Jakarta (voa-Islam) – Ustadz Abdurrahman Ayub (mantan NII) yang biasa memberi materi Islam di Radio Rodja, mengatakan, kita harus hati-hati dalam menjelaskan peta gerakan Islam, terutama hal-hal yang berkaitan dengan deradikalisasi. Bisa-bisa umat Islam menjadi sasaran tembak. Namun demikian, kita tak perlu alergi dengan kenyataan bahwa setiap yang mayoritas, biasanya dilakukan dari kalangan umat Islam.
“Bagaimana pun, ulim amri perlu dibantu. Karenanya, tokoh agama perlu menasihati dan membimbing pemerintah, agar program yang dilakukan tidak berbenturan dengan masyarakat,” ungkap Abdurrahman yang dijumpai voa-islam usai acara Peace Building 2011:Terror Around Us di Fakultas MIPA, Universitas Indonesia (UI) Depok.
Harus diakui, tanpa disadari, program deradikalisasi membuat umat Islam terperangkap dalam siasat devide et impera yang dilancarkan pihak-pihak yang tidak senang dengan Islam, dan yang tidak suka umat Islam bersatu. Akibatnya, sesama umat Islam jadi saling curiga.
“Setiap kebijakan pasti ada resiko. Karena itu harus dialog. Tapi, juga jangan berlebihan mengintimadisi kelompok tertentu. Saya kira forum-forum dialog seperti ini mesti diperbanyak, sebagai ruang untuk saling bertukar pikiran. Disini, perlu duduk bersama antara BNPT, Densus 88, ulama, dan para ustadz,” kata Abdurrahman.
Abdurrahman membantah, jika dirinya yang memberi materi ke-islaman di Radio Rodja menanamkan paham kekerasan. “Buktikan saja apakah Radio Rodja mengajak orang untuk melakukan kekerasan ataupun bersikap radikal.”
Lebih lanjut, Abdurrahman mengatakan, hendaknya dalam memberikan pencerahan kepada umat harus dilandasi dengan ilmu. BNPT memang harus diberi masukan-masukan, agar tidak keliru memahami wahabi, yang oleh Said Agil Siraj dituding menanamkan benih-benih radikalisme.
“Persoalannya, Inggris menempelkan keburukan kepada Muhammad bin Abdul Wahab. Akhirnya kita sering termakan dengan membenci wahabi, tanpa membaca sejarah. BNPT tidak boleh menjust wahabi. Setelah kita nasihati, BNPT baru menerima,” ungkap Abdurrahman.
Serahkan pada Ulil Amri
Ketika ditanya, apa yang harus dilakukan, ketika umat Islam berkeinginan untuk membantu saudara muslim yang tertindas di belahan bumi lain? Dikatakan Abdurrahman, pertanyaan ini pernah diajukan kepada Syaikh Utsaimin tentang ‘idad. Intinya, selama pemerintah atau ulil amri mensahkan untuk memberi bantuan, baik berupa tenaga maupun obat-obatan, silahkan saja membela, selama tidak menginjak-injak aturan yang ada.
“Jadi harus minta izin dulu pada ulil amri, agar dibuatkan visa. Jangan menegakkan sesuatu, tapi merubuhkan struktur yang ada. Karena kita terikat dengan negeri masing-masing. Boleh saja mengirim mujahidin ke negeri msulim yang tertindas, asal pemeirntah mengizinkan. Atiullah wa’ati ur rasul. Harus begitu,” katanya.
Bagaimana, jika melalui tadzim, seperti halnya NII pernah mengirimkan mujahidin ke Afghanistan? “Tidak demikian, sebab akan terjadi chaos. Bisa-bisa pemerintah jadi salah sangka. Bahkan, kita akan menghadapi dua masalah, yakni: berhadapan dengan musuh yang membantai umat Islam, dan pemerintah itu sendiri. Jika berhadapan dengan pemerintah, bisa-bisa orang yang punya niat baik malah dimasukkan dalam penjara. Bagaimana pun ulim amri tetap yang memutuskan. Jadi, tidak mudah sulit untuk berjihad,” kata Abdurrahman pesimis.
Saat ditanya, jika ulil amri tidak mau peduli dengan urusan kaum muslim, dan tidak mengizinkan untuk membantu saudara muslim di negeri muslim yang tertindas, bagaimana? “Ulil Amri itu berdosa. Umat Islam hendaknya bersabar. Dalam sebuah hadits dikatakan, sampai kamu menjumpai aku (Rasulullah), tidak bisa jalan sendiri,” jelasnya.
Ketika jihad dikebiri, mujahidin yang mendambakan untuk berjihad acap mendapat stigma, ulil amri tidak mau peduli, ulamanya duduk asyik di kursi empuk, maka lengkap lah sudah penderitaan kaum muslimin yang terzalimi di belahan dunia. Siapa lagi yang akan membantu, kalau tidak dari negeri-negeri muslim. (Desastian)
Kutipan
VOA
Sabtu, 24 Dec 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar