Laman

Sabtu, 05 Januari 2013

Inilah Catatan Buruk Aparat Kepolisian atas Penanganan Kasus Terorisme


JAKARTA  - Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Polisi Timur Pradopo dalam catatan akhir tahun menjelaskan, Polri khususnya Detasemen Khusus 88 Anti Teror Mabes Polri, telah menangani 14 kasus ‘teroris’ di seluruh wilayah Indonesia. Dalam proses penyidikkan tercatat ada 78 orang tersangka, 10 orang diantaranya tewas saat proses penangkapan.

“Tahun 2012, dalam penanganan kasus terorisme di seluruh Indonesia ada 14 kasus. Hal ini meningkat dibanding tahun 2011 dengan 10 kasus. Jumlah tersangka ada 78 orang. Kemudian yang meninggal dunia ada 10 orang. 

Sebelum akhir tahun ini akan terus dilakukan penangkapan atas orang-orang yang masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO/buron) dan akan segera kita sampaikan ke masyarakat,” kata Kapolri, Jenderal Timur Pradopo.

Dari 68 orang tersangka ‘teroris’ yang tengah diproses hukum, menurut Kapolri, 51 orang tengah dalam proses penyidikkan, 17 orang tengah dalam proses pengadilan, dan dua orang diantaranya telah divonis hakim pengadilan tingkat pertama.

Selama penanganan kasus ‘teroris’ ini menurut Kapolri, ada delapan orang anggota polisi yang tewas dan sembilan orang menderita luka-luka di tahun 2012. Sementara itu dalam penanganan kasus kekerasan bersenjata di Papua, anggota polisi yang tewas berjumlah tujuh orang.
“Jadi gugur dalam tugas itu merupakan kehormatan tertinggi. Dari anggota yang tewas selama tahun 2012 itu ada 15 anggota. Delapan orang polisi tewas di Sulawesi Tengah dan Solo Jawa Tengah, kemudian anggota polisi yang tewas ada tujuh orang. Kedepannnya polri akan lebih melakukan perlindungan terhadap anggota di lapangan,” jelas Kapolri.

Lebih lanjut dikatakan Kapolri bahwa kejahatan terorisme bukanlah kejahatan biasa dari kelompok-kelompok yang mempunyai tujuan ideologis yang mereka perjuangkan. Untuk itu, kepolisian bekerjasama dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme untuk menyadarkan mereka yang beraliran keras dan fanatik.
Berangkat dari pernyataan Kapolri terkait progres penanganan terorisme tersebut ada catatan penting yang perlu jadi bahan evaluasi institusi Polri dan pihak yang terlibat.

Pertama,  selama tahun 2012 tindak pidana terorisme versus Polri tidaklah meningkat signifikan. Justru operasi dan tindakan aparat polri (Densus 88 dan BNPT) terhadap orang-orang yang disangka teroris semakin tinggi intensitasnya di tahun 2012. Hingga melahirkan ekses perlawanan di teritorial tertentu (Poso) dari orang-orang atau kelompok yang tertuduh ‘teroris’ ini.

Kedua, dari jumlah 68 orang dalam proses penyidikan itu sebenarnya di luar jumlah orang salah tangkap yang kemudian dibebaskan setelah sebelumnya mengalami tindak kekerasan secara serius. Misalkan kasus 3 orang di Jakarta dan yang terbaru 15 orang di Poso ditangkap selama sepekan diintrograsi dan dilepas setelah tidak berhasil membuktikan keterlibatan mereka, namun cara-cara yang dipakai sarat pelanggaran HAM serius. Jadi, 68 itu angka yang tidak jujur disampaikan, padahal harusnya polisi bisa secara jujur dan berimbang menyampaikan.

Ketiga, 10 orang tewas yang dituduh teroris menurut saya diduga kuat adalah extra judicial killing, ada tindakan over dari aparat di lapangan dan sayang tidak ada evaluasi dari pihak-pihak terkait dengan cara-cara over seperti ini.
Contohnya kasus terbunuhnya Kholid di Poso pasca gagalnya aparat menyisir di gunung Tamanjeka, kemudian mengobrak abrik kota Poso dan salah satu korban meninggal adalah Kholid yang ditembak mati tanpa perlawanan sepulang dari shalat Shubuh lalu dieksekusi di jalan.

Keempat,  sangat jelas pihak aparat menunjukkan perlakukan diskriminatif. 7 orang polisi tewas di Papua dan kasus kekerasan/teror/penembakan oleh gerombolan teroris OPM intensitasnya jauh lebih tinggi dibanding kasus yang di Jawa atau Poso. Tapi Polri hanya melabeli mereka kelompok bersenjata, namun label teroris untuk kelompok yang terkait dgn ideologi Islam.
Padahal, lebih dari 10 kasus dari 14 kasus teroris versi Polri lebih tepat dilabeli aksi teror namun mereka dinyatakan bukan teroris. Anehnya lagi kasus dari kelompok OPM dengan organisasi yang mapan, visi politiknya memisahkan diri dari NKRI, melakukan banyak aksi teror; dari penembakan sampai rencana pengeboman secara serentak di titik-titik strategis, semua itu tidak pernah dilabeli teroris.
Inilah sikap diskriminatif dan politis yang menempatkan kelompok Islam tertentu lalu mengusung ideologi Islam maka akan dicap teroris, hanya dengan alasan adanya aksi teror dari salah satu anggota mereka.
Padahal, aksi teror itu belum tentu dilatarbelakangi ideologi, tapi hanya sekedar faktor dendam dan rasa ketidak adilan.

Kelima, pihak aparat dilapangan perlu evaluasi diri, tidak jarang tindakan over yang melanggar HAM dan menyinggung umat Islam justru menjadi faktor spiral kekerasan menggeliat tak berujung.
Malah mengesankan kekerasan demi kekerasan itu dipelihara dengan cara membudayakan kekerasan, demi kepentingan proyek perut dan politik.

Keenam, demikian juga sikap aparat di lapangan ditambah pengerahan aparat yang tidak proporsional seperti di Poso dan merembet ke beberapa wilayah Sulsel. Hanya beralasan mengejar teroris, tapi justru melahirkan traumatik dan mengganggu rasa tenang dan aman masyarakat (Poso khususnya).

Ketujuh, kita perlu ingat, matinya seorang muslim (baik sipil/militer)di luar hak maka itu lebih berat dibandingkan runtuhnya Ka'bah. Artinya siapapun tidak boleh menumpahkan darah seorang muslim di luar haknya.

Kedelapan, saya masih percaya dialog menjadi media untuk menurunkan aksi-aksi kekerasan dan kekerasan tidak bisa ditumpas dengan kekerasan semata.

Kesembilan, harusnya pemerintah Indonesia menyadari dan mau evaluasi diri dalam isu terorisme agar tidak terjebak lebih dalam kepada kepentingan asing (Amerika cs.) dan menjadikan umat Islam yang mengusung ideologi Islam sebagai musuh. Jika ini terus dipelihara akan melahirkan kondisi kontraproduktif pada masa yang akan datang.
Umat Islam dengan seluruh komponen, sebagai entitas dengan kekuatan politiknya punya hak yang sama di negeri Indonesia. Punya hak yang sama untuk memperbaiki dan menyelesaikan problem multi dimensi di Indonesia dengan konsep-konsep Islam yang diyakini kebenaran dan kelayakannya.
Islam bukan musuh bagi Indonesia, barat dengan ideologi kapitalis imperialismenyalah musuh yang hakiki bagi Indonesia.

Kesepuluh, perang melawan terorisme di dunia barat dan dunia Islam menyadarkan umat Islam secara keseluruhan bahwa itu adalah proyek global, perang terhadap Islam dan umatnya.
 Jadi, proyek deradikalisasi yang ujung-ujungnya makin menyudutkan kelompok-kelompok Islam juga akan sia-sia. Karena kesadaran politik umat Islam cukup tinggi dan tidak bisa lagi dimanipulasi dengan propaganda-propaganda menyesatkan atas nama menjaga nation state, pluralisme (kebhinekaan), moderatisme dan liberalisme.
Semoga para pemangku kebijakan yang zalim mendiskriditkan Islam dan menzalimi umat Islam mau muhasabah diri dan taubat sebelum nyawa di kerongkongan dan hanya tangisan yang sangat pedih melolong kesakitan sementara pintu taubat sudah tertutup. wallahu a'lam.

Catatan Buruk Aparat Kepolisian dalam Penanganan Kasus Terorisme
Oleh: Harits Abu Ulya
Direktur The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) 

source
voaislam/ahad,30dec2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar