Laman

Minggu, 27 Mei 2012

Pers dan Pers Islam (Bantahan terhadap Ade Armando)

Pers adalah bagian dari media massa. Dia berperan penting dalam menghubungkan masyarakat dalam berkomunikasi melalui media tulisan dan gambar. Medianya bisa berupa surat kabar, majalah, tabloid, situs, ataupun yang lain. (Shaffat, 2008:2)
Pada umumnya pers dipahami memiliki peran strategis dalam upaya:
  1. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui
  2. Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinekaan.
  3. Mengembangkan perdapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar.
  4. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum,
  5. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.[1]
Tentu peran pers yang disebutkan diatas diambil dari nilai-nilai umum. Disepakati oleh sekelompok orang saja. Sehingga peran strategis pers tersebut hanya berlaku bagi pers yang berada dalam kalangan mainstream. Tentu ini berbeda dengan peran strategis yang dipahami dalam pers Islam, dimana setiap perannya dilandasi oleh hukum Islam yaitu Al-Quran, Hadits dan ijma.

Memang tidak semua peran strategis yang disebutkan diatas bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Namun pada kedua, disebutkan bahwa peran strategis pers adalah menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong supremasi hukum dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinnekaan.

Pertama, pada poin “menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi”, ini sangat bertolak belakang dengan cita-cita mendasar pers Islam yaitu menegakkan nilai-nilai Islami. Karena demokrasi bukanlah hal yang tepat untuk ditegakkan dan dibela melalui pers. Dalam prinsip-prinsip demokrasi masih memberikan peluang siapapun memiliki banyak pendukung atau jumlah suara signifikan untuk berkuasa. Tidak peduli meskipun orang atau kelompok tersebut membawa kemungkaran. Sedangkan dalam prinsip pers Islam, nilai-nilai Islam-lah yang ditegakkan. Nilai-nilai yang berasal dari Allah Swt, diturunkan melalui Al-Quran dan Hadits, yang mutlak kebenarannya, yang pemahamannya pun sudah final dan tidak akan direvisi dikemudian hari.

Kedua, pada statemen “mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinnekaan”. Statement ini bukanlah statement yang tidak wajib diikuti oleh kalangan pers Islam. Mengapa demikian? Karena dalam banyak hal, sudut pandang hukum Islam tidak dapat berjalan seiring dengan konsep Hak Asasi Manusia (HAM) ketika konsep tersebut diterapkan tanpa melihat batasan. HAM adalah persoalan yang sangat luas dan beragam. Bahkan begitu luasnya cakupan HAM sering menimbulkan benturan pada implementasinya. Seorang anggota Komnas HAM sendiri, Dr. Saharuddin Daming, mengatakan bahwa pergesekan dalam mempraktekkan konsep HAM disebabkan di satu pihak muncul pandangan yang menyatakan HAM otomatis berlaku universal, sedangkan dipihak lain menyatakan bahwa HAM bersifat partikular[2].

Konsep HAM yang begitu luas serta kebebasan dalam mengimplementasikannya mengharuskan adanya batasan, misalnya dalam aspek kebebasan beragama yang diatur dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM telah dijamin hak setiap warga negara untuk bebas memeluk agama dan beribadah menurut agama yang diyakininya.Namun untuk membatasinya, hukum juga harus mengatur bahwa dalam melaksanakan ajaran agama dan kepercayaan itu juga harus mengedepankan unsur ketertiban dan kehormatan nilai-nilai kesucian ajaran agama/kepercayaan pihak lain. Jika tidak seperti itu, maka kasus Ahmadiyah yang jelas menodai ajaran Islam akan dianggap memiliki hak untuk menyebarkan keyakinannya.

Mengenai kalimat “menghormati kebhinnekaan”, seringkali dipahami secara bebas oleh pers yang cenderung berpikir liberal. Tanpa batasan dan keluar dari koridor hukum Islam. Misalnya, dalam Buletin BHINNEKA Vol.6 Mei 2010 yang khusus membahas tentang seputar gay dan lesbian, disana banyak terdapat tulisan yang mengatasnamakan Hak Asasi, dan menjunjungtinggi keberagaman (baca: bhinneka) dengan melegalkan homo dan lesbian. Sudah pasti “menghormati kebhinnekaan” yang seperti ini tidak dapat ditolerir dan diterima dalam Islam. Karena ketetapan hukum Islam tentang haramnya berhubungan sesama jenis sudah final dan selamanya tidak akan berubah.

Rasulullah Saw bersabda, Ada empat kelompok orang yang pada pagi dan petang hari dimurkai Allah. Para sahabat lalu bertanya, "Siapakah mereka itu, ya Rasulullah?" Beliau lalu menjawab, "Laki-laki yang menyerupai perempuan, perempuan yang menyerupai laki-laki, orang yang menyetubuhi hewan, dan orang-orang yang homoseks.” (HR. Ahmad dan Ath-Thabrani)
“Allah tidak akan melihat (memperhatikan) seorang lelaki yang menyetubuhi laki-laki lain (homoseks) atau yang menyetubuhi isteri pada duburnya. (HR. Tirmidzi)

Maka, dalam menghormati kebhinnekaan, tetap harus memiliki batasan-batasan. Seorang wartawan muslim mengambil Al-Quran dan As-Sunnah sebagai landasan utama dalam membatasi pemahaman tentang “menghormati kebhinnekaan” saat membuat berita maupun tulisan. Karena sebenarnya Islam sangat menghargai kebhinnekaan warna kulit, etnis, suku dan status sosial di masyarakat. Seperti yang dijelaskan dalam Al-Quran,

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu...” (QS. Al Hujuraat: 13)

Kode Etik Jurnalistik (Islam)
Berprofesi sebagai pers sangat membutuhkan tanggungjawab tinggi, kematangan dan kepribadian yang kuat (Arifin, 2007:44). Jika seorang wartawan menulis tanpa memiliki dasar etika penulisan jurnalistik bisa menimbulkan terjadinya permasalahan. Oleh karenanya, sebagai seorang wartawan, tanpa dipaksa oleh siapapun seharusnya mematuhi kode etiknya sendiri.

Zainal Arifin Emka, seorang mantan rektor STIKOSA Surabaya mengatakan bahwa wartawan yang tidak paham kode etiknya bisa terperosok dalam penulisan yang seenaknya, merusak reputasi orang, beritanya menyesatkan, penyulut kepanikan, menghasut tindak kekerasan, bahkan mengobarkan permusuhan (Arifin, 2007:44).

Pendapat diatas memang benar. Bahwa tidak seharusnya pers, terlebih pers Islam memberitakan hal-hal yang merusak reputasi seseorang, menyesatkan, menyulut kepanikan, menghasut kekerasan, dan mengobarkan permusuhan. Karena setiap tindakan yang berakibat seperti itu akan membawa dampak buruk bagi media itu sendiri.

Namun, ada beberapa hal yang harus diperhatikan bahwa dalam kaidah-kaidah pemberitaan pers Islam tindak kekerasan dan permusuhan bisa saja dilakukan dengan satu syarat bahwa yang sedang dihadapi adalah tindakan kemungkaran dan masuk dalam tahapan penghinaan terhadap prinsip-prinsip ajaran Islam. Sebagai contoh adalah aksi pembubaran bedah buku karangan Irshad Manji dengan sekaligus menghadirkan penulisnya. Jelas dalam karya-karya tulisan Manji terdapat banyak upaya untuk merombak ajaran Islam agar pro dengan lesbianisme. Dengan kata lain, dia mengkampanyekan bahwa Islam itu mentolerir perbuatan lesbian. Hal ini berarti Irshad Manji menghina dan merendahkan ketetapan Allah Swt dan Rasulullah Saw tentang haramnya praktek lesbian.

Jika kasusnya seperti itu, apakah mungkin pers Islam dan media-media Islam diam saja melihat fenomena itu? Salahkah jika para jurnalis muslim serentak bangkit untuk melakukan perlawanan opini menyimpang Irshad Manji di berbagai media? Tidak! Karena itu merupakan respon atas kampanye Irshad Manji yang memelencengkan makna dalil-dalil syar’i dalam Islam.

Analisis Tidak Relevan Ade Armando terhadap Situs Portal Islam
Pada bulan Oktober tahun lalu, Ade Armando mempresentasikan sebuah makalah penelitian berjudul “Islam Diancam!: Konstruksi Wacana Keberagaman melalui Media Islam Online”. Pada penelitiannya, Ade menganalisis tiga pemberitaan yang dimuat dalam salah satu situs portal Islam di Indonesia. Isu yang pertama mengenai kisruh Gereja Yasmin, yang kedua soal kerusuhan Ambon, dan yang ketiga mengenai apa yang digambarkan sebagai Kristenisasi melalui praktek penghamilan.

Dalam penelitiannya, Ade menarik banyak kesimpulan, misalnya seperti ini:
“Berbagai media yang diteliti  membangun gambaran tentang umat Kristen sebagai musuh umat Islam yang berbahaya yang akan melakukan tindakan apapun – termasuk melanggar hukum – untuk melakukan Kristenisasi.” –hal. 10

“Media membangun gambaran bahwa ancaman Kristenisasi ini bukan main-main dan dilakukan dalam proses berkelanjutan. Media menunjukkan Kristenisasi di Indonesia adalah upaya yang sudah dimulai dari jaman penjajahan Belanda. Bahkan digambarkan bahwa Indonesia sebagai negara dengan mayoritas umat penduduk Islam terbesar di dunia  hendak diubah menjadi Negara Kristen terbesar kedua di dunia setelah AS.”—hal. 10

Dari hasil analisis yang sudah dibuat, Ade menuduh pemberitaan dari salah satu situs Islam tersebut sama sekali tidak memperhatikan kode etik jurnalistik. Misalnya, situs tersebut menyembunyikan fakta penting dari pihak Kristen, memberitakan sumber-sumber yang anonim, mencampurkan kata-kata sang wartawan ke dalam fakta, tidak cover both-side dan lain sebagainya. Memang tidak dipungkiri bahwa beberapa tuduhan tersebut ada benarnya. Namun, Ade (sang peneliti itu-red) terlupa satu hal bahwa secara tidak sadar dia juga terjebak pada argumentasi subyektifnya sendiri.

Dalam tulisan tersebut dia tidak mengklarifikasi pihak Kristen tentang benar atau tidaknya upaya kristenisasi, upaya memperbanyak jumlah penduduk Kristen di Indonesia, juga tentang oknum kepolisian Ambon yang terlibat langsung pembunuhan umat Islam disana. Ade menuduh satu situs Islam mencitrakan buruk umat Kristen dengan pemberitaannya, namun disaat yang sama Ade tidak melakukan klarifikasi kebenaran seluruh tuduhan-tuduhan situs tersebut. Seharusnya penyangkalan harus disertai juga dengan fakta-fakta lapangan bahwa memang hal tersebut tidak benar-benar terjadi. Mengapa klarifikasi kepada pihak Kristen begitu penting? Karena jika hal tersebut benar-benar terjadi, maka pemberitaan dalam situs tersebut tidak boleh menjadi masalah lagi.

Penulis sendiri menganggap penelitian tersebut tidak ilmiahnya dan tidak ‘faktual’. Setiap tuduhan juga tidak disertai fakta-fakta yang menjadi alasan kuat kenapa media-media Islam begitu keras melawan Kristenisasi. Seharusnya bukan tuduhan singkat tentang eksklusivitas Islam yang dimunculkan disana. Mana fakta-fakta yang berlimpah tentang kenyataan bahwa Kristen melakukan upaya kristenisasi di berbagai daerah di Indonesia?? Kenapa tidak dicari? Kenapa fakta itu tidak ditanyakan/klarifikasi kepada pihak Kristen?

Ade juga buta dengan kasus-kasus yang lebih berat yang terus dilakukan oleh media-media massa mainstream dalam mencitrakan buruk Islam dan mendiskreditkan umat Islam di Indonesia. Dia mungkin amnesia dengan betapa banyaknya penangkapan-penangkapan tak bersalah yang dilakukan oleh Polri dengan tuduhan teroris dan diliput di media seolah Islam dengan stereotip fisik tertentu pasti dicurigai sebagai teroris. Dia juga lupa betapa sadisnya media massa mendemonologi Ust Abu Bakar Baasyir, Syekh Puji, Munarman, Habib Rizieq, Aa’ Gym dan banyak lagi lainnya. Jika mau adil dihitung, maka Islam lebih banyak dan lebih lama menjadi korban ketidakadilan pemberitaan pers di media massa. Jadi, kalau ingin objektif, kenapa tidak membela Islam saja?

Singkatnya, di dalam makalah yang ditulis dan dipresentasikan oleh Ade Armando merupakan argumentasi yang sepihak. Tidak berbeda dengan tuduhan yang dia lemparkan kepada salah satu situs portal berita Islam yang diangkat. Fakta-fakta dari pihak Kristen sangat sedikit diklarifikasikan kebenarannya. Tuntutan obyektifitas kepada media muslim membuat dirinya sendiri tidak obyektif, emosional, dan melupakan klarifikasi data. Maka saya menyimpulkan bahwa penelitian itu dhaif. Titik.


[1] Shaffat, Idri. Kebebasan, Tanggungjawab, dan Penyimpangan Pers. 2008. Jakarta: Prestasi Pustaka. Hal. 139

Oleh : Aditya ( Pimpinan Redaksi UndergroundTauhid.com/ Dosen di beberapa Universitas di Surabaya)

Kutipan :
Bilal / Arrahmah
Sabtu, 26 Mei 2012 14:50:24

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar