Laman

Kamis, 16 Januari 2014

Nasehat Ikatan Ulama Suriah untuk Mujahidin ISIS

Nasehat Ikatan Ulama Suriah untuk Mujahidin ISIS

Beberapa hari terakhir, bumi Jihad yang diberkahi, bumi Syam, mengalami badai fitnah di kalangan para pejuangnya.  Pertikaian antara Mujahidin Daulah Islam Irak dan Syam (ISIS) dengan kelompok lain diekspos secara besar-besaran oleh media sekuler untuk menjatuhkan Mujahidin.  Berikut ini adalah nasehat yang diberikan oleh Ikatan Ulama Suriah untuk para pejuang Suriah khususnya Mujahidin ISIS.

Badzlu an-nashihah lil-mujahidin fi ad-daulah al-islamiyah

بذل النصيحة للمجاهدين في الدول الإسلامية
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang
Kepada saudara-saudara kami, putra-putra Daulah Islam Irak dan Syam, dan setiap orang yang pesan ini sampai kepada dirinya.
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Kami memuji Allah Yang tiada Ilah yang berhak diibadahi selain-Nya. Kami memanjatkan shalawat dan salam kepada nabi kita Muhammad, keluarganya dan seluruh sahabatnya. Amma ba’du.
Ini adalah nasehat yang kami persembahkan kepada saudara-saudara kami mujahidin dalam kelompok Daulah Islam dan selainnya. Saya memulainya dengan tiga buah mukaddimah, kemudian saya menerangkan sebelas masalah. Dengan memohon pertolongan kepada Allah semata, saya katakan:
Mukaddimah pertama
Tempat mengembalikan perkara adalah Al-Qur’an dan As-sunnah
Tidak samar lagi bagi kalian bahwa Allah Azza wa Jalla mengutus rasul-Nya dengan petunjuk dan agama kebenaran agar ia memenangkan agama-Nya atas seluruh agama lainnya. Allah menurunkan kepada beliau Al-Kitab (Al-Qur’an) agar menjadi syariat bagi beliau dan minhaj (way of life/jalan hidup) yang beliau berjalan di atasnya. Allah mengaruniakan Al-Hikmah yaitu As-Sunnah kepada beliau agar beliau menjelaskan kepada umat manusia apa yang Allah turunkan kepada mereka di dalam Al-Qur’an. Allah Ta’ala berfirman :
 وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا
Dan Kami telah menurunkan kepadamu Al-Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan wahyu yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab suci (yang diturunkan sebelumnya) dan sebagai tolok ukur kebenaran terhadap kitab-kitab suci yang lain itu. Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kalian Kami berikan syariat (aturan) dan minhaj (jalan yang terang, way of life). (QS. Al-Maidah [5]: 48)
Allah Azza wa Jalla menyatakan bahwa Al-Qur’an yang mulia ini adalah nikmat-Nya yang agung kepada kita dan Allah menjadikannya sebagai amanah berat yang kita harus menyesuaikan diri kita dengannya.
Allah Azza wa Jalla berfirman :
لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab (Al-Qur’an) dan Al-Hikmah (As-Sunnah). Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (QS. Ali Imran [3]: 164)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
” أَمَّا بَعْدُ، أَلَا أَيُّهَا النَّاسُ فَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ يُوشِكُ أَنْ يَأْتِيَ رَسُولُ رَبِّي فَأُجِيبَ، وَأَنَا تَارِكٌ فِيكُمْ ثَقَلَيْنِ: أَوَّلُهُمَا كِتَابُ اللهِ فِيهِ الْهُدَى وَالنُّورُ فَخُذُوا بِكِتَابِ اللهِ، وَاسْتَمْسِكُوا بِهِ ” فَحَثَّ عَلَى كِتَابِ اللهِ وَرَغَّبَ فِيهِ،
“Amma ba’du. Ketahuilah wahai manusia, sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia biasa, hampir-hampir akan tiba utusan Rabbku (yaitu malaikat maut) sehingga aku akan memenuhi panggilannya. Maka aku meninggalkan di tengah kalian dua amanah yang berat. Amanah pertama adalah kitab Allah, di dalamnya ada petunjuk dan cahaya. Maka ambillah kitab Allah dan berpegang teguhlah dengannya.” Beliau lantas menghasung mereka kepada kitab  Allah…” (Hadits riwayat imam Muslim dalam kitab shahihnya).
Juga tidak samar lagi bagi kalian bahwa Allah mensyariatkan kepada kita jihad di jalan-Nya adalah untuk menyampaikan dien-Nya, meninggikan kalimat-Nya, menghancurkan fitnah dan melenyapkan kesyirikan. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
﴿ وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَإِنَّ اللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (39) وَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَوْلَاكُمْ نِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيرُ﴾
Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah (kekafiran dan gangguan kepada kaum beriman-red) dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan. Dan jika mereka berpaling, maka ketahuilah bahwasanya Allah Pelindungmu. Dia adalah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong. (QS. Al-Anfal [8]: 39-40).
Oleh karena itu peperangan tidak menjadi jihad di jalan Allah kecuali jika tujuannya adalah meninggikan kalimat Allah, bukan tujuan lainnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam ditanya: “Wahai Rasulullah, seseorang berperang untuk menunjukkan keberaniannya, seseorang berperang demi fanatisme kelompok dan seseorang berperang karena riya’ (pamer). Manakah di antara mereka yang disebut di jalan Allah?” Beliau menjawab :
«مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللهِ هِيَ الْعُلْيَا، فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللهِ»
“Barangsiapa berperang agar kalimat Allah menjadi kalimat yang paling tinggi, maka dialah yang berperang di jalan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, beserta jihad di jalan Allah, niscaya urusan agama akan tegak.
Dengan hal yang pertama (Al-Qur’an dan As-Sunnah) akan diketahui syariat Allah dan hukum-Nya, dan dengan hal yang kedua (jihad di jalan Allah) kaum muslimin melindungi agama mereka dan menuntun umat manusia kepada agama mereka serta menerapkan syariat Allah, dan mereka menimbang semua hal itu dengan timbangan yang lurus.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ وَأَنْزَلْنَا الْحَدِيدَ فِيهِ بَأْسٌ شَدِيدٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ وَرُسُلَهُ بِالْغَيْبِ إِنَّ اللَّهَ قَوِيٌّ عَزِيزٌ
Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami menurunkan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (QS. Al-Hadid [57]: 25)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Maka tujuannya adalah agar seluruh agama (ketundukan) milik Allah semata dan kalimat Allah menjadi kalimat yang tertinggi.
Kalimat Allah adalah nama menyeluruh yang mencakup semua kalimat-kalimat-Nya yang dimuat oleh kitab suci-Nya. Demikianlah Allah berfirman: Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.
Maka tujuan dari diutusnya para rasul dan diturunkannya kitab-kitab suci adalah agar umat manusia melaksanakan keadilan baik dalam hak-hak Allah maupun dalam hak-hak makhluk.
Allah kemudian berfirman: Dan Kami menurunkan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya.
Maka barangsiapa menyimpang dari kitab suci, ia diluruskan dengan besi. Oleh karena itu tegaknya agama adalah dengan mushaf dan pedang. Dan telah diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam telah memerintahkan kepada kami untuk memukul dengan ini [yaitu pedang] orang yang menyimpang dari ini [yaitu mushaf].”
Jika inilah yang menjadi tujuannya, maka hendaklah tujuan itu diraih dengan sarana yang paling dekat kepada tujuan, kemudian dengan sarana yang lebih dekat kepada tujuan…” (Majmu’ Fatawa, 28/263-264)
Maka tegaknya agama Islam adalah dengan kitab suci yang memberi petunjuk dan pedang yang menolong. Sebagaimana firman Allah Ta’ala :
وَكَفَى بِرَبِّكَ هَادِيًا وَنَصِيرًا
“Maka cukuplah Rabbmu sebagai pemberi petunjuk dan penolong.” (QS. Al-Furqan [25]: 31)
Maka anak panah yang ditembakkan oleh seorang mujahid tidak boleh mendahului dalil (yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah-red) yang untuknya ia berperang.
Mukaddimah kedua
Mengembalikan putusan perkara kepada Allah dan rasul-Nya saat terjadi perselisihan
dan mukadimah ini dibangun di atas dasar mukaddimah pertama
Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan kepada kita untuk mengikuti-Nya dan Allah membatasi petunjuk pada menaati nabi-Nya Shallalahu ‘alaihi wa salam yang mengantarkan kepada ketaatan kepada-Nya. Allah Azza wa Jalla berfirman :
قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَا حُمِّلَ وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ
Katakanlah: “Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada rasul; dan jika kalian berpaling maka sesungguhnya kewajiban rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kalian sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepada kalian. Dan jika kalian taat kepadanya, niscaya kalian mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (QS. An-Nuur [24]: 54)
Sungguh telah terjadi perbedaan pendapat dan perselisihan di antara mujahidin, meskipun mujahidin mengklaim telah mengikuti Rasul. Maka dalam perbedaan pendapat seperti ini wajib dikembalikan kepada Allah Azza wa Jalla dan rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa salam. Sebagaimana firman Allah Ta’ala :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kalian. Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.  (QS. An-Nisa’ [4]: 59)
Ketika Allah Ta’ala memerintahkan kepada kita untuk mengembalikan kepada Allah dan Rasul saat kita berselisih dalam sebuah perkara dari syariat-Nya, maka Allah menjelaskan bahwa manhaj ini adalah lebih baik bagi kita dalam agama kita dan lebih baik kesudahannya.
Para ulama berkata: Mengembalikan kepada Allah adalah mengembelikan kepada kitab-Nya dan mengembalikan kepada Rasul setelah beliau wafat adalah mengembalikan kepada sunnah beliau. Lawan dari mengembalikan kepada Allah dan rasul-Nya adalah meminta keputusan hukum kepada hawa nafsu. Allah telah melarang kita dari meminta keputusan hukum kepada hawa nafsu, sebagaimana firman-Nya :
 ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ (18) إِنَّهُمْ لَنْ يُغْنُوا عَنْكَ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا
Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak dari kamu sedikitpun dari siksaan Allah. (QS. Al-Jatsiyah [45]: 18-19)
Terkadang sebagian orang Islam yang mengajak (umat manusia) kepada Islam memiliki hawa nafsu dari arah ia mendahulukan perkataan ulama dan umara’ yang ia ikuti meskipun perkataan ulama dan umara’ tersebut menyelisihi syariat Allah, dan ia fanaim buta kepada jama’ahnya. Sesungguhnya mengikuti ulama dan umara tersebut dalam keadaan seperti ini termasuk bagian dari hawa nafsu yang tidak akan memberi manfaat apapun di sisi Allah bagi orang (ulama dan umara’) yang diikuti tersebut.
Mujahidin di jalan Allah hendaknya tidak menyombongkan dirinya untuk mendengarkan hal ini dan hendaknya mereka tidak menyangka bahwa diri mereka terlalu mulia untuk dikatakan bahwa mereka terkadang mengikuti hawa nafsu mereka. Karena sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla saja telah berbicara kepada nabi-Nya dengan ayat ini, padahal beliau adalah manusia yang paling sempurna imannya dan paling agung jihadnya.
Mukaddimah ketiga
Nasehat itu membahagiakan seorang mukmin dan tidak menyedihkannya
Sesungguhnya nasehat adalah cabang dari keimanan, nasehat di dalam syariat kita hukumnya wajib bagi orang yang mampu menyampaikannya. Nasehat ditujukan kepada Allah, rasul-Nya, kaum muslimin dan pemimpin mereka. Sebagaimana telah diriwayatkan dalam shahih Muslim dari Abu Ruqayyah Tamim Ad-Dari radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda :
«إِنَّ الدِّينَ النَّصِيحَةُ إِنَّ الدِّينَ النَّصِيحَةُ إِنَّ الدِّينَ النَّصِيحَةُ» قَالُوا: لِمَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ: «لِلَّهِ وَكِتَابِهِ وَرَسُولِهِ، وَأَئِمَّةِ الْمُؤْمِنِينَ، وَعَامَّتِهِمْ»
“Sesungguhnya agama adalah nasehat. Sesungguhnya agama adalah nasehat. Sesungguhnya agama adalah nasehat.” Para sahabat bertanya: “Bagi siapa wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Bagi Allah, kitab-Nya, rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin dan kaum muslimin secara umum.” (HR. Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dan An-Nasai)
Maka hendaknya saudara-saudara kita mujahidin menerima nasehat dari saudara-saudara mereka, tidak sedih karena nasehat tersebut dan hendaknya hati mereka tidak memendam kedengkian dan dendam kepada orang yang memberikan nasehat kepada mereka.
Karena sesungguhnya nasehat adalah hal yang tidak membuat hati seorang mukmin menyimpan kedengkian, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam :
ثَلَاثٌ لَا يُغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُؤْمِنٍ: إِخْلَاصُ الْعَمَلِ لِلَّهِ، وَمُنَاصَحَةُ وُلَاةِ الْمُسْلِمِينَ، وَلُزُومُ جَمَاعَةِ الْمُسْلِمِينَ ، فَإِنَّ دَعْوَتَهُمْ، تُحِيطُ مِنْ وَرَائِهِمْ
“Tiga perkara yang hati seorang mukmin tidak mendengkinya: Ikhlas beramal karena Allah semata, memberikan nasehat kepada para pemimpin kaum muslimin dan berkomitmen dengan jama’ah kaum muslimin, karena sesungguhnya doa kaum muslimin menjaga mereka dari belakang mereka.”(HR. Ahmad, Ibnu Majah, Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman dan Ibnu Abdil Barr. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dan Nashiruddin Al-Albani menshahihkannya)
Maksudnya adalah tiga perkara ini tidak akan didengki oleh hati seorang muslim, justru hatinya akan mencintainya dan meridhainya, demikian dikatakan oleh para ulama pensyarah hadits. Maka barangsiapa beriman niscaya ia akan senang dengan adanya nasehat dan ia akan menerimanya. Adapun orang yang di dalam hatinya ada sikap curang dan penipuan kepada Islam dan kaum muslimin, maka sekali-kali ia tidak akan bisa mengambil manfaat dari perumpamaan-perumpamaan, meskipun benda-benda mati saling beradu tanduk di hadapannya.
Maka dengan meminta pertolongan kepada Allah dan memohon kelurusan dan kebenaran dari-Nya, saya katakan :
Pertama : Ajakan untuk meminta putusan perkara kepada syariat Allah Ta’ala
Bagi mujahidin dalam kelompok Daulah Islam Irak dan Syam dan kelompok lainnya apabila diajak kepada hukum Allah dan rasul-Nya, hendaknya mereka tunduk kepada hukum tersebut dan mendengar kepadanya, jika hakim (orang yang memutuskan perkara) adalah orang yang memiliki kelayakan (kemampuan), sekalipun orang yang dijadikan hakim tersebut bukan berasal dari kelompok mereka.
Berdasar hal-hal yang telah kita jelaskan pada bagian mukaddimah-mukaddimah di atas.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
(وَإِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ إِذَا فَرِيقٌ مِنْهُمْ مُعْرِضُونَ (48) وَإِنْ يَكُنْ لَهُمُ الْحَقُّ يَأْتُوا إِلَيْهِ مُذْعِنِينَ (49) أَفِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ أَمِ ارْتَابُوا أَمْ يَخَافُونَ أَنْ يَحِيفَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَرَسُولُهُ بَلْ أُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (50) إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ)
Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya, agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang.Tetapi jika keputusan itu untuk (kemaslahatan) mereka, mereka datang kepada rasul dengan patuh.
Apakah (ketidak datangan mereka itu karena) dalam hati mereka ada penyakit, atau (karena) mereka ragu-ragu ataukah (karena) takut kalau-kalau Allah dan rasul-Nya berlaku zalim kepada mereka? Sebenarnya, mereka itulah orang-orang yang zalim.
Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, apabila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan.”Kami mendengar dan kami patuh.”Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. An-Nuur [24]: 48-51)
Ayat-ayat yang mulia di atas telah menetapkan bahwa orang yang diajak kepada hukum Allah dan rasul-Nya tidak lepas dari salah satu dari dua keadaan
-          Boleh jadi ia berpaling darinya, menyombongkan diri dan tidak mau menerimanya kecuali jika mendatangkan kemaslahatan bagi dirinya. Mereka ini disifati oleh Allah Azza wa Jalla sebagai orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit, keragu-raguan dan berprasangka buruk terhadap hukum Allah. Mereka inilah orang-orang yang zalim.
-          Boleh jadi ia menerima seruan, menyambut ajakan, dan mengatakan: “Kami mendengar dan kami menaati hokum Allah dan rasul-Nya. Mereka inilah orang-orang yang mendapatkan keberuntungan di sisi Allah.
Imam Ibnu Jarir At-Thabari berkata: “Allah Ta’ala berfirman: Sesungguhnya ucapan yang seyogyanya dikatakan oleh orang-orang yang beriman jika diajak kepada hukum Allah dan hukum rasul-Nya, untuk memutuskan perkara di antara mereka dan pihak yang bersengketa dengan mereka, adalah mereka hanya mengatakan ‘Kami mendengar” apa yang dikatakan kepada kami ‘dan kami menaati’ orang yang mengajak kami kepada hal itu.”
Maka bagaimana lagi sedangkan orang yang mengajak kalian untuk berhukum (kepada hukum Allah dan rasul-Nya) adalah saudara-saudara kalian mujahidin sendiri?Hal yang mengherankan adalah kalian dalam kelompok Daulah Islam diajak berhukum kepada Allah dan Rasul-Nya, namun sebagian kalian enggan padahal kalian tidak keluar dari rumah dan berjihad kecuali untuk menegakkan hukum Allah di muka bumi.
Kedua: Syubhat menolak mahkamah-mahkamah syariat
Sebagian kalian boleh jadi mengatakan bahwa kami (kelompok Daulah Islam, edt) memiliki mahkamah-mahkamah sendiri dan qadhi-qadhi (hakim-hakim) sendiri yang kami percayai.
Maka kami katakan kepada kalian: Meskipun persoalannya begitu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam —padahal beliau adalah orang yang menang dan berkuasa— juga tunduk kepada keputusan sahabat Sa’ad bin Muadz radhiyallahu ‘anhu.
Apa yang kalian klaim tentang qadhi-qadhi kalian, juga bisa diklaim oleh mujahidin selain kelompok kalian tentang qadhi-qadhi mereka. Maka tiada jalan obyektif dan adil selain kalian —-dari kelompok Daulah Islam dan mereka dari kelompok lainnya— meminta keputusan hukum kepada para ulama yang terpercaya yang memutuskan perkara dengan kebenaran dan adil dalam memutuskan perkara.
Ketiga: Fanatisme buta kepada jama’ah
Mujahidin wajib mewaspadai tipu daya Iblis tentang kedudukan kelompok mereka, di mana Iblis menghiasi sikap fanatisme buta kepada jama’ah mereka, Iblis menampakkan kepada mereka bahwa mereka senantiasa di atas kebenaran, bahwa mereka adalah thaifah manshurah, dan bahwa jama’ahnya senantiasaberedar bersama kebenaran kemanapun kebenaran berada; lalu mereka mengungkapkan hal itu lewat tindakan mereka sekalipun ucapan lisan mereka menyelisihinya.
Lalu mereka meneguhkan keyakinan tersebut di dalam jiwa mereka, sampai-sampai sebagian mereka memberikan loyalitas atas dasar kelompok mereka, memberikan permusuhan demi kelompok mereka.Sehingga anggota Daulah Islam fanatik buta kepada kelompoknya, anggota Ahrar Asy-Syam fanatik buta kepada kelompoknya, dan begitu juga kelompok-kelompok lainnya.
Sikap berkelompok-kelompok seperti ini hokum asalnya adalah dilarang, karena biasanya mengakibatkan perpecahan dan perselisihan. Allah Azza wa Jalla berfirman:
(وَإِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاتَّقُونِ)
“Dan sesungguhnya umat kalian ini adalah umat yang satu dan Aku adalah Rabb kalian, maka bertakwalah kalian kepada-Ku.” (QS. Al-Mu’minun [23]: 52)
Allah juga berfirman:
(إِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُون)
“Dan sesungguhnya umat kalian ini adalah umat yang satu dan Aku adalah Rabb kalian, maka beribadahlah kalian kepada-Ku.”(QS. Al-Anbiya’ [21]: 92)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا
“Dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Namun sikap berkelompok-kelompok ini telah menimpa umat Islam. Adapun kata pemutus di dalamnya adalah apa yang ditegaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah saat beliau mengatakan:
وَأَمَّا ” رَأْسُ الْحِزْبِ ” فَإِنَّهُ رَأْسُ الطَّائِفَةِ الَّتِي تَتَحَزَّبُ أَيْ تَصِيرُ حِزْبًا فَإِنْ كَانُوا مُجْتَمِعِينَ عَلَى مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ وَرَسُولُهُ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ وَلَا نُقْصَانٍ فَهُمْ مُؤْمِنُونَ لَهُمْ مَا لَهُمْ وَعَلَيْهِمْ مَا عَلَيْهِمْ. وَإِنْ كَانُوا قَدْ زَادُوا فِي ذَلِكَ وَنَقَصُوا مِثْلَ التَّعَصُّبِ لِمَنْ دَخَلَ فِي حِزْبِهِمْ بِالْحَقِّ وَالْبَاطِلِ وَالْإِعْرَاضِ عَمَّنْ لَمْ يَدْخُلْ فِي حِزْبِهِمْ سَوَاءٌ كَانَ عَلَى الْحَقِّ وَالْبَاطِلِ فَهَذَا مِنْ التَّفَرُّقِ الَّذِي ذَمَّهُ اللَّهُ تَعَالَى وَرَسُولُهُ فَإِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أَمَرَا بِالْجَمَاعَةِ والائتلاف وَنَهَيَا عَنْ التَّفْرِقَةِ وَالِاخْتِلَافِ وَأَمَرَا بِالتَّعَاوُنِ عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَنَهَيَا عَنْ التَّعَاوُنِ عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ.
“Adapun pemimpin hizb (golongan) adalah pemimpin kelompok yang bertahazzub,yaitu menjadi golongan. Jika mereka (anggota kelompok) berkumpul di atas hal yang diperintahkan oleh Allahd an rasul-Nya tanpa menambah dan tanpa mengurangi, maka mereka adalah orang-orang yang beriman, bagi mereka hak sebagaimana hak kaum beriman dan atas mereka kewajiban sebagaimana kewajiban kaum beriman.
Namun jika mereka menambah atau mengurangi dari perintah Allah dan rasul-Nya, seperti dengan fanatik buta kepada orang yang masuk dalam kelompoknya baik baik orang tersebut benar maupun batil, dan berpaling dari orang yang tidak masuk dalam kelompoknya baik orang tersebut benar maupun batil; maka ini adalah perpecahan yang  dicela oleh Allah dan rasul-Nya. Karena sesungguhnya Allah dan rasul-Nya telah memerintahkan untuk berjama’ah dan bersatu, dan Allah dan rasul-Nya telah melarang dari berpecah-belah dan berselisih.Allah dan rasul-Nya telah memerintahkan untuk saling membantu dalam kebajikan dan ketakwaan, dan Allah dan rasul-Nya telah melarang dari saling membantu dalam perbuatan dosa dan aniaya.”(Majmu’ Fatawa, 11/92)
Kami memperhatikan banyak anggota Daulah Islam, Ahrar Asy-Syam, Jaisyul Islam dan lain-lainnya sikap keluar dari apa yang diperintahkan (Allah dan rasul-Nya), kepada apa yang dilarang (Allah dan rasul-Nya), berupa sikap tahazzub [membangun wala' atau loyalitas dan bara' atau permusuhan] atas dasar kelompok dan jama’ah yang ia ikuti, sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam di atas. Bahkan sebagian mereka tidak mau menerima pendapat dan tidak pula keputusan perkara kecuali dari syaikh-syaikh (tokoh-tokoh) kelompoknya saja.Hal ini, demi Allah, adalah keburukan yang besar.
Sikap ini menyerupai kondisi Khawarij yang ditegaskan dalam hadits mutawatir dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam, saya berdoa kepada Allah semoga melindungi kalian dari menjadi orang-orang Khawarij. Orang-orang Khawarij sangat bersungguh-sungguh dalam beribadah dan mereka fanatik buta kepada pendapat-pendapat mereka yang mereka dasarkan kepada dalil Al-Qur’an; sampai akhirnya amiru mukminin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu memerangi mereka.
Orang-orang Khawarij tidak mau menerima perkataan dan tidak pula pendapat, kecuali dari para pemimpin mereka. Ketika Abdullah bin Khabbab bin Art radhiyallahu ‘anhuma berjalan melintasi mereka dan ia menceritakan hadits dari bapaknya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam yang menyelisihi madzhab mereka, maka sikap ketaatan beragama mereka yang palsu dan syariat hawa nafsu mereka menyeret mereka untuk mendustakannya, kemudian mereka membunuhnya, lalu mereka membelah perut budak perempuannya.
Ketika Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma mendatangi mereka, mereka berdebat tentang perihal mendengar darinya dan mereka berselisih; apakah kita akan mendengar darinya atau tidak? Karena syaikh-syaikh (pemimpin-pemimpin mereka) telah membiasakan mereka untuk tidak mau mendengar dari selain mereka. Demi Allah, hal itu bukanlah udzur bagi para pengikut di sisi Allah Yang telah berfirman:
وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا
Dan mereka berkata:”Ya Rabb kami, sesungguhnya kami telah menaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar).” (QS. Al-Ahzab [33]: 67)
Fanatisme buta kepada kelompok Daulah Islam, atau Ahrra Asy-Syam, atau Jabhah, merupakan bagian dari fanatisme yang tercela dan berkelompok-kelompok yang dibenci syariat. Pemimpin dari kelompok-kelompok ini, baik Daulah Islam maupun kelompok lainnya menanggung dosa kelompok-kelompok ini jika mereka berbuat keburukan dan mereka mendapat bagian dari pahalanya jika kelompok-kelompok ini berbuat kebaikan; sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dalam perkatannya.
Keempat: Pembai’atan (Abu Bakar) Al-Baghdadi sebagai khalifah bagi kaum muslimin
Sesungguhnya di antara hal yang diyakini oleh anggota Daulah Islam Irak dan Syam adalah bahwa amir mereka Abu Bakar Al-Baghdadi merupakan imam seluruh kaum muslimin dan bahwa tanzhim mereka ini adalah Daulah Islamiyah, seperti khilafah umum untuk seluruh kaum muslimin.
Dari keyakinan tersebut mereka lalu membangun beberapa perkara :
Di antaranya, barangsiapa tidak membai’at Abu Bakar Al-Baghdadi adalah orang yang tersesat. Sebagian mereka terkadang mengatakan orang tersebut adalah Khawarij, atau ungkapan-ungkapan semisal itu.
Ini merupakan perkara yang paling berbahaya, dan sikap ini pula yang menyeret mereka untuk menolak berhukum kepada selain mereka. Padahal seandainya kenyataannya (status kelompok Daulah Islam-red) seperti itupun bukanlah alasan membenarkan (untuk menolak berhukum kepada selain mereka). Maka bagaimana lagi jika kenyataannya tidak seperti (apa yang mereka yakini) itu?
Kami katakan kepada saudara-saudara kami tersebut :
Sesungguhnya kedudukan Daulah Islam Irak dan Syam tidak lebih dari kedudukan kelompok-kelompok dan brigade-brigade lainnya yang berjuang di negeri Syam.
Sejatinya Daulah Islam Irak dan Syam bukanlah Daulah Islamiyah,  dalam pengertian ia sebuah pemerintahan rasyidah yang telah tegak (mapan), yang telah membentangkan sayap kekuasaannya kepada dua negeri yang besar ini (seluruh wilayah Irak dan Suriah-red).
Sebab kondisi di dua negeri ini sudah sama-sama diketahui. Daulah Islam Irak dan Syam tidak memiliki sulthah (kekuasaan, kekuatan) atas kedua negeri ini, dan Daulah Islam juga tidak memiliki wilayah (kewenangan, kekuasaan) atas kedua negeri ini. Hal itu karena kekuasaan umum (atas seluruh kaum muslimin-red) tercapai melalui beberapa cara :
-          Di antaranya, seseorang menguasai secara paksa (dengan kekuatan militer) atas sebuah negeri dan kekuasaannya dipegang secara mantap olehnya. Cara ini belum dicapai oleh Daulah Islam Irak dan Syam, tidak di Irak dan tidak pula di Syam. Bahkan mereka di Irak hampir-hampir tidak nampak di sebuah tempat dan tidak mengumumkan diri karena thaghur Rafidhah senantiasa memburu mereka. Sementara antara mereka (Daulah Islam Irak dan Syam) dengan saudara-saudara mereka penduduk awam Ahlus Sunnah ada hubungan yang tidak akrab.
Adapun di Syam, kondisi mereka lebih sedikit dari kondisi sebagian saudara-saudara mereka dan kelompok-kelompok selevel mereka, karena sebagian golongan jauh lebih kuat dari mereka, lebih banyak perbekalan dan personilnya; namun demikian mereka tidak mengklaim untuk kelompok mereka sebagaimana klaim Daulah Islam kepada kelompoknya.
Bahkan seandainya kita menjadikan jihad dan kepeloporan dalam jihad sebagai tolok ukur untuk pengangkatan sebagai imam, maka sebelum Daulah Islam sudah ada jama’ah-jama’ah lainnya yang berjihad di negeri Syam, dan mereka mendapatkan persaksian baik (kaum muslimin, edt) yang belum didapatkan kesaksian itu oleh Daulah Islam. Seandainya kepeloporan mereka dalam jihad di Syam berkonskuensi Amir mereka harus dibai’at (oleh kaum muslimin), niscaya hal ang wajib dilaksanakan dalam masalah ini adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam:
«فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ، فَالْأَوَّلِ،»
“Penuhilah bai’at orang yang pertama kali dibai’at, lalu orang yang dbai’at setelahnya…” (HR. Bukhari dan Muslim)
Namun kami katakan bahwa tiada satu pun dari amir kelompok-kelompok tersebut merupakan amir umum bagi seluruh kaum muslimin, dan pembai’atan amir tersebut juga bukanlah bai’at umum (oleh seluruh kaum muslimin). Namun amir tersebut hanyalah amir tentara (kelompok mujahidin, edt) dan bai’atnya adalah bai’at jihad.
-       Di antara cara lainnya adalah para tokoh yang berwawasan luas dan bijaksana (ahlu ra’yi dan ahlu syura) mengangkat seseorang sebagai Amir, lalu seluruh masyarakat (kaum muslimin) mengikuti mereka dan menyetujui pendapat mereka.
Bukan sebagaimana dibayangkan oleh sebagian tulisan kalian bahwa jika dua orang anggota ahlul halli wal ‘aqdi telah membai’at seseorang maka orang tersebut telah sah menjadi khalifah dan (kaum muslimin) wajib mendengar dan menaatinya, dengan mengutip pendapat sebagian ulama.
Sebab, imamah (kekhilafahan) adalah akad antara pemimpin dan seluruh rakyat, bukan akad antara dua orang dengan imam. Hal seperti ini mengandung kerusakan-kerusakan yang tidak samar lagi bagi orang yang berakal sehat.Maksud dari para ulama menyebutkan hal sepert ini adalah persetujuan masyarakat (kaum muslimin) terhadap mereka (ahlul halli wal aqdi) dan anjuran untuk mengangkat imam (khalifah).
-       Di antara cara lainnya adalah istikhlaf (penunjukan pengganti), sebagaimana Abu Bakar Ash-Shidiq menunjuk Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhum sebagai penggantinya.Sudah diketahui bersama bahwa di negeri Syam saat ii tidak ada imam syar’i atas seluruh kaum muslimin, sampai bisa diklaim bahwa imam tersebut menunjuk pemimpin kalian Al-Baghdadi sebagai penggantinya.
Setelah semua penjelasan ini, jika Al-Baghdadi-lah yang mendorong kalian untuk melakukan tindakan itu, maka ia adalah seorang yang mencari kekuasaan. Kewajiban (syariat) untuk orang seperti itu adalah tidak mengangkatnya sebagai pemimpin.Adapun jika para pengikutnyalah yang bertanggung jawab atas tindakan tersebut, tanpa adanya perintah dari Al-Baghdadi, maka Al-Baghdadi harus mencegah mereka dari tindakan tersebut.
Adapun masyarakat umum maka tidak boleh bagi mereka membai’at dirinya (Al-Baghdadi) sampai seluruh manusia (kaum muslimin) bersepakat atasnya.
Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Sufyan Ats-Tsauri, imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah, ketika dikatakan kepadanya: “Orang-orang sudah ramai membicarakan tentang imam Al-Mahdi.” Maka Sufyan Ats-Tsauri menjawab:
إِنْ مَرَّ عَلَى بَابِكَ فَلَا تُبَايِعْهُ حَتَّى يُبَايِعَهُ النَّاسُ
Seandainya imam Al-Mahdi lewat di depan pintu rumahmu, maka janganlah engkau membai’atnya sampai semua manusia membai’atnya.”
(catatan editor : Dalam riwayat Imam Abu Nu’aim Al-Asbahani dan Adz-Dzahabi dengan lafal :
«إِنْ مَرَّ عَلَى بَابِكَ فَلَا تَكُنْ مِنْهُ فِي شَيْءٍ حَتَّى يَجْتَمِعَ النَّاسُ عَلَيْهِ»
Seandainya imam Al-Mahdi lewat di depan pintu rumahmu, maka janganlah engkau melakukan tindakan apapun kepadanya sampai semua manusia (kaum muslimin) sepakat membai’atnya.” – Hilyatul Awliya’ wa Thabaqatul Ashfiya’, 7/31 dan Siyar A’lam An-Nubala, 7/253))
Ini berkenaan dengan Al-Mahdi Al-Muntazhar yang dijelaskan oleh hadits mutawatir. Maka bagaimana dengan seseorang yang tidak dikenal oleh penduduk Syam?
Kami tidak merasa susah dengan pembai’atan Al-Baghdadi atau pembai’atan orang muslim lainnya yang menegakkan di tengah kami syariat Allah; namun pembai’atan itu tidak terjadi kecuali dengan cara-cara yang syar’i.
Kelima: Kerusakan-kerusakan yang timbul karena meyakini pembai’atan Daulah Islam Irak dan Syam sebagai pembai’atan khalifah umum
Keyakinan yang keliru tentang kedudukan Daulah Islam Irak dan Syam ini telah menyeret kalian kepada perkara-perkara besar :
-          Di antaranya, kalian menolak berhukum kepada pengadilan-pengadulan selain pengadilan-pengadilan kalian. Kami telah menyebutkan hal ini dan kami telah menjelaskan kesalahannya.
-          Di antaranya, kalian meyakini bahwa setiap orang yang tidak berbai’at (kepada Al-Baghdadi, edt) adalah orang yang tersesat dan bahwa ia mati dengan cara mati jahiliyah, dengan berdalil kepada sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam :
مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ، مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
Barangsiapa mati sementara di tengkuknya tidak ada bai’at, maka ia mati dengan cara mati jahiliyah.” (HR. Muslim)
Keyakinan ini tidak benar, karena hadits ini berkenaan dengan imam umum atas seluruh kaum muslimin, jika ia telah tegak.
-       Di antaranya, kalian meyakini bahwa orang yang tidak membai’at Al-Baghdadi adalah Khawarij. Hal ini menyeret pada tindakan meremehkan darah orang yang tidak membai’at dan memandang kelompok-kelompok lainnya sebagai kelompok pembangkang (pemberontak). Inilah yang menjadi alasan banyaknya peperangan antara kalian dengan saudara-saudara kalian mujahidin, sebab sedikit sekali terjadi perselisihan kecuali salah satu pihaknnya adalah Daulah Islam.
Inilah adalah kesalahan ganda. Pertama, tanzhim kalian bukanlah seperti itu (khilafah lslamiyah atas seluruh kaum muslimin-red). Kedua, taruhlah Daulah Islam Irak dan Syam itu adalah khilafah rasyidah dan pemerintahan yang telah tegak, di mana status kerajaan-kerajaan Islam semuanya telah ia penuhi, maka ia tidak boleh memaksa seorang pun untuk membai’at jika orang tersebut duduk di dalam rumahnya dan enggan untuk membai’at, apalagi ia memerangi orang tersebut, selama orang tersebut tidak memprovokasi manusia dan membuat golongan manusia untuk memerangi imam (khalifah).
Bahkan seandainya orang itu memprokovasi manusia, membuat kelompok manusia dan satu kelompok yang siap berperang bersatu dengannya, niscaya imam kaum muslimin tidak boleh memulai peperangan terhadap mereka sampai merekalah yang memulai peperangan.
Hal ini semua telah ditetapkan oleh para ulama Islam, dengan berdalil kepada sikap amirul mukminin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu yang selama enam bulan belum membai’at khalifah Rasulullah Shallallahu ‘alaih wa salam, yaitu Abu Bakar Ash-Shidiq radhiyallahu ‘anhu.
Sebagaimana telah diriwayatkan dengan sanad yang paling shahih di dalam Shahih Bukhari dan kitab hadits lainnya dari riwayat Az-Zuhri dari Urwah dari Aisyah. Meskipun begitu, Abu Bakar Ash-Shiddiq tidak memerangi Ali bin Abi Thalib dan tidak pula memerintahkan tindakan buruk kepada Ali. Bukannya Ali bin Abi Thalib yang mendatangi Abu Bakar Ash-Shiddiq, justru Ali mengirim pesan kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq: “Datanglah kepada kami dan jangan ada seorang pun yang menyertaimu.” Ali meminta begitu karena khawatir Umar bin Khathab akan ikut datang.
Maka Abu Bakar Ash-Shiddiq mengunjungi rumah Ali bin Abi Thalib, berbicara kepadanya dengan lemah lembut, bersikap rendah hati kepadanya, dan antara keduanya terjad pembicaraan yang diriwayatkan dalam kitab Shahih. Dalam pembicaraan itu Abu Bakar Ash-Shiddiq tidak meminta Ali bin Abi Thalib untukmembai’atnya, juga tidak memerintahkanya untuk berbai’at. Sampai Ali sendiri yang berkata: “Waktumu adalah nanti sore untuk dibai’at.”
Meskipun demikian, ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq mengimami shalat Dhuhur, kemudian naik ke mimbar, menyebutkan kondisi Ali dan sikapnya yang tidak mau berbai’at, Abu Bakar Ash-Shiddiq menyebutkan udzur yang Ali sampaikan kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Demikian pula Sa’ad bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu tidak membai’at Abu Bakar Ash-Shiddiq, ia justru berangka ke Syam dan meninggal di Syam tanpa berbaiat kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Adapun sikap Ali bin Abi Thalib kepada Khawarij sudah terkenal, di mana Ali tidak memulai peperangan terhadap mereka, Ali juga tidak menghalangi mereka dari mendatangi masjid atau mendapatkan jatah fai’, sampai Khawarij sendiri yang memulai peperangan.  
Inilah fiqih (pemahaman) dua orang khalifah yang rasyid, Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhuma. Di dalamnya ada suri tauladan bagi orang-orang yang mau meneladani.
Adapun jika kalian mengatakan: “Kami tidak mengatakan hal itu dan kami tidak mengklaim kelompok-kelompok di luar kami sebagai kelompok bughat (pemberontak)”, maka ini merupakan sikap yang kontradiktif. Bagaimana mungkin kalian bisa menetapkan keimaman (kekhalifahan) Abu Bakar Al-Baghdadi kecuali dengan menetapkan konskuensi dari bai’at ini, yaitu memvonis orang yang tidak membai’at sebagai orang yang keluar dari ketaatan dan memberontak.
Keenam: Status hukum orang yang mengangkat dirinya sebagai imam (khalifah) kaum muslimin tanpa meminta musyawarah kaum muslimin
Tidak boleh bagi seorang pun untuk mengangkat dirinya sendiri sebagai imam (khalifah) bagi kaum muslimin, juga tidak boleh bagi orang lain untuk mengangkatseorang pun sebagai imam (khalifah) kaum muslimin tanpa bermusyawarah dengan kaum muslimin. Barangsiapa melakukan hal itu maka Umar Al-Faruq radhiyallahu ‘anhu telah memutuskan hukuman mati bagi orang tersebut dan orang yang mengangkatnya sebagai imam kaum muslimin, meskipun orang yang diangkat sebagai imam tersebut memiliki kemuliaan yang setara dengan generasi sahabat.
Umar radhiyallahu ‘anhu telah menyampaikan dalam khutbah terakhirnya —sebagaimana dalam Shahih Bukhari dan lainnya— ketika sampai berita kepadanya bahwa seseorang mengatakan: “Seandainya Umar telah mati, maka aku akan membai’at fulan. Demi Allah, bai’at Abu Bakar tidak lain hanyalah sesaat kemudian terjadi bai’at.”
Maka Umar radhiyallahu ‘anhu marah dan berkata:
إِنِّي إِنْ شَاءَ اللَّهُ لَقَائِمٌ العَشِيَّةَ فِي النَّاسِ، فَمُحَذِّرُهُمْ هَؤُلاَءِ الَّذِينَ يُرِيدُونَ أَنْ يَغْصِبُوهُمْ أُمُورَهُمْ
“Aku, insya Allah, akan berdiri di hadapan manusia pada sore nanti untuk memperingatkan mereka dari orang-orang yang hendak merampas urusan mereka (hak memilih pemimpin).”
Kemudian di akhir khutbahnya, Umar berkata:
ثُمَّ إِنَّهُ بَلَغَنِي أَنَّ قَائِلًا مِنْكُمْ يَقُولُ: وَاللَّهِ لَوْ قَدْ مَاتَ عُمَرُ بَايَعْتُ فُلاَنًا، فَلاَ يَغْتَرَّنَّ امْرُؤٌ أَنْ يَقُولَ: إِنَّمَا كَانَتْ بَيْعَةُ أَبِي بَكْرٍ فَلْتَةً وَتَمَّتْ، أَلاَ وَإِنَّهَا قَدْ كَانَتْ كَذَلِكَ، وَلَكِنَّ اللَّهَ وَقَى شَرَّهَا، وَلَيْسَ مِنْكُمْ مَنْ تُقْطَعُ الأَعْنَاقُ إِلَيْهِ مِثْلُ أَبِي بَكْرٍ، مَنْ بَايَعَ رَجُلًا عَنْ غَيْرِ مَشُورَةٍ مِنَ المُسْلِمِينَ فَلاَ يُبَايَعُ هُوَ وَلاَ الَّذِي بَايَعَهُ، تَغِرَّةً أَنْ يُقْتَلاَ،
Sesungguhnya telah sampai kepadaku berita bahwa salah seorang diantara kalian mengatakan: ‘Demi Allah, seandainya Umar telah mati, maka aku akan membai’at fulan’.  Janganlah sekali-kali seseorang terpedaya sehingga ia mengatakan: ‘Bai’at Abu Bakar tidak lain hanyalah sesaat kemudian terjadi bai’at’.Ketahuilah, memang begitulah yang telah terjadi dengan pembai’atan Abu Bakar, namun Allah telah melindungi dari keburukannya.Sementara itu tiada di antara kalian seseorang yang manusia melakukan perjalanan jauh untuknya sebagaimana terjadi pada diri Abu Bakar.Barangsiapa membaiat seseorang tanpa bermusyawarah dengan kaum muslimin, niscaya ia tidak boleh dibaiat dan tidak pula orang yang ia bai’at, dikhawatirkan keduanya akan dibunuh.”
Kemudian Umar mengulanginya dengan mengatakan di akhir khutbahnya:
فَمَنْ بَايَعَ رَجُلًا عَلَى غَيْرِ مَشُورَةٍ مِنَ المُسْلِمِينَ، فَلاَ يُتَابَعُ هُوَ وَلاَ الَّذِي بَايَعَهُ، تَغِرَّةً أَنْ يُقْتَلاَ
“Maka barangsiapa membaiat seseorang tanpa bermusyawarah dengan kaum muslimin, niscaya ia tidak boleh dibaiat dan tidak pula orang yang ia bai’at, karena dikhawatirkan keduanya akan dibunuh.”(HR. Bukhari no. 6830, An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubra no. 7157-7158, Ahmad no. 391, Ad-Darimi no. 2322, dan Ibnu Hibban no. 414)
Dalam lafal yang shahih di dalam As-Sunan Al-Kubra karya imam An-Nasai bahwasanya Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu berkata:
إِنَّهُ لاَ خِلاَفَةَ إِلاَّ عَنْ مَشُورَةٍ وَلاَ يُؤَّمَّرُ وَاحِدٌ مِنْهُمَا تَغِرَّةً أَنْ يُقْتَلاَ.
“Sesungguhnya tiada kekhilafahan kecuali dengan melalui musyawarah (kaum muslimin) dan janganlah salah seorang di antara keduanya diangkat sebagai amir, karena dikhawatirkan keduanya akan dibunuh.”
Dalam lafal riwayat An-Nasai dalam kitab yang sama disebutkan:
وَإِنَّهُ لاَ خِلاَفَةَ إِلاَّ عَنْ مَشُورَةٍ وَأَيُّمَا رَجُلٍ بَايَعَ رَجُلاً عَنْ غَيْرِ مَشُورَةٍ لاَ يُؤَمَّرُ وَاحِدٌ مِنْهُمَا تَغِرَّةً أَنْ يُقْتَلاَ.
“Sesungguhnya tiada kekhilafahan kecuali dengan melalui musyawarah (kaum muslimin) dan siapapun seseorang membai’at orang lain tanpa melalui musyawarah kaum muslimin, maka janganlah salah seorang di antara keduanya diangkat sebagai amir, karena dikhawatirkan keduanya akan dibunuh.”
Imam Syu’bah bin Hajjaj berkata: “Saya bertanya kepada Sa’ad bin Ibrahim —yaitu salah satu perawi hadits tersebut—: “Apa makna karena dikhawatirkan keduanya akan dibunuh?” Maka ia menjawab: “Hukuman bagi keduanya salah seorang di antara keduanya tidak boleh diangkat sebagai amir.”
Makna karena dikhawatirkan keduanya akan dibunuh adalah sebagai kewaspadaan (antispasi) agar tidak dibunuh. Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari berkata: “Maknanya adalah barangsiapa melakukan hal itu niscaya ia telah memperdaya dirinya sendiri dan kawannya dan mempertaruhkan keduanya untuk dibunuh.” (Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, 12/150)
Imam Abu Sulaiman Al-Khathabi berkata: “
Belum pernah sampai kepada kami dari para ulama Syam dan tidak pula dari para komandan mujahidin di Syam bahwa kalian meminta musyawah (pendapat) mereka tentang perkara Al-Baghdadi.
Jika kalian mengatakan bahwa musyawarah terjadi di antara kami para pengikutnya, maka demi Allah, kalian telah sangat mendekati kondisi Khawarij.Sampai-sampai aku mengingatkan kalian dengan Allah agar kalian tidak termasuk golongan Khawarij. Maka selamatkanlah diri kalian, selamatkanlah diri kalian! Apakah kalian sendiri umat Islam di negeri ini, sementara saudara-saudara kalian lainnya bukan umat Islam?
Ketujuh: Peringatan untuk tidak membunuh seorang muslim
Salah sat perkara yang paling dikhawatirkan dari mujahidin adalah jika mereka terjebur dalam penumpahan darah orang-orang yang dilindungi (oleh syariat Islam). Membunuh seorang muslim iu lebih besar dosanya daripada seluruh pahala jihad mereka.
Membunuh seorang muslim termasuk dosa besar. Allah Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا
Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan Allah mengutukinya serta Allah menyediakan azab yang besar baginya.(QS. An-Nisa’ [4]: 93)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
«لَنْ يَزَالَ المُؤْمِنُ فِي فُسْحَةٍ مِنْ دِينِهِ، مَا لَمْ يُصِبْ دَمًا حَرَامًا»
“Seorang mukmin akan senantiasa mendapatkan kelapangan dalam agamanya selama ia belum menumpahkan darah yang haram (dilindungi oleh syariat Islam).”(HR. Bukhari no. 6862, Ahmad no. 5681, Al-Baihaqi, 8/21, Al-Hakim, 4/350 dan Al-Baghawi no. 2519)
Perawi hadits ini, Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Sesungguhnya di antara keruwetan perkara yang tiada jalan keluar darinya bagi orang yang menceburkan dirinya ke dalamnya adalah perkara menumpahkan darah yang haram tidak secara halal.”(HR. Bukhari no. 6863 dan Al-Baihaqi, 8/21)
Telah terjadi beberapa perkara di mana Daulah Islam menanggung dosa penumpahan darah, kemudian belum pernah sampai kepada kami bahwa Abu Bakar Al-Baghdadi atau orang yang mewakilinya melaksanakan hak Allah terhadap si pembunuh ini, sehingga ia menegakkan hokum qisash terhadapnya atau ia berlepas diri darinya dengan sikap berlepas diri yang beritanya sampai kepada orang yang dekat maupun orang yang jauh.
Inilah Khalid bin Walid radhiyallahu ‘anhu, pedang yang Allah hunus kepada orang-orang kafir, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam mengutusnya kepada Bani Jadzimah, maka ia bersegera membunuhi mereka saat mereka mengucapkan “shaba’naa” (kami telah beralih agama, dari agama syirik kepada agama Islam, edt)danmereka tidak mampu mengucapkan aslamnaa (kami telah masuk Islam, edt). Ketika berita itu sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam maka beliau mengangkat kedua tangannya ke langit dan berdoa:
«اللَّهُمَّ إِنِّي أَبْرَأُ إِلَيْكَ مِمَّا صَنَعَ خَالِدٌ مَرَّتَيْنِ»
“Ya Allah, aku berlepas diri dari apa yang diperbuat oleh Khalid.Ya Allah, aku berlepas diri dari apa yang diperbuat oleh Khalid.” (HR. Bukhari no. 4339, An-Nasai, 8/237, Ahmad no. 6382, Abdurrazzaq no. 9434, Ath-Thahawi dalam Syarh Musykil Al-Atsar no. 3231 dan Al-Baihaqi, 9/115)
Khalid membunuh mereka karena ia melakukan ta’wil (menganggap mereka tidak mau masuk Islam, edt).Meskipun demikian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam berlepas diri dari perbuatannya. Sementara kita belum mendengar Al-Baghdadi atau selainnya mengingkari anggota Daulah Islam yang membunuh saudaranya sesama mujahid karena melakukan ta’wil!
Ketika Khalid bin Walid memerintahkan anggota pasukanya untuk membunuh tawanan mereka (Bani Jadzimah), Ibnu Umar menjawab:
وَاللَّهِ لاَ أَقْتُلُ أَسِيرِي، (وَلاَ يَقْتُلُ رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِي أَسِيرَهُ، حَتَّى قَدِمْنَا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ))
“Demi Allah, aku tidak akan membunuh tawananku [dan seorang pun dari kawan-kawanku tidak boleh membunuh tawanannya, sampai kita datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa salam].” (HR. Bukhari no. 4339, An-Nasai, 8/237, Ahmad no. 6382, Abdurrazzaq no. 9434, Ath-Thahawi dalam Syarh Musykil Al-Atsar no. 3231 dan Al-Baihaqi, 9/115)
Ibnu Umar tidak memenuhi perintah amirnya, Khalid. Hal itu tidak lain karena besarnya perkara darah.
Imam Al-Bukhari di dalam kitab Shahihnya memberi judul atas hadits tersebut: Bab jika hakim (penguasa) memutuskan perkara secara zalim atau menyelisihi ulama, maka keputusanya tertolak.
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: “Di dalam hadits ini ada isyarat yang membenarkan tindakan Ibnu Umar dan sahabat yang mengikutinya dalam tidak melaksanakan perintah Khalid untuk membunuh orang-orang yang ia perintahkan untuk dibunuh tersebut.”
Imam Abu Sulaiman Al-Khathabi berkata: “Hikmah berlepas dirinya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salamd ari perbuatan Khalid padahal beliau tidak menghukum Khalid disebabkan Khalid berijtihad adalah agar diketahui bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam tidak mengizinkan hal itu, khawatir ada orang yang mengira hal itu terjadi atas izin beliau; dan supaya selain Khalid setelah itu tidak melakukan tindakan tersebut.” (Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, 13/182)
Saya mengingatkan kalian dengan satu perkara, wahai mujahidin, tidaklah kalian keluar dari negeri kalian kecuali untuk mencari ridha Allah Ta’ala. Maka jangan sampai kalian datang pada hari kiamatkelak sementara kalian dipegangi oleh seorang muslim yang dibunuh oleh salah seorang di antara kalian secara zalim. Muslim tersebut mengatakan: “Wahai Rabbku, tanyalah orang ini kenapa ia membunuhku?” Maka Rabb Subahanu wa Ta’ala : “Celakalah, celakalah, seretlah ia (si pembunuh) ke neraka!”
Kemudian, janganlah sekali-kali salah seorang di antara kalian berdalil dengan hadits Khalid bin Walid radhiyallahu ‘anhu dan sikapnya yang bersegera membunuhi Bani Jadzimah untuk membenarkan sikap kalian yang bersegera memerangi sebagian kelompok mujahidin lainnya. Sebab Khalid diutus kepada sebuah kaum yang hukum asalnya adalah kafir, sementara kalian berada di tengah masyarakat yang hukum asalnya adalah beriman.Antara dua kondisi ini ada perbedaan sejauh jarak antara timur dan barat.
Pihak yang menerapkan hukum orang-orang kafir atas orang-orang beriman hanyalah kaum Khawarij, dan kalian insya Allah bukanlah termasuk kaum Khawarij.
Kedelapan: Disyariatkannya pembagian tentara kepada daerah-daerah
Di antara pemahaman keliru yang dianut oleh sebagian kalian adalah meyakini bawa pembagian pasukan kaum muslimin kepada daerah-daerah adalah termasuk perbuatan jahiliyah, bahwa ia berarti mengikuti dan mengakui batas-batas geografi perjanjian Sykes-Piccot dan bahwa menamakan tentara-tentara ini dengan nama negeri-negerinya termasuk dalam kategori hal itu.
Keyakinan seperti ini sama sekali tidak benar. Karena kebijaksanaan berkonskuensi baha penduduk setiap negeri dari negeri-negeri kaum muslimin lebih mengenal tanah mereka, lebih berpengalaman dengan lembah-lembahnya, dan lebih dekat kepada karakter penduduknya.
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam mengirim pasukan ke Dzatu Salasil, beliau mengangkat Amru bin Ash sebagai komandan pasukan. Padahal ia belum lama masuk Islam dan di dalam pasukan tersebut terdapat orang-orang yang jauh lebih mulia dari dirinya dan lebih dahulu masuk Islam. Penunjukan itu tidak lain karena Amru bin Ash lebih paham tentang penduduk Dzatu Salasil, karena mereka adalah kerabatnya dari jalur ibu.
Demikian pula penamaan dengan daerah-daerah ini dan membuat ketentaraan dengan namanya dari kalangan penduduknya adalah perkara yang terpuji di dalam Islam.
Telah diriwayatkan dari Abu Idris Al-Khaulani dari Abdullah bin Hawalah Al-Uzdi radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
«إِنَّكُمْ سَتُجَنَّدُونَ أَجْنَادًا: جُنْدٌ بِالشَّامِ، وَجُنْدٌ بِالْعِرَاقِ، وَجُنْدٌ بِالْيَمَنِ “. فَقَالَ ابْنُ حَوَالَةَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ،خِرْ لِي يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: ” عَلَيْكُمْ بِالشَّامِ “
“Kalian akan dimobilisasi menjadi tentara-tentara; tentara di Syam, tentara di Irak dan tentara di Yaman.” Ibnu Hawalah berkata: “Wahai Rasulullah, pilihkanlah untuk saya!” Maka beliau bersabda: “Hendaklah engkau bersama (tentara) Syam…” (HR. Abu Daud no. 2483, Ahmad no. 17005, Al-Bukhari dalam At-Tarikh Al-Kabir, 5/33, Ya’qub bin Sufyan Al-Fasawi dalam Al-Ma’rifah wat Tarikh, 2/288, Ath-Thahawi dalam Syarh Musykilil Atsar no. 1114, Ath-Thabarani dalam Musnad Asy-Syamiyyin no. 1172 dan lain-lain. Hadits shahih)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam menyebutnya; tentara Syam, tentara Irak dan tentara Yaman. Beliau tidak menamakan mereka tentara Irak dan Syam, sebagaimana yang kalian lakukan.
Dalam sebagian jalur periwayatan hadits ini dari jalur Jubair bin Nufair dari Abdullah bin Hawalah radhiyallahu ‘anhu berkata:
«كُنَّا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَشَكَوْا إِلَيْهِ الْفَقْرَ وَالْعُرْيَ وَقِلَّةَ الشَّيْءِ، فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -:” أَبْشِرُوا فَوَاللَّهِ لَأَنَا لِكَثْرَةِ الشَّيْءِ أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ مِنْ قِلَّتِهِ، وَاللَّهِ لَا يَزَالُ هَذَا الْأَمْرُ فِيكُمْ حَتَّى يُفْتَحَ لَكُمْ جُنْدٌ بِالشَّامِ، وَجُنْدٌ بِالْعِرَاقِ، وَجُنْدٌ بِالْيَمَنِ حَتَّى يُعْطَى الرَّجُلُ الْمِائَةَ فَيَسْخَطُهَا “.
“Kami berada d sisi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam dan kami mengadukan kepada beliau kemiskinan, ketiadaan pakaian dan ketiadaan kekayaan apapun. Maka beliau bersabda: “Bergembiralah kalian, demi Allah, sesungguhnya aku lebih mengkhawatirkan banyaknya kekayaan atas kalian daripada sedikitnya kekayaan. Demi Allah, perkara (kekuasaan) ini akan senantiasa di tengah kalian sampai dikaruniakan kepada kalian tentara di Syam, tentara di Irak dan tentara diYaman; sampai-sampai seseorang diberi bagian 100 dinar namun ia masih belum puas.” (HR. Abu Nu’aim dalam Hilyatul Awliya’. Al-Hafizh Al-Haitami di dalam Majmauz Zawaid wa Mambaul Fawaid, 6/212 menulis: Diriwayatkan oleh At-Thabarani dengan dua sanad, para perawi salah satu sanadnya adalah para perawi kitab ash-shahih kecuali Nashr bin Alqamah, dan ia adalah perawi yang tsiqah)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda tiga tentara, namun kalian menjadikan tentara Irak dan tentara Syam satu tentara saja.
Kesembilan: Kesalahan ungkapan ‘Daulah tetap langgeng’
Sebagian anggota Daulah Islam Irak dan Syam seringkali mengulang-ulang ungkapan “Ad-Daulatu baaqiyatun…Daulah tetap langgeng”.
Saya tidak tertarik untuk mengomentarinya, karena saya mengetahui itu adalah perkataan orang-orang awam yang para ulama akan malu untuk mengatakannya. Sebab ungkapan tersebut mengandung kedustaan kepada Allah dan kedustaan kepada rasul-Nya, serta berkata-kata atas nama Allah tanpa landasan ilmu. Khilafah rasyidah saja tidak langgeng, bagaimana daulah kalian akan langgeng?
Bahkan nubuwah (kenabian) sekalipun diangkat, demikian pula khilafah rasyidah di akhir zaman akan diangkat, sebab kiamat hanya akan terjadi pada seburuk-buruk makhluk.
Apapun keadaannya, ungkapan “Daulah akan langgeng” termasuk perkataan yang berlebih-lebihan (ghuluw).
Kesepuluh: Kekeliruan ungkapan “orang yang duduk-duduk saja tidak memberi fatwa kepada seorang mujahid”
Diantara perkara yang wajib dinasehati adalah menjelaskan kekeliruan perkataan orang yang mengatakan, baik dari kelompok kalian atau selain kelompok kalian, bahwa “ulama yang duduk-duduk saja (tidak berjihad, edt) tidak memberi fatwa untuk seorang mujahid”. Padahal orang yang duduk-duduk saja tersebut sekiranya ia mengatakan suatu perkaran yang sesuai dengan hawa nafsu sebagian brigade yang berjihad, tentulah brigade tersebut akan menyebar luaskannya dan mengangkatnya sebagai imam.
Oleh karena itu saya melihat mereka —dan orang selain saya juga melihat mereka— sangat cepat mencaci maki para tokoh ulama, sampai-sampai salah seorang di antaa mereka yang belum tumbuh kumisnya dan lisanya belum ia biasakan untuk mengucapkan kebaikan, telah berani mengunyah daging para ulama dan segera menyantap kehormatan mereka.
Salah seorang ulama besar yang terkenal di Syam telah menceritakan kepadaku bahwa ia duduk bersama beberapa orang pemuda mujahidin, mereka mengkafirkan para ulama kaum muslimin dengan menyebutkan nama-nama mereka dan individu-individu mereka. Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan.
Maka saya katakan, pertama, meskipun demikian kalian memegangi keyakinan kalian dengan berdasarkan dan berargumentasi dengan pendapat para ulama terdahulu yang mereka itu tidak dikenal sebagai orang-orang yang berperang di jalan Allah atau berjihad satu hari sekalipun.Kalian mengutip dar buku-buku pada ulama Islam padahal tidak semua mereka berjihad dan tidak semua mereka menembakkan satu anak panah di jalan Allah.Dan ini adalah kondisi keempat imam madzhab yang diikuti.
Selain hal ini, bisa dikatakan kepada kalian: Beritahukanlah kepada kami tentang perkataan kalian ini ” ulama yang duduk-duduk saja tidak memberi fawa kepada mujahid”, apakah ini sebuah ayat Al-Qur’an yang kalian hafal dan kami lupa atasnya, ataukah ia hadits yang kalian riwayatkan dan kami belum mengenalnya, ataukah ia adalah kaedah fiqhiyah yang ditunjukkan oleh syariat Islam? Semua kemungkinan tersebut ternyata tidak.
Maksimal yang bisa dikatakan tentang orang yang menyatakan perkataan tersebut adalah ia mengira para ulama tidak mengetahui sedikit pun kondisi mujahidin dan realita mereka. Dan ini adalah persangkaan yang tidak benar. Betapa banyak ulama di dunia yang belum sekalipun mengunjungi negeri Syam dan juga negeri Irak, namun ia lebih mengetahui kondisinya dibandingkan kalian, karena ia dikunjungi oleh para ulama negeri tersebut (Syam dan Irak) dan ia menjalin komunikasi dengan penduduk dunia. Ditambah apa yang Allah munculkan di zaman kita ini berupa sarana-sarana untuk komunikasi dan mengetahui berita, hal yang membuatnya mengetahui perkara-perkara dan menjadikannya seakan-akan berada di antara mujahidin.
Kedua, saya katakan bahwa ke di antara perkara yang paling aku khawatirkan dari diri kalian adalah sikap tergesa-gesa mengkafirkan manusia, karena sesungguhnya masalah pengkafiran termasuk dalam kategori perkara-perkara rumit yang harus dilakukan oleh orang-orang yang telah menggapai kedudukan tersebut, dari kalangan ahli ilmu dan syariat.
Barangsiapa mengatakan kepada saudaranya “Hai orang kafir” niscaya ucapan tersebut akan kembali kepada salah satu dari keduanya. Engkau tidak akan dihisab pada hari kiamat karena engkau tidak mengkafirkan si fulan, seseorang dari kalangan masyarakat. Namun engkau akan dihisab jika engkau mengkafirkannya tanpa dalil.Oleh karena itu jalan selamat adalah menyerahkan urusan ini kepada para ahlinya yaitu para ulama dan qadhi (hakim syariat Islam).
Para ulama telah menetapkan perbedaan antara perbuatan yang menjadikan kafir (fi’il mukaffir) dan antara mengkafirkan pelakunya, dengan uraian yang tidak cukup dimuat oleh lembaran yang singkat ini. Tidaklah Khawarij tersesat kecuali karena sikap mereka  yang mengkafir-kafirkan masyarakat.
Alangkah tepatnya perkataan imam Al-Qurthubi rahimahullah: “Bab pengkafiran adalah bab yang sangat rawan. Banyak orang memberanikan diri padanya maka mereka pun berguguran.Dan banyak ulama bijak yang menahan diri darinya, maka mereka pun selamat.”
Maka sayangilah diri kalian sendiri dan saudara-saudara kalian kaum muslimin penduduk negeri Syam, karena mereka selama rentang waktu sangat panjang di bawah kekuasaan thaghut yang kafir, yang mengajarkan dan menjejalkan kekafiran kepada mereka.Maka berlemah lembutlah kalian kepada mereka, karena terkadang dari lisan mereka keluar ucapan-ucapan yang hakekatnya tidak mereka maksudkan, hal itu karena rezim kafir ini telah membiasakan mereka atas ucapan-ucapan kekafiran tersebut, sehingga status mereka saat ini seperti orang yang belum lama masuk Islam.Sementara dimaafkan untuk orang yang belum lama masuk Islam, hal yang tidak dimaafkan untuk orang selain dirinya.Wallahu a’lam.
Kesebelas: Peringatan untuk mewaspadai sikap ghuluw (ekstrim, berlebih-lebihan)
Umat Islam ditimpa dengan dua kelompok; satu kelompok berpaling dari agama dan menjauhinya sehingga mereka tidak mempelajarinya dan tidak menerimanya, sedangkan satu kelompok lainnya bersikap berlebih-lebihan di dalam beragama.Kedua kelompok ini sama-sama tercela, dan kebenaran itu berada di antara sikap berlebih-lebihan dan sikap mengacuhkan.
Memperingatkan mujahidin tidak lain hanyalah dengan mengingatkan mereka untuk mewaspadai sikap ghuluw (berlebih-lebihan), karena sikap ghuluw memasuki ibadah-ibadah, baik ibadah yang sedikit maupun ibadah yang banyak, ibadah yang kecil maupun ibadah yang besar.Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam telah bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّينِ
Jauhilah oleh kalian sikap berlebih-lebihan.”(HR. An-Nasai, Ibnu Majah dan lain-lain) Hadits ini disabdakan beliau berkenaan dengan pemilihan kerikil untuk melempar jumrah. Beliau bersabda: “Melemparlah dengan kerikil-kerikil seperti ini, dan jauhilah oleh kalian sikap berlebih-lebihan!”
Melempar jumrah adalah ibadah.Jika sikap berlebih-lebihan dalam melempar jumrah dilarang oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam, padahal bahayanya terbatas pada diri pelakunya, maka berlebih-lebihan dalam jihad tentu lebih layak untuk dilarang, sebab sikap berlebih-lebihan dalam jihad sangatlah berbahaya. Orang yang memegang pelatuk senjata, jika ia tidak diatur oleh syariat Islam dan diluruskan oleh As-sunnah, niscaya ia akan terjatuh dalam bencana-bencana. Senjata itu terkadang memiliki sikap berlebihan dan kekuatan itu terkadang memiliki sikap melampaui batas.Kami berdoa kepada Allah semoga Allah melindungi kami dan kalian.
Kedua belas: Hal yang mendorong penulisan nasehat ini
Wa ba’du…sesungguhnya kami telah menyampaikan nasehat dalam surat ini karena rasa cinta kepada mujahidin di jalan Allah, demi menunaikan tanggung jawab dan menjaga jihad ini dari penyelewengan.  Allah Ta’ala telah mengambil perjanjian dari para ulama agar mereka menjelaskan ilmu dan tidak menyembunyikannya.  Allah Ta’ala mencela orang-orang yang menyembunyikan ilmu. Allah Ta’ala berfirman:
وَإِذَ أَخَذَ اللّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلاَ تَكْتُمُونَهُ
Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): “Hendaklah kalian menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kalian menyembunyikannya.” (QS. Ali Imran [3]: 187)
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّن كَتَمَ شَهَادَةً عِندَهُ مِنَ اللّهِ
“Dan siapakah yang lebih zalim dari pada orang yang menyembunyikan kesaksian dari Allah yang ada padanya?”(QS. Al-Baqarah [2]: 140)
Allah Ta’ala juga berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِن بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَئِكَ يَلعَنُهُمُ اللّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللَّاعِنُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati pula oleh semua mahluk yang dapat melaknati.(QS. Al-Baqarah [2]: 159)
Saya mengetahui bahwa di antara putra-putra Daulah Islam dan kelompok lainnya ada yang akan membaca dan tidak mengambil manfaat darinya. Sebagian mereka akan mengatakan: “Hal ini tidak samar bagi para syaikh kami.”
Maka saya memintakan perlindungan Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat bagi mujahidin semoga amal-amal mereka tidak menjadi bencana bagi mereka di hari kiamat kelak. Sesungguhnya seseorang hanya akan selamat dengan amal perbuatannya sendiri. Sikapnya mengikuti orang selain ash-shadiq al-mashduq (nabi Muhammad yang jujur dan dibenarkan) Shallallahu ‘alaihi wa salam tidak akan menyelamatkan dirinya.
Hanya kepada Allah semata kita memohon untuk menjayakan agama-Nya dan memenangkan wali-wali-Nya. Shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada nabi yang mulia, keluarganya dan seluruh sahabatnya. Segala puji bagi Allah Rabb seluruh alam.

Ditulis oleh : Syaikh Dr. Ahmad bin Faris As-Salum
Rabithah Al-Ulama’ As-Suriyyin (Ikatan Ulama Suriah)
Sumber : Islamsyria.com
( Muhib al-Majdi/arrahmah.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar