap terhadap 14 orang di Poso dan penembakan di teras masjid Nur Al Afiah, Makassar serta di Dompu dan Bima, menjadi fokus pembicaraan wawancara eksklusif voa-islam.com bersama Harits Abu Ulya, Kamis (10/1/2013). Berikut ini kutipan lengkap wawancara tersebut.

Apakah salah tangkap 14 orang di Poso itu murni salah tangkap atau pura-pura salah tangkap? Alasannya?
Saya bicara dari fakta empiriknya; 14 orang itu salah tangkap. Setelah 7x24 jam mereka diinterograsi dengan dilakban (tutup mata/kepala) disertai dengan tindak kekerasan yang sangat tidak manusiawi kemudian mereka dilepas.
Dan pihak kepolisian bisa jadi punya argumentasi yang berbeda. Tapi menurut saya bukti kekerasan dan salah tangkap ini sangat mencolok mata. Sekarang oknum masih diproses di Polda setempat, cuma hasilnya belum disampaikan secara transparan ke publik. Justru yang terlihat pihak aparat kepolisian terkesan ingin menutupi kasus ini, dengan dalih yang tidak logis.

Misalkan mereka masih butuh saksi lengkap sejumlah 14 orang yang mengaku ditangkap dan disiksa. Apakah tidak cukup dengan 9 atau sepuluh orang yang babak belur menjadi bukti adanya tindak pidana yang sangat serius oleh aparat (oknum)?

Dan lebih anehnya lagi, ketika mereka di introgasi dengan mata tertutup  dan menerima kekerasan fisik yang tidak manusiawi tersebut dianggap tidak bisa menunjukkan orang-perorang yang melakukan penganiayaan.
Ya jelas saja, tapi naïf kalau alasan ini dibuat kemudian pihak Polda tidak mampu memproses, kecuali memang aparat itu bukanlah penegak hukum melainkan gerombolan penjahat yang terorganisir.
Artinya proses operasi aparat dengan alasan memburu “teroris” kan semua ada kontrol dan komandan, provost bisa teliti dan saya rasa tidak sulit untuk menemukan siapa saja yang terlibat tindakan tidak manusiawi ini. Jadi ini bukan kasus pura-pura salah tangkap, ini kasus serius yang kesekian kalinya dalam drama kontra terorisme.

Ekstra Judicial Killing yang dilakukan di Makassar, Dompu dan Bima serta kasus sebelumnya di Poso itu karena korban menyerang atau Densus 88 paranoid?
Hampir semua cerita itu dari satu sumber, yakni pihak kepolisian (Densus 88). Setiap paska operasi kemudian tim Densus 88 membuat laporan dan laporan ini yang dijadikan acuan pihak Mabes melalui humasnya untuk menyampaikan kronologi dan sebagainya. Tidak ada informasi pembanding atau sangat minim munculnya informasi penyeimbang yang bisa menjelaskan kebenaran obyektif apa yang terjadi dilapangan.

Kasus di Poso, Kholid dieksekusi tanpa perlawanan sepulang solat subuh. Dan semua saksi melihat kejadiannya seperti itu. Kasus di Makassar juga sama, dua guru tahfizh Qur’an masjid Ar Ridla Sudiang Makassar di eksekusi paska shalat dhuha di teras masjid Nur Al Afiah RS Wahidin Makassar.
Saksi mata banyak menuturkan tidak ada baku tembak. Yang ada adalah 2 orang ditembak oleh aparat Densus 88 tanpa perlawanan. Dan yang penting, masalah BB (barang bukti) adanya pistol dan sebuah granat nanas kebenaranya tidak bisa lagi secara obyektif dibuktikan. Karenanya pemiliknya juga sudah meninggal.
Bukan tidak mungkin bahwa BB tersebut adalah direkayasa (diadakan oleh Densus 88). Seperti halnya sejauh mana kebenaran tuduhan bahwa mereka “teroris” dan terlibat aksi di Pos? Semua jadi kabur karena orang yang dituduh sudah meninggal.

Bahkan jikapun benar mereka terlibat, maka sejauh mana level keterlibatan mereka tidak bisa juga diverifikasi. Namun faktanya tetap saja mereka tewas dibawah undang-undang “Terduga Teroris”.
Yang Dompu juga demikian, sekarang musim berkebun di bukit atau gunung. Mereka yang dieksekusi bukan turun gunung setelah latihan, tapi mereka berkebun. Yang lebih dahsyat adalah dari 5 orang yang tewas, 2 orang belum jelas identitasnya.

Jadi logika sehatnya; bagaimana bisa Densus 88 bunuh orang dengan alasan terduga teroris, sementara kenal saja tidak. Sampai mereka tewas pun juga belum jelas identitasnya siapa merek?
Sangat naïf sekali dan ini kedzaliman yang luar biasa.Orang bisa di bunuh kapan saja, baik kenal atau tidak asal ada alasan terduga teroris. Ini menunjukkan kegagalan operasi intelijen Densus 88 dilapangan.

Densus 88/Brimob sering sekali salah tangkap dan melakukan ekstra Judicial killing tetapi tidak pernah dihukum. Mengapa?
Mereka jumawa karena merasa mendapatkan mandat UU dan dukungan luas baik masyarakat maupun negara Barat (Amerika CS). Mereka merasa diatas angin, ada dalam sebuah arus besar yang tidak ada yang bisa membendung atau menghentikan.

Dan yang paling penting ini karena persoalan politik, bukan murni bicara tentang sebuah tindakan kejahatan (crime). Terorisme adalah sebuah “crime” dengan definisi dan kepentingan politik dari negara yang mengusungnya.
 
Dan orang-orang yang terzalimi tidak punya daya, terpuruk dalam ketidak adilan hukum yang secara politik dan sosial tidak berempati kepada dirinya. Saya tetap optimis, kejahatan Densus 88 tetap saja akan menemukan garis demarkasinya. Dan tidak ada kejahatan kecuali ada balasan dan catatannya. Wallahu a’alam
 
source
vpaislam/sabtu,12jan2013 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar