Laman

Kamis, 15 Desember 2011

Media Islam Sulit Berkembang, Karena Masyarakat Muslimnya Sekuler

Jakarta  – Ditemui disela-sela Konferensi Media Islam International  di Hotel Sultan, mantan Pemimpin Redaksi Republika, Parni Hadi mengakui, kecenderungan masyarakat muslim kita berpandangan “sekuler”. Ketika awal berdiri, Republika seharusnya menjadi nomor satu. Pertanyaannya, kenapa tidak membesar?“Karena memang, masyarakat muslim di Indonesia itu sekuler. Diakui atau tidak. Media yang pernah saya pimpin itu toh gagal menjadi nomor satu di Indonesia,” kata Parni Hadi kepada voa-islam.

Ketika ditanya, apakah Republika sekarang ini sendiri cenderung sekuler? Parni hanya menjawab diplomatis, “Pengaruh bisnisnya besar sekali. Karena itu, saya perkenalkan ideologi baru, yakni: Jurnalis Kenabian atau Jurnalistik profetik. Artinya, journalism kita menginduk pada sifat Rasulullah yang universal, seperti: Shiddiq, Tabligh, Amanah dan Fathonah. Keempat hal itu ada di setiap kode etik manapun.”

Parni mengakui,  ia masih tidak puas dengan Republika yang katanya pernah menjadi rujukan umat Islam itu. Satu hal, kita tidak boleh berpandangan, pokoknya Islam, kita harus beli media Islam, namun mengesampingkan kualitas. “Islam Yes, Quality Yes. Jika itu dipegang, media Islam akan laku keras. Jadi, jangan cuma labelnya saja Islam, tapi quality-nya tidak diperhatikan,” kata wartawan senior itu.  

Menurut Parni Hadi, media Islam tidak selalu menggunakan nama yang menunjukkan identitas keislaman, seperti Al-Jihad atau ada embel-embel Islam dibelakang nama media bersangkutan. Bagi Parni, yang penting adalah konten atau isinya. “Nama itu penting, tapi yang lebih penting lagi adalah konten,” kata Parni yang juga mantan Pimpinan Kantor Berita Antara.

Kalaupun ada, seperti Al Jazirah, tapi kontennya dan pengelolaanya menunjukan kualitas yang baik. Itulah sebabnya, kenapa Al Jazirah berhasil. Parni berharap media-media Islam di Tanag Air, seperti Era muslim, Republika, Voa-Islam, dan sebagainya, lebih mengutamakan kualitas.
“Saya pernah usul, agar dibentuk International Islamic Media Developmen Center (IIMDC). Nanti kita adakan pelatihan kepada wartawan, melatih public agar lebih melek media, dan terciptanya peradaban. Sangat disayangkan, Rabithah al-Alam al-Islami hanya talk only.  Dalam rekomendasi Konferensi nanti saya akan ajukan ini,” ujarnya.

Menurut Parni Hadi, media Islam tidak selalu tampil sebagai media perlawanan. Kebenaran itu harus menjadi nomor satu, dan diusung oleh media Islam. Tapi, resiko jadi pemerintah, tentu harus siap dikritisi. Saatnya media Islam memiliki sikap coorporation (kerjasama dalam hal kebaikan) dan competion (kompetisi), tapi bukan confrontation (konfrontasi).

Islam Yes, Quality Yes
Agar manajemen media Islam kian membaik, tentu harus menunjukkan sikap profesional, menjaga kualitas produknya. Sebab, inilah mata rantai akhir dari sebuah manajemen. “Tidak cukup labelnya Islam, tapi kualitas tidak dikedepankan. Ini adalah era kebangkitan jurnalis profestik, yang punya misi amar ma’ruf nahi munkar. Karena itu lawan yang tidak Islami, tapi tidak dengan cara yang vulgar. Tegas iya, tapi tidak vulgar. Begitulah, jika media Islam mau berkembang, ”kata Parni Hadi.

Ketika menyinggung ihwal bagaimana Kode Etik Jurnalistik Islam yang pernah dilahirkan dari Konferensi Media Islam Internasional sebelumnya (tahun 80-an)? Parni Hadi menegaskan, sesungguhnya Kode Etik Jurnalistik yang kita miliki sudah Islami, seperti wartawan Indonesia harus jujur, tidak boleh bohong, tidak cabul. Jadi sudah ada semua di dalamnya. Hanya saja, tidak menggunakan label Islam.

Bagaimana dengan usulan perlunya dibentuk Dewan Pers Islam? Menurut Parni, sebaiknya disinergikan saja dengan Dewan Pers yang ada. “Usulan itu boleh –boleh saja. Persoalannya ada pengikutnya atau tidak.”
Ditanya soal adanya pihak-pihak yang mendesak pemerintah agar menutup situs-situs Islam radikal? Dikatakan Parni Hadi, kebebasan pers adalah kebebasan hak asasi setiap manusia. Tidak bisa, pihak manapun untuk menutup media islam yang kerap diberi stigma menebar benih radikal.

“Sekarang ini bukan zamannya larang melarang, atau bredel- membredel seperti masa Orde Baru dulu. Orang mau liar saja tidak dipersoalkan. Karena dianggap sebuah kebebasan hak asasi manusia. Karena itu sebuah opini harus dilawan dengan opini, bukan dengan kekuasaan,” ungkap Parni tegas.

kutipan :

VOA
Desastian
Rabu, 14 Dec 2011


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar